Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya.
Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah memastikan semuanya tertutup, Ara terduduk lemas di salah satu meja kelas. Tangannya memegang kepalanya yang terasa berat, dan air mata mulai mengalir tanpa ia sadari. "Ini salahku… semua ini salahku!" gumamnya lirih, suara penuh dengan rasa penyesalan. "Andai saja aku tidak pernah mengatakan hal itu..." Air matanya semakin deras. Di luar, suara geraman dan dentuman terus terdengar, seperti dunia perlahan-lahan runtuh di sekitarnya. Ara merasa terjebak dalam mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri. Prang! Suara kaca pecah memenuhi ruangan, memecahkan kesunyian yang tersisa. Zombie-Zombie itu menghancurkan jendela dengan cara membenturkan kepala mereka ke kaca, menciptakan pemandangan yang semakin mencekam. Ara, yang sempat terduduk lemas, kini bangkit dengan cepat. Panik, ia meraih sebuah kursi yang terdekat dan melemparkannya ke arah Zombie yang mulai merangsek masuk. Kursi itu menghantam salah satu dari mereka, membuatnya terjatuh. Tapi jumlah mereka terlalu banyak—Ara tahu ini bukan tempat yang aman lagi. "Aku harus pergi!" pikirnya dengan napas yang memburu. Ara berlari keluar dari kelas, melesat melewati koridor yang kini terasa seperti labirin tanpa akhir. Kakinya melangkah naik, menaiki tangga satu per satu, sementara suara geraman dan langkah-langkah berat Zombie terus membuntutinya. Saat tiba di depan pintu menuju atap sekolah, Ara tanpa ragu membukanya. Ia melangkah keluar ke udara siang yang sejuk, lalu segera mengunci pintu dari luar. Dengan tubuh yang gemetar, ia bersandar pada pintu, menahannya sekuat tenaga. Pandangan Ara menyapu atap sekolah yang luas. Tak ada tempat untuk bersembunyi, hanya langit cerah dan angin yang sejuk menerpa kulitnya. Hatinya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. "Kenapa sekolah ini begitu sepi, tapi pintu-pintu dan pagar tidak terkunci? Bahkan kuncinya masih tergantung di gagang pintu…" pikirnya, mencoba memahami situasi yang tidak masuk akal ini. Brak! Brak! Brak! Zombie-Zombie itu mulai menghantam pintu, mencoba memaksa masuk. Getaran dari hantaman mereka terasa hingga ke punggung Ara yang menahan pintu. Napasnya makin cepat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Tolong… berhenti…" bisiknya pelan, seperti doa yang tidak akan didengar. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Tekanan di balik pintu semakin besar, hingga akhirnya… Brak! Pintu itu terbuka paksa. Tubuh Ara terhempas ke lantai, terdorong oleh kekuatan gerombolan Zombie yang berhasil masuk. Dengan mata terbelalak, ia menatap ke arah gerombolan makhluk mengerikan itu yang kini memenuhi atap, langkah mereka mendekat tanpa ampun. Ara berlari dengan napas memburu hingga mencapai ujung atap sekolah. Langkah kakinya terhenti mendadak saat ia menyadari bahwa tidak ada lagi tempat untuk lari. Di depannya, hanya ada jurang menuju tanah yang dipenuhi Zombie yang bergerombol menunggunya di bawah, mulut mereka menganga seolah siap menyambut tubuhnya. Panik, Ara menoleh ke sekeliling, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Matanya tertuju pada kakinya, lalu sandal hitam yang selama ini menemaninya menarik perhatian. Dengan tekad yang tersisa, ia melepaskan sandal dari kakinya dan melemparkannya dengan keras ke arah Zombie terdekat. Sandal itu menghantam kepala salah satu Zombie, membuat makhluk itu tersentak dan mundur sedikit. "Setidaknya berguna juga," gumam Ara dengan sarkasme, meski hatinya berdebar kencang. Kemudian, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di atap—sebatang pipa plastik panjang. Ia segera meraih pipa itu dengan tangan gemetar, menggenggamnya erat-erat seperti senjata terakhir di dunia yang sudah hancur ini. Dengan langkah mundur yang mantap, Ara mengayunkan pipa itu ke arah Zombie pertama yang mendekat. “Hyaaa!” teriaknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Pipa itu mengenai kepala Zombie dengan keras, membuat makhluk itu terhuyung ke belakang. Semakin banyak Zombie yang mendekat, semakin liar gerakannya. Ara memutar pipa itu seperti tongkat baseball, mengayunkannya dengan kecepatan yang mencengangkan. Suara pukulan terdengar berulang kali, menandai perjuangan gadis itu melawan gerombolan tanpa henti. “Kalian pikir aku akan menyerah semudah itu?! Tidak semudah itu, dasar makhluk menjijikkan!” serunya, penuh amarah yang bercampur ketakutan. Gerakannya yang spontan namun lincah membuatnya tampak seperti seorang ahli pedang yang sedang bertarung di medan perang, menghabisi musuh satu per satu. Setiap ayunan pipa itu adalah perlawanan terakhir dari seorang gadis yang menolak menyerah pada nasib. Namun, meskipun ia bertahan, jumlah Zombie yang terus bertambah mulai membuat napasnya terengah-engah. Ara tahu, waktunya tidak banyak. Sementara itu, gerombolan Zombie terus merangsek maju, semakin mendekat ke arah Ara. Desakan demi desakan membuat gadis itu perlahan mundur, langkah kakinya terhenti setiap beberapa detik untuk mengayunkan pipa yang ia genggam. Napasnya semakin berat, dan rasa panik kian mencengkeram hatinya. Namun, tanpa ia sadari, langkahnya membawa dirinya semakin dekat ke tepi atap. “Kyaaaaa!” Teriakan Ara menggema di udara saat ia kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terjatuh dari tepi atap. Seketika, dunia seolah melambat. Tubuhnya tertarik gravitasi, meluncur bebas menuju tanah. Angin siang menerpa tubuhnya dengan kencang, membuat rambut panjangnya berkibar liar di udara. Matanya terpejam rapat, dan seluruh hidupnya seakan berputar dalam benaknya. “Apa ini akhirnya? Ini… akhir hidupku?” pikir Ara dengan perasaan bercampur aduk. Hatinya dipenuhi penyesalan, ketakutan, dan kepasrahan. Jatuh dari ketinggian bukanlah sesuatu yang pernah ia bayangkan akan menjadi akhir dari segalanya. Ia ingin menangis, tapi air matanya terasa terjebak di sudut mata, tertahan oleh rasa syok yang membekukan tubuhnya. Sementara itu, suara geraman Zombie dari atas terasa semakin jauh, digantikan oleh desiran angin yang seolah menjadi lantunan lagu perpisahan bagi dirinya. Dalam detik-detik yang terasa seperti selamanya, Ara hanya bisa menunggu—menunggu akhir yang tak terhindarkan. --- Suara-suara menggelegar menggema di telinga Ara, membangunkannya dari kegelapan yang mencekam. Tubuhnya terasa berat, seperti ditarik dari kedalaman mimpi buruk. "Sayang... Sayang... Apa kau bisa mendengarku?" Suara itu berat namun hangat, menyentuh kesadarannya yang setengah terbuka. Ara mengerjap perlahan, bulu matanya yang lentik bergerak pelan, membuka jalan bagi pandangan yang masih kabur. Pupil matanya yang hitam pekat memantulkan cahaya samar di sekitarnya, seperti kaca yang memantulkan bayangan malam. Di hadapannya, sesosok pria dengan tubuh besar tengah berjongkok, menatapnya penuh kekhawatiran. Senyumnya mengembang saat melihat mata Ara akhirnya terbuka. "Syukurlah... Istri kecilku baik-baik saja," ucapnya lembut, suaranya seperti gemuruh yang menenangkan badai. Mata Ara membulat, rasa tidak percaya menyelubungi wajahnya. Tubuhnya gemetar pelan, ia berusaha memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. "Rambut silver pendek, mata merah seperti darah segar, rahang tegas dan tajam, pipi tirus, tubuh kekar dan sixpack... ini..." Ara menahan napas, dadanya berdebar hebat. Ia bahkan tidak mampu menyelesaikan kalimatnya saat melihat pria yang sama persis dengan karakter game favoritnya. Ketika realitas akhirnya menghantamnya dengan keras, Ara memekik panik. "Kyaaa... Aezar!"Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng
"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
Di sebuah jalanan yang penuh sesak dengan makhluk hijau pucat, tubuh mereka berlumuran darah segar yang mengering di setiap inci kulitnya. Para Zombie menggeram ganas, memadati jalanan seperti gelombang maut yang tak terelakkan. Di tengah kekacauan itu, berdiri sepasang manusia—pria tampan, gagah dengan rambut pendek berwarna silver berponi yang tertiup angin, dan seorang wanita cantik, imut, nan anggun dengan rambut panjang tergerai bak sutra, melawan badai kehancuran. Mereka saling membelakangi, punggung mereka bersatu menjadi perisai dalam pertempuran hidup dan mati. Tangan mereka mantap, penuh fokus, membidik para Zombie yang semakin mendekat. Dor! Dor! Dor! Dentuman tembakan membelah udara, bergema di tengah hiruk-pikuk jeritan dan geraman. Satu per satu Zombie tumbang dengan akurasi yang mengerikan, namun kekacauan ini belum berakhir. Hingga... "Aaaahhh!" Jeritan melengking itu memecah konsentrasi. Wanita itu tersentak, menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa.
Ara, yang tidak ingin menjadi bagian dari "perkumpulan Zombie penggigit leher manusia," langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Kakinya bergerak cepat, sementara napasnya memburu. Angin dingin yang menusuk seolah tidak cukup untuk meredakan ketegangan di tubuhnya.Di belakang, Zombie itu tidak tinggal diam. Dengan langkah pincang tapi penuh kekuatan, ia mengejar sambil terus mengeluarkan suara mengerikan, "Rrraww! Rrraww! Rrraaaaww!" Suara itu menggema, membuat setiap helai rambut di tubuh Ara berdiri.Setelah berlari tanpa henti, Ara akhirnya sampai di depan rumahnya. Dengan gerakan tergesa, ia membuka pintu dan masuk. Begitu tubuhnya melewati ambang pintu, ia langsung menguncinya rapat."Huft... Aku selamat," gumam Ara pelan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya yang lelah perlahan merosot hingga ia terduduk di lantai. Kakinya terasa lemah, seperti tak mampu menahan tubuhnya lebih lama.Namun, ketenangan itu hanya bertahan
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng
Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya. Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah
Ara, yang tidak ingin menjadi bagian dari "perkumpulan Zombie penggigit leher manusia," langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Kakinya bergerak cepat, sementara napasnya memburu. Angin dingin yang menusuk seolah tidak cukup untuk meredakan ketegangan di tubuhnya.Di belakang, Zombie itu tidak tinggal diam. Dengan langkah pincang tapi penuh kekuatan, ia mengejar sambil terus mengeluarkan suara mengerikan, "Rrraww! Rrraww! Rrraaaaww!" Suara itu menggema, membuat setiap helai rambut di tubuh Ara berdiri.Setelah berlari tanpa henti, Ara akhirnya sampai di depan rumahnya. Dengan gerakan tergesa, ia membuka pintu dan masuk. Begitu tubuhnya melewati ambang pintu, ia langsung menguncinya rapat."Huft... Aku selamat," gumam Ara pelan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya yang lelah perlahan merosot hingga ia terduduk di lantai. Kakinya terasa lemah, seperti tak mampu menahan tubuhnya lebih lama.Namun, ketenangan itu hanya bertahan
Di sebuah jalanan yang penuh sesak dengan makhluk hijau pucat, tubuh mereka berlumuran darah segar yang mengering di setiap inci kulitnya. Para Zombie menggeram ganas, memadati jalanan seperti gelombang maut yang tak terelakkan. Di tengah kekacauan itu, berdiri sepasang manusia—pria tampan, gagah dengan rambut pendek berwarna silver berponi yang tertiup angin, dan seorang wanita cantik, imut, nan anggun dengan rambut panjang tergerai bak sutra, melawan badai kehancuran. Mereka saling membelakangi, punggung mereka bersatu menjadi perisai dalam pertempuran hidup dan mati. Tangan mereka mantap, penuh fokus, membidik para Zombie yang semakin mendekat. Dor! Dor! Dor! Dentuman tembakan membelah udara, bergema di tengah hiruk-pikuk jeritan dan geraman. Satu per satu Zombie tumbang dengan akurasi yang mengerikan, namun kekacauan ini belum berakhir. Hingga... "Aaaahhh!" Jeritan melengking itu memecah konsentrasi. Wanita itu tersentak, menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa.