Share

Bab 3

Penulis: Sylus wife
last update Terakhir Diperbarui: 2024-12-09 18:45:53

Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya.

Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar.

Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar.

"Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran.

Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar.

Setelah memastikan semuanya tertutup, Ara terduduk lemas di salah satu meja kelas. Tangannya memegang kepalanya yang terasa berat, dan air mata mulai mengalir tanpa ia sadari.

"Ini salahku… semua ini salahku!" gumamnya lirih, suara penuh dengan rasa penyesalan. "Andai saja aku tidak pernah mengatakan hal itu..."

Air matanya semakin deras. Di luar, suara geraman dan dentuman terus terdengar, seperti dunia perlahan-lahan runtuh di sekitarnya. Ara merasa terjebak dalam mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri.

Prang!

Suara kaca pecah memenuhi ruangan, memecahkan kesunyian yang tersisa. Zombie-Zombie itu menghancurkan jendela dengan cara membenturkan kepala mereka ke kaca, menciptakan pemandangan yang semakin mencekam.

Ara, yang sempat terduduk lemas, kini bangkit dengan cepat. Panik, ia meraih sebuah kursi yang terdekat dan melemparkannya ke arah Zombie yang mulai merangsek masuk. Kursi itu menghantam salah satu dari mereka, membuatnya terjatuh. Tapi jumlah mereka terlalu banyak—Ara tahu ini bukan tempat yang aman lagi.

"Aku harus pergi!" pikirnya dengan napas yang memburu.

Ara berlari keluar dari kelas, melesat melewati koridor yang kini terasa seperti labirin tanpa akhir. Kakinya melangkah naik, menaiki tangga satu per satu, sementara suara geraman dan langkah-langkah berat Zombie terus membuntutinya.

Saat tiba di depan pintu menuju atap sekolah, Ara tanpa ragu membukanya. Ia melangkah keluar ke udara siang yang sejuk, lalu segera mengunci pintu dari luar. Dengan tubuh yang gemetar, ia bersandar pada pintu, menahannya sekuat tenaga.

Pandangan Ara menyapu atap sekolah yang luas. Tak ada tempat untuk bersembunyi, hanya langit cerah dan angin yang sejuk menerpa kulitnya. Hatinya dipenuhi kebingungan dan ketakutan.

"Kenapa sekolah ini begitu sepi, tapi pintu-pintu dan pagar tidak terkunci? Bahkan kuncinya masih tergantung di gagang pintu…" pikirnya, mencoba memahami situasi yang tidak masuk akal ini.

Brak!

Brak! Brak!

Zombie-Zombie itu mulai menghantam pintu, mencoba memaksa masuk. Getaran dari hantaman mereka terasa hingga ke punggung Ara yang menahan pintu. Napasnya makin cepat, keringat dingin mengalir di pelipisnya.

"Tolong… berhenti…" bisiknya pelan, seperti doa yang tidak akan didengar.

Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Tekanan di balik pintu semakin besar, hingga akhirnya…

Brak!

Pintu itu terbuka paksa. Tubuh Ara terhempas ke lantai, terdorong oleh kekuatan gerombolan Zombie yang berhasil masuk. Dengan mata terbelalak, ia menatap ke arah gerombolan makhluk mengerikan itu yang kini memenuhi atap, langkah mereka mendekat tanpa ampun.

Ara berlari dengan napas memburu hingga mencapai ujung atap sekolah. Langkah kakinya terhenti mendadak saat ia menyadari bahwa tidak ada lagi tempat untuk lari. Di depannya, hanya ada jurang menuju tanah yang dipenuhi Zombie yang bergerombol menunggunya di bawah, mulut mereka menganga seolah siap menyambut tubuhnya.

Panik, Ara menoleh ke sekeliling, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Matanya tertuju pada kakinya, lalu sandal hitam yang selama ini menemaninya menarik perhatian.

Dengan tekad yang tersisa, ia melepaskan sandal dari kakinya dan melemparkannya dengan keras ke arah Zombie terdekat. Sandal itu menghantam kepala salah satu Zombie, membuat makhluk itu tersentak dan mundur sedikit.

"Setidaknya berguna juga," gumam Ara dengan sarkasme, meski hatinya berdebar kencang.

Kemudian, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di atap—sebatang pipa plastik panjang. Ia segera meraih pipa itu dengan tangan gemetar, menggenggamnya erat-erat seperti senjata terakhir di dunia yang sudah hancur ini.

Dengan langkah mundur yang mantap, Ara mengayunkan pipa itu ke arah Zombie pertama yang mendekat. “Hyaaa!” teriaknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Pipa itu mengenai kepala Zombie dengan keras, membuat makhluk itu terhuyung ke belakang.

Semakin banyak Zombie yang mendekat, semakin liar gerakannya. Ara memutar pipa itu seperti tongkat baseball, mengayunkannya dengan kecepatan yang mencengangkan. Suara pukulan terdengar berulang kali, menandai perjuangan gadis itu melawan gerombolan tanpa henti.

“Kalian pikir aku akan menyerah semudah itu?! Tidak semudah itu, dasar makhluk menjijikkan!” serunya, penuh amarah yang bercampur ketakutan.

Gerakannya yang spontan namun lincah membuatnya tampak seperti seorang ahli pedang yang sedang bertarung di medan perang, menghabisi musuh satu per satu. Setiap ayunan pipa itu adalah perlawanan terakhir dari seorang gadis yang menolak menyerah pada nasib.

Namun, meskipun ia bertahan, jumlah Zombie yang terus bertambah mulai membuat napasnya terengah-engah. Ara tahu, waktunya tidak banyak.

Sementara itu, gerombolan Zombie terus merangsek maju, semakin mendekat ke arah Ara. Desakan demi desakan membuat gadis itu perlahan mundur, langkah kakinya terhenti setiap beberapa detik untuk mengayunkan pipa yang ia genggam. Napasnya semakin berat, dan rasa panik kian mencengkeram hatinya.

Namun, tanpa ia sadari, langkahnya membawa dirinya semakin dekat ke tepi atap.

“Kyaaaaa!”

Teriakan Ara menggema di udara saat ia kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terjatuh dari tepi atap. Seketika, dunia seolah melambat.

Tubuhnya tertarik gravitasi, meluncur bebas menuju tanah. Angin siang menerpa tubuhnya dengan kencang, membuat rambut panjangnya berkibar liar di udara. Matanya terpejam rapat, dan seluruh hidupnya seakan berputar dalam benaknya.

“Apa ini akhirnya? Ini… akhir hidupku?” pikir Ara dengan perasaan bercampur aduk.

Hatinya dipenuhi penyesalan, ketakutan, dan kepasrahan. Jatuh dari ketinggian bukanlah sesuatu yang pernah ia bayangkan akan menjadi akhir dari segalanya. Ia ingin menangis, tapi air matanya terasa terjebak di sudut mata, tertahan oleh rasa syok yang membekukan tubuhnya.

Sementara itu, suara geraman Zombie dari atas terasa semakin jauh, digantikan oleh desiran angin yang seolah menjadi lantunan lagu perpisahan bagi dirinya.

Dalam detik-detik yang terasa seperti selamanya, Ara hanya bisa menunggu—menunggu akhir yang tak terhindarkan.

---

Suara-suara menggelegar menggema di telinga Ara, membangunkannya dari kegelapan yang mencekam. Tubuhnya terasa berat, seperti ditarik dari kedalaman mimpi buruk.

"Sayang... Sayang... Apa kau bisa mendengarku?"

Suara itu berat namun hangat, menyentuh kesadarannya yang setengah terbuka. Ara mengerjap perlahan, bulu matanya yang lentik bergerak pelan, membuka jalan bagi pandangan yang masih kabur. Pupil matanya yang hitam pekat memantulkan cahaya samar di sekitarnya, seperti kaca yang memantulkan bayangan malam.

Di hadapannya, sesosok pria dengan tubuh besar tengah berjongkok, menatapnya penuh kekhawatiran. Senyumnya mengembang saat melihat mata Ara akhirnya terbuka.

"Syukurlah... Istri kecilku baik-baik saja," ucapnya lembut, suaranya seperti gemuruh yang menenangkan badai.

Mata Ara membulat, rasa tidak percaya menyelubungi wajahnya. Tubuhnya gemetar pelan, ia berusaha memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi.

"Rambut silver pendek, mata merah seperti darah segar, rahang tegas dan tajam, pipi tirus, tubuh kekar dan sixpack... ini..." Ara menahan napas, dadanya berdebar hebat. Ia bahkan tidak mampu menyelesaikan kalimatnya saat melihat pria yang sama persis dengan karakter game favoritnya.

Ketika realitas akhirnya menghantamnya dengan keras, Ara memekik panik. "Kyaaa... Aezar!"

Komen (1)
goodnovel comment avatar
Zoya Dmitrovka
nah, ketemu tuh sama si tampan hahahaha
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

  • Suamiku Karakter Game    Bab 4

    Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suamiku Karakter Game    Bab 5

    "Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-10
  • Suamiku Karakter Game    Bab 6

    Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Suamiku Karakter Game    Bab 7

    Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-12
  • Suamiku Karakter Game    Bab 8

    "Aezar! Itu barbel, bukan tombak!" teriak Ara dengan suara lantang dari atas balkon. Ia berdiri dengan tegak sambil memegang erat teropong jarak jauh di tangannya, ekspresinya penuh kekesalan bercampur cemas. "Apa dia pikir barbel itu ringan?!" gumam Ara sambil terus mengawasi gerak-gerik Aezar. Ia memicingkan mata, mencoba menilai situasi. Sambil terus memantau, Ara mulai berbicara pada dirinya sendiri, seperti seseorang yang tengah mencoba mencari logika di tengah kekacauan. "Barbel itu... Hmm, kelihatannya sekitar dua puluh kilogram. Yah, mungkin bagi dia itu tidak berat. Aku saja kuat mengangkat dua tabung gas tiga kilogram sekaligus!" Ia mengangguk-angguk, merasa teori konspirasi kecilnya masuk akal. Namun, perhatian Ara segera teralihkan. Ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut melalui teropong. "Eh, tunggu! Itu kan..." Tanpa membuang waktu, Ara meletakkan teropongnya di samping, mengambil senapan, dan kembali ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Suamiku Karakter Game    Bab 9

    "Tidak kelihatan!" keluh Ara, duduk santai di atas balkon sambil memegangi teropong jarak jauh di tangannya. Matanya terus mengamati keadaan di sekitar minimarket. "Apakah di dalam minimarket juga ada zombie?" gumamnya pelan, seraya mencoba memperjelas penglihatannya melalui teropong. Namun, pikirannya terganggu ketika ia melihat pergerakan dari arah kejauhan. "Hmph! Para pengganggu datang lagi!" keluh Ara kesal. Dengan cepat, dia turun dari kursinya, menaruh teropong jarak jauh di atas kursi yang tadi ia duduki. Ara kemudian tengkurap di lantai balkon, memegang senapan kesayangannya. Dalam posisi siaga, dia memosisikan tubuh seperti sniper profesional. Napasnya mulai diatur, jari telunjuknya bersiap menarik pelatuk. Namun... Ceklik! Ceklik! Ceklik! "Hee?! Kenapa tidak ada bunyi dor, dor, dor lagi?" tanyanya bingung. Raut wajahnya berubah panik, Ara langsung membuka tempat penyim

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-13
  • Suamiku Karakter Game    Bab 10

    "E-eh?" Ara mengerutkan kening, kebingungan. Air yang seharusnya mengalir deras dari selang tidak kunjung keluar, meskipun ia sudah menarik kerannya dengan sekuat tenaga. Sementara itu, Aezar berdiri tak jauh darinya, tertawa terbahak-bahak. Suaranya memenuhi udara, dan tubuhnya sampai terguncang karena terlalu keras tertawa. Ia memegangi perutnya, wajahnya penuh dengan kepuasan. "Hahahaha! Kau benar-benar lucu! Bahkan jebakan sederhana pun bisa membuatmu terjebak!" ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Ara memutar pandangannya ke arah Aezar, matanya mulai menyipit penuh kecurigaan. "Jangan bilang... semua ini bagian dari rencanamu?" Ia membanting selang yang digenggamnya ke tanah, tatapannya berubah tajam, dan pipinya mulai memerah karena marah. "Mohon maaf, tapi aku sudah memperhitungkan semuanya. Dari caramu mengambil selang sampai menarik keran. Dan ternyata, semua perhitunganku benar! Hahaha! Ka

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14
  • Suamiku Karakter Game    Bab 11

    Ara menatap punggung tangannya, yang masih dibalut rapi dengan perban putih. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—sesuatu yang tidak bisa dia abaikan begitu saja. Tapi lamunannya terhenti ketika suara langkah kaki mendekat. Aezar muncul dari dapur, membawa semangkuk makanan dan secangkir kopi hangat. Dia meletakkan semuanya di atas meja dengan hati-hati, kemudian menatap Ara yang masih tenggelam dalam pikirannya. "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan nada lembut, meski sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Ara tersentak ringan, lalu dengan cepat menarik punggung tangannya ke pangkuan, menyembunyikannya di antara kedua pahanya. Dia tersenyum kecil, berusaha terlihat tenang. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Namun, di balik senyuman itu, pikirannya tetap tidak tenang. Ketertarikannya pada luka di tangannya semakin besar, seperti teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Aezar menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sesaat, mereka berdua hanya diam. Tapi akhirnya, Ara memutu

    Terakhir Diperbarui : 2024-12-14

Bab terbaru

  • Suamiku Karakter Game    Bab 59

    Dharma menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Matanya memandang lembut ke arah Ara yang duduk di hadapannya, bahunya yang mungil terlihat bergetar halus karena tangis yang tertahan. Ia mendekatkan diri, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan nada yang pelan tapi penuh ketegasan, ia berkata, "Ara, kau tidak perlu membohongi Papa. Papa tahu, kau tidak mungkin mempertaruhkan nyawamu untuk seseorang yang hanya kau anggap sebagai sekadar tumpuan. Jika kau sampai sejauh itu, berarti kau benar-benar peduli. Papa bisa melihatnya."Ara terdiam, seolah kata-kata ayahnya itu menghantam benteng yang selama ini ia bangun. Pandangannya jatuh ke lantai, matanya berusaha menghindari tatapan Dharma. Namun, tak mampu lagi menahan semua yang mengganjal, air matanya mulai mengalir deras. Butiran-butiran hangat itu jatuh tanpa henti, seperti banjir yang tak terbendung. Dengan suara yang bergetar, ia b

  • Suamiku Karakter Game    Bab 58

    Malam semakin larut, hanya suara angin yang berdesir lembut di luar jendela. Ara tertidur di pelukan Dharma, wajahnya basah oleh air mata yang mengering, tampak begitu rapuh seperti seorang anak kecil yang kembali ke pelukan ayahnya untuk berlindung dari dunia yang keras. Dharma memandangi wajah putrinya dengan perasaan yang bercampur aduk—kasih sayang, penyesalan, dan tekad yang semakin menguat.Dengan hati-hati, Dharma meletakkan Ara di sofa. Ia merapikan posisi tidur putrinya agar lebih nyaman, lalu menyelimuti tubuhnya yang mungil. Tangannya terulur, mengusap lembut rambut Ara, merasakan kehalusan setiap helaian rambutnya. Sebuah senyum tipis yang penuh kepedihan muncul di wajahnya. "Ara... Papa tahu kau kuat. Tapi di balik kekuatan itu, kau tetap putri kecil Papa yang butuh perlindungan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu."Dharma menghela napas panjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Suaranya keluar seperti bisikan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. "Sebenarn

  • Suamiku Karakter Game    Bab 57

    Malam semakin larut, dan kesunyian di ruang tamu terasa begitu mencekam. Ara duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan meremas ujung bajunya. Matanya yang sembab dan memerah akibat terlalu banyak menangis kini hanya menatap kosong ke lantai. Di kepalanya, kata-kata Dharma terus terulang, seperti gema yang menghantam dinding pikirannya tanpa henti."Papa benar... Apa yang papa katakan adalah benar..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, mencoba menyangkal perasaan yang terus mencabik hatinya. "Sangat mencurigakan pria sesempurna dirinya memberikan semua perhatian itu padaku. Mana mungkin ada pria seperti itu? Tidak ada pria yang lebih tulus dari Papa! Bahkan di luar sana, banyak ayah yang meninggalkan istri dan anak-anaknya demi wanita lain. Apa yang aku harapkan dari pria seperti Aezar?"Ara menunduk semakin dalam, mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Logika dan emosinya terus bertarung, saling beradu tanpa ada yang mau men

  • Suamiku Karakter Game    Bab 56

    Ruangan terasa dingin dan sunyi setelah kepergian Aezar, tetapi ketegangan yang tersisa membakar seperti api yang tak terlihat. Ara berdiri mematung, wajahnya dipenuhi air mata yang tak berhenti mengalir. Namun, bukan hanya kesedihan yang terpancar dari matanya—melainkan amarah yang mendidih. Ia menatap ayahnya dengan tajam, suaranya penuh getaran emosi. "Papa... Papa jahat! Papa sudah mengusir Daddy!"Dharma menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ara," katanya, suaranya berat dan penuh penekanan. "Papa melakukan ini demi kebaikanmu, demi keamananmu. Kau harus memahami itu. Lihat luka di lenganmu—""Itu bukan Daddy yang salah!" Ara memotong dengan suara yang bergetar, tetapi tegas. "Aku sendiri yang memaksanya meminum darahku! Daddy tidak mau, tapi aku memaksa karena dia tidak bisa meminum darah zombie. Apa salahnya, Pa? Mendonorkan darah kepada yang membutuhkan, apa itu salah?!"Tatapan Dharma mengeras, namun ada rasa frustrasi yang mendalam di matanya. Ia menatap putr

  • Suamiku Karakter Game    Bab 55

    Ruangan lobi yang sebelumnya hening kini dipenuhi ketegangan yang pekat. Suara Dharma yang menggelegar menggema di dinding, memecah keheningan seperti petir di malam gelap. "Pergi dari sini!" titahnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Aezar, penuh amarah dan ketidakpercayaan.Aezar tetap berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi ada sedikit rasa bersalah yang tersirat. "Maaf, Paman," ucapnya pelan namun tegas, "Saya tidak bisa melakukannya. Saya sudah berjanji pada Ara untuk melindunginya.""Pergi!" Dharma memukul meja dengan keras. Dentuman suara meja kayu yang terhantam menggema, membuat tubuh Aezar tetap tak bergeming, tetapi Ara yang tertidur di sofa tersentak. Ia membuka mata dengan bingung, wajahnya yang lelah tampak kebingungan menatap ayahnya."Papa? Ada apa ini?" tanyanya dengan suara serak, matanya berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan.Dharma segera berbalik, suaranya berubah menjadi lebih lembut tetapi masih penuh rasa khawatir. "Ara, kau baik-baik saja

  • Suamiku Karakter Game    Bab 54

    Dharma berdiri di depan wastafel, air mengalir deras dari keran, membasahi tangannya yang sibuk mencuci piring. Tapi pikirannya melayang jauh, meninggalkan kesibukan fisiknya. Tatapannya kosong menatap piring yang dipegangnya, sementara pikirannya penuh dengan satu sosok—Aezar."Anak muda itu..." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar di tengah suara gemericik air. Matanya menyipit seolah sedang menilai sesuatu yang tidak kasat mata. "Dia sangat tampan, mandiri, tegas, baik, dan ramah. Dia terlihat terlalu sempurna... tanpa celah."Ia berhenti sejenak, menaruh piring yang telah selesai dicuci ke rak. Namun, pikirannya semakin gelisah. "Sempurna... Justru itulah masalahnya."Dharma menghela napas panjang, mengambil piring lain dari tumpukan, lalu kembali mencuci. Air yang dingin mengalir di tangannya, tapi dadanya terasa panas, penuh oleh kecurigaan yang terus tumbuh. "Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua orang punya kekurangan, sisi gelap, sesuatu yang disembunyikan...," ucapny

  • Suamiku Karakter Game    Bab 53

    Dharma memandang Aezar dan Ara dengan tatapan penuh sindiran, sudut bibirnya terangkat seolah mengejek. "Dasar budak cinta!" ujarnya dengan nada tajam, menyelipkan sedikit cibiran. "Kalau kau memang kuat, buktikan. Angkat Ara kalau kau bisa!" tantangnya, nada suara penuh keraguan, jelas menunjukkan bahwa ia tidak menganggap Aezar mampu melakukannya.Aezar menatap Dharma dengan tenang, senyum tipis terlukis di wajahnya. Tanpa sepatah kata, ia mengambil nampan dari meja yang di atasnya terdapat tumpukan piring, gelas, dan mangkuk kosong. Dengan satu tangan, ia mengangkat nampan itu dengan mudah. Lalu, tanpa kehilangan keseimbangan, Aezar berjongkok di depan Ara, mengangkat tubuh gadis itu dengan lembut. Satu tangan menopang di bawah lutut Ara, sementara yang lainnya tetap memegang nampan. Ara memeluk lehernya erat, tersenyum lebar seperti anak kecil yang merasa dimanjakan.Dharma melongo, mulutnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Ap

  • Suamiku Karakter Game    Bab 52

    Ara menatap Aezar dengan tatapan haru, matanya mulai berkaca-kaca. "Daddy...," ucapnya pelan, penuh emosi.Anjani, yang meski lemah masih bisa mengikuti percakapan mereka, terkekeh pelan. "Ara sudah punya panggilan kesayangan saja," katanya lembut, senyumnya samar namun tulus."Tentu saja!" jawab Ara dengan bangga, nadanya penuh kebahagiaan yang terasa menular. "Mama saja memangil suaminya dengan sebutan papa. Aku juga mau memanggil calon suami ku dengan sebutan daddy!"Namun, Dharma mendengus, mencoba memecah suasana. "Yah ... Saat ini kau bisa mengatakan hal itu sekarang. Tapi tunggulah sampai kalian menikah. Nanti ucapanmu pasti akan berbeda. Awas saja kau selingkuh dengan wanita lain yang lebih pandai memasak atau yang lebih bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu!" ucapnya dengan nada setengah menyindir, matanya menatap tajam Aezar.Aezar menunduk, pandangannya tertuju pada Anjani dan kedua anaknya yang masih terbaring lemah di matras. M

  • Suamiku Karakter Game    Bab 51

    Dharma kembali menghampiri Ara dan Aezar setelah menyelesaikan tugasnya memberi makan istri dan kedua anaknya yang lain. Wajahnya terlihat letih, tapi masih menyimpan kelembutan seorang ayah. Ara menoleh dengan penuh harap, tersenyum kecil ketika melihat sosok ayahnya mendekat."Ara, sudah selesai makan?" Dharma bertanya lembut, menatap putri sulungnya dengan tatapan penuh perhatian."Sudah, Papa," jawab Ara ringan, senyumnya seolah mencoba menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya masih membekas.Dharma tersenyum kecil, lalu mendekat untuk membopongnya. Tubuh Ara yang masih belum sepenuhnya pulih terasa ringan di pelukannya. "Bisa berjalan, kan? Kalau tidak, Papa bantu."Ara hanya mengangguk pelan, membiarkan dirinya dibopong menaiki tangga menuju lantai dua. Sesaat kemudian, suara kecilnya memecah keheningan, "Papa, apa kita benar-benar akan bertemu Mama, Ariana, dan Aurora? Mereka sudah sembuh?"Dharma menarik napas panjang, menjeda la

DMCA.com Protection Status