Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya.
Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah memastikan semuanya tertutup, Ara terduduk lemas di salah satu meja kelas. Tangannya memegang kepalanya yang terasa berat, dan air mata mulai mengalir tanpa ia sadari. "Ini salahku… semua ini salahku!" gumamnya lirih, suara penuh dengan rasa penyesalan. "Andai saja aku tidak pernah mengatakan hal itu..." Air matanya semakin deras. Di luar, suara geraman dan dentuman terus terdengar, seperti dunia perlahan-lahan runtuh di sekitarnya. Ara merasa terjebak dalam mimpi buruk yang ia ciptakan sendiri. Prang! Suara kaca pecah memenuhi ruangan, memecahkan kesunyian yang tersisa. Zombie-Zombie itu menghancurkan jendela dengan cara membenturkan kepala mereka ke kaca, menciptakan pemandangan yang semakin mencekam. Ara, yang sempat terduduk lemas, kini bangkit dengan cepat. Panik, ia meraih sebuah kursi yang terdekat dan melemparkannya ke arah Zombie yang mulai merangsek masuk. Kursi itu menghantam salah satu dari mereka, membuatnya terjatuh. Tapi jumlah mereka terlalu banyak—Ara tahu ini bukan tempat yang aman lagi. "Aku harus pergi!" pikirnya dengan napas yang memburu. Ara berlari keluar dari kelas, melesat melewati koridor yang kini terasa seperti labirin tanpa akhir. Kakinya melangkah naik, menaiki tangga satu per satu, sementara suara geraman dan langkah-langkah berat Zombie terus membuntutinya. Saat tiba di depan pintu menuju atap sekolah, Ara tanpa ragu membukanya. Ia melangkah keluar ke udara siang yang sejuk, lalu segera mengunci pintu dari luar. Dengan tubuh yang gemetar, ia bersandar pada pintu, menahannya sekuat tenaga. Pandangan Ara menyapu atap sekolah yang luas. Tak ada tempat untuk bersembunyi, hanya langit cerah dan angin yang sejuk menerpa kulitnya. Hatinya dipenuhi kebingungan dan ketakutan. "Kenapa sekolah ini begitu sepi, tapi pintu-pintu dan pagar tidak terkunci? Bahkan kuncinya masih tergantung di gagang pintu…" pikirnya, mencoba memahami situasi yang tidak masuk akal ini. Brak! Brak! Brak! Zombie-Zombie itu mulai menghantam pintu, mencoba memaksa masuk. Getaran dari hantaman mereka terasa hingga ke punggung Ara yang menahan pintu. Napasnya makin cepat, keringat dingin mengalir di pelipisnya. "Tolong… berhenti…" bisiknya pelan, seperti doa yang tidak akan didengar. Tapi jumlah mereka terlalu banyak. Tekanan di balik pintu semakin besar, hingga akhirnya… Brak! Pintu itu terbuka paksa. Tubuh Ara terhempas ke lantai, terdorong oleh kekuatan gerombolan Zombie yang berhasil masuk. Dengan mata terbelalak, ia menatap ke arah gerombolan makhluk mengerikan itu yang kini memenuhi atap, langkah mereka mendekat tanpa ampun. Ara berlari dengan napas memburu hingga mencapai ujung atap sekolah. Langkah kakinya terhenti mendadak saat ia menyadari bahwa tidak ada lagi tempat untuk lari. Di depannya, hanya ada jurang menuju tanah yang dipenuhi Zombie yang bergerombol menunggunya di bawah, mulut mereka menganga seolah siap menyambut tubuhnya. Panik, Ara menoleh ke sekeliling, mencari sesuatu—apa saja—yang bisa digunakan untuk bertahan hidup. Matanya tertuju pada kakinya, lalu sandal hitam yang selama ini menemaninya menarik perhatian. Dengan tekad yang tersisa, ia melepaskan sandal dari kakinya dan melemparkannya dengan keras ke arah Zombie terdekat. Sandal itu menghantam kepala salah satu Zombie, membuat makhluk itu tersentak dan mundur sedikit. "Setidaknya berguna juga," gumam Ara dengan sarkasme, meski hatinya berdebar kencang. Kemudian, matanya menangkap sesuatu yang tergeletak di atap—sebatang pipa plastik panjang. Ia segera meraih pipa itu dengan tangan gemetar, menggenggamnya erat-erat seperti senjata terakhir di dunia yang sudah hancur ini. Dengan langkah mundur yang mantap, Ara mengayunkan pipa itu ke arah Zombie pertama yang mendekat. “Hyaaa!” teriaknya sambil mengerahkan seluruh tenaganya. Pipa itu mengenai kepala Zombie dengan keras, membuat makhluk itu terhuyung ke belakang. Semakin banyak Zombie yang mendekat, semakin liar gerakannya. Ara memutar pipa itu seperti tongkat baseball, mengayunkannya dengan kecepatan yang mencengangkan. Suara pukulan terdengar berulang kali, menandai perjuangan gadis itu melawan gerombolan tanpa henti. “Kalian pikir aku akan menyerah semudah itu?! Tidak semudah itu, dasar makhluk menjijikkan!” serunya, penuh amarah yang bercampur ketakutan. Gerakannya yang spontan namun lincah membuatnya tampak seperti seorang ahli pedang yang sedang bertarung di medan perang, menghabisi musuh satu per satu. Setiap ayunan pipa itu adalah perlawanan terakhir dari seorang gadis yang menolak menyerah pada nasib. Namun, meskipun ia bertahan, jumlah Zombie yang terus bertambah mulai membuat napasnya terengah-engah. Ara tahu, waktunya tidak banyak. Sementara itu, gerombolan Zombie terus merangsek maju, semakin mendekat ke arah Ara. Desakan demi desakan membuat gadis itu perlahan mundur, langkah kakinya terhenti setiap beberapa detik untuk mengayunkan pipa yang ia genggam. Napasnya semakin berat, dan rasa panik kian mencengkeram hatinya. Namun, tanpa ia sadari, langkahnya membawa dirinya semakin dekat ke tepi atap. “Kyaaaaa!” Teriakan Ara menggema di udara saat ia kehilangan keseimbangan dan tubuhnya terjatuh dari tepi atap. Seketika, dunia seolah melambat. Tubuhnya tertarik gravitasi, meluncur bebas menuju tanah. Angin siang menerpa tubuhnya dengan kencang, membuat rambut panjangnya berkibar liar di udara. Matanya terpejam rapat, dan seluruh hidupnya seakan berputar dalam benaknya. “Apa ini akhirnya? Ini… akhir hidupku?” pikir Ara dengan perasaan bercampur aduk. Hatinya dipenuhi penyesalan, ketakutan, dan kepasrahan. Jatuh dari ketinggian bukanlah sesuatu yang pernah ia bayangkan akan menjadi akhir dari segalanya. Ia ingin menangis, tapi air matanya terasa terjebak di sudut mata, tertahan oleh rasa syok yang membekukan tubuhnya. Sementara itu, suara geraman Zombie dari atas terasa semakin jauh, digantikan oleh desiran angin yang seolah menjadi lantunan lagu perpisahan bagi dirinya. Dalam detik-detik yang terasa seperti selamanya, Ara hanya bisa menunggu—menunggu akhir yang tak terhindarkan. --- Suara-suara menggelegar menggema di telinga Ara, membangunkannya dari kegelapan yang mencekam. Tubuhnya terasa berat, seperti ditarik dari kedalaman mimpi buruk. "Sayang... Sayang... Apa kau bisa mendengarku?" Suara itu berat namun hangat, menyentuh kesadarannya yang setengah terbuka. Ara mengerjap perlahan, bulu matanya yang lentik bergerak pelan, membuka jalan bagi pandangan yang masih kabur. Pupil matanya yang hitam pekat memantulkan cahaya samar di sekitarnya, seperti kaca yang memantulkan bayangan malam. Di hadapannya, sesosok pria dengan tubuh besar tengah berjongkok, menatapnya penuh kekhawatiran. Senyumnya mengembang saat melihat mata Ara akhirnya terbuka. "Syukurlah... Istri kecilku baik-baik saja," ucapnya lembut, suaranya seperti gemuruh yang menenangkan badai. Mata Ara membulat, rasa tidak percaya menyelubungi wajahnya. Tubuhnya gemetar pelan, ia berusaha memastikan apa yang dilihatnya bukan sekadar ilusi. "Rambut silver pendek, mata merah seperti darah segar, rahang tegas dan tajam, pipi tirus, tubuh kekar dan sixpack... ini..." Ara menahan napas, dadanya berdebar hebat. Ia bahkan tidak mampu menyelesaikan kalimatnya saat melihat pria yang sama persis dengan karakter game favoritnya. Ketika realitas akhirnya menghantamnya dengan keras, Ara memekik panik. "Kyaaa... Aezar!"Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng
"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
"Aezar! Itu barbel, bukan tombak!" teriak Ara dengan suara lantang dari atas balkon. Ia berdiri dengan tegak sambil memegang erat teropong jarak jauh di tangannya, ekspresinya penuh kekesalan bercampur cemas. "Apa dia pikir barbel itu ringan?!" gumam Ara sambil terus mengawasi gerak-gerik Aezar. Ia memicingkan mata, mencoba menilai situasi. Sambil terus memantau, Ara mulai berbicara pada dirinya sendiri, seperti seseorang yang tengah mencoba mencari logika di tengah kekacauan. "Barbel itu... Hmm, kelihatannya sekitar dua puluh kilogram. Yah, mungkin bagi dia itu tidak berat. Aku saja kuat mengangkat dua tabung gas tiga kilogram sekaligus!" Ia mengangguk-angguk, merasa teori konspirasi kecilnya masuk akal. Namun, perhatian Ara segera teralihkan. Ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut melalui teropong. "Eh, tunggu! Itu kan..." Tanpa membuang waktu, Ara meletakkan teropongnya di samping, mengambil senapan, dan kembali ke
"Tidak kelihatan!" keluh Ara, duduk santai di atas balkon sambil memegangi teropong jarak jauh di tangannya. Matanya terus mengamati keadaan di sekitar minimarket. "Apakah di dalam minimarket juga ada zombie?" gumamnya pelan, seraya mencoba memperjelas penglihatannya melalui teropong. Namun, pikirannya terganggu ketika ia melihat pergerakan dari arah kejauhan. "Hmph! Para pengganggu datang lagi!" keluh Ara kesal. Dengan cepat, dia turun dari kursinya, menaruh teropong jarak jauh di atas kursi yang tadi ia duduki. Ara kemudian tengkurap di lantai balkon, memegang senapan kesayangannya. Dalam posisi siaga, dia memosisikan tubuh seperti sniper profesional. Napasnya mulai diatur, jari telunjuknya bersiap menarik pelatuk. Namun... Ceklik! Ceklik! Ceklik! "Hee?! Kenapa tidak ada bunyi dor, dor, dor lagi?" tanyanya bingung. Raut wajahnya berubah panik, Ara langsung membuka tempat penyim
"E-eh?" Ara mengerutkan kening, kebingungan. Air yang seharusnya mengalir deras dari selang tidak kunjung keluar, meskipun ia sudah menarik kerannya dengan sekuat tenaga. Sementara itu, Aezar berdiri tak jauh darinya, tertawa terbahak-bahak. Suaranya memenuhi udara, dan tubuhnya sampai terguncang karena terlalu keras tertawa. Ia memegangi perutnya, wajahnya penuh dengan kepuasan. "Hahahaha! Kau benar-benar lucu! Bahkan jebakan sederhana pun bisa membuatmu terjebak!" ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Ara memutar pandangannya ke arah Aezar, matanya mulai menyipit penuh kecurigaan. "Jangan bilang... semua ini bagian dari rencanamu?" Ia membanting selang yang digenggamnya ke tanah, tatapannya berubah tajam, dan pipinya mulai memerah karena marah. "Mohon maaf, tapi aku sudah memperhitungkan semuanya. Dari caramu mengambil selang sampai menarik keran. Dan ternyata, semua perhitunganku benar! Hahaha! Ka
Ara menatap punggung tangannya, yang masih dibalut rapi dengan perban putih. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—sesuatu yang tidak bisa dia abaikan begitu saja. Tapi lamunannya terhenti ketika suara langkah kaki mendekat. Aezar muncul dari dapur, membawa semangkuk makanan dan secangkir kopi hangat. Dia meletakkan semuanya di atas meja dengan hati-hati, kemudian menatap Ara yang masih tenggelam dalam pikirannya. "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan nada lembut, meski sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Ara tersentak ringan, lalu dengan cepat menarik punggung tangannya ke pangkuan, menyembunyikannya di antara kedua pahanya. Dia tersenyum kecil, berusaha terlihat tenang. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Namun, di balik senyuman itu, pikirannya tetap tidak tenang. Ketertarikannya pada luka di tangannya semakin besar, seperti teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Aezar menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sesaat, mereka berdua hanya diam. Tapi akhirnya, Ara memutu
Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe
"Werewolf?"Mata Ara membulat seketika, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Aezar mengangguk tegas, ekspresinya serius. "Benar. Darius adalah werewolf."Ara menunduk, tangannya menopang dagu, mencoba mencerna semua informasi yang telah ia terima. "Jadi... kau adalah vampir, Aether adalah alien, Kaelen adalah merman, dan Darius adalah werewolf."Ia mengangkat kepalanya dan menatap Aezar tajam. "Lalu bagaimana dengan Eryas?"Aezar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada lebih tenang. "Eryas… dia manusia. Sama sepertimu."Ara menghela napas panjang sebelum akhirnya membanting tubuhnya ke kasur dengan kesal. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar tanpa kendali. "Apa-apaan ini? Aku kira makhluk seperti kalian hanya ada di cerita fantasi!"Aezar terkekeh pelan sebelum menjawab. "Tapi nyatanya kami memang ada. Hanya saja, kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat mencolok dan berbaur semirip mungkin dengan manusia."Ara mengernyit. "Kenap
"Suami?"Ara menatap Aezar dengan ekspresi kesal, kedua alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"Aezar semakin menunduk, merasa salah tingkah. Jemarinya dengan canggung menggaruk kepalanya sendiri yang jelas-jelas tidak terasa gatal. "Maksudku..." suaranya terdengar lemah, nyaris tidak terdengar.Namun, bukannya marah, Ara justru terkekeh kecil. Nada suaranya ringan, penuh keisengan. "Bukankah papa sudah bilang kalau pernikahan kita tidak sah? Kita masih harus meminta restu papaku dan menggelar pernikahan secara resmi. Baru setelah itu aku boleh menganggapmu sebagai suamiku."Aezar menatapnya dengan mata berbinar. Ada cahaya harapan di sana, sesuatu yang membuatnya terlihat lebih hidup. "Apa itu berarti... kau mau jadi istriku, Ara? Istri sungguhan, secara sah?"Ara mengangguk tanpa ragu. Namun sebelum Aezar bisa bereaksi lebih jauh, Ara mengangkat satu jari, ekspresi usilnya kembali muncul. "Tap
Aezar merawat Ara dengan sangat telaten, memastikan setiap luka di tubuh gadis itu sembuh secepat mungkin. Sama seperti saat awal pertemuan mereka—bedanya, kali ini tidak ada kebohongan, tidak ada niat tersembunyi. Ia melakukannya dengan tulus, bukan karena mengharapkan kebebasan atau keuntungan apa pun, tetapi karena Ara adalah satu-satunya orang yang ingin ia jaga dengan segenap hatinya.Ara menatap Aezar yang dengan sabar menyuapinya makanan. Meski tubuhnya masih lemah, pikirannya sudah mulai jernih, dan ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Aezar terdiam sejenak. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara, dan ia menunduk. Ada keraguan di matanya, seakan otaknya sedang berusaha memilah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia tahu, ia tidak boleh terus melarikan diri dari pertanyaan ini. Ara berhak tahu segalanya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. "Jadi... Ini s