Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya.
"I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di tengah pusaran ketidakpastian. Pria itu, Aezar, tidak langsung menjawab. Sebaliknya, ia memegangi dagunya dengan tangan kanannya, matanya menatap Ara dengan tajam namun lembut. "Jadi... kau benar-benar tidak ingat sama sekali padaku?" Ara menggelengkan kepala dengan cepat, nyaris seperti refleks. Dia yakin, sepenuhnya yakin, bahwa dia belum pernah bertemu pria ini sebelumnya—setidaknya, bukan di dunia nyata. Semua ini terlalu aneh. "Kecuali di game," pikirnya, hatinya bergemuruh. "Apa kau... pernah mendengar nama Aezar?" tanya pria itu lagi. Nadanya tenang, namun penuh keingintahuan. Tangan kanannya masih di dagu, seolah mencoba menyusun sebuah teka-teki yang rumit. Ara langsung mengangguk cepat. "Tahu! Itu karakter dari Love and Zombie. Apa kau bernama Aezar juga?" Suaranya naik setengah oktaf, mencoba menghubungkan kenyataan dengan fantasi. Aezar terkekeh pelan, suara tawanya dalam dan nyaris menggetarkan udara di antara mereka. "Istri kecilku... ini aku. Aezar, suamimu." Kata-katanya disampaikan dengan kehangatan yang membuat napas Ara tercekat. "Apa kepalamu yang terbentur ini membuatmu kehilangan ingatan?" Aezar mengulurkan tangannya, menyentuh kepala Ara yang terbalut perban dengan gerakan lembut. Sentuhannya terasa hangat, penuh perhatian, seolah dia benar-benar khawatir. Ara terpaku, tak mampu berkata apa-apa. Dunia di sekitarnya terasa berputar, antara ingin lari dan ingin bertanya lebih banyak. "Bagaimana bisa?" pikir Ara. Semua ini seperti mimpi, namun setiap sentuhan, setiap nada suara, terasa begitu nyata. "Omong-omong... sejak kapan kita menikah?" tanya Ara penuh penasaran, matanya menatap tajam Aezar. Pertanyaan itu terlempar tanpa ragu. Ara merasa, tidak ada satu pun adegan pernikahan dalam game Love and Zombie yang selama ini dia mainkan, apalagi dengan karakter seperti Aezar. "Itu..." Aezar baru saja membuka mulut untuk menjawab, seketika kegaduhan tiba-tiba terdengar dari luar rumah. Brak! Brak! Suara pagar bergoyang keras, memecah keheningan. Logam yang beradu, berderit menambah kesan ancaman yang nyata. Ara langsung menoleh, tubuhnya menegang. "Suara apa itu?" tanyanya dengan nada cemas. Namun Aezar tidak membalas. Wajahnya berubah serius. Dia bergegas menuju jendela, langkahnya berat namun cepat. Dengan satu gerakan, dia menyibakkan tirai dan mengintip ke luar. "Sial! Mereka lagi!" gumamnya penuh frustrasi. Di luar, segerombolan zombie mengguncang pagar rumah, seperti binatang buas yang ingin masuk ke kandang mangsa. Raungan mereka menggema, menambah kesan mencekam. Aezar berbalik, menggapai sebuah senapan laras panjang yang terselip rapi di balik tirai. Dia menariknya keluar, menyelipkan ujung senapan ke luar jendela sementara bagian belakangnya ia tekankan ke bahu. Ara yang masih terpaku di tempat duduknya memperhatikan dengan penuh rasa ingin tahu. "Woah! Aku tahu itu! Aku pernah melihatnya di game. Tapi... namanya apa ya?" gumamnya sambil mengingat-ingat, tak bisa menyembunyikan kekagumannya pada pria itu yang tampak seperti sosok pahlawan di dunia nyata. Dor! Dor! Dor! Suara tembakan menggema, memekakkan telinga. Peluru meluncur cepat, menghantam zombie-zombie yang menggoyang pagar dengan kekuatan brutal. Ara segera meraih sebuah bantal yang ada di dekatnya. Ia menekannya di atas kepala, mencoba meredam suara yang terasa seperti mengiris gendang telinga. Namun usaha itu sia-sia. "Sakit..." bisik Ara pelan. Telinganya berdengung hebat, kepala terasa berputar seperti dihantam badai. Rasa pusing dan nyeri semakin kuat, membuatnya menutup mata rapat-rapat untuk meredakan sensasi yang menyakitkan itu. Di sisi lain, Aezar menghela napas panjang setelah peluru terakhirnya menumbangkan gerombolan zombie. Dengan suara pelan, dia bergumam pada dirinya sendiri, "Sepertinya penjagaan di luar harus lebih diperketat lagi." Dia menyelipkan kembali senapannya ke tempat semula, menyembunyikannya di balik tirai seperti sebelumnya. Setelah itu, ia berjalan mendekati Ara, langkahnya perlahan. Di sudut ruangan, Ara tersungkur, menggenggam bantal erat-erat di kepalanya. Tubuhnya gemetar, mencerminkan ketakutan dan kesakitan yang dirasakannya. Aezar tanpa ragu berlutut di sampingnya, lantas memeluk tubuh kecil Ara dengan perlahan namun penuh kehangatan. Nada suaranya berubah lembut saat bertanya, "Kau baik-baik saja?" Ara membuka matanya dengan cepat, napasnya tertahan. Sensasi hangat dari pelukan Aezar mengalir ke seluruh tubuhnya. Dia tidak menyangka, dalam hidupnya, ia akan dipeluk oleh seseorang yang selama ini hanya ia kenal sebagai karakter fiksi. "Hangat... dan menenangkan," pikirnya. Ara terdiam, membiarkan dirinya tenggelam dalam pelukan itu. Baru kali ini, selain ayahnya, ia merasa dipeluk oleh seorang pria. Dan perasaan itu... tak bisa ia jelaskan dengan kata-kata. "Be-benar juga!" Ara tiba-tiba mengayunkan tinjunya dengan penuh tenaga, langsung menghantam ulu hati Aezar. Tubuh kekar pria itu terdorong ke belakang, dan pelukannya pun terlepas. "Apa yang kau inginkan dariku? Paman tua!" teriak Ara dengan nada penuh amarah. Tatapannya tajam, namun pipinya merona, entah karena marah atau hal lain. Aezar terdiam sejenak, matanya berkedip beberapa kali sebelum menunjuk dirinya sendiri. "Tua?" tanyanya, nadanya lebih terdengar seperti tercekik. Luka di ulu hati mungkin bisa sembuh, tetapi serangan verbal itu menghantam egonya lebih keras. "Apa aku terlihat setua itu?" gumamnya pelan, nyaris pada dirinya sendiri. Ara melangkah mundur sambil mengangkat bantal di tangannya seperti tameng. "Menjauh dariku, paman tua! Atau aku akan menendang organ reproduksimu!" ancamnya dengan penuh tekad, seolah-olah ia benar-benar akan melakukannya. Aezar mengangkat kedua telapak tangannya, mencoba menenangkan. "Baik, baik... Paman tidak akan mendekatimu." Ia mundur perlahan, ekspresi wajahnya seperti seseorang yang baru saja kalah perang tanpa alasan jelas. "Hmph! Tentu saja kau harus begitu, dasar paman mesum!" Ara menyilangkan kedua tangannya di dada, membuang muka dengan gaya penuh drama. Aezar menghela napas panjang, ekspresinya kini campuran antara frustrasi dan geli. "Huft... Dasar anak kecil." Gumamannya nyaris tidak terdengar, tetapi itu cukup untuk memicu reaksi Ara. "Siapa yang kau panggil anak kecil?" Ara menoleh cepat, matanya menatap tajam seperti pedang yang baru diasah. "Jangan panggil aku anak kecil, paman!" Aezar menahan tawa, bahunya sedikit bergetar. Dia melangkah mendekat, membuat Ara mundur secara refleks. "Tapi itu memang benar, kan?" ujarnya, nadanya seperti menggoda. Langkahnya mantap, dan dalam hitungan detik, Ara terkurung di antara tubuhnya dan dinding. "Usia kita berbeda sepuluh tahun. Kau masih 20, aku sudah 30. Jadi wajar saja kalau aku menganggapmu anak kecil, bukan?" Ara terdiam, kehilangan kata-kata. Jarak antara wajah mereka begitu dekat, hingga dia bisa merasakan napas hangat Aezar di wajahnya. Pipinya semakin memerah, hatinya berdebar keras. Aezar mencondongkan tubuh sedikit lebih dekat, suaranya berubah lebih dalam. "Tapi..." Dia berhenti sejenak, cukup lama untuk membuat Ara semakin gelisah. "Aku tidak suka dipanggil paman." Ara menelan ludah, menunggu kata-kata berikutnya. Aezar tersenyum tipis, ekspresi wajahnya seperti pemangsa yang sedang menikmati mainannya. "Daripada paman, bagaimana kalau kau memanggilku... Daddy saja?" Kata-katanya seperti petir yang menyambar di kepala Ara. Matanya membelalak sejenak sebelum dengan cepat ia memejamkan mata, menunduk dalam-dalam, wajahnya benar-benar seperti tomat matang. "Dasar pria ini!" pikir Ara dalam hati, tak mampu berkata-kata. Sementara Aezar hanya tersenyum puas, menikmati ekspresi gadis muda yang kini tak berdaya di hadapannya."Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
Di sebuah jalanan yang penuh sesak dengan makhluk hijau pucat, tubuh mereka berlumuran darah segar yang mengering di setiap inci kulitnya. Para Zombie menggeram ganas, memadati jalanan seperti gelombang maut yang tak terelakkan. Di tengah kekacauan itu, berdiri sepasang manusia—pria tampan, gagah dengan rambut pendek berwarna silver berponi yang tertiup angin, dan seorang wanita cantik, imut, nan anggun dengan rambut panjang tergerai bak sutra, melawan badai kehancuran. Mereka saling membelakangi, punggung mereka bersatu menjadi perisai dalam pertempuran hidup dan mati. Tangan mereka mantap, penuh fokus, membidik para Zombie yang semakin mendekat. Dor! Dor! Dor! Dentuman tembakan membelah udara, bergema di tengah hiruk-pikuk jeritan dan geraman. Satu per satu Zombie tumbang dengan akurasi yang mengerikan, namun kekacauan ini belum berakhir. Hingga... "Aaaahhh!" Jeritan melengking itu memecah konsentrasi. Wanita itu tersentak, menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa.
Ara, yang tidak ingin menjadi bagian dari "perkumpulan Zombie penggigit leher manusia," langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Kakinya bergerak cepat, sementara napasnya memburu. Angin dingin yang menusuk seolah tidak cukup untuk meredakan ketegangan di tubuhnya.Di belakang, Zombie itu tidak tinggal diam. Dengan langkah pincang tapi penuh kekuatan, ia mengejar sambil terus mengeluarkan suara mengerikan, "Rrraww! Rrraww! Rrraaaaww!" Suara itu menggema, membuat setiap helai rambut di tubuh Ara berdiri.Setelah berlari tanpa henti, Ara akhirnya sampai di depan rumahnya. Dengan gerakan tergesa, ia membuka pintu dan masuk. Begitu tubuhnya melewati ambang pintu, ia langsung menguncinya rapat."Huft... Aku selamat," gumam Ara pelan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya yang lelah perlahan merosot hingga ia terduduk di lantai. Kakinya terasa lemah, seperti tak mampu menahan tubuhnya lebih lama.Namun, ketenangan itu hanya bertahan
Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya. Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru mena
Pria itu, yang kini dipastikan adalah Aezar, tampak terkejut namun tetap tersenyum lembut. Ia mengulurkan tangannya untuk menyentuh bahu Ara, mencoba menenangkan kegelisahannya. "I- iya, sayang. Ini aku, Aezar," suaranya tegas namun lembut. Tatapannya penuh perhatian, seolah melihat dunia hanya melalui mata Ara. "Apa kau baik-baik saja? Istriku..." Kalimat itu membuat Ara semakin terguncang. "Istriku?" pikirnya. Tubuhnya membeku, seluruh pikirannya kacau balau, mencoba merangkai semua potongan puzzle yang belum masuk akal baginya. Mata Ara membelalak, jantungnya berdebar kencang. Dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya. Istri? Pria asing ini, dengan suara berat dan wajah sempurna, memanggilnya istri. Ara menelan ludah, pikirannya penuh dengan kebingungan. Pria itu... terlalu familiar. Terlalu mirip dengan Aezar, karakter favoritnya di game. "A-apa maksudmu berkata begitu, Pak?" tanya Ara dengan nada penuh kepanikan. Suaranya gemetar, seakan mencari pegangan di teng
Tanpa pikir panjang, Ara berlari menuju gerbang sekolah. Tangannya gemetar saat ia berusaha menutup pagar sekolah dengan tergesa-gesa, berharap itu cukup untuk menghentikan para Zombie yang mengejarnya. Suara derit pagar yang tertutup terdengar memekakkan telinga, tapi itu tidak menenangkan hatinya. Napasnya terputus-putus, dan tubuhnya bergetar karena ketegangan. Namun, ketakutannya semakin memuncak ketika ia melihat apa yang terjadi di balik pagar. Para Zombie, meskipun tampak tanpa akal, mulai menunjukkan tekad yang luar biasa. Mereka saling tumpuk, memanjat tubuh satu sama lain, berlomba-lomba menjadi yang pertama melewati pagar. "Mereka ini dibilang bodoh, tapi pintar!" gumam Ara dengan wajah penuh kekhawatiran. Tanpa membuang waktu lagi, ia melanjutkan larinya ke dalam gedung sekolah. Suara langkah kakinya menggema di koridor yang sunyi. Ara membuka pintu salah satu kelas dan segera menutupnya rapat-rapat. Jendela kelas juga ia kunci dengan tangan yang gemetar. Setelah
Ara, yang tidak ingin menjadi bagian dari "perkumpulan Zombie penggigit leher manusia," langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga. Kakinya bergerak cepat, sementara napasnya memburu. Angin dingin yang menusuk seolah tidak cukup untuk meredakan ketegangan di tubuhnya.Di belakang, Zombie itu tidak tinggal diam. Dengan langkah pincang tapi penuh kekuatan, ia mengejar sambil terus mengeluarkan suara mengerikan, "Rrraww! Rrraww! Rrraaaaww!" Suara itu menggema, membuat setiap helai rambut di tubuh Ara berdiri.Setelah berlari tanpa henti, Ara akhirnya sampai di depan rumahnya. Dengan gerakan tergesa, ia membuka pintu dan masuk. Begitu tubuhnya melewati ambang pintu, ia langsung menguncinya rapat."Huft... Aku selamat," gumam Ara pelan, mencoba mengatur napas yang tersengal-sengal. Punggungnya bersandar di pintu, tubuhnya yang lelah perlahan merosot hingga ia terduduk di lantai. Kakinya terasa lemah, seperti tak mampu menahan tubuhnya lebih lama.Namun, ketenangan itu hanya bertahan
Di sebuah jalanan yang penuh sesak dengan makhluk hijau pucat, tubuh mereka berlumuran darah segar yang mengering di setiap inci kulitnya. Para Zombie menggeram ganas, memadati jalanan seperti gelombang maut yang tak terelakkan. Di tengah kekacauan itu, berdiri sepasang manusia—pria tampan, gagah dengan rambut pendek berwarna silver berponi yang tertiup angin, dan seorang wanita cantik, imut, nan anggun dengan rambut panjang tergerai bak sutra, melawan badai kehancuran. Mereka saling membelakangi, punggung mereka bersatu menjadi perisai dalam pertempuran hidup dan mati. Tangan mereka mantap, penuh fokus, membidik para Zombie yang semakin mendekat. Dor! Dor! Dor! Dentuman tembakan membelah udara, bergema di tengah hiruk-pikuk jeritan dan geraman. Satu per satu Zombie tumbang dengan akurasi yang mengerikan, namun kekacauan ini belum berakhir. Hingga... "Aaaahhh!" Jeritan melengking itu memecah konsentrasi. Wanita itu tersentak, menggigit bibir menahan rasa sakit yang luar biasa.