"Omong-omong... Apa lukamu sudah tidak sakit lagi?" tanya Aezar dengan nada khawatir, tatapannya tertuju pada perban putih yang melilit kepala Ara. Kekhawatiran itu terlihat jelas di wajahnya, meski nada bicaranya tetap tenang.
Ara tersentak mendengar pertanyaan itu. Sejujurnya, rasa nyeri di kepalanya masih sangat terasa, menusuk hingga membuatnya sulit berpikir jernih. Namun, ia mencoba menyembunyikannya dengan mengalihkan perhatian. "Apa? Oh, aku..." Ara tergagap, namun rasa ingin tahu menguasainya. Ia menyentuh bagian perban di kepalanya, tepat di atas luka. "Tunggu! Jangan disentuh!" suara Aezar menggema di ruangan. Dalam hitungan detik, ia meraih tangan Ara dengan cekatan, mencegah gadis itu menyentuh area yang belum sembuh sepenuhnya. Gerakan itu membuat jarak mereka semakin dekat. Mata mereka bertemu, hanya beberapa sentimeter memisahkan wajah keduanya. Tatapan Aezar yang dalam dan serius seperti mengunci pandangan Ara. Untuk sesaat, dunia terasa hening. Ara buru-buru menarik tangannya dengan kasar, wajahnya bersemu merah karena situasi yang tiba-tiba. Dengan nada penuh protes, ia bertanya, "Sekarang apa lagi?" Namun, meski Ara bertindak kasar, Aezar tetap menjawab dengan nada lembut. "Luka di kepalamu masih belum tertutup sepenuhnya. Jika kau menyentuhnya, itu hanya akan memperburuk kondisinya." Mendengar nada tulus dan perhatian itu, Ara merasa ada sesuatu yang menusuk hatinya. Pipi gadis itu memanas, rona merah makin jelas di wajahnya. Perlahan, rasa bersalah mulai tumbuh di hatinya. "I-itu..." Ara berbisik, kedua jari telunjuknya bertemu di depan dada, bermain-main dengan gugup. Ia tidak berani menatap Aezar, pandangannya terkunci pada gerakan tangannya sendiri. "Ma-maafkan aku..." Aezar mengangkat satu alis, lalu tersenyum kecil. Melihat tingkah laku Ara yang polos, ia mengulurkan tangan, mengelus kepala gadis itu dengan lembut. "Kau tidak perlu meminta maaf... Kau tidak bersalah sama sekali." Ara mendongak cepat, menatap Aezar dengan ekspresi setengah bingung, setengah penasaran. Bibirnya tertarik ke satu sisi, membentuk senyum miring. "Jadi... Kalau aku memukulmu berulang kali, itu juga bukan salahku, ya?" tanyanya, nada suaranya penuh ironi. Aezar terdiam sejenak, menghela napas panjang dengan nada berat. Kedua tangannya memijat pelipisnya, seolah mencoba mengusir rasa pusing yang tiba-tiba datang. "Sepertinya aku sudah membuat kesalahan besar dengan mengucapkan itu..." gumamnya pelan, lebih kepada dirinya sendiri. Melihat ekspresi frustasi Aezar, Ara malah ikut-ikutan menghela napas panjang, meniru gaya pria itu. Dengan nada santai, ia berkata, "Entah bagaimana... Nasibku ini yang harus hidup berdua bersama paman aneh di tengah wabah zombie." Aezar menoleh tajam, alisnya terangkat. Dengan nada setengah kesal, ia bertanya, "Apa kau bilang?" Namun, bukannya menjawab, Ara malah tersenyum kecil, jelas menikmati reaksinya. Wajah Aezar menggelap sesaat, tetapi ia hanya menggeleng pelan, seolah menyerah pada gadis keras kepala di depannya. "Anak kecil ini benar-benar sulit diatur," pikir Aezar sambil menghela napas lagi, kali ini lebih panjang. Krucuuuuk... Suara itu terdengar jelas di antara keheningan. Ara tertegun, wajahnya langsung berubah merah padam. Dengan kedua tangannya, ia memegangi perutnya yang berbunyi nyaring, seolah-olah memohon makanan. Dalam hati, ia merutuk. "Kenapa harus sekarang, perutku?! Kau benar-benar memalukan!" Di hadapannya, Aezar berusaha keras menahan tawa. Ia menutup mulut dengan tangan kanannya, tapi tidak bisa menyembunyikan senyum di balik jemarinya. Bahunya sedikit bergetar, menandakan bahwa ia hampir kehilangan kendali. "Pfft..." Suara kecil lolos dari bibirnya, cukup untuk membuat Ara semakin kesal. "Hmp!" Ara membuang muka, berusaha menyembunyikan rasa malunya. Wajahnya yang sudah memerah kini tampak makin cerah, seperti tomat matang. Ia mengerutkan alis, pura-pura marah, padahal yang sebenarnya ia rasakan hanyalah canggung. "Cup... cup... cup..." Aezar mengejek sambil mencondongkan tubuhnya sedikit ke depan, tatapannya meledek. "Kau lapar, ya?" tanyanya dengan nada penuh godaan, menepuk-nepuk kepala Ara dengan lembut seperti orang dewasa menenangkan anak kecil yang menangis. Ara mendengus, masih enggan menatapnya. Dengan nada tajam, ia menjawab, "Sudah tahu, bertanya!" "Baiklah, itu kebiasaanmu. Kau selalu sulit mengatur emosimu saat sedang lapar," ujar Aezar sambil menghela napas pelan, seolah sudah hafal betul dengan kebiasaan Ara. Setelah berkata demikian, ia berjalan menuju lemari di sudut ruangan. Dengan gerakan santai namun terukur, Aezar membuka pintu lemari dan mengeluarkan sebuah jaket kulit hitam yang terlihat kokoh. Ia menggoyangkan jaket itu sedikit sebelum mengenakannya, membiarkan kilau permukaan kulitnya memantulkan cahaya redup di kamar. Ara terdiam, matanya membelalak saat melihat jaket itu. Pikirannya langsung melayang ke dunia game yang ia kenal. "I-itu... Itu kan..." gumamnya pelan. Ia ingat betul, Aezar di dalam game selalu memakai jaket itu setiap kali hendak mengendarai motor. Bahkan, jaket itu menjadi ciri khasnya—tanda kehadirannya yang penuh karisma sekaligus bahaya. "Kenapa dia memakai jaket itu di sini juga? Ini terlalu mirip..." pikir Ara, bingung sekaligus penasaran. Aezar menyelesaikan persiapannya dengan rapi, merapikan kerah jaket dan mengencangkan resletingnya hingga setengah dada. Dengan nada ringan namun penuh tekad, ia berkata, "Aku akan keluar sebentar untuk mencari makanan." Ara menoleh dengan cepat, kali ini wajahnya tidak hanya menunjukkan rasa kesal, tetapi juga kekhawatiran. "Tunggu! Kau akan keluar? Bukankah kita ada di tengah wabah zombie? Di mana kau akan mencari makanan? Di minimarket?" tanyanya setengah panik dan bingung. Aezar mengangkat alis, tersenyum tipis, lalu mengacungkan ibu jarinya. "Pintar," jawabnya pendek. Ara membelalakkan mata. "Heeeeh!" Seruan itu keluar begitu saja dari bibirnya. Ia sangat mengenal misi semacam ini—mengambil makanan dari minimarket di tengah wabah zombie adalah bagian dari game yang selalu ia mainkan. Namun, sekarang semua itu terasa nyata. Aezar mengaitkan resletingnya dan menariknya ke atas dengan gerakan cepat. "Baiklah, tunggu aku di sini. Jangan pergi ke mana-mana," katanya sebelum beranjak menuju pintu. "Tapi... Apa kau akan baik-baik saja?" tanya Ara dengan nada ragu, suaranya pelan namun cukup terdengar. Ia memiringkan kepalanya, memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa terjadi. Aezar menoleh ke arahnya, wajahnya menunjukkan senyum kecil yang penuh keyakinan. Ia tak menjawab pertanyaan Ara secara langsung, hanya mengangkat jaketnya sedikit sambil berkata, "Jangan khawatir, aku sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini." Ara menelan ludah, matanya terus memandangi punggung Aezar yang kokoh dan tegap. "Tapi ini dunia nyata, bukan game..." bisiknya dalam hati, meski tak berani mengatakannya dengan lantang. Tanpa berkata lebih banyak, Aezar melangkah keluar dari kamar, menutup pintu perlahan. Suara klik pintu yang tertutup itu membuat hati Ara semakin tak tenang. Ia menggigit bibir bawahnya, mencoba menenangkan pikiran yang kalut. "Semakin dilihat... Kenapa dia semakin terlihat seperti... seperti karakter di dalam game itu?" pikir Ara, kebingungan melanda dirinya lagi. Dengan tangan di dada, ia berbisik, "Tolong kembali dengan selamat..." Kini, Ara hanya duduk di kamar, pandangannya tertuju pada pintu yang baru saja tertutup. Rasa bingung dan khawatir menggelayuti pikirannya. "Apakah dia benar-benar bisa kembali dengan selamat?" pikirnya, memandangi bayangan Aezar yang perlahan menghilang dari ingatan.Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah. Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat
Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
"Aezar! Itu barbel, bukan tombak!" teriak Ara dengan suara lantang dari atas balkon. Ia berdiri dengan tegak sambil memegang erat teropong jarak jauh di tangannya, ekspresinya penuh kekesalan bercampur cemas. "Apa dia pikir barbel itu ringan?!" gumam Ara sambil terus mengawasi gerak-gerik Aezar. Ia memicingkan mata, mencoba menilai situasi. Sambil terus memantau, Ara mulai berbicara pada dirinya sendiri, seperti seseorang yang tengah mencoba mencari logika di tengah kekacauan. "Barbel itu... Hmm, kelihatannya sekitar dua puluh kilogram. Yah, mungkin bagi dia itu tidak berat. Aku saja kuat mengangkat dua tabung gas tiga kilogram sekaligus!" Ia mengangguk-angguk, merasa teori konspirasi kecilnya masuk akal. Namun, perhatian Ara segera teralihkan. Ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut melalui teropong. "Eh, tunggu! Itu kan..." Tanpa membuang waktu, Ara meletakkan teropongnya di samping, mengambil senapan, dan kembali ke
"Tidak kelihatan!" keluh Ara, duduk santai di atas balkon sambil memegangi teropong jarak jauh di tangannya. Matanya terus mengamati keadaan di sekitar minimarket. "Apakah di dalam minimarket juga ada zombie?" gumamnya pelan, seraya mencoba memperjelas penglihatannya melalui teropong. Namun, pikirannya terganggu ketika ia melihat pergerakan dari arah kejauhan. "Hmph! Para pengganggu datang lagi!" keluh Ara kesal. Dengan cepat, dia turun dari kursinya, menaruh teropong jarak jauh di atas kursi yang tadi ia duduki. Ara kemudian tengkurap di lantai balkon, memegang senapan kesayangannya. Dalam posisi siaga, dia memosisikan tubuh seperti sniper profesional. Napasnya mulai diatur, jari telunjuknya bersiap menarik pelatuk. Namun... Ceklik! Ceklik! Ceklik! "Hee?! Kenapa tidak ada bunyi dor, dor, dor lagi?" tanyanya bingung. Raut wajahnya berubah panik, Ara langsung membuka tempat penyim
"E-eh?" Ara mengerutkan kening, kebingungan. Air yang seharusnya mengalir deras dari selang tidak kunjung keluar, meskipun ia sudah menarik kerannya dengan sekuat tenaga. Sementara itu, Aezar berdiri tak jauh darinya, tertawa terbahak-bahak. Suaranya memenuhi udara, dan tubuhnya sampai terguncang karena terlalu keras tertawa. Ia memegangi perutnya, wajahnya penuh dengan kepuasan. "Hahahaha! Kau benar-benar lucu! Bahkan jebakan sederhana pun bisa membuatmu terjebak!" ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Ara memutar pandangannya ke arah Aezar, matanya mulai menyipit penuh kecurigaan. "Jangan bilang... semua ini bagian dari rencanamu?" Ia membanting selang yang digenggamnya ke tanah, tatapannya berubah tajam, dan pipinya mulai memerah karena marah. "Mohon maaf, tapi aku sudah memperhitungkan semuanya. Dari caramu mengambil selang sampai menarik keran. Dan ternyata, semua perhitunganku benar! Hahaha! Ka
Ara menatap punggung tangannya, yang masih dibalut rapi dengan perban putih. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—sesuatu yang tidak bisa dia abaikan begitu saja. Tapi lamunannya terhenti ketika suara langkah kaki mendekat. Aezar muncul dari dapur, membawa semangkuk makanan dan secangkir kopi hangat. Dia meletakkan semuanya di atas meja dengan hati-hati, kemudian menatap Ara yang masih tenggelam dalam pikirannya. "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan nada lembut, meski sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Ara tersentak ringan, lalu dengan cepat menarik punggung tangannya ke pangkuan, menyembunyikannya di antara kedua pahanya. Dia tersenyum kecil, berusaha terlihat tenang. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Namun, di balik senyuman itu, pikirannya tetap tidak tenang. Ketertarikannya pada luka di tangannya semakin besar, seperti teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Aezar menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sesaat, mereka berdua hanya diam. Tapi akhirnya, Ara memutu
"Heheh..." Aezar terkekeh kecil sambil kembali mengambil sesuap mie dari mangkuk dan menyuapkannya kepada Ara. Tatapan matanya lembut, penuh perhatian. "Maafkan aku karena hanya bisa menyajikan mie instan. Kau pasti kecewa, ya?" Ara menggeleng cepat, masih mengunyah mie di mulutnya. Setelah menelan, dia menjawab, "Tidak sama sekali! Mie instan itu makanan paling enak di dunia! Dan yang paling penting... mudah dibuat." Aezar tersenyum kecil mendengar jawaban Ara. "Heheh... Tapi makan mie instan terlalu sering itu tidak baik, tahu? Pokoknya besok aku akan memasakkan sesuatu yang lebih sehat untukmu. Tapi sekarang, makan dulu. Yang penting perutmu terisi." Ara mengangguk patuh. Dia melanjutkan makan mie instan yang disuapkan Aezar dengan lahap, tampak menikmati setiap gigitan. Setelah selesai makan, Aezar dengan tegas mengambil semua alat makan dan membawanya ke dapur. Dia melarang Ara untuk membantu dengan alasan luka di tang
Hari mulai beranjak sore. Di dalam kamar yang diterangi oleh sinar matahari yang lembut, Aezar membuka bajunya, memperlihatkan tubuhnya yang penuh luka tetapi tetap memukau. Otot-otot dadanya yang terpahat sempurna dan pinggang rampingnya menciptakan siluet yang nyaris seperti patung seni. Luka-luka yang menghiasi kulitnya hanya menambah kesan berbahaya sekaligus memikat. Ara duduk di ranjang, kedua tangannya meremas selimut dengan erat. Pandangannya terpaku pada sosok Aezar yang berdiri membelakanginya. Dia bahkan tidak sadar mulutnya sedikit terbuka, menganga takjub oleh apa yang dia lihat. Aezar menyadari tatapan Ara dari pantulan cermin di depannya. Dengan senyum kecil yang nakal, ia berbalik dan berjalan menghampiri Ara, membawa kotak obat di tangannya. "Sudah waktunya mengganti perbanmu," ucapnya lembut, namun nada bicaranya memiliki kekuatan yang tidak bisa dibantah. Dengan hati-hati, Aezar du
Ara dengan kasar menepis tangan Aether dari pahanya, kemarahan dan kekecewaan jelas tergambar di wajahnya yang masih basah oleh air mata. Mata dinginnya menatap Aether dengan tajam, seolah-olah pandangan itu bisa menghancurkan pria di depannya. "Jangan sentuh aku lagi! Jangan berjanji kalau kau bahkan tidak yakin bisa menepatinya! Kau adalah adik Aezar. Meskipun bukan saudara kandung, kalian tumbuh bersama bertahun-tahun. Kau pasti sama saja dengan dia! Pembohong dan manipulatif!"Aether hanya terkekeh pelan, seolah-olah tidak terusik oleh kemarahan Ara. Tangannya kembali ke setir, mengendalikan mobil dengan santai di tengah jalanan kosong yang penuh dengan mayat zombie yang berserakan. "Omong kosong apa yang sedang kau katakan, Ara? Kau salah besar. Aku tidak sama dengan kakakku—"Belum sempat Aether menyelesaikan kalimatnya, Ara langsung memotong dengan tajam, “Tunggu dulu! Aku punya tiga pertanyaan untukmu!”Aether menoleh sedikit ke arahnya, tanpa mengurangi fokusnya pada jalan. E
“Sekarang kau percaya dengan adanya penyakit kepribadian gandamu?” Suara dingin Eryas terdengar menggema dari ujung pintu, memecah suasana yang terasa begitu berat. Matanya yang tajam menatap Kaelen tanpa sedikit pun rasa simpati.Kaelen, yang masih duduk di lantai dengan lutut menekuk, mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, namun juga kelegaan karena akhirnya ia menyadari apa yang selama ini terjadi. “Aku percaya...” jawabnya singkat, suara itu seperti gumaman penuh kepasrahan.Eryas mengangguk kecil tanpa ekspresi. “Bagus. Kini saatnya kau menghadapi kebenaran ini.” Dia berbalik dengan santai, langkahnya bergema di lantai yang sepi.Kaelen berdiri perlahan, menyusul Eryas tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ara. Matanya tetap tertunduk, merasa dirinya tidak pantas untuk memberikan penjelasan atau bahkan sekadar permintaan maaf kepada Ara. Dalam hatinya, ia tahu dirinya telah berubah menjadi monster yang bahkan tidak ia kenali sendiri.“Kau mau pergi begitu saja
Ara mundur perlahan, tubuhnya gemetar hebat saat Kaelen terus mendekat dengan senyum menyeramkan yang seolah-olah mengiris udara di antara mereka. “Ta-tapi… aku benar-benar tidak tahu apa-apa…” suaranya bergetar, matanya penuh ketakutan. “Kak Kaelen tahu sendiri… Papaku bahkan menyembunyikan pendidikan terakhirnya dariku.”Kaelen terkekeh pelan, suara tawanya terdengar lebih seperti desisan ular. Ia menatap Ara dengan sorot mata yang kini tak lagi berkilauan lembut seperti biasanya. Ada kegilaan di sana, bayangan dendam yang membara. “Sudah aku katakan berkali-kali, Ara… Aku bukan Kaelen yang ramah dan manja itu. Aku adalah sesuatu yang berbeda. Versi tersembunyi. Alter ego yang selama ini menjaga Kaelen dari manusia-manusia keji seperti dirimu dan keluargamu.”Dengan satu gerakan cepat, Kaelen mencabut sisiknya yang padat dari tangannya. Ia menancapkan benda itu ke lantai dengan kekuatan yang membuatnya retak dan hancur berkeping-keping, serpihan lantai beterbangan ke segala arah. Su
Kaelen berjalan perlahan mengitari Ara, seperti singa mengelilingi mangsanya. Setiap langkahnya terdengar menggema, memantul di dinding ruangan yang kini terasa lebih sunyi dan mencekam. Matanya yang biru menyala tajam, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan—amarah, kepedihan, dan kebencian yang bercampur menjadi satu. Ia menarik napas dalam, lalu memulai cerita dengan nada yang dingin dan penuh ironi."Akan aku ceritakan kisah romantis paling gelap yang pernah dialami papaku, Rafael," ucapnya perlahan, suaranya seperti duri yang menusuk telinga. "Kisah cinta yang mengajarkan bahwa jatuh cinta kepada manusia adalah dosa terbesar seorang merman."Ara hanya bisa duduk terpaku, meskipun rasa takut mulai menggenggam hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Kaelen bagaikan racun yang mengalir pelan, merusak segala pikiran positif yang berusaha ia pertahankan."Semua bermula pada malam yang penuh gemuruh ombak. Mamaku, seorang artis terkenal, berdiri di at
Kaelen menatap Ara dengan sorot mata yang sulit ditebak. Senyumnya yang biasanya santai kini memudar, menyisakan ekspresi penuh tanya. "Omong-omong," katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah, seperti sedang menahan sesuatu. "Kau tahu dari mana kalau aku merman?"Ara mengangkat bahu, memasang ekspresi seolah itu adalah pertanyaan bodoh. "Tentu saja tahu," jawabnya ringan, tetapi setiap katanya terucap dengan nada penuh keyakinan. "Kau selalu terlihat berenang di akuarium raksasa dan sering mengadakan pertunjukan. Sejak kau masih lima tahun, tapi sudah bisa menahan napas begitu lama di dalam air dan berakting menjadi merman. Mana mungkin kau manusia? Dan lagipula," Ara menambahkan, menatap Kaelen dengan tatapan penuh arti, "semua orang tahu papamu adalah merman. Itu bukan rahasia umum lagi."Kaelen terkekeh pelan mendengar jawaban Ara, tetapi tawa itu tidak bertahan lama. Tatapan matanya meredup, senyumnya berubah menjadi ekspresi melankolis yang jarang terlih
"Kak Kaelen, apa kau tahu perbedaanmu dengan nyamuk?" tanya Ara dengan nada menggoda. Tatapan matanya penuh kelicikan, seperti anak kecil yang siap mengeluarkan lelucon.Kaelen menoleh, alisnya terangkat, lalu memasang senyum sombong yang khas. Dia menyandarkan tubuhnya dengan santai, seolah yakin akan mendengar pujian manis. "Apa bedanya?" tanyanya, suaranya penuh antusiasme palsu.Namun, jawaban yang keluar dari bibir Ara membuat senyum itu lenyap seketika. "Tidak ada bedanya! Sama-sama harus dibasmi menggunakan obat nyamuk agar mati!"Untuk beberapa detik, Kaelen hanya terdiam, menatap Ara dengan ekspresi datar. Lalu dia menggeleng pelan sambil menarik napas dalam, seperti seorang guru sabar menghadapi murid nakal. "Mulutnya... Adik cantik tidak boleh berbicara kasar seperti itu. Tidak baik!" ucapnya dengan nada pura-pura prihatin.Ara tersenyum lebar, menantang, lalu menjawab dengan cepat, "Tidak baik, tapi terbaik!"Kaelen menatapnya
Kaelen menatap Ara dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, namun senyuman tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Bibirnya melengkung, nyaris seperti mencemooh, ketika dia bertanya dengan nada santai, "Jadi, bagaimana menurutmu tentang Aezar?"Ara menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berkecamuk. Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya, dan suara tegasnya menguar di udara seperti seorang mahasiswi yang baru saja menguasai materi untuk presentasi penting. "Sebelum membahas sifat dan kepribadian Aezar," katanya, nadanya mendadak terstruktur seperti menyampaikan argumen dalam debat formal. "Mari kita bahas dulu mengenai kondisi eksternal yang sedang dirasakan Aezar!"Kaelen mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan dengan ketertarikan yang tulus, meskipun senyumnya yang penuh teka-teki masih melekat di wajahnya. Ara melanjutkan, kini penuh semangat seperti seseorang yang kerasukan jiwa seorang akademisi. "Untuk saat ini, alasan Aezar pergi adalah unt
Ara menatap Kaelen dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan. Suaranya pecah ketika dia mencoba mempertahankan nada tegasnya. "Jadi..." katanya, menarik napas panjang untuk mengendalikan dirinya. "Apa tujuanmu sebenarnya memberitahukan semua ini padaku?! Apa yang kau inginkan dariku?!"Kaelen hanya terkekeh pelan, sebuah tawa yang terdengar seperti gemerisik pisau yang diseret di atas kaca. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari Ara, seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. Dengan gerakan lambat namun penuh maksud, dia mengulurkan tangannya, menyentuh rambut Ara dengan lembut. Sentuhan itu terlihat penuh kasih sayang, tetapi ada sesuatu yang gelap di baliknya—sesuatu yang membuat Ara ingin menjauh sejauh mungkin."Kau akan tahu nanti malam," jawab Kaelen dengan nada tenang, nyaris seperti bisikan. Suaranya terdengar lembut, tetapi dingin, seperti hembusan angin malam yang menusuk. "Namun, untuk sekarang, kenapa kita tidak berbincang santai saja? Anggap ini momen istimewa
Eryas memandang Ara dengan tatapan dingin sebelum mendengus kasar. Tanpa peringatan, dia melayangkan tendangan keras ke sisi tubuh Ara, membuat gadis itu terseret beberapa meter di lantai yang dingin dan kasar. Ara tersentak, merasakan sakit menjalar di tubuhnya, namun ia tidak sempat merintih."Aku tidak punya waktu untuk meladeni kebodohanmu," kata Eryas tajam, suaranya penuh dengan ketidaksabaran. Dia berbalik, langkah kakinya berat dan tegas, meninggalkan Ara tergeletak di lantai.Kaelen, yang berdiri bersandar di dinding dengan sikap santai, mendekati Ara dengan langkah ringan setelah Eryas keluar dari ruangan. Dia berhenti di depan gadis yang masih terengah-engah di lantai, menatapnya dengan senyum tipis di wajah tampannya.Kaelen mengulurkan tangan, isyarat sederhana untuk membantu Ara berdiri. Ara memandangnya dengan penuh keraguan, tapi akhirnya ia menerima tangan itu. Sentuhan Kaelen terasa hangat, berbeda jauh dengan dinginnya perlakuan Eryas."Maafkan dia," kata Kaelen den