Hari mulai beranjak sore. Di dalam kamar yang diterangi oleh sinar matahari yang lembut, Aezar membuka bajunya, memperlihatkan tubuhnya yang penuh luka tetapi tetap memukau. Otot-otot dadanya yang terpahat sempurna dan pinggang rampingnya menciptakan siluet yang nyaris seperti patung seni. Luka-luka yang menghiasi kulitnya hanya menambah kesan berbahaya sekaligus memikat.
Ara duduk di ranjang, kedua tangannya meremas selimut dengan erat. Pandangannya terpaku pada sosok Aezar yang berdiri membelakanginya. Dia bahkan tidak sadar mulutnya sedikit terbuka, menganga takjub oleh apa yang dia lihat. Aezar menyadari tatapan Ara dari pantulan cermin di depannya. Dengan senyum kecil yang nakal, ia berbalik dan berjalan menghampiri Ara, membawa kotak obat di tangannya. "Sudah waktunya mengganti perbanmu," ucapnya lembut, namun nada bicaranya memiliki kekuatan yang tidak bisa dibantah. Dengan hati-hati, Aezar duSetelah beberapa menit bermain lempar-lemparan bantal, Ara akhirnya duduk di atas ranjang. Ia menatap pintu kamar mandi di depannya, mendengarkan suara air yang mengalir dari shower. Uap tipis sesekali terlihat keluar dari celah bawah pintu, mengingatkannya bahwa pria tampan itu sedang mandi di dalam. Ara tersenyum nakal, membisikkan sesuatu pada dirinya sendiri. "Ada pria tampan sedang mandi... Bagaimana kalau aku mengintip sedikit saja?" Tiba-tiba, suara berat Aezar terdengar dari balik pintu, membuatnya terlonjak. "Berani mengintip, aku siram matamu dengan air panas!" "Hiy... Seram!" Ara terkekeh pelan, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Bercanda, daddy!" "Kalau serius juga tidak apa-apa," balas Aezar dengan nada menggoda, suaranya terdengar jelas di atas deru air shower. Ara memeluk bantal di pangkuannya, wajahnya mulai merona. "Sudah! Jangan dilanjutkan! Cepat mandi saja sana!" "Baik, s
Aezar perlahan melepas pelukannya dari Ara, matanya menatap lembut, penuh kasih sayang yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dengan gerakan yang tampak mudah baginya, ia mengangkat tubuh Ara dalam gendongannya, seperti seseorang yang memegang harta paling berharga dalam hidupnya."Sudah waktunya makan malam, sayang. Kita makan dulu, ya," ucapnya dengan suara hangat, melangkah perlahan namun pasti.Ara memalingkan wajahnya, berusaha menutupi pipinya yang merona menggunakan rambut panjang bergelombangnya. "Kakiku tidak sakit sama sekali. Kenapa harus digendong terus?" tanyanya, suaranya terdengar setengah protes.Aezar hanya tersenyum kecil, namun sorot matanya tetap hangat. "Istriku tersayang, untuk merasakan perhatian dan kasih sayangku, kau tidak perlu menunggu tubuhmu merasa sakit. Menggendongmu seperti ini hanyalah sebagian kecil dari caraku menunjukkan betapa berharganya dirimu."Ara terdiam, pikirannya mulai berkecamuk. Matanya menatap kos
Aezar menyajikan masakannya dengan penuh ketelatenan, menata makanan di atas meja seperti seorang chef profesional. Aroma ayam goreng tepung yang baru matang bercampur dengan wangi capcay hangat memenuhi ruangan, menggoda siapa pun yang menciumnya. "Ayam goreng!" Ara langsung mengambil potongan ayam goreng dengan mata berbinar, menggigitnya tanpa ragu. Sensasi renyah tepung di luar dan daging yang juicy di dalam membuatnya nyaris lupa bernapas. "Boleh aku makan ini tanpa nasi?" tanyanya sambil terus mengunyah. Aezar terkekeh, senyumnya hangat, menatap istrinya dengan tatapan penuh cinta. "Tentu saja, sayang. Makanlah sepuasnya, aku sudah membuat semangkuk penuh untukmu. Itu semua khusus untukmu, nikmatilah." Ara mengangguk sambil terus menyantap ayam gorengnya. "Terima kasih banyak, daddy," ucapnya dengan suara penuh kebahagiaan. "Apapun untuk istriku tersayang." Aezar mengambil sepiring nasi untuk dirinya sendiri, menambah
Aezar selesai menata piring-piring yang sudah bersih di rak dengan rapi, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding. Jarum panjang menunjukkan pukul sembilan malam. Ia melirik Ara yang duduk diam di kursi, tampak melamun. "Apa sudah satu jam sejak kita selesai makan?" tanyanya, suaranya memecah keheningan. Ara terkejut, pikirannya kembali ke dunia nyata. "Mungkin? Aku tidak tahu kita selesai makan jam berapa. Memangnya kenapa?" Aezar tersenyum lembut, lalu berjalan mendekat dan mengusap kepala Ara dengan penuh kasih sayang. "Tidak, maksudku... Kalau sudah satu jam setelah makan, artinya kita sudah boleh tidur." Ara memandangnya dengan tatapan datar, menebak maksud di balik kata-kata itu. "Takut asam lambung naik, ya?" "Pintar!" Aezar mengangguk puas, senyumnya semakin melebar. "Berbaring setelah makan sebelum satu jam memang berbahaya. Itu bisa memicu asam lambung naik dan—" Ara memotong
Ara menggeleng cepat tanpa sadar, berusaha mengusir pikiran-pikiran nakal di kepalanya. Gerakan itu membuat Aezar memandangnya penuh kebingungan. "Ada apa, Ara? Apa yang kau pikirkan? Apa aku membuatmu tidak nyaman?"Nada suara Aezar lembut, tapi di balik itu ada rasa khawatir yang mengintip. Ia mengernyitkan dahi, mencari jawaban di wajah Ara."Tentu saja!" jawab Ara dengan spontan, suaranya sedikit meninggi. Ia menyesal sesaat setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya. "Lihat saja tubuhmu itu! Sangat sempurna, seperti pahatan patung yang dibuat oleh seniman kelas dunia! Wanita mana yang bisa tenang tidur di samping pria seperti dirimu? Bukannya tidur, aku malah memelototi tubuhmu terus sampai pagi!"Aezar mendengarnya dengan tatapan penuh kehangatan, lalu tiba-tiba terkekeh pelan. Suara tawanya dalam dan lembut, seperti angin malam yang menenangkan. "Ara, kau ini benar-benar lucu," katanya sambil berdiri dari ranjang.Ara menatapnya dengan bing
Di dapur yang hangat, aroma bumbu dan rempah memenuhi udara. Aezar berdiri dengan apron diikat rapi di tubuhnya, tangan sibuk membaluri potongan ayam mentah dengan tepung. Di belakangnya, Ara duduk di kursi dengan ekspresi bosan, memainkan ujung rambutnya sambil mengeluh."Huwaa... Aku bosan! Biarkan aku membantu!" seru Ara, nadanya manja. Meski sebenarnya ia menikmati menjadi tuan putri yang hanya duduk diam, terlalu lama dimanjakan membuatnya merasa tidak enak hati.Aezar menoleh sejenak sambil tersenyum, tangannya tetap sibuk. "Mau bantu? Boleh."Ara menatapnya penuh semangat, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Boleh? Aku bantu apa?"Aezar melirik Ara, menahan tawa. "Bantu doa," katanya santai, nada bercandanya sangat jelas.Semangat Ara langsung menguap, wajahnya berubah masam. "Ish! Kalau cuma itu, aku duduk saja lagi!" gerutunya sambil menyilangkan tangan di dada.Aezar tertawa kecil, menikmati ekspresi Ara yang kesal namu
Aezar baru saja selesai memasak. Seperti biasanya, ia langsung beranjak membereskan piring kotor bekas makan, termasuk milik Ara. Gerakannya cekatan, seolah rutinitas ini sudah menjadi kebiasaan alami baginya."A-"Belum sempat Ara menyelesaikan kalimatnya, Aezar menoleh dan memotongnya dengan suara tegas namun tetap lembut. “Tidak boleh! Kembali ke kamar.”Ara mendengus kesal. “Huh! Kau ini otoriter sekali!” Ia akhirnya menurut, meski dengan langkah berat. Sesampainya di kamar, ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dengan perasaan bercampur aduk.Aezar menatap punggung Ara yang menjauh dengan ekspresi penuh penyesalan. Tapi ia memilih untuk menyelesaikan tugasnya lebih dulu. Sambil mencuci piring, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. "Aku harus lebih hati-hati. Ara sedang menstruasi. Perasaannya pasti jauh lebih sensitif sekarang."Beberapa menit berlalu. Setelah semua beres, Aezar langsung berlari ke kamar. Tanpa mengatakan apa pun, ia memelu
Ara melangkah masuk ke ruangan yang dimasuki Aezar sebelumnya. Ruangan itu ternyata adalah sebuah gym pribadi, dengan berbagai alat olahraga tersusun rapi di dalamnya. Namun perhatian Ara langsung tertuju pada satu sosok—Aezar, yang berdiri di depan samsak tinju.Pria itu tampak serius, kepalan tangannya beradu keras dengan samsak, menghasilkan suara hentakan berirama yang memenuhi ruangan.“Hah! Ah...” Suara teriakan dan tarikan napas berat dari Aezar menggema di ruangan, membuat Ara tanpa sadar terdiam di ambang pintu. Matanya terpaku pada gerakan Aezar—gerakan lincah, pukulan kuat, dan sesekali lompatan kecil yang membuat otot dadanya yang basah oleh keringat bergerak naik-turun. Wajahnya yang sedikit berkerut karena konsentrasi justru membuat kesan maskulin yang tak tertahankan.Ara merasa pipinya semakin panas. Ia buru-buru membalikkan badan, berniat keluar dari ruangan itu sebelum pikiran aneh mulai muncul di benaknya. Tapi langkahnya terhenti ketika
Dharma menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Matanya memandang lembut ke arah Ara yang duduk di hadapannya, bahunya yang mungil terlihat bergetar halus karena tangis yang tertahan. Ia mendekatkan diri, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan nada yang pelan tapi penuh ketegasan, ia berkata, "Ara, kau tidak perlu membohongi Papa. Papa tahu, kau tidak mungkin mempertaruhkan nyawamu untuk seseorang yang hanya kau anggap sebagai sekadar tumpuan. Jika kau sampai sejauh itu, berarti kau benar-benar peduli. Papa bisa melihatnya."Ara terdiam, seolah kata-kata ayahnya itu menghantam benteng yang selama ini ia bangun. Pandangannya jatuh ke lantai, matanya berusaha menghindari tatapan Dharma. Namun, tak mampu lagi menahan semua yang mengganjal, air matanya mulai mengalir deras. Butiran-butiran hangat itu jatuh tanpa henti, seperti banjir yang tak terbendung. Dengan suara yang bergetar, ia b
Malam semakin larut, hanya suara angin yang berdesir lembut di luar jendela. Ara tertidur di pelukan Dharma, wajahnya basah oleh air mata yang mengering, tampak begitu rapuh seperti seorang anak kecil yang kembali ke pelukan ayahnya untuk berlindung dari dunia yang keras. Dharma memandangi wajah putrinya dengan perasaan yang bercampur aduk—kasih sayang, penyesalan, dan tekad yang semakin menguat.Dengan hati-hati, Dharma meletakkan Ara di sofa. Ia merapikan posisi tidur putrinya agar lebih nyaman, lalu menyelimuti tubuhnya yang mungil. Tangannya terulur, mengusap lembut rambut Ara, merasakan kehalusan setiap helaian rambutnya. Sebuah senyum tipis yang penuh kepedihan muncul di wajahnya. "Ara... Papa tahu kau kuat. Tapi di balik kekuatan itu, kau tetap putri kecil Papa yang butuh perlindungan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu."Dharma menghela napas panjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Suaranya keluar seperti bisikan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. "Sebenarn
Malam semakin larut, dan kesunyian di ruang tamu terasa begitu mencekam. Ara duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan meremas ujung bajunya. Matanya yang sembab dan memerah akibat terlalu banyak menangis kini hanya menatap kosong ke lantai. Di kepalanya, kata-kata Dharma terus terulang, seperti gema yang menghantam dinding pikirannya tanpa henti."Papa benar... Apa yang papa katakan adalah benar..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, mencoba menyangkal perasaan yang terus mencabik hatinya. "Sangat mencurigakan pria sesempurna dirinya memberikan semua perhatian itu padaku. Mana mungkin ada pria seperti itu? Tidak ada pria yang lebih tulus dari Papa! Bahkan di luar sana, banyak ayah yang meninggalkan istri dan anak-anaknya demi wanita lain. Apa yang aku harapkan dari pria seperti Aezar?"Ara menunduk semakin dalam, mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Logika dan emosinya terus bertarung, saling beradu tanpa ada yang mau men
Ruangan terasa dingin dan sunyi setelah kepergian Aezar, tetapi ketegangan yang tersisa membakar seperti api yang tak terlihat. Ara berdiri mematung, wajahnya dipenuhi air mata yang tak berhenti mengalir. Namun, bukan hanya kesedihan yang terpancar dari matanya—melainkan amarah yang mendidih. Ia menatap ayahnya dengan tajam, suaranya penuh getaran emosi. "Papa... Papa jahat! Papa sudah mengusir Daddy!"Dharma menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ara," katanya, suaranya berat dan penuh penekanan. "Papa melakukan ini demi kebaikanmu, demi keamananmu. Kau harus memahami itu. Lihat luka di lenganmu—""Itu bukan Daddy yang salah!" Ara memotong dengan suara yang bergetar, tetapi tegas. "Aku sendiri yang memaksanya meminum darahku! Daddy tidak mau, tapi aku memaksa karena dia tidak bisa meminum darah zombie. Apa salahnya, Pa? Mendonorkan darah kepada yang membutuhkan, apa itu salah?!"Tatapan Dharma mengeras, namun ada rasa frustrasi yang mendalam di matanya. Ia menatap putr
Ruangan lobi yang sebelumnya hening kini dipenuhi ketegangan yang pekat. Suara Dharma yang menggelegar menggema di dinding, memecah keheningan seperti petir di malam gelap. "Pergi dari sini!" titahnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Aezar, penuh amarah dan ketidakpercayaan.Aezar tetap berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi ada sedikit rasa bersalah yang tersirat. "Maaf, Paman," ucapnya pelan namun tegas, "Saya tidak bisa melakukannya. Saya sudah berjanji pada Ara untuk melindunginya.""Pergi!" Dharma memukul meja dengan keras. Dentuman suara meja kayu yang terhantam menggema, membuat tubuh Aezar tetap tak bergeming, tetapi Ara yang tertidur di sofa tersentak. Ia membuka mata dengan bingung, wajahnya yang lelah tampak kebingungan menatap ayahnya."Papa? Ada apa ini?" tanyanya dengan suara serak, matanya berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan.Dharma segera berbalik, suaranya berubah menjadi lebih lembut tetapi masih penuh rasa khawatir. "Ara, kau baik-baik saja
Dharma berdiri di depan wastafel, air mengalir deras dari keran, membasahi tangannya yang sibuk mencuci piring. Tapi pikirannya melayang jauh, meninggalkan kesibukan fisiknya. Tatapannya kosong menatap piring yang dipegangnya, sementara pikirannya penuh dengan satu sosok—Aezar."Anak muda itu..." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar di tengah suara gemericik air. Matanya menyipit seolah sedang menilai sesuatu yang tidak kasat mata. "Dia sangat tampan, mandiri, tegas, baik, dan ramah. Dia terlihat terlalu sempurna... tanpa celah."Ia berhenti sejenak, menaruh piring yang telah selesai dicuci ke rak. Namun, pikirannya semakin gelisah. "Sempurna... Justru itulah masalahnya."Dharma menghela napas panjang, mengambil piring lain dari tumpukan, lalu kembali mencuci. Air yang dingin mengalir di tangannya, tapi dadanya terasa panas, penuh oleh kecurigaan yang terus tumbuh. "Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua orang punya kekurangan, sisi gelap, sesuatu yang disembunyikan...," ucapny
Dharma memandang Aezar dan Ara dengan tatapan penuh sindiran, sudut bibirnya terangkat seolah mengejek. "Dasar budak cinta!" ujarnya dengan nada tajam, menyelipkan sedikit cibiran. "Kalau kau memang kuat, buktikan. Angkat Ara kalau kau bisa!" tantangnya, nada suara penuh keraguan, jelas menunjukkan bahwa ia tidak menganggap Aezar mampu melakukannya.Aezar menatap Dharma dengan tenang, senyum tipis terlukis di wajahnya. Tanpa sepatah kata, ia mengambil nampan dari meja yang di atasnya terdapat tumpukan piring, gelas, dan mangkuk kosong. Dengan satu tangan, ia mengangkat nampan itu dengan mudah. Lalu, tanpa kehilangan keseimbangan, Aezar berjongkok di depan Ara, mengangkat tubuh gadis itu dengan lembut. Satu tangan menopang di bawah lutut Ara, sementara yang lainnya tetap memegang nampan. Ara memeluk lehernya erat, tersenyum lebar seperti anak kecil yang merasa dimanjakan.Dharma melongo, mulutnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Ap
Ara menatap Aezar dengan tatapan haru, matanya mulai berkaca-kaca. "Daddy...," ucapnya pelan, penuh emosi.Anjani, yang meski lemah masih bisa mengikuti percakapan mereka, terkekeh pelan. "Ara sudah punya panggilan kesayangan saja," katanya lembut, senyumnya samar namun tulus."Tentu saja!" jawab Ara dengan bangga, nadanya penuh kebahagiaan yang terasa menular. "Mama saja memangil suaminya dengan sebutan papa. Aku juga mau memanggil calon suami ku dengan sebutan daddy!"Namun, Dharma mendengus, mencoba memecah suasana. "Yah ... Saat ini kau bisa mengatakan hal itu sekarang. Tapi tunggulah sampai kalian menikah. Nanti ucapanmu pasti akan berbeda. Awas saja kau selingkuh dengan wanita lain yang lebih pandai memasak atau yang lebih bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu!" ucapnya dengan nada setengah menyindir, matanya menatap tajam Aezar.Aezar menunduk, pandangannya tertuju pada Anjani dan kedua anaknya yang masih terbaring lemah di matras. M
Dharma kembali menghampiri Ara dan Aezar setelah menyelesaikan tugasnya memberi makan istri dan kedua anaknya yang lain. Wajahnya terlihat letih, tapi masih menyimpan kelembutan seorang ayah. Ara menoleh dengan penuh harap, tersenyum kecil ketika melihat sosok ayahnya mendekat."Ara, sudah selesai makan?" Dharma bertanya lembut, menatap putri sulungnya dengan tatapan penuh perhatian."Sudah, Papa," jawab Ara ringan, senyumnya seolah mencoba menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya masih membekas.Dharma tersenyum kecil, lalu mendekat untuk membopongnya. Tubuh Ara yang masih belum sepenuhnya pulih terasa ringan di pelukannya. "Bisa berjalan, kan? Kalau tidak, Papa bantu."Ara hanya mengangguk pelan, membiarkan dirinya dibopong menaiki tangga menuju lantai dua. Sesaat kemudian, suara kecilnya memecah keheningan, "Papa, apa kita benar-benar akan bertemu Mama, Ariana, dan Aurora? Mereka sudah sembuh?"Dharma menarik napas panjang, menjeda la