Aezar perlahan melepas pelukannya dari Ara, matanya menatap lembut, penuh kasih sayang yang sulit diungkapkan dengan kata-kata. Dengan gerakan yang tampak mudah baginya, ia mengangkat tubuh Ara dalam gendongannya, seperti seseorang yang memegang harta paling berharga dalam hidupnya.
"Sudah waktunya makan malam, sayang. Kita makan dulu, ya," ucapnya dengan suara hangat, melangkah perlahan namun pasti.Ara memalingkan wajahnya, berusaha menutupi pipinya yang merona menggunakan rambut panjang bergelombangnya. "Kakiku tidak sakit sama sekali. Kenapa harus digendong terus?" tanyanya, suaranya terdengar setengah protes.Aezar hanya tersenyum kecil, namun sorot matanya tetap hangat. "Istriku tersayang, untuk merasakan perhatian dan kasih sayangku, kau tidak perlu menunggu tubuhmu merasa sakit. Menggendongmu seperti ini hanyalah sebagian kecil dari caraku menunjukkan betapa berharganya dirimu."Ara terdiam, pikirannya mulai berkecamuk. Matanya menatap kosAezar menyajikan masakannya dengan penuh ketelatenan, menata makanan di atas meja seperti seorang chef profesional. Aroma ayam goreng tepung yang baru matang bercampur dengan wangi capcay hangat memenuhi ruangan, menggoda siapa pun yang menciumnya. "Ayam goreng!" Ara langsung mengambil potongan ayam goreng dengan mata berbinar, menggigitnya tanpa ragu. Sensasi renyah tepung di luar dan daging yang juicy di dalam membuatnya nyaris lupa bernapas. "Boleh aku makan ini tanpa nasi?" tanyanya sambil terus mengunyah. Aezar terkekeh, senyumnya hangat, menatap istrinya dengan tatapan penuh cinta. "Tentu saja, sayang. Makanlah sepuasnya, aku sudah membuat semangkuk penuh untukmu. Itu semua khusus untukmu, nikmatilah." Ara mengangguk sambil terus menyantap ayam gorengnya. "Terima kasih banyak, daddy," ucapnya dengan suara penuh kebahagiaan. "Apapun untuk istriku tersayang." Aezar mengambil sepiring nasi untuk dirinya sendiri, menambah
Aezar selesai menata piring-piring yang sudah bersih di rak dengan rapi, lalu mengalihkan pandangannya ke arah jam dinding. Jarum panjang menunjukkan pukul sembilan malam. Ia melirik Ara yang duduk diam di kursi, tampak melamun. "Apa sudah satu jam sejak kita selesai makan?" tanyanya, suaranya memecah keheningan. Ara terkejut, pikirannya kembali ke dunia nyata. "Mungkin? Aku tidak tahu kita selesai makan jam berapa. Memangnya kenapa?" Aezar tersenyum lembut, lalu berjalan mendekat dan mengusap kepala Ara dengan penuh kasih sayang. "Tidak, maksudku... Kalau sudah satu jam setelah makan, artinya kita sudah boleh tidur." Ara memandangnya dengan tatapan datar, menebak maksud di balik kata-kata itu. "Takut asam lambung naik, ya?" "Pintar!" Aezar mengangguk puas, senyumnya semakin melebar. "Berbaring setelah makan sebelum satu jam memang berbahaya. Itu bisa memicu asam lambung naik dan—" Ara memotong
Ara menggeleng cepat tanpa sadar, berusaha mengusir pikiran-pikiran nakal di kepalanya. Gerakan itu membuat Aezar memandangnya penuh kebingungan. "Ada apa, Ara? Apa yang kau pikirkan? Apa aku membuatmu tidak nyaman?"Nada suara Aezar lembut, tapi di balik itu ada rasa khawatir yang mengintip. Ia mengernyitkan dahi, mencari jawaban di wajah Ara."Tentu saja!" jawab Ara dengan spontan, suaranya sedikit meninggi. Ia menyesal sesaat setelah kata-kata itu keluar dari mulutnya. "Lihat saja tubuhmu itu! Sangat sempurna, seperti pahatan patung yang dibuat oleh seniman kelas dunia! Wanita mana yang bisa tenang tidur di samping pria seperti dirimu? Bukannya tidur, aku malah memelototi tubuhmu terus sampai pagi!"Aezar mendengarnya dengan tatapan penuh kehangatan, lalu tiba-tiba terkekeh pelan. Suara tawanya dalam dan lembut, seperti angin malam yang menenangkan. "Ara, kau ini benar-benar lucu," katanya sambil berdiri dari ranjang.Ara menatapnya dengan bing
Di dapur yang hangat, aroma bumbu dan rempah memenuhi udara. Aezar berdiri dengan apron diikat rapi di tubuhnya, tangan sibuk membaluri potongan ayam mentah dengan tepung. Di belakangnya, Ara duduk di kursi dengan ekspresi bosan, memainkan ujung rambutnya sambil mengeluh."Huwaa... Aku bosan! Biarkan aku membantu!" seru Ara, nadanya manja. Meski sebenarnya ia menikmati menjadi tuan putri yang hanya duduk diam, terlalu lama dimanjakan membuatnya merasa tidak enak hati.Aezar menoleh sejenak sambil tersenyum, tangannya tetap sibuk. "Mau bantu? Boleh."Ara menatapnya penuh semangat, tubuhnya sedikit condong ke depan. "Boleh? Aku bantu apa?"Aezar melirik Ara, menahan tawa. "Bantu doa," katanya santai, nada bercandanya sangat jelas.Semangat Ara langsung menguap, wajahnya berubah masam. "Ish! Kalau cuma itu, aku duduk saja lagi!" gerutunya sambil menyilangkan tangan di dada.Aezar tertawa kecil, menikmati ekspresi Ara yang kesal namu
Aezar baru saja selesai memasak. Seperti biasanya, ia langsung beranjak membereskan piring kotor bekas makan, termasuk milik Ara. Gerakannya cekatan, seolah rutinitas ini sudah menjadi kebiasaan alami baginya."A-"Belum sempat Ara menyelesaikan kalimatnya, Aezar menoleh dan memotongnya dengan suara tegas namun tetap lembut. “Tidak boleh! Kembali ke kamar.”Ara mendengus kesal. “Huh! Kau ini otoriter sekali!” Ia akhirnya menurut, meski dengan langkah berat. Sesampainya di kamar, ia menjatuhkan tubuhnya ke ranjang dengan perasaan bercampur aduk.Aezar menatap punggung Ara yang menjauh dengan ekspresi penuh penyesalan. Tapi ia memilih untuk menyelesaikan tugasnya lebih dulu. Sambil mencuci piring, pikirannya dipenuhi kekhawatiran. "Aku harus lebih hati-hati. Ara sedang menstruasi. Perasaannya pasti jauh lebih sensitif sekarang."Beberapa menit berlalu. Setelah semua beres, Aezar langsung berlari ke kamar. Tanpa mengatakan apa pun, ia memelu
Ara melangkah masuk ke ruangan yang dimasuki Aezar sebelumnya. Ruangan itu ternyata adalah sebuah gym pribadi, dengan berbagai alat olahraga tersusun rapi di dalamnya. Namun perhatian Ara langsung tertuju pada satu sosok—Aezar, yang berdiri di depan samsak tinju.Pria itu tampak serius, kepalan tangannya beradu keras dengan samsak, menghasilkan suara hentakan berirama yang memenuhi ruangan.“Hah! Ah...” Suara teriakan dan tarikan napas berat dari Aezar menggema di ruangan, membuat Ara tanpa sadar terdiam di ambang pintu. Matanya terpaku pada gerakan Aezar—gerakan lincah, pukulan kuat, dan sesekali lompatan kecil yang membuat otot dadanya yang basah oleh keringat bergerak naik-turun. Wajahnya yang sedikit berkerut karena konsentrasi justru membuat kesan maskulin yang tak tertahankan.Ara merasa pipinya semakin panas. Ia buru-buru membalikkan badan, berniat keluar dari ruangan itu sebelum pikiran aneh mulai muncul di benaknya. Tapi langkahnya terhenti ketika
Ara berjalan perlahan di sekitar rumah, ingin lebih memahami tempat asing yang kini ia tempati bersama Aezar. Rumah itu sangat besar, dengan desain modern minimalis, berdiri megah di atas bukit. Tingginya mencapai tiga lantai, dan setiap sudutnya terlihat sempurna, seolah dirancang oleh tangan-tangan ahli. Namun, ada sesuatu yang janggal.Ara menyusuri lorong-lorongnya, mengamati setiap detail. Tidak ada foto keluarga, tidak ada hiasan dinding yang menunjukkan siapa pemilik rumah ini. Hatinya terasa gelisah. "Siapa yang membangun rumah sebesar ini di tengah kehancuran dunia?" pikirnya.Keluar dari pintu utama, Ara berharap udara segar di luar akan mengurangi perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Tapi yang ia temui justru mimpi buruk.Matanya membelalak. Di depan pagar tinggi rumah itu, puluhan zombie tergeletak, tubuh mereka tersengat kawat listrik yang melindungi rumah. Bau amis darah dan daging membusuk menyeruak ke udara, membuat Ara hampir muntah. Di
Ara menatap luka di lengan Aezar dengan penuh perhatian. Ia menelan ludah, mempelajari setiap detail situasi. Setelah beberapa saat, ia bergumam lebih kepada dirinya sendiri, "Sepertinya memang lukanya baik-baik saja... Sepertinya hanya dengan cakaran tidak akan bisa menularkan virus zombie."Aezar mengangguk setuju sambil melanjutkan membersihkan lukanya dengan hati-hati. "Benar. Virus itu menyebar langsung melalui gigitan, lewat air liur zombie. Tapi bukan berarti cakaran bisa dianggap remeh. Kuku zombie penuh dengan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika darah mereka masuk ke dalam luka, risikonya tetap ada.""Hiy!" Ara segera mundur beberapa langkah, tubuhnya kaku dan wajahnya penuh ekspresi takut.Melihat reaksi Ara, Aezar tiba-tiba menyeringai jahil. Ia memiringkan kepala ke kanan, menundukkan bahu, lalu mulai menyeret kakinya perlahan ke arah Ara sambil mengerang pelan, "Rrawr...""Kyaaaa!" Ara memekik, langsung berlari menjauh dengan panik.
Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe
"Werewolf?"Mata Ara membulat seketika, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Aezar mengangguk tegas, ekspresinya serius. "Benar. Darius adalah werewolf."Ara menunduk, tangannya menopang dagu, mencoba mencerna semua informasi yang telah ia terima. "Jadi... kau adalah vampir, Aether adalah alien, Kaelen adalah merman, dan Darius adalah werewolf."Ia mengangkat kepalanya dan menatap Aezar tajam. "Lalu bagaimana dengan Eryas?"Aezar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada lebih tenang. "Eryas… dia manusia. Sama sepertimu."Ara menghela napas panjang sebelum akhirnya membanting tubuhnya ke kasur dengan kesal. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar tanpa kendali. "Apa-apaan ini? Aku kira makhluk seperti kalian hanya ada di cerita fantasi!"Aezar terkekeh pelan sebelum menjawab. "Tapi nyatanya kami memang ada. Hanya saja, kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat mencolok dan berbaur semirip mungkin dengan manusia."Ara mengernyit. "Kenap
"Suami?"Ara menatap Aezar dengan ekspresi kesal, kedua alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"Aezar semakin menunduk, merasa salah tingkah. Jemarinya dengan canggung menggaruk kepalanya sendiri yang jelas-jelas tidak terasa gatal. "Maksudku..." suaranya terdengar lemah, nyaris tidak terdengar.Namun, bukannya marah, Ara justru terkekeh kecil. Nada suaranya ringan, penuh keisengan. "Bukankah papa sudah bilang kalau pernikahan kita tidak sah? Kita masih harus meminta restu papaku dan menggelar pernikahan secara resmi. Baru setelah itu aku boleh menganggapmu sebagai suamiku."Aezar menatapnya dengan mata berbinar. Ada cahaya harapan di sana, sesuatu yang membuatnya terlihat lebih hidup. "Apa itu berarti... kau mau jadi istriku, Ara? Istri sungguhan, secara sah?"Ara mengangguk tanpa ragu. Namun sebelum Aezar bisa bereaksi lebih jauh, Ara mengangkat satu jari, ekspresi usilnya kembali muncul. "Tap
Aezar merawat Ara dengan sangat telaten, memastikan setiap luka di tubuh gadis itu sembuh secepat mungkin. Sama seperti saat awal pertemuan mereka—bedanya, kali ini tidak ada kebohongan, tidak ada niat tersembunyi. Ia melakukannya dengan tulus, bukan karena mengharapkan kebebasan atau keuntungan apa pun, tetapi karena Ara adalah satu-satunya orang yang ingin ia jaga dengan segenap hatinya.Ara menatap Aezar yang dengan sabar menyuapinya makanan. Meski tubuhnya masih lemah, pikirannya sudah mulai jernih, dan ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Aezar terdiam sejenak. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara, dan ia menunduk. Ada keraguan di matanya, seakan otaknya sedang berusaha memilah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia tahu, ia tidak boleh terus melarikan diri dari pertanyaan ini. Ara berhak tahu segalanya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. "Jadi... Ini s