Ara melangkah masuk ke ruangan yang dimasuki Aezar sebelumnya. Ruangan itu ternyata adalah sebuah gym pribadi, dengan berbagai alat olahraga tersusun rapi di dalamnya. Namun perhatian Ara langsung tertuju pada satu sosok—Aezar, yang berdiri di depan samsak tinju.
Pria itu tampak serius, kepalan tangannya beradu keras dengan samsak, menghasilkan suara hentakan berirama yang memenuhi ruangan.“Hah! Ah...” Suara teriakan dan tarikan napas berat dari Aezar menggema di ruangan, membuat Ara tanpa sadar terdiam di ambang pintu. Matanya terpaku pada gerakan Aezar—gerakan lincah, pukulan kuat, dan sesekali lompatan kecil yang membuat otot dadanya yang basah oleh keringat bergerak naik-turun. Wajahnya yang sedikit berkerut karena konsentrasi justru membuat kesan maskulin yang tak tertahankan.Ara merasa pipinya semakin panas. Ia buru-buru membalikkan badan, berniat keluar dari ruangan itu sebelum pikiran aneh mulai muncul di benaknya. Tapi langkahnya terhenti ketikaAra berjalan perlahan di sekitar rumah, ingin lebih memahami tempat asing yang kini ia tempati bersama Aezar. Rumah itu sangat besar, dengan desain modern minimalis, berdiri megah di atas bukit. Tingginya mencapai tiga lantai, dan setiap sudutnya terlihat sempurna, seolah dirancang oleh tangan-tangan ahli. Namun, ada sesuatu yang janggal.Ara menyusuri lorong-lorongnya, mengamati setiap detail. Tidak ada foto keluarga, tidak ada hiasan dinding yang menunjukkan siapa pemilik rumah ini. Hatinya terasa gelisah. "Siapa yang membangun rumah sebesar ini di tengah kehancuran dunia?" pikirnya.Keluar dari pintu utama, Ara berharap udara segar di luar akan mengurangi perasaan aneh yang menyelimuti dirinya. Tapi yang ia temui justru mimpi buruk.Matanya membelalak. Di depan pagar tinggi rumah itu, puluhan zombie tergeletak, tubuh mereka tersengat kawat listrik yang melindungi rumah. Bau amis darah dan daging membusuk menyeruak ke udara, membuat Ara hampir muntah. Di
Ara menatap luka di lengan Aezar dengan penuh perhatian. Ia menelan ludah, mempelajari setiap detail situasi. Setelah beberapa saat, ia bergumam lebih kepada dirinya sendiri, "Sepertinya memang lukanya baik-baik saja... Sepertinya hanya dengan cakaran tidak akan bisa menularkan virus zombie."Aezar mengangguk setuju sambil melanjutkan membersihkan lukanya dengan hati-hati. "Benar. Virus itu menyebar langsung melalui gigitan, lewat air liur zombie. Tapi bukan berarti cakaran bisa dianggap remeh. Kuku zombie penuh dengan darah dan cairan tubuh lainnya. Jika darah mereka masuk ke dalam luka, risikonya tetap ada.""Hiy!" Ara segera mundur beberapa langkah, tubuhnya kaku dan wajahnya penuh ekspresi takut.Melihat reaksi Ara, Aezar tiba-tiba menyeringai jahil. Ia memiringkan kepala ke kanan, menundukkan bahu, lalu mulai menyeret kakinya perlahan ke arah Ara sambil mengerang pelan, "Rrawr...""Kyaaaa!" Ara memekik, langsung berlari menjauh dengan panik.
Ara berdiri dengan kedua kakinya yang sedikit gemetar di halaman belakang rumah. Di tangannya, pistol itu terasa begitu berat, seolah menambah tekanan pada dirinya. Aezar berdiri di belakangnya, tubuhnya yang besar dan kokoh menjadi pelindung sekaligus pengarah. Dengan suara rendah dan lembut, Aezar membisikkan instruksi ke telinga Ara, suaranya cukup dekat hingga membuat napasnya terasa hangat di leher Ara.“Fokus, Ara,” bisik Aezar, tangannya yang besar melingkupi tangan Ara, mengarahkan posisi genggaman yang benar. “Lihat targetmu. Jangan pikirkan apapun selain itu.”Ara menghela napas panjang, matanya menatap ragu ke depan. Beberapa mayat zombie tergeletak sebagai sasaran tembak. Pemandangan itu membuat perutnya mual, namun ia tahu bahwa ini bukan sekadar latihan. Ini adalah bekal hidup.“Tidak bisakah kita ganti dengan benda lain? Benda mati, mungkin?” tanya Ara, suaranya penuh dengan harapan meski ia tahu jawabannya mungkin akan mengecewakan.
“Malam sudah larut, dingin pun semakin menusuk,” ucap Aezar lembut sambil melepaskan pelukannya dari tubuh mungil Ara. Suaranya tenang, namun tegas. “Masuklah ke dalam rumah dan istirahat. Maaf, karena tiba-tiba memintamu berlatih menembak di waktu seperti ini.”Ara memandang wajah Aezar dengan sorot mata penuh kekhawatiran. “Kalau begitu, ayo kita masuk bersama.” Dia menggenggam tangan besar pria itu, menariknya pelan, berusaha membawanya masuk ke dalam rumah.Namun Aezar tetap berdiri di tempat, tidak bergeming. Ara menoleh dengan kebingungan, menarik tangannya sedikit lebih kuat, namun tetap tak ada hasil. “Ada apa, Daddy? Kenapa diam saja?” tanyanya, memandang Aezar yang justru menatap jauh ke depan, ke arah pagar kawat yang sobek di sudut halaman.“Sekarang pagar besi depan adalah satu-satunya penghalang antara kita dan zombie,” ucap Aezar dengan suara rendah, namun penuh kewaspadaan. “Kalau aku ikut masuk, aku takut zombie akan kembali bertumpuk di s
Pagi mulai menyingsing, cahayanya perlahan menembus celah-celah gelap malam. Kabut tipis menyelimuti halaman, udara dingin yang menusuk mulai tergantikan oleh hangatnya mentari pagi. Aezar membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa lemas, rasa nyeri di lengannya membangunkannya sepenuhnya.Namun, bukan rasa sakit itu yang membuatnya tersadar sepenuhnya, melainkan sentuhan lembut yang menyentuh lengannya dengan hati-hati. Aezar menoleh cepat, menemukan Ara duduk di sebelahnya, wajahnya fokus membalut luka di lengan Aezar dengan perban putih yang bersih."Ara?" suara berat Aezar menggema dalam keheningan.Ara menoleh sejenak, tak terkejut, lalu melanjutkan pekerjaannya dengan tenang. Tangannya yang mungil bergerak dengan hati-hati, memastikan perban terpasang sempurna."Ara, lepaskan tanganku!" seru Aezar, nadanya tegas. Dia menarik lengannya dengan cepat, menjauhkan dari genggaman Ara. Aezar mengerutkan kening. "Ara, aku harus memberitahumu sesuatu.
Matahari semakin meninggi, sinarnya menyusup melalui celah-celah daun pohon di halaman. Aezar berdiri di depan pagar kawat sengatan listrik yang baru saja diperbaikinya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, dia memastikan pagar itu kokoh dan berfungsi dengan baik, tak ingin ada celah bagi zombie untuk menerobos masuk. Tangannya yang besar penuh luka gores, hasil dari pekerjaan tergesa-gesa demi melindungi orang yang paling berharga baginya—Ara.Sesekali, tatapannya melayang ke arah rumah, memikirkan gadis kecil yang kini terbaring lemah di dalam. "Ini salahku," gumamnya pelan, suaranya serak oleh rasa bersalah yang semakin menggerogoti. "Bagaimana aku bisa menyakiti seseorang yang selama ini aku jaga dengan nyawaku sendiri?"Setelah memastikan pagar aman, Aezar menghela napas panjang dan berjalan cepat kembali ke dalam rumah. Langkah-langkahnya terdengar berat, seolah setiap langkah membawa beban batin yang tak tertahankan. Begitu memasuki kamar, pandangannya langs
Dapur dipenuhi aroma harum dari ayam yang sedang digoreng, tetapi suasana di ruangan itu terasa berat. Aezar berdiri di depan kompor, tangannya sibuk membaluri potongan ayam dengan tepung sebelum mencelupkannya ke minyak panas yang mendidih. Wajahnya terlihat serius, garis-garis tegang di wajahnya menandakan bahwa pikirannya sedang tidak tenang.Di sisi lain ruangan, Ara berdiri ragu-ragu. "Daddy..." panggilnya pelan, suaranya terdengar hampir berbisik. "Jangan dihabiskan semua bahan makanannya... Kalau nanti-""Nanti apa?" potong Aezar dengan nada tajam, menghentakkan pisau yang dipegangnya ke atas talenan. Suara dentingan logam itu menggema di dapur, membuat Ara tersentak mundur.Aezar menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, ketika ia berbicara lagi, suaranya tetap penuh tekanan. "Aku sudah menghisap terlalu banyak darahmu, Ara. Sekarang kau harus makan makanan yang bisa memulihkan tubuhmu. Zat besi, protein, apapun yang bisa membu
Aezar berdiri di wastafel, menyelesaikan cucian piring yang tersisa sambil melamun. Suara aliran air yang mengalir di wastafel memenuhi ruangan dengan keheningan yang menenangkan. Namun, tanpa ia sadari, Ara mendekatinya dengan langkah-langkah pelan. Dalam sekejap, dia melingkarkan tangannya di pinggang Aezar dari belakang, memeluknya erat. "Apa ini, Ara?" tanya Aezar sambil terkekeh pelan, namun kehangatan dari pelukan itu membuatnya sedikit terdiam. "Memeluk daddy," jawab Ara dengan suara lembut, membenamkan wajahnya ke punggungnya. "Daddy wangi..." lanjutnya dengan nada manja. Ucapan Ara membuat Aezar terdiam sesaat. Wajahnya memerah, namun dia berusaha menyembunyikan rasa malunya. Setelah selesai mencuci piring, dia mengambil sedikit air dari wastafel dan mencipratkannya ke wajah Ara. "Huwaa! Wajahku basah!" rengek Ara, melompat mundur sambil mengusap wajahnya yang basah. Aezar terkekeh puas, berlari kelu
Dharma menarik napas panjang, mencoba menenangkan gelombang emosi yang bergejolak di dalam dirinya. Matanya memandang lembut ke arah Ara yang duduk di hadapannya, bahunya yang mungil terlihat bergetar halus karena tangis yang tertahan. Ia mendekatkan diri, menunduk sedikit hingga wajah mereka hampir sejajar. Dengan nada yang pelan tapi penuh ketegasan, ia berkata, "Ara, kau tidak perlu membohongi Papa. Papa tahu, kau tidak mungkin mempertaruhkan nyawamu untuk seseorang yang hanya kau anggap sebagai sekadar tumpuan. Jika kau sampai sejauh itu, berarti kau benar-benar peduli. Papa bisa melihatnya."Ara terdiam, seolah kata-kata ayahnya itu menghantam benteng yang selama ini ia bangun. Pandangannya jatuh ke lantai, matanya berusaha menghindari tatapan Dharma. Namun, tak mampu lagi menahan semua yang mengganjal, air matanya mulai mengalir deras. Butiran-butiran hangat itu jatuh tanpa henti, seperti banjir yang tak terbendung. Dengan suara yang bergetar, ia b
Malam semakin larut, hanya suara angin yang berdesir lembut di luar jendela. Ara tertidur di pelukan Dharma, wajahnya basah oleh air mata yang mengering, tampak begitu rapuh seperti seorang anak kecil yang kembali ke pelukan ayahnya untuk berlindung dari dunia yang keras. Dharma memandangi wajah putrinya dengan perasaan yang bercampur aduk—kasih sayang, penyesalan, dan tekad yang semakin menguat.Dengan hati-hati, Dharma meletakkan Ara di sofa. Ia merapikan posisi tidur putrinya agar lebih nyaman, lalu menyelimuti tubuhnya yang mungil. Tangannya terulur, mengusap lembut rambut Ara, merasakan kehalusan setiap helaian rambutnya. Sebuah senyum tipis yang penuh kepedihan muncul di wajahnya. "Ara... Papa tahu kau kuat. Tapi di balik kekuatan itu, kau tetap putri kecil Papa yang butuh perlindungan. Papa hanya ingin yang terbaik untukmu."Dharma menghela napas panjang, menatap langit-langit dengan tatapan kosong. Suaranya keluar seperti bisikan yang ditujukan untuk dirinya sendiri. "Sebenarn
Malam semakin larut, dan kesunyian di ruang tamu terasa begitu mencekam. Ara duduk di sofa, tubuhnya sedikit membungkuk, tangan meremas ujung bajunya. Matanya yang sembab dan memerah akibat terlalu banyak menangis kini hanya menatap kosong ke lantai. Di kepalanya, kata-kata Dharma terus terulang, seperti gema yang menghantam dinding pikirannya tanpa henti."Papa benar... Apa yang papa katakan adalah benar..." gumamnya pelan, hampir seperti bisikan kepada dirinya sendiri. Bibirnya bergetar, mencoba menyangkal perasaan yang terus mencabik hatinya. "Sangat mencurigakan pria sesempurna dirinya memberikan semua perhatian itu padaku. Mana mungkin ada pria seperti itu? Tidak ada pria yang lebih tulus dari Papa! Bahkan di luar sana, banyak ayah yang meninggalkan istri dan anak-anaknya demi wanita lain. Apa yang aku harapkan dari pria seperti Aezar?"Ara menunduk semakin dalam, mencengkeram kepalanya dengan kedua tangan. Logika dan emosinya terus bertarung, saling beradu tanpa ada yang mau men
Ruangan terasa dingin dan sunyi setelah kepergian Aezar, tetapi ketegangan yang tersisa membakar seperti api yang tak terlihat. Ara berdiri mematung, wajahnya dipenuhi air mata yang tak berhenti mengalir. Namun, bukan hanya kesedihan yang terpancar dari matanya—melainkan amarah yang mendidih. Ia menatap ayahnya dengan tajam, suaranya penuh getaran emosi. "Papa... Papa jahat! Papa sudah mengusir Daddy!"Dharma menghela napas panjang, mencoba menenangkan dirinya. "Ara," katanya, suaranya berat dan penuh penekanan. "Papa melakukan ini demi kebaikanmu, demi keamananmu. Kau harus memahami itu. Lihat luka di lenganmu—""Itu bukan Daddy yang salah!" Ara memotong dengan suara yang bergetar, tetapi tegas. "Aku sendiri yang memaksanya meminum darahku! Daddy tidak mau, tapi aku memaksa karena dia tidak bisa meminum darah zombie. Apa salahnya, Pa? Mendonorkan darah kepada yang membutuhkan, apa itu salah?!"Tatapan Dharma mengeras, namun ada rasa frustrasi yang mendalam di matanya. Ia menatap putr
Ruangan lobi yang sebelumnya hening kini dipenuhi ketegangan yang pekat. Suara Dharma yang menggelegar menggema di dinding, memecah keheningan seperti petir di malam gelap. "Pergi dari sini!" titahnya dengan tegas, matanya menatap tajam ke arah Aezar, penuh amarah dan ketidakpercayaan.Aezar tetap berdiri tegak, wajahnya dingin tetapi ada sedikit rasa bersalah yang tersirat. "Maaf, Paman," ucapnya pelan namun tegas, "Saya tidak bisa melakukannya. Saya sudah berjanji pada Ara untuk melindunginya.""Pergi!" Dharma memukul meja dengan keras. Dentuman suara meja kayu yang terhantam menggema, membuat tubuh Aezar tetap tak bergeming, tetapi Ara yang tertidur di sofa tersentak. Ia membuka mata dengan bingung, wajahnya yang lelah tampak kebingungan menatap ayahnya."Papa? Ada apa ini?" tanyanya dengan suara serak, matanya berkedip menyesuaikan diri dengan cahaya di ruangan.Dharma segera berbalik, suaranya berubah menjadi lebih lembut tetapi masih penuh rasa khawatir. "Ara, kau baik-baik saja
Dharma berdiri di depan wastafel, air mengalir deras dari keran, membasahi tangannya yang sibuk mencuci piring. Tapi pikirannya melayang jauh, meninggalkan kesibukan fisiknya. Tatapannya kosong menatap piring yang dipegangnya, sementara pikirannya penuh dengan satu sosok—Aezar."Anak muda itu..." gumamnya pelan, nyaris tidak terdengar di tengah suara gemericik air. Matanya menyipit seolah sedang menilai sesuatu yang tidak kasat mata. "Dia sangat tampan, mandiri, tegas, baik, dan ramah. Dia terlihat terlalu sempurna... tanpa celah."Ia berhenti sejenak, menaruh piring yang telah selesai dicuci ke rak. Namun, pikirannya semakin gelisah. "Sempurna... Justru itulah masalahnya."Dharma menghela napas panjang, mengambil piring lain dari tumpukan, lalu kembali mencuci. Air yang dingin mengalir di tangannya, tapi dadanya terasa panas, penuh oleh kecurigaan yang terus tumbuh. "Tidak ada yang sempurna di dunia ini. Semua orang punya kekurangan, sisi gelap, sesuatu yang disembunyikan...," ucapny
Dharma memandang Aezar dan Ara dengan tatapan penuh sindiran, sudut bibirnya terangkat seolah mengejek. "Dasar budak cinta!" ujarnya dengan nada tajam, menyelipkan sedikit cibiran. "Kalau kau memang kuat, buktikan. Angkat Ara kalau kau bisa!" tantangnya, nada suara penuh keraguan, jelas menunjukkan bahwa ia tidak menganggap Aezar mampu melakukannya.Aezar menatap Dharma dengan tenang, senyum tipis terlukis di wajahnya. Tanpa sepatah kata, ia mengambil nampan dari meja yang di atasnya terdapat tumpukan piring, gelas, dan mangkuk kosong. Dengan satu tangan, ia mengangkat nampan itu dengan mudah. Lalu, tanpa kehilangan keseimbangan, Aezar berjongkok di depan Ara, mengangkat tubuh gadis itu dengan lembut. Satu tangan menopang di bawah lutut Ara, sementara yang lainnya tetap memegang nampan. Ara memeluk lehernya erat, tersenyum lebar seperti anak kecil yang merasa dimanjakan.Dharma melongo, mulutnya sedikit terbuka, tak percaya dengan apa yang baru saja dilihatnya. "Ap
Ara menatap Aezar dengan tatapan haru, matanya mulai berkaca-kaca. "Daddy...," ucapnya pelan, penuh emosi.Anjani, yang meski lemah masih bisa mengikuti percakapan mereka, terkekeh pelan. "Ara sudah punya panggilan kesayangan saja," katanya lembut, senyumnya samar namun tulus."Tentu saja!" jawab Ara dengan bangga, nadanya penuh kebahagiaan yang terasa menular. "Mama saja memangil suaminya dengan sebutan papa. Aku juga mau memanggil calon suami ku dengan sebutan daddy!"Namun, Dharma mendengus, mencoba memecah suasana. "Yah ... Saat ini kau bisa mengatakan hal itu sekarang. Tapi tunggulah sampai kalian menikah. Nanti ucapanmu pasti akan berbeda. Awas saja kau selingkuh dengan wanita lain yang lebih pandai memasak atau yang lebih bisa menjadi ibu yang baik untuk anak-anakmu!" ucapnya dengan nada setengah menyindir, matanya menatap tajam Aezar.Aezar menunduk, pandangannya tertuju pada Anjani dan kedua anaknya yang masih terbaring lemah di matras. M
Dharma kembali menghampiri Ara dan Aezar setelah menyelesaikan tugasnya memberi makan istri dan kedua anaknya yang lain. Wajahnya terlihat letih, tapi masih menyimpan kelembutan seorang ayah. Ara menoleh dengan penuh harap, tersenyum kecil ketika melihat sosok ayahnya mendekat."Ara, sudah selesai makan?" Dharma bertanya lembut, menatap putri sulungnya dengan tatapan penuh perhatian."Sudah, Papa," jawab Ara ringan, senyumnya seolah mencoba menyembunyikan rasa lelah yang sebenarnya masih membekas.Dharma tersenyum kecil, lalu mendekat untuk membopongnya. Tubuh Ara yang masih belum sepenuhnya pulih terasa ringan di pelukannya. "Bisa berjalan, kan? Kalau tidak, Papa bantu."Ara hanya mengangguk pelan, membiarkan dirinya dibopong menaiki tangga menuju lantai dua. Sesaat kemudian, suara kecilnya memecah keheningan, "Papa, apa kita benar-benar akan bertemu Mama, Ariana, dan Aurora? Mereka sudah sembuh?"Dharma menarik napas panjang, menjeda la