Pagi mulai menyingsing, cahayanya perlahan menembus celah-celah gelap malam. Kabut tipis menyelimuti halaman, udara dingin yang menusuk mulai tergantikan oleh hangatnya mentari pagi. Aezar membuka matanya perlahan, tubuhnya terasa lemas, rasa nyeri di lengannya membangunkannya sepenuhnya.
Namun, bukan rasa sakit itu yang membuatnya tersadar sepenuhnya, melainkan sentuhan lembut yang menyentuh lengannya dengan hati-hati. Aezar menoleh cepat, menemukan Ara duduk di sebelahnya, wajahnya fokus membalut luka di lengan Aezar dengan perban putih yang bersih."Ara?" suara berat Aezar menggema dalam keheningan.Ara menoleh sejenak, tak terkejut, lalu melanjutkan pekerjaannya dengan tenang. Tangannya yang mungil bergerak dengan hati-hati, memastikan perban terpasang sempurna."Ara, lepaskan tanganku!" seru Aezar, nadanya tegas. Dia menarik lengannya dengan cepat, menjauhkan dari genggaman Ara. Aezar mengerutkan kening. "Ara, aku harus memberitahumu sesuatu.Matahari semakin meninggi, sinarnya menyusup melalui celah-celah daun pohon di halaman. Aezar berdiri di depan pagar kawat sengatan listrik yang baru saja diperbaikinya. Dengan sisa tenaga yang dimilikinya, dia memastikan pagar itu kokoh dan berfungsi dengan baik, tak ingin ada celah bagi zombie untuk menerobos masuk. Tangannya yang besar penuh luka gores, hasil dari pekerjaan tergesa-gesa demi melindungi orang yang paling berharga baginya—Ara.Sesekali, tatapannya melayang ke arah rumah, memikirkan gadis kecil yang kini terbaring lemah di dalam. "Ini salahku," gumamnya pelan, suaranya serak oleh rasa bersalah yang semakin menggerogoti. "Bagaimana aku bisa menyakiti seseorang yang selama ini aku jaga dengan nyawaku sendiri?"Setelah memastikan pagar aman, Aezar menghela napas panjang dan berjalan cepat kembali ke dalam rumah. Langkah-langkahnya terdengar berat, seolah setiap langkah membawa beban batin yang tak tertahankan. Begitu memasuki kamar, pandangannya langs
Dapur dipenuhi aroma harum dari ayam yang sedang digoreng, tetapi suasana di ruangan itu terasa berat. Aezar berdiri di depan kompor, tangannya sibuk membaluri potongan ayam dengan tepung sebelum mencelupkannya ke minyak panas yang mendidih. Wajahnya terlihat serius, garis-garis tegang di wajahnya menandakan bahwa pikirannya sedang tidak tenang.Di sisi lain ruangan, Ara berdiri ragu-ragu. "Daddy..." panggilnya pelan, suaranya terdengar hampir berbisik. "Jangan dihabiskan semua bahan makanannya... Kalau nanti-""Nanti apa?" potong Aezar dengan nada tajam, menghentakkan pisau yang dipegangnya ke atas talenan. Suara dentingan logam itu menggema di dapur, membuat Ara tersentak mundur.Aezar menghela napas panjang, mencoba mengendalikan emosinya. Namun, ketika ia berbicara lagi, suaranya tetap penuh tekanan. "Aku sudah menghisap terlalu banyak darahmu, Ara. Sekarang kau harus makan makanan yang bisa memulihkan tubuhmu. Zat besi, protein, apapun yang bisa membu
Aezar berdiri di wastafel, menyelesaikan cucian piring yang tersisa sambil melamun. Suara aliran air yang mengalir di wastafel memenuhi ruangan dengan keheningan yang menenangkan. Namun, tanpa ia sadari, Ara mendekatinya dengan langkah-langkah pelan. Dalam sekejap, dia melingkarkan tangannya di pinggang Aezar dari belakang, memeluknya erat. "Apa ini, Ara?" tanya Aezar sambil terkekeh pelan, namun kehangatan dari pelukan itu membuatnya sedikit terdiam. "Memeluk daddy," jawab Ara dengan suara lembut, membenamkan wajahnya ke punggungnya. "Daddy wangi..." lanjutnya dengan nada manja. Ucapan Ara membuat Aezar terdiam sesaat. Wajahnya memerah, namun dia berusaha menyembunyikan rasa malunya. Setelah selesai mencuci piring, dia mengambil sedikit air dari wastafel dan mencipratkannya ke wajah Ara. "Huwaa! Wajahku basah!" rengek Ara, melompat mundur sambil mengusap wajahnya yang basah. Aezar terkekeh puas, berlari kelu
"Tidak kuliah?" Ara menatap Aezar dengan mulut sedikit terbuka, ekspresinya penuh keterkejutan. Mata hitamnya berkedip cepat seolah memastikan bahwa dia tidak salah dengar. "Benarkah itu, Daddy?"Aezar mengangguk pelan, ekspresi wajahnya tetap tenang, seperti biasa. "Benar," jawabnya dengan suara rendah, hampir tanpa emosi. "Aku bahkan hanya lulusan SD."Ara membelalak, tubuhnya sedikit tersentak ke belakang. "Hah?!" jeritnya, suaranya meninggi karena tidak percaya. "Hanya SD?! Bagaimana mungkin?!"Aezar tidak menjawab. Dia hanya mengangkat bahu santai, seolah hal itu adalah sesuatu yang sama sekali tidak penting untuk diperdebatkan. Tapi di balik ketenangannya, ada semburat kecil rasa canggung yang berusaha dia sembunyikan dari Ara.Flashback:Ara duduk bersila di tempat tidurnya, fokus menatap layar ponsel yang menyala terang. Jari-jarinya bergerak lincah di atas layar, mengendalikan karakter di dalam game baru yang baru saja diunduhnya
Aezar berdiri di bawah terik matahari, dengan tekun membongkar satu per satu komponen PJUTS di hadapannya. Ia memisahkan bagian-bagian tiang, alas, lampu, panel surya, dan box controller, memperlakukan setiap bagian dengan hati-hati. Tangan kokohnya terlihat begitu terampil, seolah pekerjaan ini sudah menjadi bagian dari hidupnya.Di sisi lain, Ara berlari kecil menuju pagar kawat yang sebelumnya diperbaiki oleh Aezar. Ia mengamati hasil pekerjaan pria itu dengan saksama. Pagar kawat yang sebelumnya berlubang kini sudah tertutup sempurna, tanpa celah sedikit pun. Setiap potongan kawat baru terpasang rapi, seolah-olah pagar itu baru saja dipasang.Mata Ara berbinar saat melihat seekor belalang melompat di dekatnya. "Kebetulan sekali," gumamnya dengan nada penuh antusias. Ia segera menangkap belalang itu dengan cekatan, lalu melemparkannya ke arah pagar kawat. Namun, alih-alih tersetrum, belalang itu hanya menabrak kawat dan melompat menjauh, seolah yang disentuhnya
Aezar bergerak cepat, mencengkeram pergelangan tangan Ara dengan kuat sebelum jari-jari kecil gadis itu sempat menyentuh pagar kawat listrik. Wajahnya menegang, sorot matanya tajam. "Kau mau apa, Ara? Bunuh diri?" tanyanya dengan nada rendah, namun menggema seperti petir di udara.Ara terpaku, matanya membesar. Ia mencoba menarik tangannya, tapi cengkeraman Aezar terlalu kuat. Dengan canggung, Ara menggaruk pipinya, mencoba meredakan ketegangan. "Ti- tidak... Aku hanya ingin memastikan kalau pagar ini—"Sebelum Ara sempat menyelesaikan kalimatnya, Aezar menggerakkan kepalanya, menunjuk sesuatu di kejauhan. "Lihat ke sana."Ara mengarahkan pandangannya, mengikuti isyarat Aezar. Di ujung halaman, sebuah bangkai zombie tergeletak tak bernyawa. Tubuhnya hancur tak berbentuk, sebagian dagingnya menghitam dan mengeras, seolah telah terbakar. Bau busuk yang menyengat mulai tercium, membuat Ara bergidik ngeri.Wajah Ara memucat. "Z-zombie... itu..."
Ara menatap tajam ke arah Aezar, matanya mencerminkan campuran rasa penasaran dan kebingungan. Gerak-gerik Aezar yang anggun saat memotong makanan dengan table manner yang sempurna seolah menegaskan bahwa ia bukan pria biasa. Bahkan dalam kesederhanaan, caranya membawa diri memancarkan sesuatu yang berkelas, sesuatu yang Ara tidak bisa abaikan."Ada apa, Ara?" tanya Aezar, menyadari tatapan intens itu. Ia tersenyum lembut, mencoba mencairkan suasana. "Kenapa menatapku seperti itu? Ada sesuatu yang ingin kau tanyakan?"Ara tersentak, sedikit salah tingkah. Ia menggigit bibir bawahnya, ragu untuk berbicara. "I—itu... Maaf sebelumnya, tapi..." katanya dengan gugup. "Aku... aku cuma—"Melihat Ara yang kesulitan menemukan kata-kata, Aezar berdiri dari kursinya dan berjalan ke lemari kecil di sudut ruangan. Ia mengambil selembar kertas kosong dan sebuah pulpen, lalu kembali ke meja. Dengan lembut, ia menyerahkannya pada Ara. "Kalau kau gugup bicara, tuliskan saj
Ara memiringkan kepala, tatapannya penuh rasa ingin tahu. "Jadi, di mana adik Daddy sekarang? Dia baik-baik saja, kan?" tanyanya dengan suara lembut, tanpa sadar memicu sesuatu dalam diri Aezar.Senyum Aezar yang biasanya hangat perlahan menghilang. Matanya menyipit tajam, pupil merahnya memancarkan cahaya samar seperti bara api yang membara. "Kenapa kau menanyakan tentang Aether?" suaranya terdengar dingin, dengan nada yang nyaris menuduh. "Ada apa? Kenapa kau begitu peduli padanya?"Ara tersentak, tubuhnya kaku saat merasakan aura tajam yang keluar dari Aezar. Pupil merah yang menyala itu seperti menusuk ke dalam dirinya, membuatnya merasa kecil dan lemah. "T-ti-tidak... Itu hanya... Aku cuma penasaran..." Ara tergagap, kepalanya menunduk dalam, tangannya bergetar halus.Mendengar ketakutan dalam suara Ara, Aezar tersadar dari amarah yang tiba-tiba meluap. Ia memejamkan mata erat-erat, menarik napas panjang. Tangannya yang besar menutupi wajahnya, seolah
Ara dengan kasar menepis tangan Aether dari pahanya, kemarahan dan kekecewaan jelas tergambar di wajahnya yang masih basah oleh air mata. Mata dinginnya menatap Aether dengan tajam, seolah-olah pandangan itu bisa menghancurkan pria di depannya. "Jangan sentuh aku lagi! Jangan berjanji kalau kau bahkan tidak yakin bisa menepatinya! Kau adalah adik Aezar. Meskipun bukan saudara kandung, kalian tumbuh bersama bertahun-tahun. Kau pasti sama saja dengan dia! Pembohong dan manipulatif!"Aether hanya terkekeh pelan, seolah-olah tidak terusik oleh kemarahan Ara. Tangannya kembali ke setir, mengendalikan mobil dengan santai di tengah jalanan kosong yang penuh dengan mayat zombie yang berserakan. "Omong kosong apa yang sedang kau katakan, Ara? Kau salah besar. Aku tidak sama dengan kakakku—"Belum sempat Aether menyelesaikan kalimatnya, Ara langsung memotong dengan tajam, “Tunggu dulu! Aku punya tiga pertanyaan untukmu!”Aether menoleh sedikit ke arahnya, tanpa mengurangi fokusnya pada jalan. E
“Sekarang kau percaya dengan adanya penyakit kepribadian gandamu?” Suara dingin Eryas terdengar menggema dari ujung pintu, memecah suasana yang terasa begitu berat. Matanya yang tajam menatap Kaelen tanpa sedikit pun rasa simpati.Kaelen, yang masih duduk di lantai dengan lutut menekuk, mengangkat wajahnya perlahan. Wajahnya dipenuhi rasa bersalah, namun juga kelegaan karena akhirnya ia menyadari apa yang selama ini terjadi. “Aku percaya...” jawabnya singkat, suara itu seperti gumaman penuh kepasrahan.Eryas mengangguk kecil tanpa ekspresi. “Bagus. Kini saatnya kau menghadapi kebenaran ini.” Dia berbalik dengan santai, langkahnya bergema di lantai yang sepi.Kaelen berdiri perlahan, menyusul Eryas tanpa menoleh sedikit pun ke arah Ara. Matanya tetap tertunduk, merasa dirinya tidak pantas untuk memberikan penjelasan atau bahkan sekadar permintaan maaf kepada Ara. Dalam hatinya, ia tahu dirinya telah berubah menjadi monster yang bahkan tidak ia kenali sendiri.“Kau mau pergi begitu saja
Ara mundur perlahan, tubuhnya gemetar hebat saat Kaelen terus mendekat dengan senyum menyeramkan yang seolah-olah mengiris udara di antara mereka. “Ta-tapi… aku benar-benar tidak tahu apa-apa…” suaranya bergetar, matanya penuh ketakutan. “Kak Kaelen tahu sendiri… Papaku bahkan menyembunyikan pendidikan terakhirnya dariku.”Kaelen terkekeh pelan, suara tawanya terdengar lebih seperti desisan ular. Ia menatap Ara dengan sorot mata yang kini tak lagi berkilauan lembut seperti biasanya. Ada kegilaan di sana, bayangan dendam yang membara. “Sudah aku katakan berkali-kali, Ara… Aku bukan Kaelen yang ramah dan manja itu. Aku adalah sesuatu yang berbeda. Versi tersembunyi. Alter ego yang selama ini menjaga Kaelen dari manusia-manusia keji seperti dirimu dan keluargamu.”Dengan satu gerakan cepat, Kaelen mencabut sisiknya yang padat dari tangannya. Ia menancapkan benda itu ke lantai dengan kekuatan yang membuatnya retak dan hancur berkeping-keping, serpihan lantai beterbangan ke segala arah. Su
Kaelen berjalan perlahan mengitari Ara, seperti singa mengelilingi mangsanya. Setiap langkahnya terdengar menggema, memantul di dinding ruangan yang kini terasa lebih sunyi dan mencekam. Matanya yang biru menyala tajam, memancarkan sesuatu yang sulit dijelaskan—amarah, kepedihan, dan kebencian yang bercampur menjadi satu. Ia menarik napas dalam, lalu memulai cerita dengan nada yang dingin dan penuh ironi."Akan aku ceritakan kisah romantis paling gelap yang pernah dialami papaku, Rafael," ucapnya perlahan, suaranya seperti duri yang menusuk telinga. "Kisah cinta yang mengajarkan bahwa jatuh cinta kepada manusia adalah dosa terbesar seorang merman."Ara hanya bisa duduk terpaku, meskipun rasa takut mulai menggenggam hatinya. Setiap kata yang keluar dari mulut Kaelen bagaikan racun yang mengalir pelan, merusak segala pikiran positif yang berusaha ia pertahankan."Semua bermula pada malam yang penuh gemuruh ombak. Mamaku, seorang artis terkenal, berdiri di at
Kaelen menatap Ara dengan sorot mata yang sulit ditebak. Senyumnya yang biasanya santai kini memudar, menyisakan ekspresi penuh tanya. "Omong-omong," katanya akhirnya, suaranya sedikit lebih rendah, seperti sedang menahan sesuatu. "Kau tahu dari mana kalau aku merman?"Ara mengangkat bahu, memasang ekspresi seolah itu adalah pertanyaan bodoh. "Tentu saja tahu," jawabnya ringan, tetapi setiap katanya terucap dengan nada penuh keyakinan. "Kau selalu terlihat berenang di akuarium raksasa dan sering mengadakan pertunjukan. Sejak kau masih lima tahun, tapi sudah bisa menahan napas begitu lama di dalam air dan berakting menjadi merman. Mana mungkin kau manusia? Dan lagipula," Ara menambahkan, menatap Kaelen dengan tatapan penuh arti, "semua orang tahu papamu adalah merman. Itu bukan rahasia umum lagi."Kaelen terkekeh pelan mendengar jawaban Ara, tetapi tawa itu tidak bertahan lama. Tatapan matanya meredup, senyumnya berubah menjadi ekspresi melankolis yang jarang terlih
"Kak Kaelen, apa kau tahu perbedaanmu dengan nyamuk?" tanya Ara dengan nada menggoda. Tatapan matanya penuh kelicikan, seperti anak kecil yang siap mengeluarkan lelucon.Kaelen menoleh, alisnya terangkat, lalu memasang senyum sombong yang khas. Dia menyandarkan tubuhnya dengan santai, seolah yakin akan mendengar pujian manis. "Apa bedanya?" tanyanya, suaranya penuh antusiasme palsu.Namun, jawaban yang keluar dari bibir Ara membuat senyum itu lenyap seketika. "Tidak ada bedanya! Sama-sama harus dibasmi menggunakan obat nyamuk agar mati!"Untuk beberapa detik, Kaelen hanya terdiam, menatap Ara dengan ekspresi datar. Lalu dia menggeleng pelan sambil menarik napas dalam, seperti seorang guru sabar menghadapi murid nakal. "Mulutnya... Adik cantik tidak boleh berbicara kasar seperti itu. Tidak baik!" ucapnya dengan nada pura-pura prihatin.Ara tersenyum lebar, menantang, lalu menjawab dengan cepat, "Tidak baik, tapi terbaik!"Kaelen menatapnya
Kaelen menatap Ara dengan tatapan penuh rasa ingin tahu, namun senyuman tipis di wajahnya menyiratkan sesuatu yang sulit ditebak. Bibirnya melengkung, nyaris seperti mencemooh, ketika dia bertanya dengan nada santai, "Jadi, bagaimana menurutmu tentang Aezar?"Ara menarik napas panjang, mencoba mengatur pikirannya yang berkecamuk. Setelah beberapa saat, dia membuka mulutnya, dan suara tegasnya menguar di udara seperti seorang mahasiswi yang baru saja menguasai materi untuk presentasi penting. "Sebelum membahas sifat dan kepribadian Aezar," katanya, nadanya mendadak terstruktur seperti menyampaikan argumen dalam debat formal. "Mari kita bahas dulu mengenai kondisi eksternal yang sedang dirasakan Aezar!"Kaelen mengangkat alisnya sedikit, memperhatikan dengan ketertarikan yang tulus, meskipun senyumnya yang penuh teka-teki masih melekat di wajahnya. Ara melanjutkan, kini penuh semangat seperti seseorang yang kerasukan jiwa seorang akademisi. "Untuk saat ini, alasan Aezar pergi adalah unt
Ara menatap Kaelen dengan mata yang penuh amarah dan kebingungan. Suaranya pecah ketika dia mencoba mempertahankan nada tegasnya. "Jadi..." katanya, menarik napas panjang untuk mengendalikan dirinya. "Apa tujuanmu sebenarnya memberitahukan semua ini padaku?! Apa yang kau inginkan dariku?!"Kaelen hanya terkekeh pelan, sebuah tawa yang terdengar seperti gemerisik pisau yang diseret di atas kaca. Tatapan matanya tidak pernah lepas dari Ara, seperti predator yang sedang mengamati mangsanya. Dengan gerakan lambat namun penuh maksud, dia mengulurkan tangannya, menyentuh rambut Ara dengan lembut. Sentuhan itu terlihat penuh kasih sayang, tetapi ada sesuatu yang gelap di baliknya—sesuatu yang membuat Ara ingin menjauh sejauh mungkin."Kau akan tahu nanti malam," jawab Kaelen dengan nada tenang, nyaris seperti bisikan. Suaranya terdengar lembut, tetapi dingin, seperti hembusan angin malam yang menusuk. "Namun, untuk sekarang, kenapa kita tidak berbincang santai saja? Anggap ini momen istimewa
Eryas memandang Ara dengan tatapan dingin sebelum mendengus kasar. Tanpa peringatan, dia melayangkan tendangan keras ke sisi tubuh Ara, membuat gadis itu terseret beberapa meter di lantai yang dingin dan kasar. Ara tersentak, merasakan sakit menjalar di tubuhnya, namun ia tidak sempat merintih."Aku tidak punya waktu untuk meladeni kebodohanmu," kata Eryas tajam, suaranya penuh dengan ketidaksabaran. Dia berbalik, langkah kakinya berat dan tegas, meninggalkan Ara tergeletak di lantai.Kaelen, yang berdiri bersandar di dinding dengan sikap santai, mendekati Ara dengan langkah ringan setelah Eryas keluar dari ruangan. Dia berhenti di depan gadis yang masih terengah-engah di lantai, menatapnya dengan senyum tipis di wajah tampannya.Kaelen mengulurkan tangan, isyarat sederhana untuk membantu Ara berdiri. Ara memandangnya dengan penuh keraguan, tapi akhirnya ia menerima tangan itu. Sentuhan Kaelen terasa hangat, berbeda jauh dengan dinginnya perlakuan Eryas."Maafkan dia," kata Kaelen den