Aezar kini berdiri di dalam garasi yang gelap, hanya diterangi cahaya redup dari lampu gantung. Langkahnya mantap, tak tergesa, namun penuh keyakinan, menuju sebuah sepeda motor sport berwarna hitam legam. Motor itu terlihat seperti seekor binatang buas yang siap menerkam, dengan bodi aerodinamis dan kilauan metaliknya yang gagah.
Ia mengusap joknya sebentar, seolah memberi salam pada kuda besinya, sebelum melangkah ke sisi motor dan mengenakan helm hitam pekat. Setelah memutar kunci, mesin motor menggeram, menggetarkan udara dengan suara brutal. "Bruuum!" Raungan knalpot memenuhi ruang garasi, seakan mengumumkan keberangkatan sang pemilik. Dengan satu gerakan gesit, Aezar melajukan motornya keluar garasi, menembus jalanan yang sunyi dan kelam. Udara dingin malam menerpa wajahnya, tapi tatapan Aezar tetap tajam, mengawasi setiap sudut jalan dengan kewaspadaan seorang pemburu. Tak lama, dari kejauhan, ia melihat sosok yang tak asing lagi baginya—seorang zombie dengan gerakan cepat berlari ke arahnya, mulutnya menganga, siap menerkam. Dengan cekatan, Aezar meraih pistol dari balik jaketnya menggunakan tangan kiri. Tanpa mengurangi kecepatan motornya, ia membidik dengan presisi yang sempurna. "Matilah," gumamnya rendah, penuh keyakinan. Dor! Peluru melesat, menembus udara, dan mengenai kepala zombie itu tepat di tengah dahi. Suara tembakan bergema, disusul suara tubuh zombie yang terhempas ke aspal. Darah mengalir deras, membentuk genangan merah gelap yang menciptakan pemandangan mengerikan di bawah cahaya bulan. Aezar memiringkan stang motor dengan cepat, menghindari tubuh tak bernyawa yang tergeletak di jalan. Namun, ancaman belum selesai. Dari segala arah, zombie terus berdatangan, mengepungnya seperti kawanan serigala lapar. Dor! Dor! Dor! Rentetan tembakan terdengar, setiap peluru menemukan sasarannya tanpa meleset sedikit pun. Meskipun hanya menggunakan tangan kiri untuk menembak, akurasi Aezar sempurna, seolah tubuhnya telah dilatih untuk menghadapi situasi seperti ini sepanjang hidupnya. Sementara itu, tangan kanannya tetap kokoh menggenggam stang motor, mempertahankan kendali dengan presisi luar biasa. --- Di balkon rumah, Ara berdiri dengan teropong di tangannya. Matanya membulat penuh antusias, mengikuti setiap gerakan Aezar dari kejauhan. "Woah! Sangat keren!" serunya, kagum, tanpa menyadari dirinya berbicara pada udara kosong. Ia memutar lensa teropong, memperbesar gambar hingga dapat melihat setiap detail aksi Aezar dengan lebih jelas. Bayangan Aezar di tengah kegelapan, dikelilingi zombie yang mencoba merobeknya hidup-hidup, terlihat seperti adegan epik dalam game. "Ini seperti menonton adegan live-action dari game favoritku... Tapi lebih menegangkan, karena ini nyata!" gumamnya, matanya tak lepas dari sosok Aezar yang terus bergerak gesit di medan berbahaya itu. Saat seorang zombie mencoba melompat dari sisi kanan motor, Ara tanpa sadar menahan napas. Namun, sebelum zombie itu sempat mencapai Aezar, sebuah peluru sudah lebih dulu menghentikan gerakannya di udara. Zombie itu jatuh dengan bunyi keras ke tanah. "Ayo, Aezar! Kau pasti bisa!" bisik Ara penuh semangat, meskipun ia tahu pria itu tidak bisa mendengarnya. Angin malam yang dingin bertiup, tetapi Ara tetap berdiri di sana, memandangi perjuangan Aezar. Ada sesuatu yang membuat dadanya terasa sesak—antara rasa kagum, ketakutan, dan sebuah perasaan yang tak bisa ia jelaskan. "Apa yang sebenarnya terjadi di sini? Kenapa semuanya terasa seperti mimpi yang berubah menjadi kenyataan?" Namun, Ara tahu satu hal. Ia tak bisa memalingkan mata dari Aezar. Tidak sekarang. Tidak saat pria itu mempertaruhkan nyawanya di luar sana. Dor! Dor! Dor! Suara tembakan bergema di sepanjang jalan yang dipenuhi zombie. Aezar terus melaju dengan motor sportnya, memacu kendaraan di antara gerombolan mayat hidup yang tak henti mengejarnya. Peluru dari pistolnya melesat dengan presisi, menumbangkan setiap zombie yang berani mendekat. Namun, malang tak dapat ditolak—ban belakang motornya melindas mayat salah satu zombie yang terkapar. Seketika, keseimbangan motor terganggu. Ckkrrrttt! Ban motor tergelincir. Motor itu berputar liar sebelum akhirnya terlempar, membuat tubuh Aezar ikut terhempas ke aspal. Ia terseret beberapa meter, sementara motornya meluncur ke arah yang berlawanan. Tubuhnya terasa panas akibat gesekan dengan aspal, tapi Aezar tak punya waktu untuk merintih. Sadar bahwa dirinya berada dalam bahaya, ia segera bangkit meski tubuhnya terasa remuk. Jaket hitamnya kini robek di beberapa bagian, memperlihatkan luka-luka yang mengeluarkan darah segar. Sialnya, pistol yang selama ini menjadi andalannya juga terlepas dari genggaman dan entah jatuh di mana. "Sial!" geram Aezar sambil mengamati sekitarnya dengan cepat. Namun, tak ada waktu untuk mencari senjatanya. Seorang zombie melompat ke arahnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek dagingnya. "Ekkhhh!" Aezar dengan cepat menahan kepala zombie itu dengan kedua tangannya. Wajahnya memerah karena tenaga yang ia kerahkan untuk melawan makhluk itu. Gigi zombie hampir menyentuh kulitnya, tapi dengan kekuatan yang tersisa, ia mendorongnya mundur. Zombie itu terhuyung ke belakang. Tapi sebelum ia bisa kembali menyerang, Aezar menerjang maju, memegangi bahu zombie dengan kuat. Ia membenturkan lututnya berkali-kali ke perut makhluk itu dengan keras. Buagh! Buagh! Zombie itu terbatuk, mengeluarkan cairan busuk berwarna merah kehitaman dari mulutnya. Dengan satu dorongan kuat, Aezar melemparnya ke tanah, membiarkannya terkapar tak berdaya. Belum sempat ia menarik napas, teriakan brutal terdengar dari arah samping. "Rrrraaaawwwwrr!" Seorang zombie berlari ke arahnya dengan tongkat baseball di tangan, siap menghantamnya tanpa ampun, gerakan larinya terlihat sangat brutal dan abnormal, berbeda jauh seperti zombie lainnya. Namun, Aezar tak menunjukkan sedikit pun rasa takut. Sebaliknya, ia menyeringai, senyumnya penuh percaya diri. "Ayo," gumamnya dengan nada menantang. Aezar berlari ke arah zombie itu, semakin mendekat dengan langkah mantap. Saat jarak mereka hanya tinggal beberapa langkah... Buagh! Aezar melompat sedikit, mengarahkan tendangan tinggi ke tengkorak zombie tersebut. "Haaah!" Tendangannya telak menghantam kepala zombie itu. Makhluk itu langsung terhempas ke tanah, kepalanya pecah menghantam aspal keras. Darah dan serpihan tengkorak berserakan di sekitar tubuhnya yang tak lagi bergerak. Aezar membungkuk, mengambil tongkat baseball dari tangan zombie itu. Ia memutar-mutar tongkat tersebut di tangannya, merasakan keseimbangan yang sempurna. "Lumayan," gumamnya pendek, sebelum kembali berlari menuju minimarket. Namun, baru beberapa langkah, seorang zombie besar dengan gerakan brutal tiba-tiba melompat dari balik kendaraan yang terbakar. "Graaahhh!" Zombie itu langsung menangkap Aezar dengan kedua tangannya, memeluknya erat seperti ingin meremukkan tubuhnya. Aezar terkejut sejenak, merasakan kekuatan monster itu yang jauh lebih besar dibandingkan zombie biasa. Tapi, meskipun tubuhnya terasa terjepit, ia tidak kehilangan akal. "Heh, kau pikir aku mudah dihancurkan?" bisiknya sambil menyeringai dingin, matanya penuh amarah. Dengan sekuat tenaga, Aezar mengangkat tongkat baseball di tangannya, bersiap memberikan perlawanan terakhir yang mematikan. "Rasakan ini, zombie yang jelek!"Dengan satu-satunya senjata yang ia miliki, tongkat baseball di tangan, Aezar menggertakkan giginya, menahan rahang zombie yang nyaris menggigitnya. Giginya yang kotor dan berlumuran darah hanya beberapa inci dari wajahnya. "Arrgh... tidak secepat itu, sobat!" seru Aezar sambil mendorong kepala zombie dengan tongkatnya, membuat makhluk itu menggeram ganas. Namun, tiba-tiba, ia merasakan hawa dingin di tengkuknya. Sebuah insting tajam menyerangnya. Ada sesuatu—atau seseorang—di belakangnya. Aezar segera menoleh. Benar saja, seorang zombie lain berada tepat di belakangnya, mulutnya menganga lebar, siap merobek tenggorokannya. Waktu seakan melambat saat ia menyadari kematian sudah di depan mata. Dor! Tanpa peringatan, kepala zombie itu meledak seperti balon yang pecah. Darah segar muncrat deras, menyembur ke udara sebelum tubuhnya tumbang dengan suara berdebum. Aezar terdiam sejenak
"Aezar! Itu barbel, bukan tombak!" teriak Ara dengan suara lantang dari atas balkon. Ia berdiri dengan tegak sambil memegang erat teropong jarak jauh di tangannya, ekspresinya penuh kekesalan bercampur cemas. "Apa dia pikir barbel itu ringan?!" gumam Ara sambil terus mengawasi gerak-gerik Aezar. Ia memicingkan mata, mencoba menilai situasi. Sambil terus memantau, Ara mulai berbicara pada dirinya sendiri, seperti seseorang yang tengah mencoba mencari logika di tengah kekacauan. "Barbel itu... Hmm, kelihatannya sekitar dua puluh kilogram. Yah, mungkin bagi dia itu tidak berat. Aku saja kuat mengangkat dua tabung gas tiga kilogram sekaligus!" Ia mengangguk-angguk, merasa teori konspirasi kecilnya masuk akal. Namun, perhatian Ara segera teralihkan. Ia melihat sesuatu yang membuatnya terkejut melalui teropong. "Eh, tunggu! Itu kan..." Tanpa membuang waktu, Ara meletakkan teropongnya di samping, mengambil senapan, dan kembali ke
"Tidak kelihatan!" keluh Ara, duduk santai di atas balkon sambil memegangi teropong jarak jauh di tangannya. Matanya terus mengamati keadaan di sekitar minimarket. "Apakah di dalam minimarket juga ada zombie?" gumamnya pelan, seraya mencoba memperjelas penglihatannya melalui teropong. Namun, pikirannya terganggu ketika ia melihat pergerakan dari arah kejauhan. "Hmph! Para pengganggu datang lagi!" keluh Ara kesal. Dengan cepat, dia turun dari kursinya, menaruh teropong jarak jauh di atas kursi yang tadi ia duduki. Ara kemudian tengkurap di lantai balkon, memegang senapan kesayangannya. Dalam posisi siaga, dia memosisikan tubuh seperti sniper profesional. Napasnya mulai diatur, jari telunjuknya bersiap menarik pelatuk. Namun... Ceklik! Ceklik! Ceklik! "Hee?! Kenapa tidak ada bunyi dor, dor, dor lagi?" tanyanya bingung. Raut wajahnya berubah panik, Ara langsung membuka tempat penyim
"E-eh?" Ara mengerutkan kening, kebingungan. Air yang seharusnya mengalir deras dari selang tidak kunjung keluar, meskipun ia sudah menarik kerannya dengan sekuat tenaga. Sementara itu, Aezar berdiri tak jauh darinya, tertawa terbahak-bahak. Suaranya memenuhi udara, dan tubuhnya sampai terguncang karena terlalu keras tertawa. Ia memegangi perutnya, wajahnya penuh dengan kepuasan. "Hahahaha! Kau benar-benar lucu! Bahkan jebakan sederhana pun bisa membuatmu terjebak!" ucapnya dengan nada penuh kemenangan. Ara memutar pandangannya ke arah Aezar, matanya mulai menyipit penuh kecurigaan. "Jangan bilang... semua ini bagian dari rencanamu?" Ia membanting selang yang digenggamnya ke tanah, tatapannya berubah tajam, dan pipinya mulai memerah karena marah. "Mohon maaf, tapi aku sudah memperhitungkan semuanya. Dari caramu mengambil selang sampai menarik keran. Dan ternyata, semua perhitunganku benar! Hahaha! Ka
Ara menatap punggung tangannya, yang masih dibalut rapi dengan perban putih. Ada sesuatu yang mengganggu pikirannya—sesuatu yang tidak bisa dia abaikan begitu saja. Tapi lamunannya terhenti ketika suara langkah kaki mendekat. Aezar muncul dari dapur, membawa semangkuk makanan dan secangkir kopi hangat. Dia meletakkan semuanya di atas meja dengan hati-hati, kemudian menatap Ara yang masih tenggelam dalam pikirannya. "Apa yang kau pikirkan?" tanyanya dengan nada lembut, meski sorot matanya penuh rasa ingin tahu. Ara tersentak ringan, lalu dengan cepat menarik punggung tangannya ke pangkuan, menyembunyikannya di antara kedua pahanya. Dia tersenyum kecil, berusaha terlihat tenang. "Tidak apa-apa," jawabnya singkat. Namun, di balik senyuman itu, pikirannya tetap tidak tenang. Ketertarikannya pada luka di tangannya semakin besar, seperti teka-teki yang menuntut untuk dipecahkan. Aezar menarik kursi dan duduk di hadapannya. Sesaat, mereka berdua hanya diam. Tapi akhirnya, Ara memutu
"Heheh..." Aezar terkekeh kecil sambil kembali mengambil sesuap mie dari mangkuk dan menyuapkannya kepada Ara. Tatapan matanya lembut, penuh perhatian. "Maafkan aku karena hanya bisa menyajikan mie instan. Kau pasti kecewa, ya?" Ara menggeleng cepat, masih mengunyah mie di mulutnya. Setelah menelan, dia menjawab, "Tidak sama sekali! Mie instan itu makanan paling enak di dunia! Dan yang paling penting... mudah dibuat." Aezar tersenyum kecil mendengar jawaban Ara. "Heheh... Tapi makan mie instan terlalu sering itu tidak baik, tahu? Pokoknya besok aku akan memasakkan sesuatu yang lebih sehat untukmu. Tapi sekarang, makan dulu. Yang penting perutmu terisi." Ara mengangguk patuh. Dia melanjutkan makan mie instan yang disuapkan Aezar dengan lahap, tampak menikmati setiap gigitan. Setelah selesai makan, Aezar dengan tegas mengambil semua alat makan dan membawanya ke dapur. Dia melarang Ara untuk membantu dengan alasan luka di tang
Hari mulai beranjak sore. Di dalam kamar yang diterangi oleh sinar matahari yang lembut, Aezar membuka bajunya, memperlihatkan tubuhnya yang penuh luka tetapi tetap memukau. Otot-otot dadanya yang terpahat sempurna dan pinggang rampingnya menciptakan siluet yang nyaris seperti patung seni. Luka-luka yang menghiasi kulitnya hanya menambah kesan berbahaya sekaligus memikat. Ara duduk di ranjang, kedua tangannya meremas selimut dengan erat. Pandangannya terpaku pada sosok Aezar yang berdiri membelakanginya. Dia bahkan tidak sadar mulutnya sedikit terbuka, menganga takjub oleh apa yang dia lihat. Aezar menyadari tatapan Ara dari pantulan cermin di depannya. Dengan senyum kecil yang nakal, ia berbalik dan berjalan menghampiri Ara, membawa kotak obat di tangannya. "Sudah waktunya mengganti perbanmu," ucapnya lembut, namun nada bicaranya memiliki kekuatan yang tidak bisa dibantah. Dengan hati-hati, Aezar du
Setelah beberapa menit bermain lempar-lemparan bantal, Ara akhirnya duduk di atas ranjang. Ia menatap pintu kamar mandi di depannya, mendengarkan suara air yang mengalir dari shower. Uap tipis sesekali terlihat keluar dari celah bawah pintu, mengingatkannya bahwa pria tampan itu sedang mandi di dalam. Ara tersenyum nakal, membisikkan sesuatu pada dirinya sendiri. "Ada pria tampan sedang mandi... Bagaimana kalau aku mengintip sedikit saja?" Tiba-tiba, suara berat Aezar terdengar dari balik pintu, membuatnya terlonjak. "Berani mengintip, aku siram matamu dengan air panas!" "Hiy... Seram!" Ara terkekeh pelan, mencoba menyembunyikan rasa malunya. "Bercanda, daddy!" "Kalau serius juga tidak apa-apa," balas Aezar dengan nada menggoda, suaranya terdengar jelas di atas deru air shower. Ara memeluk bantal di pangkuannya, wajahnya mulai merona. "Sudah! Jangan dilanjutkan! Cepat mandi saja sana!" "Baik, s
Langit masih kelam ketika mobil mereka akhirnya mencapai perbatasan luar kota. Garis polisi yang sebelumnya mengisolasi area kini telah terbuka lebar, menandakan berakhirnya mimpi buruk yang sempat mengancam kota.Di kejauhan, siluet mayat-mayat zombie yang telah dimusnahkan berserakan di jalanan. Tim kepolisian sibuk membersihkan sisa-sisa kekacauan—mengangkat tubuh-tubuh yang tak bernyawa, menyapu noda darah yang membanjiri aspal, dan memastikan tidak ada ancaman yang tersisa.Namun, Aezar tidak tertarik untuk terlibat lebih jauh.Dengan santai, ia menancapkan gas, menerobos jalan tanpa sedikit pun niat untuk berhenti.Beberapa petugas sempat melirik, tapi begitu menyadari mobil itu milik salah satu anggota mafia, mereka saling bertukar pandang sebelum akhirnya memilih mengabaikan. Mereka tahu lebih baik untuk tidak ikut campur.Setelah menempuh perjalanan tanpa hambatan, akhirnya mereka berhenti di depan sebuah apartemen megah, berdiri kokoh di tengah kota.Aezar membuka pintu dan
Aezar meraung.Suara itu menggema di seluruh ruangan, mengguncang setiap jiwa yang mendengarnya. Aura merah menyelimuti tubuhnya, bergolak seperti lautan api yang siap membakar siapa pun yang menghalangi jalannya.Kecepatannya meningkat.Dalam sekejap mata, tubuhnya sudah melesat ke arah kawanan werewolf. Dengan brutal, taringnya menancap satu per satu ke leher mereka, meneguk darah hangat yang mengalir deras. Para werewolf bahkan tak sempat menghindar, hanya bisa melolong sebelum kekuatan mereka disedot hingga ke titik nol.Aezar semakin kuat. Nafsu membunuhnya semakin meluap.Aether menyadari bahaya ini. Ia melesat dengan kecepatan tinggi, mencoba menghadang kakaknya.Namun Aezar tak peduli.Tanpa ragu, ia menangkap tubuh Aether dengan satu tangan, lalu menariknya dengan kasar sebelum membantingnya ke dinding sekeras mungkin.Brakkk!Dinding itu retak, tubuh Aether terhuyung sebelum jatuh tersungkur. Ia meringis, rasa sakit menjalar ke seluruh tubuhnya, namun ia masih cukup sadar un
Aezar menatap musuh-musuh di depannya dengan tajam. Pupil merahnya bersinar seperti bara api, taringnya memanjang, dan aura haus darahnya semakin pekat. Dengan suara rendah, hampir seperti gumaman kepada dirinya sendiri, dia berbisik, "Kemarilah, minumanku..."Tanpa peringatan, tubuhnya melesat secepat bayangan, menerjang pasukan werewolf yang mengepungnya. Dalam satu gerakan cepat, dia menangkap seorang werewolf yang terlihat lebih lemah dari yang lain. Taringnya langsung menancap ke leher makhluk itu, merobek kulit dan dagingnya dengan mudah.Darah hangat mengalir deras ke tenggorokannya."Ahhh..." Aezar mendesah puas, matanya semakin menyala. Energi dan kekuatan mengalir ke dalam tubuhnya, membuat luka-luka kecil yang tersisa menutup lebih cepat.Sementara itu, Ara dan Dharma hanya bisa menyaksikan dari kejauhan. Wajah Ara dipenuhi kekhawatiran. "Bagaimana, Papa?" bisiknya lirih.Dharma menatap istrinya yang masih terbaring lemah bersama kedua putrinya di atas ranjang beroda. Wajah
Ara akhirnya berhasil melepaskan ikatan di tubuh Dharma. Dengan tangan gemetar, dia mencengkeram lengan ayahnya dan menariknya untuk segera berlari keluar dari tempat itu. Nafasnya memburu, tubuhnya masih lemah, tapi tekadnya jauh lebih kuat."Sial!" geram Darius, ekspresi ganasnya semakin menyeramkan di bawah cahaya remang-remang laboratorium. Dia baru hendak melangkah mengejar, namun sepasang tangan yang penuh darah mencengkeram pergelangan kakinya dengan erat.Aezar.Meski tubuhnya telah babak belur, meski darah terus mengalir dari luka-luka di tubuhnya, dia tetap tidak melepaskan cengkeramannya. Matanya yang merah berkilat, penuh dengan tekad yang tak tergoyahkan."Lawanmu adalah aku," gumamnya lirih, namun suaranya terdengar seperti lonceng kematian di telinga Darius.Darius menyeringai marah. "Sialan!" Dengan kekuatan penuh, dia menendang rahang Aezar, membuat kepala vampir itu terhentak ke belakang dengan keras. Tulang-tulangnya berderak, darah segar mengalir dari sudut bibirny
"Di mana Mama dan adik-adikku?!"Suara Ara menggema di seluruh ruangan, memenuhi udara dengan kemarahan yang tak terbendung. Sorot matanya membara, penuh dengan amarah dan tekad. Ia menatap tajam ke arah Darius, tubuhnya menegang dalam ketidakberdayaan. "Lepaskan Papa dan kembalikan keluargaku!"Darius menanggapinya dengan seringai lebar. Dalam kegelapan ruangan, perlahan telinga serigala mulai muncul di kepalanya, mencuat di antara helaian rambutnya yang cokelat tua. Sebuah ekor berbulu lebat menembus bagian belakang celananya, bergerak dengan liar seiring dengan geliat tubuhnya yang berubah."Kalau aku tidak mau, apa yang ingin kau lakukan, gadis kecil?" suaranya rendah, parau, penuh ejekan.Tiba-tiba, Darius menghilang dari tempatnya berdiri. Hanya dalam sekejap, dia telah melesat ke arah Ara, begitu cepat hingga nyaris tak kasat mata. Udara bergemuruh saat tubuhnya melayang, cakarnya yang tajam melesat dengan kecepatan mematikan, siap mencabik tubuh Ara."Ara!!"Teriakan Dharma me
Setelah seminggu penuh Aezar merawatnya dengan sabar, akhirnya tubuh Ara mulai pulih. Meski langkahnya masih sedikit tertatih dan belum sepenuhnya normal, rasa sakit yang dulu mencengkeram setiap inci tubuhnya kini mulai berkurang. Tenaganya sudah kembali, dan semangatnya menyala lebih terang dari sebelumnya.Ara menatap Aezar dengan mata berbinar, penuh harapan. "Sekarang, kita bisa menyelamatkan Papa, Mama, dan adik-adikku!" serunya, tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya.Namun, alih-alih ikut bersemangat, Aezar justru menatapnya dengan ekspresi penuh kekhawatiran. Kedua alisnya bertaut, dan matanya yang merah menyala memancarkan keraguan yang dalam. "Apa kau yakin akan baik-baik saja?" tanyanya pelan. "Aku takut sesuatu yang buruk akan terjadi padamu lagi. Bagaimana jika kau menunggu di sini saja?"Ara terdiam. Ia tidak ingin ditinggalkan sendirian. Tidak lagi. Pikirannya berputar cepat, mencari alasan yang cukup masuk akal agar Aezar tidak bersikeras meninggalkannya. Lalu, sebe
"Werewolf?"Mata Ara membulat seketika, nyaris tidak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Aezar mengangguk tegas, ekspresinya serius. "Benar. Darius adalah werewolf."Ara menunduk, tangannya menopang dagu, mencoba mencerna semua informasi yang telah ia terima. "Jadi... kau adalah vampir, Aether adalah alien, Kaelen adalah merman, dan Darius adalah werewolf."Ia mengangkat kepalanya dan menatap Aezar tajam. "Lalu bagaimana dengan Eryas?"Aezar menatapnya sejenak sebelum akhirnya menjawab dengan nada lebih tenang. "Eryas… dia manusia. Sama sepertimu."Ara menghela napas panjang sebelum akhirnya membanting tubuhnya ke kasur dengan kesal. Kepalanya terasa berat, pikirannya berputar tanpa kendali. "Apa-apaan ini? Aku kira makhluk seperti kalian hanya ada di cerita fantasi!"Aezar terkekeh pelan sebelum menjawab. "Tapi nyatanya kami memang ada. Hanya saja, kami berusaha sebisa mungkin untuk tidak terlihat mencolok dan berbaur semirip mungkin dengan manusia."Ara mengernyit. "Kenap
"Suami?"Ara menatap Aezar dengan ekspresi kesal, kedua alisnya bertaut, bibirnya sedikit mengerucut. "Kau serius mengatakan itu sekarang?"Aezar semakin menunduk, merasa salah tingkah. Jemarinya dengan canggung menggaruk kepalanya sendiri yang jelas-jelas tidak terasa gatal. "Maksudku..." suaranya terdengar lemah, nyaris tidak terdengar.Namun, bukannya marah, Ara justru terkekeh kecil. Nada suaranya ringan, penuh keisengan. "Bukankah papa sudah bilang kalau pernikahan kita tidak sah? Kita masih harus meminta restu papaku dan menggelar pernikahan secara resmi. Baru setelah itu aku boleh menganggapmu sebagai suamiku."Aezar menatapnya dengan mata berbinar. Ada cahaya harapan di sana, sesuatu yang membuatnya terlihat lebih hidup. "Apa itu berarti... kau mau jadi istriku, Ara? Istri sungguhan, secara sah?"Ara mengangguk tanpa ragu. Namun sebelum Aezar bisa bereaksi lebih jauh, Ara mengangkat satu jari, ekspresi usilnya kembali muncul. "Tap
Aezar merawat Ara dengan sangat telaten, memastikan setiap luka di tubuh gadis itu sembuh secepat mungkin. Sama seperti saat awal pertemuan mereka—bedanya, kali ini tidak ada kebohongan, tidak ada niat tersembunyi. Ia melakukannya dengan tulus, bukan karena mengharapkan kebebasan atau keuntungan apa pun, tetapi karena Ara adalah satu-satunya orang yang ingin ia jaga dengan segenap hatinya.Ara menatap Aezar yang dengan sabar menyuapinya makanan. Meski tubuhnya masih lemah, pikirannya sudah mulai jernih, dan ada terlalu banyak pertanyaan yang ingin ia tanyakan. "Boleh aku tahu apa yang sebenarnya terjadi di sini?"Aezar terdiam sejenak. Tangannya yang memegang sendok berhenti di udara, dan ia menunduk. Ada keraguan di matanya, seakan otaknya sedang berusaha memilah kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan kebenaran. Namun ia tahu, ia tidak boleh terus melarikan diri dari pertanyaan ini. Ara berhak tahu segalanya.Ia menarik napas panjang sebelum akhirnya mulai berbicara. "Jadi... Ini s