Part 27Butet paling antusias menyambut ibunya, dia nyuci piring, ngepel lantai. Ucok malah mau bikin tulisan di dinding pakai kertas berwarna. Tulisannya bahasa Inggris pula. "Well come home" begitu yang dia tulis di dinding.Kucoba telepon Nia, katanya dia akan sampai setengah jam lagi. Aku lalu bercukur, kumis dan jenggot kucukur habis, Butet sudah mandi, Ucok juga sudah selesai buat hiasan di dinding. Terdengar suara motor matic Nia, kami bertiga berdiri di pintu menyambut istriku. Begitu turun dari motor, Nia berjalan sambil merentangkan tangan, aku pun menyambutnya, akan tetapi bukan aku yang dipeluk, tapi Butet, lalu Ucok, sementara aku berdiri mematung dengan tangan masih merentang."Pelukan untuk Abang nanti malam," bisik Nia ke telingaku. Setelah drama peluk dan tangis, lalu dilanjutkan dengan makan bersama, lauknya justru mie instan beserta sayur. Kami makan sambil bercanda."Mak, Ayah bilang terkoyak Obesitas, aku belum obesitas kan?" kata Butet pada ibunya."Belum, tapi
Part 28PoV NiaRencananya aku mau menghilang selama tiga Minggu, sampai pelantikan kepala desa, aku ingin menyendiri. Aku sudah bertekad tak akan buka HP selama tiga Minggu ke depan akan tetapi Hermansyah datang, dia bercerita tentang Bang Parlin yang ngamuk sampai memukulnya. Tak tahan juga, aku hidupkan data HP, tak kusangka Bang Parlin bisa juga menuliskan puisi yang manis. Akan tetapi aku tetep pada pendirian. Dasar memang aku suka rindu, tiga hari kemudian aku hidupkan lagi data. Aku terkejut membaca rentetan pesan WA Bang Parlin. Dia sudah sadar selama ini hanya terobsesi. Bukan cinta pada Rara tapi obsesi ingin seperti ayah Rara. Bisa dimaklumi, hampir seumur hidup Bang Parlin tinggal di kebun, dia tak mengenal banyak orang. Lucu juga kalimatnya Bang Parlin, katanya dia terkoyak oleh obesitas, aku tahu itu salah ketik karena keyboard HP yang otomatis, aku tahu setelah coba ketik obsesi, yang muncul obesitas. Akan tetapi aku ingin permainkan Bang Parlin, langsung kutelepon
ParliNia 2Part 29Butet dan ayahnya sepemikiran, ini jarang terjadi, bagaimana bisa Butet yang baru empat kali datang bulan itu bicara seperti itu, idenya juga nyeleneh, itu sakit hati dibalas sakit hati. "Bang, Abang serius mau tumbang itu sawit," kataku pada Bang Parlin." Entahlah, Dek, aku bingung, sakit hati, sedih rasanya melepas kebun itu, tiga puluh tahun lebih kuurus, tiba-tiba mau diambil orang," jawab Bang Parlin. Dia tampak sedih sekali."Kenapa harus ditebang itu sawit, kan kita makin rugi, berapa pula biaya untuk tumbang sawit itu," kataku kemudian."Betul, Dek, kita makin rugi, tapi aku tidak rela, Dek, kebun itu milik kita, sudah diserahkan Pak dokter samaku," kaya Bang Parlin."Iya, Bang, tapi memang hak Lindung, karena dia punya surat," kataku lagi."Dugaanku ini bukan masalah kebun itu, Dek, bukan masalah Lindung mau kuliah, dia dosen lo, uangnya banyak, ini masalah Rara," kata Bang Parlin."Kok Rara lagi sih?""Maaf ya, Dek, aku juga tak menyangka bisa begini pan
ParliNia 2Part 30Aku tersentuh dengan kegigihan Bang Parlin ingin lepas dari bayang-bayang Rara, untuk kedua kalinya dalam dua hari ini, kemarin pun Bang Parlin sampai membentak Rocky, aku jadi makin yakin, Bang Parlin memang sudah berubah."Kalau bisa, aku mau tinggalkan Lindung di sini saja, mohon angkat dia sebagai anak angkat kalian, karena kudengar Bang Parlin punya banyak anak angkat, tolong tambah satu lagi," kata Rocky lagi."Bagaimana sih, Om, tadi minta kebun, kini minta kami asuh Bang Lindung," celoteh Butet lagi."Udah, kami serahkan saja kebun itu untuk Lindung, terserah dia mau diapain, tapi mohon maaf, kami tidak bisa jadi orang tua angkatnya, lagi pula dia sudah dewasa," kata Bang Parlin akhirnya."Baiklah, jujur saja, niatku kemari ingin membalas sakit hati padamu, Bang Parlin, tapi kau memang benar-benar tulus, kebun yang mahal segitu pun dengan mudahnya kau berikan, kupikir Bang Parlin akan memohon, kemudian niatku jadi berubah, aku ingin tinggalkan Lindung di sin
ParliNiaPart 31"Padahal aku suka Amanda, Mak," kata Ucok lagi. "Lupakan saja, Cok, dia bukan cewek yang cocok untukmu," kataku seraya merangkul bahu anakku tersebut. Di usianya yang baru lima belas tahun, dia sudah kebih tinggi dariku. Mungkin setelah dewasa nanti bisa lebih tinggi dari Bang Parlin. Suaranya juga sudah berubah, suaranya merdu seperti Bang Parlin. Kadang aku suka mencuri dengar Ucok bernyanyi sendiri. Lagunya juga tidak jauh dari lagu yang biasa dinyanyikan Bang Parlin, kalau gak ungut-ungut, ya, Onang-onang. "Kenapa mamak bilang gak cocok, dia baik lo, Mak," jawab Ucok.Aku tak tahu harus bilang apa, Amanda memang baik, cantik lagi, untuk ukuran desa, dia gadis paling cantik di desa ini. Akhirnya aku katakan ajaran Bang Parlin juga."Melihat orang itu dilihat dari bibit dan bebet serta bobotnya, Cok. Om Hermansyah, dia memang kaya dan pengusaha sukses, tapi lihat itu istrinya tiga, dia lepaskan anaknya ke Australia bersama Lindung, sekiranya Butet mau sekolah di A
ParliNia 2Part 32Aku merasa lega sekali ketika Ucok menolak permintaan Amanda, aku makin yakin Ucok tak akan seperti ayahnya yang menjaga kucing dan hatinya untuk orang yang akan pergi jauh.Amanda salaman dengan Ucok, aku sudah khawatir sekali Amanda akan nekat lagi, mungkin di budayanya pelukan itu biasa, tapi di desa ini itu akan jadi buah bibir masyarakat desa. Lama juga mereka bersalaman kulihat Amanda mengusap matanya, dia pasti sudah menangis. Akan tetapi Butet beraksi. "Selamat jalan ya, Kak Amanda," kata Butet seraya melepaskan tangan dua muda-mudi itu."Iya, Tet, selamat tinggal, ini ada kucingku, tolong jaga," kata Amanda."Oh, maaf, Kak, gak bisa kami itu, kami pecinta sapi, bukan pecinta kucing, bawa saja ke Medan," kata Butet."Padahal aku ingin berikan kenang-kenangan," kata Amanda.Amanda lalu naik ke mobil ayahnya, dia buka kaca mobil, mengeluarkan tangan untuk melambai-lambai. "Kasihan, Bang Ucok," kata Butet seraya mengusap wajah Ucok.Ucok hanya diam, dia lalu
Jauh hari sebelumnya, ibuku sudah menyuruh kami supaya pulang kampung, karena semua anaknya pulang kampung di lebaran kali ini, ibuku ingin semua anaknya berkumpul pada lebaran, karena setelah masing-masing berumah tanggal belum pernah sekalpun berkumpul. Kami empat orang bersaudara, semuanya perempuan, aku yang nomor dua dan yang pertama menikah. Semua saudaraku tinggal di kota, hanya aku yang dapat suami yang tinggal jauh di desa. Satu hari lebaran, semua sudah berkumpul, aku sedikit minder dengan gaya tiga saudaraku, mereka tampak cantik, masing-masing memakai perhiasan emas, hanya aku yang tidak pakai. Kakakku yang tertua mengeluarkan uang baru, dia membagi-bagikan uang baru pada anak-anak. Akan tetapi aku heran dan sedih, anakku tak dikasih. Memang anakku tak ikut mengulurkan tangan seperti anak yang lain. Tiba giliran adikku yang kasih uang baru, Lagi-lagi anakku dilewatkan, ada apa ini? Aku jadi merasa tersisih, apakah mereka tak menganggap aku sebagai saudara. “THR untuk
“Mampir ke rumah, Kak, kami pulang duluan,” pamitku pada kakak dan adik-adikku.. “Iya, ya, mana rumah kalian?” tanya adikku yang bungsu. Setelah sekian lama baru kali ini dia tanya rumah kami. Bang Firman lalu menjelaskan alamat rumah kami yang sangat jauh di pelosok. Kami lalu berangkat naik mobil truk kecil. Empat anakku terpaksa duduk di belakang. Kami datangnya memang naik truk, itu pun truk yang sudah lama. Beda dengan saudaraku yang datang naik kijang innova. “Bang, kenapa harus kasih THR belakangan,” tanyaku pada suami ketika kami dalam perjalanan. “Karena mereka begitu, Dek, hitung-hitungan, kan susah kalau dikasih seratus ribu, bagaimana mereka mau kasih anak kita seratus ribu pula?” jawab suami. “Tapi gak gitu juga, Bang, anak kita gak dapat jadinya, masa sih Abang gak ngerti pikiran anak-anak, mereka senang jika dapat THR,” kataku lagi “Udah, Dek, udah,”Perjalanan menuju desa tempat tinggal kami memakan waktu sampai tujuh jam. Dari jalan lintas Sumatra masuk jauh ke