“Mampir ke rumah, Kak, kami pulang duluan,” pamitku pada kakak dan adik-adikku.. “Iya, ya, mana rumah kalian?” tanya adikku yang bungsu. Setelah sekian lama baru kali ini dia tanya rumah kami. Bang Firman lalu menjelaskan alamat rumah kami yang sangat jauh di pelosok. Kami lalu berangkat naik mobil truk kecil. Empat anakku terpaksa duduk di belakang. Kami datangnya memang naik truk, itu pun truk yang sudah lama. Beda dengan saudaraku yang datang naik kijang innova. “Bang, kenapa harus kasih THR belakangan,” tanyaku pada suami ketika kami dalam perjalanan. “Karena mereka begitu, Dek, hitung-hitungan, kan susah kalau dikasih seratus ribu, bagaimana mereka mau kasih anak kita seratus ribu pula?” jawab suami. “Tapi gak gitu juga, Bang, anak kita gak dapat jadinya, masa sih Abang gak ngerti pikiran anak-anak, mereka senang jika dapat THR,” kataku lagi “Udah, Dek, udah,”Perjalanan menuju desa tempat tinggal kami memakan waktu sampai tujuh jam. Dari jalan lintas Sumatra masuk jauh ke
Kak kasih seperti mendapat angin segar, dia terlihat gembira sekali. “Kami akan di sini sepuluh hari, jarang-jarang bisa begini,” kata Kak Kasih. Yeah, sepuluh hari, sepuluh kali tiga ratus ribu, tiga juta, segitu yang akan kami bayar untuk mobil rental mereka. Sial, aku merutuki nasib sendiri, entah kenapa aku tergoda pamer. Malam harinya, aku sudah menunggu omelan suami, dia pasti akan marah karena aku sudah pamer, aku sudah tahu sifat suamiku ini, akan tetapi ketika semua orang sudah tidur, dia belum mengungkit soal emas yang kupakai. Ada apa ini, padahal dulu pernah aku pakai gelang ke hajatan desa tetangga, beliau marah besar, masih kuingat kata-katanya.“Pamer itu bisa membuat celaka,” begitu kata suami. Tapi kali ini suami diam saja, atau dia menunggu saat yang tepat. Ketika pagi tiba, tiga iparku sudah mengajak ke kolam, mereka bawa alat pancing. Duh, apakah mereka kira kolam kami kolam pancing gratis? “Kita makan di pinggir kolam lagi ya, Kak,” kata Cinta seraya membawa
Para saudaraku jadi terdiam, mereka saling pandang. Sementara suamiku sepertinya sudah tersinggung sekali. Dia berdiri, jarinya menunjuk mobil innova yang parkir di depan rumah. “Pergi sekarang, kami tak terima tamu yang menganggap tuan rumah hewan ternak,” kata suamiku lagi. Para saudaraku belum bergerak, mereka masih saling pandang, aku jadi merasa tak enak hati. Memang aku juga sakit hati dibilang beternak manusia, akan tetapi mengusir langsung aku tak sampai hati. Bang Firman akhirnya pergi, dia bawa dua anaknya ke belakang rumah, aku tahu tujuan Bang Firman, kolam ikan mas adalah tempat kesukaannya, kalau lagi ada masalah dia suka berlama-lama di pinggir kolam ikan mas tersebut. Memberi makan ikan mas yang berwarna-warni. “Maaf, Kak Kasih, Dek Cinta, Dek Sayang, dan semua ipar, maaf sekali, kalian harus pergi, suamiku sudah marah sekali,” kataku kemudian. “Suamimu itu terlalu kaku, Rin, bisa kau bayangkan dia tinggal di kota, masa gitu aja dia sudah marah, kasihan dirimu,” k
Kutatap suamiku, ingin kulihat keseriusan di matanya, tak ada kulihat dia seperti bercanda, apa ia dia serius mengusirku. “Abang ngusir aku?” Tanyaku kemudian. “Lo, tapi adek yang bilang gak tahan,”“Iya, memang, apa abang serius?”“Kalau adek serius ya, Abang serius, ya mau bagaimana lagi,”“Abang gak peka, gak peka, gak pekaaaaa!” aku berteriak seraya menghentakkan kaki. Lalu berjalan masuk kamar“Dek?” kata suami seraya mengetuk pintu, akan tetapi aku tak menyahut Entah kenapa, sejak kedatangan saudaraku, aku jadi berubah begini, padahal selama sepuluh tahun ini aku bisa sabar. Selama sepuluh tahun tiap dua tahun melahirkan. Anak tertua masih sembilan tahun, sudah ada empat adiknya, masing-masing tujuh tahun, lima tahun, tiga tahun dan yang bungsu satu tahun. Belum ada tanda-tanda akan berhenti hamil, aku tak pernah KB. “Dek, jangan gitulah, si Ucup mau nenen ini,” kata Bang Firman. Ucup adalah anak kami yang bungsu. Aku keluar kamar, kupasang wajah judes, lalu mengambil Ucup d
Aku makin panik, ke mana suamiku? Jangan-jangan dia kecelakaan? Jangan-jangan dia kawin lagi? Pikiran buruk terus terbayang di kepala. Aku makin kalut. “Mak, lapar ini,” kata si Sulung yang duduk di boncengan motor. Aku baru ingat belum makan. Kami pun singgah di sebuah rumah makan Minang. Selagi anak sulungku makan, aku minta tempat privasi pada pemilik rumah makan, aku mau menyusui bayiku yang masih berumur satu tahun. “Kenal Bang Firman, Kak?” Tanyaku pada seorang Ibu, saat itu dia datang mengantar pesananku. “Oh, toke telur itu ya?” jawab Ibu tersebut. “Iya, benar yang naik mobil pic up Chevrolet Luv,” kataku lagi. Ini memang kota kecil, hanya ibukota kecamatan, yang rumah makan saja mungkin hanya tiga di kota kecil ini. “Kemarin dia makan di sini?”“Oh, ya, sama siapa, apakah sama perempuan?” tanyaku penasaran. “Iya, sama perempuan dan laki-laki,”“Ya, Allah, itu suamiku,”“Oh, Bang Firman sering datang ke sini, kami langganan telur bebek,” kata Ibu itu lagi. “Terus, Bu,
Aku tidur berdua dengan anak bungsu, aku masih heran kapan aku diceraikan? atau ini cara Bang Firman menghukumku karena berontak? Coba kuingat-ingat, coba kurunut ulang percakapan dengan suami, aku merasa tak ada kata talak terucap dari mulut Bang Firman. Keesokan paginya suami sudah pergi lagi tanpa permisi, ketika aku bangun mobilnya sudah tak ada, aku merasak tak dianggap sebagai istri. Sebel juga, aku tak akan tinggal diam. Aku akan terus berontak, aku bukan tahanan yang harus dikurung di sini. Kumandikan semua anak, kupakaikan baju bagus, aku akan pergi, jika suami sudah anggap aku bukan istri lagi, untuk apa aku bertahan? “Man, Leman, pergi dulu telepon Wak Piin, bilang dia jemput kita, kita rental mobilnya satu hari ini,” perintahku pada si Sulung. “Asyikkk, jalan-jalan,” kata anakku seraya pergi ke bukit. Tak perlu nunggu lama, Wak Piin sudah datang dengan mobilnya, di daerah kami Wak Piin memang sering dipakai jasanya, dia punya mobil bekas angkot yang dia bawa dari ko
Anak-anak sudah keluar rumah menyambut kedatangan ayah mereka. Sementara aku masih duduk dengan perasaan tak menentu. Bang Parlindungan dan Bu Nia juga keluar menyambut kedatangan Bang Firman. Anak-anak sudah berebutan memeluk ayah mereka, Bang Parlin dan Bu Nia juga menyalami Bang Firman, aku akhirnya keluar rumah seraya menggendong si Bungsu. Bang Firman mengulurkan tangannya, terpaksa aku salim, padahal hatiku masih saja kesal dengan sikapnya. Bang Firman lalu masuk ke rumah Bang Parlin, sikapnya biasa saja seperti tak terjadi apa-apa. Bang Parlin dan Bu Nia juga bersikap biasa, mereka menyambut Bang Firman layaknya tamu. Ketika malam tiba, rumah Bang Parlin ramai, ada puluhan murid mengaji datang, Bu Nia juga sepertinya sibuk dengan berkas-berkas. “Dek, tolong jangan cerita ke Bang Parlin,” kata Bang Firman, saat itu aku lagi di dapur, dia datang menemuiku mengajak bicara. “Kenapa, Bang?”“Kalau masalah itu masih bisa diatasi sendiri, tidak perlu libatkan orang,” jawab Bang
DIARY RINDUUntuk sesaat suasana hening, Bang Parlin diam, mungkin dia menunggu tanggapan dari kami, aku masih diam, belum bisa memberi tanggapan, masih tak bisa kuterima dengan pikiran sehat. Apa iya aku telah jadi makmum yang memberontak? Aku hanya minta pindah. “Udah, kalian bicaralah dulu, kami tinggal ya,” kata Bang Parlin seraya mengajak Kak Nia masuk kamar. Tinggal kami berdua di ruang tamu itu, sementara anak-anak masih main-main di luar rumah. “Bagaimana perasaan adek jadi makmum yang membangkang?” tanya Bang Firman. “Hmmm, Abang juga bagaimana perasaan abang jadi suami yang gagal memenuhi kebutuhan istri?” kataku tak mau kalah. “Aku gak setuju dengan perkataan Bang Parlin, kebutuhanmu sudah kupenuhi, masa menggosip pun kebutuhan, gak benar itu Bang Parlin, curhat pun kebutuhan, piknik pun katanya kebutuhan, padahal tempat kita sudah jadi tempat piknik,” kata Bang Firman. “Oh, gitu ya, berarti aku j