Part 25Malam kedua tanpa ada Nia, suasana rumah seperti berubah, Ucok dan Butet terus bertengkar, ada saja pertengkaran mereka, mulai dari siaran TV, sampai siapa yang duluan mandi. Seperti malam itu, Ucok lagi nonton berita, Butet datang mau nonton sinetron."Kayak mak-mak saja kau, Butet, nonton sinetron," kata Ucok seraya merampas remote."Heh, sini itu, Abang Ucok kayak politikus saja nonton berita," kata Butet. Mereka lalu tarik-tarikan."Udah, udah," teriakku, sini remote-nya, gak ada yang boleh nonton TV," sambungku lagi."Awas, Bang Ucok ya, kubilang Ayah," kata butet lagi. "Awas kalau kau bilang," kata Ucok."Heh, sini dulu kalian, bilang apa, Tet?" kataku penasaran. Sepertinya Ucok takut sekali ketahuan."Bang Ucok, Yah," kata Butet lagi."Kenapa Bang Ucok,""Dia main cewek sama Kak Amanda," kata Butet."Cok, sini dulu ayah bilang sama kau ya, Cok, itu berduaan sama cewek dalam rumah itu tidak boleh, kau kan sekolah agama, masa kau gak tau," kataku coba memberikan nasiha
ParliNia 2Part 26Ini. Butet terlalu jujur atau memang dia tidak tahu aku lagi menunggu Hermansyah bilang di mana Nia? Akan tetapi aku yakin Butet sengaja, dia orangnya yang suka nguping pembicaraan orang dewasa. Dia pasti sudah mendengar pembicaraan kami, lalu muncul di saat yang tepat. Langsung pula bilang di mana Amanda tanpa ditanya. Gagal total sudah rencana Ucok. Butet ini memang kadang-kadang?Amanda lalu muncul, gadis cantik tinggi semampai itu lalu salim ke ayahnya. "Aku main ke sini, Pa, bosan sendirian di rumah," kata Amanda."Itulah kubilang, jika takut sendirian ajak temanmu, ajak si Butet, entah si Ucok," kata Hermansyah sambil mengelus rambut anaknya."Maaf, Ya, aku tidak tahu budaya di daerah kalian, tapi di sini, laki-laki dan perempuan tidak boleh berduaan dalam rumah, tolong ajari anakmu, jangan ajak anakku," kataku kemudian."Hehehe, Bang Parlin, ini sudah jaman canggih, sudah biasa, justru jika diberi kepercayaan baru mereka bisa jaga diri, jika dilarang baru me
Part 27Butet paling antusias menyambut ibunya, dia nyuci piring, ngepel lantai. Ucok malah mau bikin tulisan di dinding pakai kertas berwarna. Tulisannya bahasa Inggris pula. "Well come home" begitu yang dia tulis di dinding.Kucoba telepon Nia, katanya dia akan sampai setengah jam lagi. Aku lalu bercukur, kumis dan jenggot kucukur habis, Butet sudah mandi, Ucok juga sudah selesai buat hiasan di dinding. Terdengar suara motor matic Nia, kami bertiga berdiri di pintu menyambut istriku. Begitu turun dari motor, Nia berjalan sambil merentangkan tangan, aku pun menyambutnya, akan tetapi bukan aku yang dipeluk, tapi Butet, lalu Ucok, sementara aku berdiri mematung dengan tangan masih merentang."Pelukan untuk Abang nanti malam," bisik Nia ke telingaku. Setelah drama peluk dan tangis, lalu dilanjutkan dengan makan bersama, lauknya justru mie instan beserta sayur. Kami makan sambil bercanda."Mak, Ayah bilang terkoyak Obesitas, aku belum obesitas kan?" kata Butet pada ibunya."Belum, tapi
Part 28PoV NiaRencananya aku mau menghilang selama tiga Minggu, sampai pelantikan kepala desa, aku ingin menyendiri. Aku sudah bertekad tak akan buka HP selama tiga Minggu ke depan akan tetapi Hermansyah datang, dia bercerita tentang Bang Parlin yang ngamuk sampai memukulnya. Tak tahan juga, aku hidupkan data HP, tak kusangka Bang Parlin bisa juga menuliskan puisi yang manis. Akan tetapi aku tetep pada pendirian. Dasar memang aku suka rindu, tiga hari kemudian aku hidupkan lagi data. Aku terkejut membaca rentetan pesan WA Bang Parlin. Dia sudah sadar selama ini hanya terobsesi. Bukan cinta pada Rara tapi obsesi ingin seperti ayah Rara. Bisa dimaklumi, hampir seumur hidup Bang Parlin tinggal di kebun, dia tak mengenal banyak orang. Lucu juga kalimatnya Bang Parlin, katanya dia terkoyak oleh obesitas, aku tahu itu salah ketik karena keyboard HP yang otomatis, aku tahu setelah coba ketik obsesi, yang muncul obesitas. Akan tetapi aku ingin permainkan Bang Parlin, langsung kutelepon
ParliNia 2Part 29Butet dan ayahnya sepemikiran, ini jarang terjadi, bagaimana bisa Butet yang baru empat kali datang bulan itu bicara seperti itu, idenya juga nyeleneh, itu sakit hati dibalas sakit hati. "Bang, Abang serius mau tumbang itu sawit," kataku pada Bang Parlin." Entahlah, Dek, aku bingung, sakit hati, sedih rasanya melepas kebun itu, tiga puluh tahun lebih kuurus, tiba-tiba mau diambil orang," jawab Bang Parlin. Dia tampak sedih sekali."Kenapa harus ditebang itu sawit, kan kita makin rugi, berapa pula biaya untuk tumbang sawit itu," kataku kemudian."Betul, Dek, kita makin rugi, tapi aku tidak rela, Dek, kebun itu milik kita, sudah diserahkan Pak dokter samaku," kaya Bang Parlin."Iya, Bang, tapi memang hak Lindung, karena dia punya surat," kataku lagi."Dugaanku ini bukan masalah kebun itu, Dek, bukan masalah Lindung mau kuliah, dia dosen lo, uangnya banyak, ini masalah Rara," kata Bang Parlin."Kok Rara lagi sih?""Maaf ya, Dek, aku juga tak menyangka bisa begini pan
ParliNia 2Part 30Aku tersentuh dengan kegigihan Bang Parlin ingin lepas dari bayang-bayang Rara, untuk kedua kalinya dalam dua hari ini, kemarin pun Bang Parlin sampai membentak Rocky, aku jadi makin yakin, Bang Parlin memang sudah berubah."Kalau bisa, aku mau tinggalkan Lindung di sini saja, mohon angkat dia sebagai anak angkat kalian, karena kudengar Bang Parlin punya banyak anak angkat, tolong tambah satu lagi," kata Rocky lagi."Bagaimana sih, Om, tadi minta kebun, kini minta kami asuh Bang Lindung," celoteh Butet lagi."Udah, kami serahkan saja kebun itu untuk Lindung, terserah dia mau diapain, tapi mohon maaf, kami tidak bisa jadi orang tua angkatnya, lagi pula dia sudah dewasa," kata Bang Parlin akhirnya."Baiklah, jujur saja, niatku kemari ingin membalas sakit hati padamu, Bang Parlin, tapi kau memang benar-benar tulus, kebun yang mahal segitu pun dengan mudahnya kau berikan, kupikir Bang Parlin akan memohon, kemudian niatku jadi berubah, aku ingin tinggalkan Lindung di sin
ParliNiaPart 31"Padahal aku suka Amanda, Mak," kata Ucok lagi. "Lupakan saja, Cok, dia bukan cewek yang cocok untukmu," kataku seraya merangkul bahu anakku tersebut. Di usianya yang baru lima belas tahun, dia sudah kebih tinggi dariku. Mungkin setelah dewasa nanti bisa lebih tinggi dari Bang Parlin. Suaranya juga sudah berubah, suaranya merdu seperti Bang Parlin. Kadang aku suka mencuri dengar Ucok bernyanyi sendiri. Lagunya juga tidak jauh dari lagu yang biasa dinyanyikan Bang Parlin, kalau gak ungut-ungut, ya, Onang-onang. "Kenapa mamak bilang gak cocok, dia baik lo, Mak," jawab Ucok.Aku tak tahu harus bilang apa, Amanda memang baik, cantik lagi, untuk ukuran desa, dia gadis paling cantik di desa ini. Akhirnya aku katakan ajaran Bang Parlin juga."Melihat orang itu dilihat dari bibit dan bebet serta bobotnya, Cok. Om Hermansyah, dia memang kaya dan pengusaha sukses, tapi lihat itu istrinya tiga, dia lepaskan anaknya ke Australia bersama Lindung, sekiranya Butet mau sekolah di A
ParliNia 2Part 32Aku merasa lega sekali ketika Ucok menolak permintaan Amanda, aku makin yakin Ucok tak akan seperti ayahnya yang menjaga kucing dan hatinya untuk orang yang akan pergi jauh.Amanda salaman dengan Ucok, aku sudah khawatir sekali Amanda akan nekat lagi, mungkin di budayanya pelukan itu biasa, tapi di desa ini itu akan jadi buah bibir masyarakat desa. Lama juga mereka bersalaman kulihat Amanda mengusap matanya, dia pasti sudah menangis. Akan tetapi Butet beraksi. "Selamat jalan ya, Kak Amanda," kata Butet seraya melepaskan tangan dua muda-mudi itu."Iya, Tet, selamat tinggal, ini ada kucingku, tolong jaga," kata Amanda."Oh, maaf, Kak, gak bisa kami itu, kami pecinta sapi, bukan pecinta kucing, bawa saja ke Medan," kata Butet."Padahal aku ingin berikan kenang-kenangan," kata Amanda.Amanda lalu naik ke mobil ayahnya, dia buka kaca mobil, mengeluarkan tangan untuk melambai-lambai. "Kasihan, Bang Ucok," kata Butet seraya mengusap wajah Ucok.Ucok hanya diam, dia lalu
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga