Part 12“Bulan, kamu kenapa?” terdengar suara suamiku bertanya.Tak ada jawaban dari Seri Bulan, hanya suara tangis yang terdengar, aku segera keluar rumah menyambut Bang Firman.“Dia jatuh ke kolam lele, Bang,” kataku seraya berusaha menahan tawa“Aduh, kok bisa gitu,”“Maaf, Mas Firman, aku gak akan bisa, maaf saja,” kata Seri Bulan seraya mengambil pakaiannya dari jemuran. Pakaian yang basah itu dia masukkan ke bawah jok motor matic-nya. Dia lalu menghidupkan motor tersebut.“Dasterku bawa saja, gak usah dikembalikan,” kataku seraya tersenyum.Wanita itu lalu pergi, tinggal Bang Firman yang geleng-geleng kepala.“Dek, kau apain dia?” tanya Bang Firman.“Lo, sudah kubilang, Bang, dia jatuh ke kolam lele,” jawabku.“Bagaimana bisa?”“Mana kutahu, jangan coba-coba selingkuh ya, Bang,” kataku seraya menunjukkan jari telunjuk.“Siapa yang selingkuh, kau yang mau tinggalkan aku, wajar aku cari pengganti,” kata Bang Firman.“Selama aku masih di sini, tidak boleh, awas kalau datang lagi su
Part 13“Yuk, ikut ke pasar?” ajak suami di suatu pagi. Ini sesuatu yang langka, biasanya dia selalu pergi sendiri tumben ngajak sekali ini.“Pasar mana Bang?” tanyaku kemudian. Saat itu masih subuh, anak-anak sudah bersiap hendak berangkat sekolah. Mereka berangkat memang harus pagi sekali, jam enam pagi sudah harus berangkat, karena sekolah masuk jam tujuh lewat tiga puluh. Perjalanan dari rumah ke sekolah bisa makan waktu satu jam karena jalan yang masih jelek.“Pasar kota lah, Dek, ada mall yang baru buka,” kata suami lagi.“Tumben ngajak-ngajak?”“Ah, gak usahlah, gak jadi,” kata suami seraya mengangkat telur ke truk kecil kami.Aku segera bergegas memandikan dua anakku, “aku ikut, Bang,” teriakku kemudian. Kupakai baju terbaik, kukenakan perhiasan. Setelah itu aku ke halaman, Bang Firman sudah berdiri seraya melihat arlojinya.Aku terpaksa duduk di belakang, karena di jok depan kami tak muat, bila anak-anak di belakang, aku khawatir baju sekolah mereka kotor. Mobil sudah hidup d
Part 14.Setelah menjemput anak-anak, kami belum pulang, hari ini benar-benar hari spesial, suami bawa kami ke kota lagi. Anak-anak tampak senang sekali. Kami singgah di sebuah tempat mirip kafe. Bang Firman mempersilahkan kami memilih makanan apa saja yang ada di cafe tersebut. Anak-anak langsung pilih nasi goreng. Aku pilih mie aceh.Lalu beberapa saat kemudian, datang dua pelayan membawa kue ulang tahun. Aku makin heran, siapa yang ulang tahun? Lagi pula keluarga kami bukan keluarga yang merayakan ulang tahun, coba kuingat tanggal lahir semua anak, tidak ada yang hari ini.Di kue itu ada angka sebelas, anak sulungku baru sembilan tahun.“Selamat ulang tahun pernikahan,” kata pelayan tersebut. Ya Allah, aku baru ingat, hari ini tepat sebelas tahun kami menikah. Ini hari ulang tahun pernikahan kami, sepertinya Bang Firman sudah mengatur ini sebelumnya.Aku terharu, setelah sebelas tahun baru kali ini dirayakan. Ada apa ini? Apakah ini cara Bang Firman mengambil hatiku, jika ya, dia b
Part 15Mungkin aku sudah gila, gila karena keinginan sendirikeinginanku untuk pindah ke kota tak disetujui Bang Firman, dia justru sulaptempat kami jadi kota. Sementara aku sudah terlanjur buat perjanjian akan pisahsetelah anak keenam kami lahir.Kini aku berbuat lebih gila lagi, seorang pemuda yang hanyakukenal lewat medsos telah kusuruh datang untuk melamarku pada suami. Gila, akuakui memang aku sudah gila.Hari yang ditunggu akhirnya tiba, pemuda itu datang, saatitu hari sudah sore, Bang Firman lagi mencuci truknya di depan rumah. Sedangkanaku lagi menggendong anak bungsuku.“Selamat sore, Bang?” kata pemuda itu ramah, aku tak beranikeluar, aku menguping dibalik dinding.“Sore juga, siapa ya?” jawab Bang Firman. Aku deg-degan dibalik dingding.“Aku Roni, teman Kak Rindu,” jawab pemuda itu. Dia terdengarpercaya diri juga.“Oh ya, kenal di mana istri saya?”“Itu, Bang, di Facebook,”“Oh, gitu ya, jadi mau ngapain ke mari?”“Begini, Bang, pertama saya bertanya dulu, apa benar abangak
Part 16Kami berdua akhirnya menangis sambil berpelukan. Baru kali ini Bang Firman menangis seperti ini, bahunya sampai terguncang. Perlahan aku melepaskan pelukan.“Mari kita pulang, Bang, aku akan coba berdamai dengan keinginan,” kataku kemudian.“Abang juga akan coba memenuhi segala kebutuhanmu, aku tidak bisa pindah ke Kota, tapi kota yang akan kupindahkan ke tempat kita, Jika kolam pemancingan itu sudah jadi, kita akan membangun penginapan, akan ada tetangganya kita, para pekerja akan tinggal di penginapan itu,” kata Bang Firman.“Iya, Bang, Terima kasih atas semuanya,”Bang Parlin mengucapkan “Alhamdulillah” sedangkan Kak Nia justru bertepuk tangan.“Begitu dong,” kata Kak Nia.“Terima kasih, sebagai bentuk Terima kasih kami, kami undang Bang Parlin dan Kak Nia ke tempat kami, kita bakar-bakar ikan,” kata Bang Firman.“Baik, kami akan datang jika ada waktu,” jawab Bang Parlin.Kami akhirnya pulang ke rumah. Ada yang mengganggu pikiranku kami sudah saling minta maaf, sudah pula s
Part 17“Kolam pemancingan dan rekreasi Rindu Alam” Itu yang tertulis di papan reklame yang cukup besar. Didirikan tepat di depan rumah kami.“Kenapa gak Rindu Firman, Bang?” tanyaku pada suami, saat itu tukang sedang mengerjakan tiang reklame tersebut.“Gak cocok, Dek, itu gabungan nama kita berdua, dan kata-katanya tepat, Rindu suasana alam,” kata Suamiku.Nama suami memang Firman Alamsyah, pilihan nama yang tepat sekali, jika aku rindu Kota, orang kota justru rindu tempat seperti ini. Makin lama, kolam pemancingan kami makin ramai. Jika Sabtu Minggu akan sangat ramai, sekeliling kolam besar itu penuh dengan orang. Kami seperti berjualan ikan dengan cara dipancing.Uang masuk tempat kamu tetap gratis, yang bayar hanya ikan yang didapat pemancing, harganya juga sama dengan harga biasa kami jual. Ide ini memang mantap, kami tak perlu lagi antar ikan ke kota, orang kota yang datang ambil ikan. Tempat kami jadi ramai.Kini karyawan kami sudah enam orang, ada juga warung makanan dan minu
ParliNia 2Part 34Niat ingin liburan tipis-tipis justru berakhir dengan kecelakaan. Satu pemuda hanya lecet-lecet, satu lagi kepalanya harus mendapatkan beberapa jahitan. Kami datang menemua orang tua anak tersebut, niatnya untuk berdamai. Pemuda itu sama sekali tidak berani menceritakan awal kenapa bisa menabrak mobil kami, Dia justru minta tolong supaya jangan diceritakan."Tolong, Bu, aku minta maaf, tolong jangan bilang cerita yang sebenarnya, aku malu, Bu," kata pemuda tersebut, saat aku menyalaminya."Iya, tapi jangan ulangi lagi ya," kataku kemudian."Iya, Bu, janji," katanya.Begitulah cerita versi Butet yang akhirnya dipakai, sapi tiba-tiba menyeberang jalan, motor mereka coba menghindar akhirnya menabrak mobil kami dari belakang. Biarpun begitu, Bang Parlindungan tetap memberikan uang perobatan untuk kedua pemuda tersebut. Hari itu Minggu, aku dan Bang Parlin olahraga berjalan kaki keliling desa. Desa kami konon adalah desa terluas yang ada di kabupaten ini, tapi bukan be
ParliNia 2Part 35.Aku merasa dilangkahi pelaksanaa tugas kepala desa, padahal, sesuai aturan, jika ada masalah penting, harus konsultasi dengan kepala desa terpilih. Hermansyah juga seperti menikungku. Padahal dia temanku mulai SMA, gak mungkin dia tidak tahu ciri khas desa ini yang religius. Malam harinya, Hermansyah dan istrinya datang ke rumah, mungkin istrinya sudah cerita soal ini. Begitu datang dia langsung menyalami kami, dia bawa oleh-oleh. Yaitu kue bolu dari Medan."Mak, kata guru kami, jika pemberian itu berhubungan dengan jabatan, itu termasuk korupsi," Ucok berbisik ke telingaku ketika menerima bolu pandan tersebut."Maaf, Niyet, aku hanya ingin berbuat untuk desa ini," kata Hermansyah ketika aku singgung soal tempat hiburan malam tersebut."Lihat-lihat dong tempatnya, desa ini terkenal religius, kau jual pula miras," kataku."Seperti yang kubilang tadi, aku hanya ingin berbuat untuk desa ini, itu permintaan beberapa warga yang kerja denganku. Kata mereka dari pada car
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga