Lucu juga melihat Bang Parlin, dia sampai menutup telinganya tak mau mendengar aku cerita. Padahal aku hanya bercanda. Hanya kesal karena selalu ada hal yang terjadi membuat Bang Parlin teringat Rara. Aku? tak ada hal yang terjadi, kontak hilang semua, entah mereka sudah nikah, berapa anak pun aku tidak tahu."Bang, bagaimana rasanya ketemu mantan setelah sama-sama nikah?" tanyaku pada Bang Parlin. Aku tahu dia belum tidur."Abang gak punya mantan, jadi gak tau bagaimana rasanya," kata Bang Parlin."Kadang pengen juga bertemu mantan sesekali," kataku.Bang Parlin langsung membuka matanya. Dia bahkan langsung duduk."Astaghfirullah, Dek, istighfar, hati-hati dengan keinginan, berapa kali dibilang," kata Bang Parlin.Kehamilan ini benar-benar lain dari pada yang lain, bawaannya justru mudah marah-marah. Seperti pagi itu Ucok bertanya...."Mak, kaus kaki di mana?" Aku langsung emosi, karena dari SD, dia sudah kudidik supaya barang pribadinya dia urus sendiri. Kini sudah hampir tujuh bel
"Ini anakku yang sulung, yang sakit itu nomor dua, yang nomor tiga tidak ikut, masih sekolah," kata Tama memperkenalkan wanita yang bersamanya."Cepat juga anakmu besar-besar ya, Tamet, anakku yang paling besarnya masih SMA," kataku kemudian."Iya, di antara kita semua kan, aku paling cepat nikah, aku nikah umurku masih dua tiga," kata Tama."Lah, aku tiga dua, terbalik ya," kataku lagi."Hehehe, iya, tadi anakku sudah mulai baikan, besok akan dipindahkan ke rumah sakit di Medan, dia sudah mulai ingat, Alhamdulillah," kata Tama.Bang Parlin datang bersama Butet, mereka bawa makanan. Untuk sesaat mata Bang Parlin seakan mau keluar melihat' Tama."Aku seperti kenal kamu, tunggu kuingat- ingat dulu ya," kata Bang Parlin.Bang Parlin tampak berpikir, dia memegangi jidatnya. Akan tetapi mungkin dia memang sudah lupa, pertemuan itu memang singkat. Itu pun hanya sekali."Tunggu, biar kubantu Bang Parlin mengingatnya," kata Tama, dia pun berdiri lalu pura-pura memegang mikropon."Teman kita N
Ucok dan Butet datang lagi, mereka bawakan sate empat bungkus. Butet lalu menyodorkan sate tersebut ke Bang Parlin."Ini, Yah," kata Butet."Untuk apa sate sebanyak ini, kita kan sudah makan tadi, gak boleh begitu, sayang banyak-banyak begini," kata Bang Parlin.Butet malah meraba kening Bang Parlin."Ayah sehat?" tanya Butet."Sehat, Alhamdulillah, yang sakit itu mamakmu," jawab Bang Parlin."Oh, Alhamdulillah," kata Butet.Aku tahu Butet menyindir ayahnya, karena disuruh ayahnya beli sate, eh, setelah dibeli ditanya Bang Parlin sate untuk apa? Perawat datang memeriksaku. Lalu menyuntikkan sesuatu di botol infus."Kami pulang malam ini," kata Bang Parlin."Maaf, Pak, besok baru datang dokternya," jawab perawat tersebut."Kami pulang malam ini juga, tolong siapkan semua," kata Bang Parlin."Sekali lagi , maaf, Pak, belum bisa, karena harus dengan persetujuan dokter," kata Perawat tersebut."Telepon dokternya," Bang Parlin masih ngotot."Maaf, Pak, beliau tidak bisa ditelepon kecuali
PoV Butet 1Kata orang aku perpaduan otak pintar' ayah dan ceplas-ceplos mamak. Jadilah aku anak yang sangat sulit bergaul dengan teman-teman sebaya. Entah kenapa tidak asyik rasanya. Teman sebaya malah bahas tiktok, bahas oppa Korea, sedangkan aku tidak tertarik sama sekali. Aku jadi merasa orang dewasa yang terjebak di tubuh anak remaja. Kadang ini sangat menggangu hari-hariku, di sekolah, aku jadi sering berdebat dengan guru. Aku jadi sangat sulit punya teman. Temanku bisa dihitung dengan jari. Begitu juga di lingkungan kami tinggal, anak seusiaku asyik bahas cowok ganteng, aku lebih tertarik bahas hukum. Aneh memang, kadang aku jadi malu sendiri, karena bisa sewaktu-waktu dapat berbicara dengan orang yang jauh lebih tua, aku justru merasa sebaya. Akan tetapi pelecehan seksual yang dilakukan oleh kepala sekolah kami seakan mengubahku, bagaimana pun pemikiranku, aku tetaplah anak remaja. Apalagi kepala sekolah itu bilang dia hanya suka sama anak-anak. Aku jadi merasa diriku meman
Ayah hanya geleng-geleng kepala, aku lalu masuk ke mobil patroli polisi yang dibawa polisi muda tersebut."Kok datang sendiri, Pak, polisi kan biasanya kerja tim?" tanyaku setelah mobil berjalan."Kami tadinya datang dengan tim, tapi dibagi tiga untuk tiga desa, partnerku tiba-tiba ada masalah keluarga, jadi aku sendiri," kata Polisi Tersebut."Kita ke mana duluan?" tanya polisi itu lagi.Aku melihat dua puluh daftar tersebut, sudah ditandai lima orang, nama Bang Ucok justru ada di antara lima itu. "Kita menemui ini lebih dulu," kataku seraya menunjuk nama Bang Ucok."Oh, baik, di mana rumahnya?""Kita jemput dia ke sekolahnya, mereka pulang cepat ini karena ada ujian, ayo, Pak," kataku kemudian.Ketika sampai di sekolah Ucok, dia sudah berdiri di depan sekolah menunggu jemputan mungkin. Aku segera turun dari mobil."Biar saya yang bicara', Pak," kataku kemudian."Butet, kok kau naik mobil patroli?" tanya Bang Ucok.Aku menceritakan secara ringkas apa yang terjadi. "Ayo kita bantu p
Terdengar suara letusan senjata api, aku sangat terkejut. Kubuka mata yang sedari tadi kututup, aku memang pemberani, tapi jika ada pistol dan pisau takut juga.Japar masih berdiri sambil mengacungkan pisau, ternyata tembakan tadi tembakan peringatan ke udara. "Buang pisaumu," kata Polisi itu lagi.Akan tetapi Pajar sepertinya tidak takut, sementara ibunya sudah menjerit-jerit. Aku juga mundur empat langkah. Polisi muda itu tampak tenang, dia terus mengawasi Japar sambil menodongkan senjata."Jangan paksa saya menembak kakimu," kata polisi tersebut. Akan tetapi Japar malah pergi dengan pisau di tangan."Tembak saja, lebih baik mati dari pada di penjara," kata Japar.Polisi muda itu terus mengikuti Japar yang terus menjauh. DorrSekali lagi terdengar suara tembakan peringatan. Warga desa mulai ramai. Tapi Japar tidak menyerah juga. Dia terus berjalan sambil berteriak-teriak.Tiba-tiba dari balik batang pohon sawit, muncul Bang Ucok, Bang Ucok menyergap Japar yang memegang pisau. Seju
Umar Hadi nama polisi muda tersebut, pangkatnya brigadir dua. Biasa dipanggil Bripda Umar. Polisi yang baru bertugas di polsek daerah kami. Setelah dia memberikan nomor teleponnya. Kami jadi sering komunikasi lewat WA, akan tetapi yang kami bahas selalu masalah hukum dan masalah berat lainnya. Dengan pria ini aku merasa cocok berteman. Tidak seperti pemuda sebayaku yang lebih banyak membahas hal tak berguna.Siang itu kami kedatangan tamu, kebetulan kami semua lagi di rumah, Bang Ucok sudah pulang sekolah. Mamak tidak ngantor karena lagi kambuh penyakit malasnya, sedangkan ayah baru datang mengambil rumput."Assalamualaikum," "Waalakum salam," aku yang membukakan pintu, yang datang ternyata teman mamak, ayahnya korban begal tersebut."Oh, si Tamet," kata Mamak seraya menyalami tamu tersebut.Mamak yang sedari pagi rebahan tiba-tiba sudah segar saja, aku pun ke dapur mengambil minum, Ayah datang bergabung."Saya datang mau mengucapkan terima kasih," kata Om Tamet ini."Anak saya sud
Sebelum pergi ke Polsek, kami jemput Bang Ucok dulu, dia pulang lebih cepat karena masih ujian. Dengan masih memakai seragam sekolah kami pergi ke polsek setempat. "Buah memang jatuhnya tidak jauh dari pohonnya, ayahnya bapak teladan, anaknya sahabat polisi teladan," kata Ayah saat kami dalam perjalanan. Keluarga kami ada kebiasaan, yaitu dalam perjalanan selalu diskusikan apa saja. "Mamaknya mamak teladan," kata Bang Ucok. "Tapi gak ada piagamnya," Ayah seperti mengejek mamak. "Gak perlu penghargaan gak butuh piagam," jawab Mamak. Sampai di polsek, ternyata penghargaan itu diberikan pakai upacara segala. Dan ada pula gladi resiknya. Upacara itu sendiri berlangsung hikmat. Kapolsek menyerahkan langsung penghargaan tersebut. Ternyata bukan cuma piagam, ada juga uang, aku dan Bang Ucok masing-masing dapat satu juta. "Itu Bang Umar gak nampak ya, Mak," tanyaku pada mamak. Aku heran mulai dari gladi resik sampai selesai upacara, pria itu tidak nampak juga. "Urusan apa sama dia kau
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga