Umar Hadi nama polisi muda tersebut, pangkatnya brigadir dua. Biasa dipanggil Bripda Umar. Polisi yang baru bertugas di polsek daerah kami. Setelah dia memberikan nomor teleponnya. Kami jadi sering komunikasi lewat WA, akan tetapi yang kami bahas selalu masalah hukum dan masalah berat lainnya. Dengan pria ini aku merasa cocok berteman. Tidak seperti pemuda sebayaku yang lebih banyak membahas hal tak berguna.Siang itu kami kedatangan tamu, kebetulan kami semua lagi di rumah, Bang Ucok sudah pulang sekolah. Mamak tidak ngantor karena lagi kambuh penyakit malasnya, sedangkan ayah baru datang mengambil rumput."Assalamualaikum," "Waalakum salam," aku yang membukakan pintu, yang datang ternyata teman mamak, ayahnya korban begal tersebut."Oh, si Tamet," kata Mamak seraya menyalami tamu tersebut.Mamak yang sedari pagi rebahan tiba-tiba sudah segar saja, aku pun ke dapur mengambil minum, Ayah datang bergabung."Saya datang mau mengucapkan terima kasih," kata Om Tamet ini."Anak saya sud
Sebelum pergi ke Polsek, kami jemput Bang Ucok dulu, dia pulang lebih cepat karena masih ujian. Dengan masih memakai seragam sekolah kami pergi ke polsek setempat. "Buah memang jatuhnya tidak jauh dari pohonnya, ayahnya bapak teladan, anaknya sahabat polisi teladan," kata Ayah saat kami dalam perjalanan. Keluarga kami ada kebiasaan, yaitu dalam perjalanan selalu diskusikan apa saja. "Mamaknya mamak teladan," kata Bang Ucok. "Tapi gak ada piagamnya," Ayah seperti mengejek mamak. "Gak perlu penghargaan gak butuh piagam," jawab Mamak. Sampai di polsek, ternyata penghargaan itu diberikan pakai upacara segala. Dan ada pula gladi resiknya. Upacara itu sendiri berlangsung hikmat. Kapolsek menyerahkan langsung penghargaan tersebut. Ternyata bukan cuma piagam, ada juga uang, aku dan Bang Ucok masing-masing dapat satu juta. "Itu Bang Umar gak nampak ya, Mak," tanyaku pada mamak. Aku heran mulai dari gladi resik sampai selesai upacara, pria itu tidak nampak juga. "Urusan apa sama dia kau
Ayahku ini memang selalu seperti ini, susah sekali untuk minta maaf, aku sering dengar pembicaraan ayah dan mamak, ayah selalu cari cara untuk tidak meminta maaf, entahlah, ini salah satu kelemahan ayahku. Hal lainnya, ayahku super hero bagiku.Mamak datang, begitu datang langsung minta maaf."Maafkan Mamak ya, Tet," kata mamak seraya memelukku.Mamak ini kebalikannya, mudah sekali meminta maaf, kadang aku yang salah pun mamak akan minta maaf. Akhirnya kami duduk-duduk di sofa malam itu."Tapi, Inang, biarpun mamak sudah minta maaf, kamu tetap bersalah, ayah tidak izinkan kamu pacaran," kata Ayah.Inang adalah panggilan sayang Ayah padaku, seringnya dipendekkan jadi "Nang" saja. "Kenapa panggil Inang, Yah?" aku justru mengalihkan pembicaraan. Bertanya sesuatu hal yang sudah kutahu jawabannya."Itu panggilan sayang, Tet," jawab Ayah."Kenapa ayah jarang panggil Inang, berarti ayah jarang sayang padaku," kataku lagi."Oale baya boru Regaron," Ayah justru mengutip sepenggal nyanyian un
Akhirnya kami jemput Bang Ucok lebih dulu, ini sebenarnya aneh rasanya. Masa polisi bertugas sendiri, biasanya polisi itu bertugas minimal dua orang, ini sendiri, atau dia memang sengaja datang sendiri."Tampan sekali Abang polisi ini ya, Tet?" kata Salsa saat kami dalam perjalanan."Iya, Salsa,""Pacarmu ini?" tanya Salsa lagi seraya berbisik."Nggaklah, Salsa, masih sekolah kita," kataku kemudian."Memang kalau sekolah tidak boleh pacaran, apa kabar si Revi yang pacaran masih SMP," kata Salsa lagi."Itu prinsip, Salsa, dalam keluargaku tidak boleh pacaran, Bang Ucok pun sama, tidak boleh pacaran," kataku."Wiii, putuslah harapanku," kata Salsabila."Hehehe," aku hanya tersenyum.Saat kami sampai di sekolah Bang Ucok, dia belum pulang, kami menunggu di depan sekolah. Bang Umar berdiri di samping mobil patroli, Sedangkan aku dan Salsabila duduk di depan tukang bakso.Brukkkk!Tiba-tiba terdengar suara seperti benturan keras, ternyata ada kecelakaan, motor menabrak mobil. Aku tak semp
Bang Umar tetap membawa orang tua tersebut ke kantor polisi. Tega sekali Bang Umar, lebih tega lagi yang mengadukannya. Orang tua sendiri dipolisikan?Saat kami sudah hendak berangkat, datang mobil pic up, lalu berhenti di depan rumah tersebut sementara orang tua itu sudah di dalam mobil. Bang Umar sedang mempersiapkan surat penangkapan untuk ditandatangani kepala desa setempat."Bagaimana rasanya, Ayah?" kata seorang pria yang baru turun dari mobil pic up. Orang tua itu hanya diam."Ini orang tua bapak?" tanyaku kemudian."Iya, benar,""Bapak mempolisikan orang tua sendiri?" tanyaku lagi."Iya, dia pantas dipolisikan, itu belum seberapa," katanya lagi.Emosiku meluap, ingin rasanya kupukul pria ini, enteng saja dia bilang begitu. Ya, Allah, ada orang seperti ini."Dasar sampuraga, Malin Kundang, si Mardan," aku menyebut semua tokoh cerita durhaka yang aku tahu "Jangan bicara begitu kalau tidak tahu ujung pangkalnya. Lebih baik diam." kata Pria tersebut."Memang bagaimana ceritanya?
PoV NiaTernyata punya anak beranjak dewasa itu lebih mengawatirkan dari pada punya anak bayi. Itu yang kurasakan saat ini. Putriku mulai dekat dengan pemuda, yang ditaksir anakku justru ada di rumahku sendiri. Membuat aku jadi sering deg-degan. Saat Salsabila di rumah kami, aku jadi sering khawatir iblis menang. Apalagi Salsabila sepertinya tanpa pertahanan iman yang kuat. Rasanya ingin tahunya sangat besar.Malam itu hari sudah jam sebelas lewat tiga puluh menit, seperti biasa aku masih mengobrol dengan suami. Ini memang waktu terbaik bagi kami untuk membicarakan apa saja."Sekiranya Abang mau, punya mantu polisi?" tanyaku pada Bang Parlin."Gak, Dek, tapi jika sudah jodoh, kita mau bilang apa," jawab Bang Parlin."Aku selalu khawatir dengan Butet, Bang," kataku lagi."Percayalah, Dek, kita sudah mendidik mereka dengan baik," "Bang, nanti anak kita kita kasih nama apa?" tanyaku lagi."Entahlah, Dek," "Jika perempuan jangan kasih nama Rara ya, Bang?""Ya, Allah, pembicaraan ditutup
Sepanjang perjalanan, Salsa terus diinterogasi oleh Butet. Pengakuan Salsabila tetap seperti itu."Aku tidak tahu lagi tidur di kamar Ucok, setahuku aku tidur di samping Butet. Kan pintu kamarnya sama," jawab Salsa."Mana mungkin, gak masuk logika, kenapa pintunya terbuka sedikit?" kata Butet lagi."Ya, gak tau juga," kata Salsa."Biar bisa kami lihat kan? Apa tujuanmu sebenarnya" tanya Butet lagi."Gak ada tujuan apa apa-apa," kata Salsa."Lalu kenapa harus ngaku yang nggak-nggak?" aku ikut bertanya."Aku hanya ingin jadi bagian keluarga kalian, Tante," kata Salsa."Astaghfirullah,""Aku takut dirajam, Tante," kata Salsa lagi."Ah, sudah gak benar kau, Salsa, dalam satu menit sudah berubah pengakuanmu, tadi katanya ingin jadi bagian keluarga kami, eh, sudah berubah jadi takut dirajam, kau pikir ayahku sekejam itu?" kata Butet."Maksudnya gabungan keduanya, Butet, pengen jadi bagian keluarga kalian, sekaligus takut dirajam," kata Salsa."Sudah, sudah, kita serahkan ke orang tuanya, se
Mobil kami tentu tidak bisa mengebut lagi. Hanya mobil Xenia tahun rendah. Setelah bangkrut dulu, mobil Mitsubishi Strada kami memang dijual Bang Parlin. Setelah naik lagi, dia beli mobil bekas yang murah. Tapi mesinnya masih terawat, bisa ke Medan entah sudah berapa kali bolak-balik. Di kebun ada tiga truk, satu sudah dimodifikasi khusus bawa sapi. Satu lagi truk pelangsir sawit. Satu lagu truk l 300 serbaguna, aku bilang serba guna karena trik itu seringkali kami pakai jalan-jalan. Sering juga dipakai Bang Parlin bawa rumput.Menjelang sampai di ibukota kabupaten, ada persimpangan. Bang Parlin mengehentikan mobil."Kita ke arah mana?" tanya Bang Parlin."Entahlah, Bang," jawabku."Aku ada ide, Yah, kita ikuti remehan roti," kata Butet."Oala, Butet, kau pikir film Hollywood ini?" kata Bang Parlin."Aku mau bilang ikuti tai ayam, tapi terlalu kasar, karena truknya truk ayam," kata Butet."Iya, ya, kok bisa pintar kau, Tet," kata Bang Parlin seraya turun dari mobil. Bang Parlin bena
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga