Menantu Dari DesaKarya: Bintang KejoraPart 2Aku baru ingat chat terakhirku tadi, kalau dia masih chat blokir bertindak, ternyata dia selugu itu, dia gak berani chat biarpun sudah transfer sepuluh juta. Aku jadi penasaran dengan si Torkis ini, nama yang aneh menurutku, akun Facebook justru Bang TH, entah apa TH ini. Dia sama sekali tak mengirim inbok lagi, apapun kubilang dia balas di kolom komentar, orang yang unik. Masih ada orang sebodoh ini, dengan mudahnya dia kirim uang sepuluh juta. Tak bisa kubayangkan dia akan jadi korban empuk para penipu di dunia maya. (Aku akan datang besok melamarmu, Ayu) tulisnya lagi di kolom komentar, kali ini dia komentari foto profilku. (Seserius itukah) balasku. (Ya, saya tak pernah main-main jika urusan perempuan) tulisnya lagi. Ya, Allah, ada apa denganku, apa yang akan kukatakan pada Emak jika Torkis ini datang melamarku. (Cie cie, yang dilamar) Doli membalas komentar kami. (Hei, jangan macam-macam, kublokir nanti,) ancamku. (Suka
Menantu Dari DesaKarya: Bintang KejoraPart 3Ayah jatuh pingsan demi mendengar perkataanku, ini memang diluar nalar, masa ada cewek terima panjar mahar untuk dirinya sendiri, orang yang tak kenal lagi. Akan tetapi Torkis ini lebih aneh masa ada orang yang begitu mudahnya transfer uang sepuluh juta untuk panjar mahar, jika aku mau berbuat jahat, tinggal blokir, selesai. Akan tetapi entah kenapa ada rasa lain di hati ini, mungkin rasa kasihan melihat keluguan Torkis. "Kamu terima panjar mahar tanpa bicara dengan ayah?" tanya ayah setelah beliau siuman. "Iya, Ayah," jawabku seraya menundukkan wajah. "Kamu itu melangkahi wewenang Ayah, yang terima lamaran untuk kamu seharusnya ayah, ini kamu terlalu laju, bukan hanya terima lamaran, bahkan terima panjar," kata Bang Wisnu-abangku yang tertua. "Maaf, Bang, tadinya aku hanya bercanda, ternyata dia serius," jawabku. "Apa pernah kau dengar orang bercanda tentang lamaran?" kata Bang Bayu-abangku yang nomor dua. "Ada, itu si Doli sudah
Menantu Dari DesaPart 4Padahal niatku hanya menguji, akan tetapi dia menyanggupi dan akan mengusahakan dalam satu minggu. Tentu saja hal ini membuat aku makin terkejut. Ayah dan Ibu kembali berkumpul. "Maaf, Torkis, ini terlalu mendadak bagi kami, jadi kami belum bisa memberikan jawaban," kata Ayah seraya menyeruput kopi yang kuhidangkan. "Tapi, Pak, anak bapak sudah setuju, dia minta panjar, aku kasih, panjar itu tanda jadi, Pak," kata Bang Torkis. "Benar sekali, maafkan putri kami, otaknya lagi miring," kata Ibu seraya menempelkan jari di kening. Ah, malah aku yang dibilang otak miring, padahal jelas sekali Bang Torkis yang terlalu lugu, masa dia kasih panjar. "Biarpun otaknya miring, saya bersedia mengimaminya, menuntunnya menuju keluarga sakinah," kata Bang TorkisDuh, aku jadi meleleh, ini jenis gombalan yang tak biasa, apakah Bang Torkis ini tidak tahu kalimat perumpamaan, ibuku bilang otakku miring bukan berarti betulan. Dan perkataan Bang Torkis itu sangat romantis bagi
Menantu Dari DesaPart 5Naomi mungkin ada benarnya, aku tidak akan sanggup menghadiri pesta pernikahan sahabat sendiri. Sahabat yang menikungku, yang menyakitkan dia bilang aku yang tidak bisa membuat Doli nyaman. Dia juga bilang Doli menyatakan cintanya pada Naomi setelah kami putus. Padahal kami putus tanpa sebab berarti, dan sebulan setelah kami putus dia sudah tunangan. Dua bulan kemudian sudah mau pesta pernikahan. Aku lalu teringat utang Naomi padaku, dia pernah pinjam uangku tiga ratus ribu, sudah tiga tahun tidak dia bayar. Entah kenapa aku jadi ingin menagih. Kuambil HP, langsung ke aplikasi whatsapp. (Mi, aku minta kau bayar utangmu?) pesanku langsung saja. (Utang apa?) (Lupa kau ya, kau pinjam tiga ratus ribu betulin HP-mu yang pecah layarnya.) (Oh, iya, ya, nanti setelah aku jadi nyonya Doli kubayar berikut bunganya) (Aku gak mau nanti, bayar sekarang!) (Galak amat, sih) (BAYARRRR) Lama baru datang balasannya lagi, ternyata dia mengetik panjang sekali. (Ayu, jo
Karena ibuku pingsan kami gagal atau lebih jelasnya tertunda pergi beli mobil, aku ambil minyak kayu putih, oleskan ke hidung ibu. Akhirnya Ibuku siuman juga. "Aduh, Ayu, ayu, yang kau pikirnya beli mobil itu kayak beli sepatu," kata Ibu seraya memegang kepalanya. "Bang Torkis yang mau beli mobil, aku cuma menemani, Mak," jawabku. "Ya, udah, pergilah, hati-hati," kata ibuku kemudian, aku tahu apa kira-kira yang Ibu pikirkan, mungkin dia mengira kami hanya bercanda atau apa.Becak motor pun dipanggil, kami naik berdua, Bang Torkis tidak mau duduk di sampingku, dia justru duduk di belakang Abang betor. Tempat duduk becak memang sempit, jika duduk berdua akan dempet, apakah Bang Torkis sesopan itu, tidak mau duduk berdampingan sebelum sah? Becak bukannya ke pasar, akan tetapi ke sebuah rumah yang agak jauh di pinggir kota. Rumah yang cukup besar. "Kita mau ngapain kemari?" tanyaku curiga. "Mau ngambil duitnya," jawab Bang Torkis seraya membayar ongkos becak. "Ngambil duit di rumah
Uang satu kresek masih di tangan Bang Torkis, belum juga dia serahkan ke kasir, sementara itu karyawan dealer itu terus merayu kami. Bicaranya terus membicarakan keunggulan mobil Pajero sport tersebut."Tes drive dulu, Pak, biar Bapak rasakan kelebihan mobil ini," kata karyawan itu lagi."Maaf, Bu, saya gak bisa bawa mobil,""Saya juga gak bisa," Kataku ketika karyawan itu melihat ke arahku. Karyawan itu tampak bingung ya, memang kami juga bingung, masa mau beli mobil bawa mobil pun tak bisa."Oke kami bisa suruh pegawai kami yang tes drive, Bapak Ibu bisa ikut,""Bagaimana, Ayu?" Bang Torkis malah bertanya padaku."Ya, bagaimana lagi, Bang,""Jadi gak belinya? kalau jadi biar kita bayar, gak usah tes segala, kalau gak jadi ya kita bawa pulang uang ini," kata Bang Torkis."Gak usah jadi, Bang," kataku akhirnya. Aku merasa tertampar dengan perkataan Bang Torkis tadi, yang katanya ajaran guruny
Aku masih tak bisa berpikir jernih, masih shok dengan pengakuan jujur Bang Torkis, dia mengakui langitkan doa di sepertiga malam, supaya aku dan Doli putus, kenapa ada orang sejujur Bang Torkis?Bang Torkis pergi setelah ibuku siuman, katanya dia ke rumah orang tua angkatnya mau bersihkan rumah tersebut. Dia sudah janji hari minggu akan menemaniku ke pesta Doli. Akan tetapi mulai timbul keraguan dalam hatiku.Malam itu keluargaku berkumpul di meja makan, ayah mengundang dua saudaraku bersama istri masing-masing, agenda malam ini adalah membahas diriku yang akan dilamar Torkis."Bagaimana menurut kalian si Torkis ini?" tanya Ayah memulai pembicaraan."Pendapatku tetap seperti itu, si Torkis ini orang gila yang baru jual warisan, tak akan kubiarkan adikku nikah sama orang gila," kata Bang Wisnu."Tapi emak merasa Torkis ini orang baik," kata ibuku."Bagaimana bisa emak bilang baik, kenal saja baru dua hari?"
Aku akhirnya bisa menegakkan kepala di hadapan Naomi dan Doli, rasa sakit itu sedikit berkurang. Tak ada lagi air mata ketika kulihat mereka bersanding di pelaminan. Ibunya Doli yang justru menangis. Ketika kami pamit pulang, ibunya Doli terus memelukku, dia masih saja ucapkan kata, " Yang sabar ya, Ayu, bagaimana mau dibilang, tidak jodoh,", padahal aku sudah bilang kalau aku baik-baik saja."Hei, Ayu," teriak seseorang, ketika kami hendak masuk ke mobil, aku menoleh, ternyata temanku yang juga teman Doli."Hai juga, baru datang kalian?" tanyaku basa- basi."Siapa ini?" tanyanya seraya melirik Bang Torkis."Oh, kenalkan ini calon suamiku,""Waw, belum apa-apa sudah dapat yang baru kau ya,""Hehehe,""Kau dapat di mana itu?" katanya seraya melihat kaki Bang Torkis, Bang Torkis memang memakai sepatu bot kulit, mungkin temanku ini merasa lucu melihat penampilan Bang Torkis."Dapat di Dumay,""