Part 23Rumah besar milik kami itu sudah dikontrak Hermansyah selama sepuluh tahun, tadinya dia minta beli, akan tetapi tak kujual. Dari sekian lama di desa ini, dari sekian banyak orang, hanya si Hermansyah ini yang bisa membuat aku cemburu. Hanya dia yang bisa menyaingi aku di sini, ternyata dia pula yang membawa lari istriku.Ketika tiba di rumah Hermansyah, pria itu tidak ada di rumah, yang ada hanya putrinya Amanda. Gadis itu sepertinya ketakutan."Om, maaf, Om," katanya sebelum aku sempat bertanya."Mana ayahmu?" tanyaku langsung saja."Tolong, Om, jangan bilang ayahku," jawab Amanda."Lo, kenapa?" Melihat gadis cantik ini ketakutan, aku jadi makin curiga."Ayah gak perlu tahu, Om," kata Amanda lagi."Kok gak perlu tahu pula, ini urusan kami dengan ayahmu, justru kamu yang gak perlu tahu," kataku kemudian."Tolong, Om, ayahku nanti marah," kata gadis cantik itu.Aneh, kok takut kalilah anak ini ayahnya marah? Padahal aku di sini yang marah. "Telepon dulu ayahmu, bilang aku di
Part 24 Ucok memegangiku, padahal sudah ingin kupraktekkan ilmu yang pernah kupelajari di pesantren. Belum pernah kugunakan semenjak dulu. "Katakan sekarang di mana istriku," kataku lagi. "Maaf, Bang Parlin, janjiku tak bisa kulanggar, bukannya kita harus memegang janji, demi apapun janji itu itu harus dipegang teguh, itukan ajaran Bang Parlin," kata Hermansyah lagi. Perkataannya itu serasa kembali kepadaku, demi janjiku pada Rara, sudah banyak yang sakit hati, janji rambut, janji kucing, sapi dan segala macam. Karena janjiku itu juga Nia istriku sering sakit' hati, ah, padahal, itu hanya janji pada diri sendiri, mencintai Rara hanya janjiku pada diri sendiri, bukan pada orang lain. Sekarang aku baru menyadari, ada janji yang bisa membuat orang susah. Aku buktinya. Hermansyah ini bukti lain karena janjinya pada Nia, dia bahkan rela kupukul. Sebentar, dari mana pria Arab ini tahu soal aku yang teguh pegang janji, padahal dia orang baru di desa ini, dia juga baru kukenal? Jangan-jan
Part 25Malam kedua tanpa ada Nia, suasana rumah seperti berubah, Ucok dan Butet terus bertengkar, ada saja pertengkaran mereka, mulai dari siaran TV, sampai siapa yang duluan mandi. Seperti malam itu, Ucok lagi nonton berita, Butet datang mau nonton sinetron."Kayak mak-mak saja kau, Butet, nonton sinetron," kata Ucok seraya merampas remote."Heh, sini itu, Abang Ucok kayak politikus saja nonton berita," kata Butet. Mereka lalu tarik-tarikan."Udah, udah," teriakku, sini remote-nya, gak ada yang boleh nonton TV," sambungku lagi."Awas, Bang Ucok ya, kubilang Ayah," kata butet lagi. "Awas kalau kau bilang," kata Ucok."Heh, sini dulu kalian, bilang apa, Tet?" kataku penasaran. Sepertinya Ucok takut sekali ketahuan."Bang Ucok, Yah," kata Butet lagi."Kenapa Bang Ucok,""Dia main cewek sama Kak Amanda," kata Butet."Cok, sini dulu ayah bilang sama kau ya, Cok, itu berduaan sama cewek dalam rumah itu tidak boleh, kau kan sekolah agama, masa kau gak tau," kataku coba memberikan nasiha
ParliNia 2Part 26Ini. Butet terlalu jujur atau memang dia tidak tahu aku lagi menunggu Hermansyah bilang di mana Nia? Akan tetapi aku yakin Butet sengaja, dia orangnya yang suka nguping pembicaraan orang dewasa. Dia pasti sudah mendengar pembicaraan kami, lalu muncul di saat yang tepat. Langsung pula bilang di mana Amanda tanpa ditanya. Gagal total sudah rencana Ucok. Butet ini memang kadang-kadang?Amanda lalu muncul, gadis cantik tinggi semampai itu lalu salim ke ayahnya. "Aku main ke sini, Pa, bosan sendirian di rumah," kata Amanda."Itulah kubilang, jika takut sendirian ajak temanmu, ajak si Butet, entah si Ucok," kata Hermansyah sambil mengelus rambut anaknya."Maaf, Ya, aku tidak tahu budaya di daerah kalian, tapi di sini, laki-laki dan perempuan tidak boleh berduaan dalam rumah, tolong ajari anakmu, jangan ajak anakku," kataku kemudian."Hehehe, Bang Parlin, ini sudah jaman canggih, sudah biasa, justru jika diberi kepercayaan baru mereka bisa jaga diri, jika dilarang baru me
Part 27Butet paling antusias menyambut ibunya, dia nyuci piring, ngepel lantai. Ucok malah mau bikin tulisan di dinding pakai kertas berwarna. Tulisannya bahasa Inggris pula. "Well come home" begitu yang dia tulis di dinding.Kucoba telepon Nia, katanya dia akan sampai setengah jam lagi. Aku lalu bercukur, kumis dan jenggot kucukur habis, Butet sudah mandi, Ucok juga sudah selesai buat hiasan di dinding. Terdengar suara motor matic Nia, kami bertiga berdiri di pintu menyambut istriku. Begitu turun dari motor, Nia berjalan sambil merentangkan tangan, aku pun menyambutnya, akan tetapi bukan aku yang dipeluk, tapi Butet, lalu Ucok, sementara aku berdiri mematung dengan tangan masih merentang."Pelukan untuk Abang nanti malam," bisik Nia ke telingaku. Setelah drama peluk dan tangis, lalu dilanjutkan dengan makan bersama, lauknya justru mie instan beserta sayur. Kami makan sambil bercanda."Mak, Ayah bilang terkoyak Obesitas, aku belum obesitas kan?" kata Butet pada ibunya."Belum, tapi
Part 28PoV NiaRencananya aku mau menghilang selama tiga Minggu, sampai pelantikan kepala desa, aku ingin menyendiri. Aku sudah bertekad tak akan buka HP selama tiga Minggu ke depan akan tetapi Hermansyah datang, dia bercerita tentang Bang Parlin yang ngamuk sampai memukulnya. Tak tahan juga, aku hidupkan data HP, tak kusangka Bang Parlin bisa juga menuliskan puisi yang manis. Akan tetapi aku tetep pada pendirian. Dasar memang aku suka rindu, tiga hari kemudian aku hidupkan lagi data. Aku terkejut membaca rentetan pesan WA Bang Parlin. Dia sudah sadar selama ini hanya terobsesi. Bukan cinta pada Rara tapi obsesi ingin seperti ayah Rara. Bisa dimaklumi, hampir seumur hidup Bang Parlin tinggal di kebun, dia tak mengenal banyak orang. Lucu juga kalimatnya Bang Parlin, katanya dia terkoyak oleh obesitas, aku tahu itu salah ketik karena keyboard HP yang otomatis, aku tahu setelah coba ketik obsesi, yang muncul obesitas. Akan tetapi aku ingin permainkan Bang Parlin, langsung kutelepon
ParliNia 2Part 29Butet dan ayahnya sepemikiran, ini jarang terjadi, bagaimana bisa Butet yang baru empat kali datang bulan itu bicara seperti itu, idenya juga nyeleneh, itu sakit hati dibalas sakit hati. "Bang, Abang serius mau tumbang itu sawit," kataku pada Bang Parlin." Entahlah, Dek, aku bingung, sakit hati, sedih rasanya melepas kebun itu, tiga puluh tahun lebih kuurus, tiba-tiba mau diambil orang," jawab Bang Parlin. Dia tampak sedih sekali."Kenapa harus ditebang itu sawit, kan kita makin rugi, berapa pula biaya untuk tumbang sawit itu," kataku kemudian."Betul, Dek, kita makin rugi, tapi aku tidak rela, Dek, kebun itu milik kita, sudah diserahkan Pak dokter samaku," kaya Bang Parlin."Iya, Bang, tapi memang hak Lindung, karena dia punya surat," kataku lagi."Dugaanku ini bukan masalah kebun itu, Dek, bukan masalah Lindung mau kuliah, dia dosen lo, uangnya banyak, ini masalah Rara," kata Bang Parlin."Kok Rara lagi sih?""Maaf ya, Dek, aku juga tak menyangka bisa begini pan
ParliNia 2Part 30Aku tersentuh dengan kegigihan Bang Parlin ingin lepas dari bayang-bayang Rara, untuk kedua kalinya dalam dua hari ini, kemarin pun Bang Parlin sampai membentak Rocky, aku jadi makin yakin, Bang Parlin memang sudah berubah."Kalau bisa, aku mau tinggalkan Lindung di sini saja, mohon angkat dia sebagai anak angkat kalian, karena kudengar Bang Parlin punya banyak anak angkat, tolong tambah satu lagi," kata Rocky lagi."Bagaimana sih, Om, tadi minta kebun, kini minta kami asuh Bang Lindung," celoteh Butet lagi."Udah, kami serahkan saja kebun itu untuk Lindung, terserah dia mau diapain, tapi mohon maaf, kami tidak bisa jadi orang tua angkatnya, lagi pula dia sudah dewasa," kata Bang Parlin akhirnya."Baiklah, jujur saja, niatku kemari ingin membalas sakit hati padamu, Bang Parlin, tapi kau memang benar-benar tulus, kebun yang mahal segitu pun dengan mudahnya kau berikan, kupikir Bang Parlin akan memohon, kemudian niatku jadi berubah, aku ingin tinggalkan Lindung di sin