ParliNia
Season 3
Ucok kini sudah mulai besar, umurnya sudah tujuh tahun. Sudah duduk di bangku kelas dua SD. Sedangkan si Butet sudah sekolah TK. Keseharianku kini mengantar jemput anak sekolah. Sedangkan Bang Parlindungan makin menekuni bisnis jual beli tanah.
Siang itu aku terkejut ketika pulang dari jemput anak, ada tamu banyak sekali, yang membuat aku terkejut adalah ada mobil berplat khas polisi. Ada apa ini?
Ketika aku masuk, beberapa pria tampak sedang berbicara dengan suami. Aku mendekat, salah seorang tamu berkameja putih menunjukkan berkas padaku, isinya yang membuat aku terkejut, berkas itu surat penangkapan suami, suamiku dituduh terlibat mafia tanah. Duh.
Suamiku orang yang malas berurusan dengan polisi, kini dia pula yang jadi tersangka. Yang paling menyakitkan mata dan hati, suamiku diborgol.
'Tenang saja, Dek, Abang ta
#ParliNiaseason 3Part 2Bang Parlin benar-benar marah, aku tahu dia tak suka riba, akan tetapi ini sudah darurat, niatku hanya membantu suami, uangnya pun sudah kuberikan semua sama Bang Parlin. Aku hanya sayang emasku, ada yang dari gadis sudah kumiliki."Jangan juallah, Bang," kataku pada suami."Tidak, Dek, Abang tak mau terlibat riba, utangmu itu harus dilunasi, kebun ini dijual saja," kata Bang Parlin."Aku hanya membantu, Bang, aku juga sayang emasku," kataku tak mau kalah.Keputusan sudah bulat, kebun mulai ditawarkan Bang Parlin, aku jadi merasa bersalah sekali. Untuk menebus emas itu tentu tak ada lagi uangku, dalam enam bulan ini kami benar-benar bangkrut."Harta itu hanya titipan, Dek," kata suami ketika aku mencegah dia jual kebun. Tinggal kebun dan rumah harta kami, kalau dijual, apa lagi usaha kami?"Adek gak lulus diuji dengan kemiskinan, ini ujian, Dek, Abang me
Suamiku JadulSesion tigaPart 3Terharu rasanya melihat kekompakan empat bersaudara ini, Bang Nyatan sebagai yang tertua lalu menanyakan berapa modal yang kami butuhkan. Sebenarnya banyak, sawit baru bisa panen empat tahun lagi, sedangkan sapi sudah habis. Sementara usaha sampingan Bang Parlindungan yang jual beli tanah tak diteruskan lagi. Kami butuh modal yang banyak. Untuk meminjam Bang Parlin pasti tidak mau. "Dulu, aku pernah dimodali si Parlin, kalau tak salah waktu itu empat puluh juta, jadi dihitung dengan nilai uang sekarang, sudah banyak. Aku akan berikan seratus juta untuk kalian," kata Bang Nyatan. Aku makin terharu, begitu mudahnya saudara ini membantu saudaranya, uang seratus juta dengan mudah dia berikan. Akhirnya aku kembali ke Medan, anak-anak harus sekolah, sedangkan Bang Parlin masih harus kerja di kebun sawit, sawit yang baru ditanam tak bisa ditinggalkan. Untuk pertama kali semenjak menikah, aku merasakan LDR, berjauhan dengan suami, untunglah kami masih puny
Suamiku JadulSesion 3 part 4Ketika aku sadar, yang pertama kuingat justru anakku."Butet, anakku Butet, mana dia?" kataku seraya memegang kening. Kulihat sekeliling, ada abangku, ada Risda-adik iparku. Kepalaku terasa pusing, ternyata kepalaku diperban."Mana anakku si Butet?" tanyaku lagi.Ya, Allah, apa yang telah kulakukan, aku telah lalai menjaga anak. Bang Parlin akan sangat marah padaku."Mamak!" tiba-tiba kudengar suara khas anak kecil, itu suara anakku. Butet lalu muncul di pintu, dia menangis."Maafkan aku, Mak, aku pulang sama teman gak bilang-bilang," kata Butet."Terima kasih ya, Allah," batinku.Abangku yang mengurus semuanya, aku sudah pingsan lima jam, kepalaku sudah dironxen. Dan Alhamdulillah tak ada hal yang mengkhawatirkan, hanya luka luar saja. Ternyata Butet pulang bersama temannya, dan singgah di mini market untuk belanja, makanya aku cari-cari tidak ada.
Suamiku JadulSesion 3 part 5Semua serasa kembali ke awal. Bang Parlin menerima satu Sapi dari Rara, Sapi betina yang sudah berumur tiga tahun. Sapi itu dicari sendiri oleh Rara di peternak daerah Medan. Di satu sisi aku terharu dengan perhatian Rara, akan tetapi di sisi lain justru aku cemburu. Dia jauh-jauh dari Bandung untuk membantu kami, aku cemburu karena masa lalu Bang Parlin yang sempat dekat dengan Rara."Ini, Bang Pain semua sudah kubayar, bahkan biaya membawanya ke desa pun sudah kebayar," kata Rara seraya menunjuk sapi di atas truk yang sudah parkir di halaman rumah.Sapi jenis limosin, sapi mahal yang beratnya bisa mencapai satu ton."Terima kasih, Rara, kau memang yang terbaik," kata Bang Parlin."Mulai kembali hidupmu, Bang Pain, Abang pasti bisa sukses lagi," kata Rara lagi.Percakapan dua orang ini selalu membuat aku cemburu, Bang Parlin sampai bilang Rara yang terbaik, lah, jadi aku apa
Suamiku JadulSesion 3 part 6Urusan sekolah Ucok dan Butet mudah saja, karena sekolah yang dulu didirikan keluarga Bang Parlindungan tak berapa jauh dari kebun. Kakak kandungku sendiri yang jadi kepala sekolah di situ sampai sekarang. Resmilah kami kini tinggal di desa.Rara-sapi betina jenis limosin itu jadi kesayangan Bang Parlin, dia mengurus sapi tersebut dengan telatan. Aku jadi cemburu pada sapi tersebut. Bayangkan, begitu bangun pagi, yang pertama dia lakukan adalah membersihkan kandang sapi tersebut, memberinya makan, baru mandi dan salat Subuh. Sementara anak istrinya belum sarapan.Dia bahkan mengajak sapi itu bicara, tentu saja sapi tak membalas, dia terus bicara sendiri. Kadang bernyanyi menenangkan sapi tersebut. Nyanyiannya masih seperti dulu, yaitu Ungut-ngut, lagu daerah khas Tapanuli Selatan.Sedangkan aku sendiri tak pernah diajak bicara lama begitu. Jika sore hari dia akan bawa sapi tersebut ke pinggir sungai.
Suamiku JadulSesion tiga part tujuhUcok dan Butet mulai terbiasa hidup di desa, Ucok seperti mewarisi kepandaian ayahnya, dia rajin bantu mengurus sapi. Sapi itu juga tampak jinak pada Ucok. Sedangkan aku masih terus mencoba, aku bahkan belum bisa nyalakan api. Kalau mau hidupkan api selalu Bang Parlindungan yang kusuruh.Dari kecil memang aku tinggal di kota, biarkan tidak kaya, akan tetapi tak pernah pakai kayu bakar, lah, di sini kayapun tetap pakai kayu bakar."Niyettt!" teriak Ucok di suatu sore, aku jadi terkejut."Ada apa panggil nama mamak, gak sopan kali kau, Cok?" kataku kemudian.Ucok tampak bengong, lalu...."Ya dipanggil sapi kok mamak yang merepet," kata Ucok.Duh, aku sampai lupa, sapi itu namanya Niyet, lah, ternyata begini rasanya nama kita dipakai untuk nama sapi, padahal anakku tidak tahu aku dulu pernah punya panggilan Niyet."Iya, gak sopan kau teriak gitu,
Suamiku JadulSesion 3 part 8"Dek, bagaimana kalau kita pindah ke desa sana, dekat sekolah itu ada rumah, adek tinggal di situ, Abang pergi pagi pulang sore," usul Bang Parlin di suatu hari."Memang kenapa kalau di sini, Bang?" tanyaku kemudian."Abang merasa bersalah, Dek, adek tersiksa di sini, yang biasanya tinggal di kota," kata Bang Parlin lagi.Apakah aku tersiksa di sini? Di satu sisi, aku bahagia, bisa bersama Bang Parlin, akan tetapi di sisi lain, jujur saja memang aku tersiksa. Teman bicara pun tak ada, kadang ingin juga bertegur sapa, yang ada di sini cuma pekerja, tetangga terdekat jauhnya seratusan meter. Ditambah lagi di sini tak ada yang bisa kukerjakan."Rumah siapa itu, Bang?""Rumah orang, Dek mereka pindah, katanya mau dijual, dikontrak pun bisa," kata Bang Parlin."Di mananya itu, Bang?""Itu yang tepat di samping sekolah yang kita bangun dulu,""Oh, i
Suamiku JadulSesion 3 part 9"Alhamdulillah." Hanya ucapan itu yang keluar dari mulut Bang Parlin ketika uang itu kami terima. Padahal aku sampai menangis terharu. Hari itu juga kami berangkat ke rumah yang mau dibeli tersebut. Langsung nego harga dan pengurusan surat-surat. "Apa kubilang, bagi Bang Parlin uang segitu kecil," begitu kata Bapak yang punya rumah, belum tahu saja bapak ini, Bang Parlin sampai tiga malam tidak tidur. Prosesnya cepat, kepala desa gerak cepat mengurus segalanya. Dua minggu kemudian sudah resmi rumah itu kami beli, kami mulai mempersiapkan pindah rumah. "Bang, kalau Abang bisa membuat orang begitu, kek si ilham itu, gak bisa tidur teringat utang terus, kenapa bukan yang nipu kita surat tanah palsu abang bikin kek gitu, itu uang banyak lo, Bang, ratusan miliar," kataku pada Bang Parlin sore itu, seperti biasa kami lagi membawa sapi jalan-jalan. "Beda, Dek?""Beda di mananya, Bang?""Itu Abang yang beli tanah, bukan orang yang nyutang,""Sama saja, Bang,
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga