Suamiku JadulSesion ke-3 part 10"Abang paling benci orang begitu, udah kaya pun masih mau ngurus surat miskin hanya untuk putihkan utang, ampun," Bang Parlindungan masih mengomel setelah pria itu pergi."Iya, Bang, saran Abang gak mantap kali ini, gak semua orang punya rasa malu," jawabku kemudian.Bang Parlindungan lanjut membuat alat penangkap ikan, alat itu katanya namanya lukah atau bubuh, terbuat dari bambu. Katanya nanti akan diletakkan di sungai setelah memasukkan umpan kelapa di dalam. Sampai siang dia terus sibuk membuat luka tersebut.Bang Parlindungan memang orang yang bisa menyesuaikan diri, ketika hidupnya mapan, dia keliling Indonesia, bersedekah ke sana ke mari, ketika bangkrut, dia tetap semangat, mulai dari awal lagi. Yang membuat aku salut adalah, selalu ada jalan rezeki, biarpun kami saat ini tak ada pemasukan, tapi bisa beli sapi, bisa menggaji karyawan, bahkan bisa beli rumah.Siang hari, Ucok dan But
Suamiku JadulSesion 3 part 11Kini kesibukan kami justru makin banyak setelah pindah rumah, aku kini jadi kepala dusun yang sering diminta warga pendapat dan sering dipanggil urusan masyarakat. Bang Parlindungan kini jadi guru mengaji. Cara mengajar Bang Parlindungan ternyata banyak disukai orang tua murid. Makin lama muridnya makin banyak. Awalnya hanya mengajari ucok dan Butet, kini hampir seluruh anak di dusun ini belajar mengaji di rumah. Bahkan ada beberapa anak dari dusun lain yang belajar di rumah. Bang Parlindungan selalu terima muridnya tanpa ada syarat tertentu. Gratis lagi."Hanya punya ijasah SD, tapi sekarang panggilanku Guru Parlin," kata suami di suatu malam, saat itu ada orang lewat dan menegur Bang Parlindungan dengan panggilan Guru Parlin."Iya, Bang, aku juga gini-gini bisa jadi pejabat, biarpun jabatannya Kepala Dusun," kataku sambil terkekeh."Iya, Dek, semoga ini bisa jadi amal untuk kita," jawab Bang
Bang Parlin mau bangun sekolah mengaji di samping rumah. Lahan seluas lima kali sepuluh itu akan dibangun parmenen. Dananya juga sudah ada pemberian orang tua Raja Siregar. Anak dari keponakan Bang Parlin yang tiba-tiba datang memberikan uang.Material bangunan mulai dipesan, tukang juga sudah dicari. Perijinan pun mulai kuurus. Ketika mengurus perizinan ini kepala desa sempat bertanya padaku."Maaf, Bu Kadus, bukan maksud berburuk sangka atau bagaimana, dari mana kalian bisa bangun sekolah mengaji begitu, karena dari keterangan warga sekolah mengaji itu gratis?" tanya bapak kepala desa tersebut."Hehehe, begitulah Pak, selalu ada rezekinya," jawabku."Hati-hati dapat dana dari sumber tak jelas, Bu, nanti terjebak teroris," kata bapak kepala desa ini lagi.Waduh, bisa-bisanya bapak kepala desa ini curiga begitu, haruskah kujelaskan semua dari mana kami dapat dana?"Ah, tidaklah, Pak,""Hati-hati saj
Suamiku JadulSesion 3 part 13"Itu fitnah!" teriak Bapak Kepala Desa seraya berdiri.Para hadirin banyak yang bisik-bisik, Kepala Desa itu tentu saja mencoba membela dirinya di depan orang."Itu fitnah keji, saya hanya berniat membantu, malah difitnah begini, mana buktinya, coba tunjukkan," kata Bapak Kepala Desa lagi."Maaf, Pak, tak usah diperpanjang lagi," kata Bang Parlin."Akan kuadukan kau ke polisi dengan pasal pencemaran nama baik, di pertemuan begini kau fitnah saya, ini namanya air susu dibalas air tuba, saya murni hanya ingin membantu," kata Bapak Kepala Desa, suaranya keras menggelegar. Kepala Desa ini masih muda, masih lebih tua Bang Parlin."Sudahlah, Pak, nanti Bapak makin malu, sudah selesai, proposal itu tak disetujui," kata Bang Parlin."Iya, terserah, tapi ini belum berakhir, akan kuadukan kau ke polisi, biar tau kau dulu siapa saya?" kata Kepala Desa itu seraya menampar d
Setelah Pak Kepala Desa ditangkap, ramai-ramai warga desa menunjukkan bukti penyelewengan yang dilakukan kepala desa tersebut. Kasusnya jadi naik, bukti sudah banyak, ada banyak mark up biaya pembangunan yang ada di desa. Mulai dari jalan desa sampai pengairan. Ternyata setiap proyek, kepala desa mengambil lima puluh persen untuknya, pantas saja dia kaya raya.Kepala desa itu akhirnya diberhentikan dari tugasnya. Bapak bupati menunjuk pelaksana tugas kepala desa sampai pemilihan kepala desa selanjutnya. Aku terkejut sekaligus terharu. Bapak bupati menunjukku sebagai pelaksana tugas kepala desa, itu artinya aku akan jadi kepala desa selama dua tahun ke depan, sampai dilakukan lagi pemilihan kepala desa."Bagaimana, Bang, aku terima, gak?" tanyaku pada Bang Parlin, sebenarnya yang menjalankan tugas kepala desa seharusnya sekretaris desa, akan tetapi sekretaris desa pun ikut terlibat, dia sudah melarikan diri karena takut ditangkap. Sudah sempat kosong pemerin
Mulai manapaki tangga, naik dan semakin naik, begitulah kehidupan kami. Sapi sudah bisa dijual, sudah ada dua puluh ekor yang bisa diuangkan. Setengahnya itu akan jadi milik kami, setengah lagi untuk pekerja.Sawit mulai berbuah pasir, satu tahun lagi akan normal, Bang Parlindungan tetap seperti dulu, masih mengajar mengaji. Bangunan dua ruangan sudah selesai di samping rumah. Namanya Rumah Qur'an Parlindungan. Mulailah kami mencari guru lain, tak sanggup lagi Bang Parlin mengajar sendirian. Akan tetapi jika tambah guru, tentu saja akan ada gajinya. Dari mana diambil? Sementara sekolah tersebut gratis."Abang mulai kewalahan, Dek, murid sudah empat puluh satu orang, tambah gurulah, Dek," kata suami di suatu malam. Saat itu dia baru saja selesai mengajar anak-anak mengaji."Mana ada yang mau tidak digaji, Bang, gak ada lagi orang yang seperti Abang mau mengajar gak digaji," jawabku."Iya, Dek, kita gajilah, Dek,""Dari mana u
Bulan berikutnya, sudah ada dana masuk untuk gaji empat orang guru ngaji. Bang Parlindungan dan tiga orang anak angkatnya dapat honor dari pemerintah kabupaten. Aku kurang tahu dari pos mana diambil bupati, akan tetapi bapak kadis pendidikan minta dibuatkan rekening khusus sekolah mengaji tersebut."Selamat malam Pak Guru, gaji bulan ini sudah masuk, banyaknya lima juta, dibagi empat orang tenaga pengajar, masing-masing satu juta dua ratus lima puluh," laporku pada suami sambil bercanda. Sampai sekarang Bang Parlindungan memang masih menyerahkan padaku jika urusan bank."Ya, udah, sini uangnya," kata Bang Parlin, saat itu, murid mengaji Bang Parlin lagi sibuk belajar, tiga orang anak angkat Bang Parlin yang mengajari mereka.Ruangan hanya dua, tapi gurunya ada empat, masing-masing guru mengajar murid sepuluh sampai lima belas orang. Satu ruangan disekat jadi dua, jadilah empat lokal dengan empat guru."Mana bisa diambil malam-malam
Suamiku JadulSuasana jadi berubah ricuh, dua pria itu terus saja melontarkan ancaman pada kami. Kata mereka guru ngaji kami telah melakukan pelecehan seksual pada murid perempuan. Tuduhan yang sangat menyakitkan.Salah satu anak angkat Bang Parlin itu sepertinya termakan emosi. Dia menghadang kedua pria tersebut."Tunjukkan buktinya sekarang, Pak, jangan asal tuduh," kata Anak Angkat Bang Parlin."Kita jumpa di kantor polisi, akan saya tunjukkan semua bukti, akan saya bawa saksi korban," kata pria itu."Apa tujuan Bapak? kenapa harus datang ke acara ini dengan tuduhan tanpa bukti," Bang Parlin ikut bicara."Hei, kau Parlin, gak usah sok membela kau, desa ini kacau setelah kau datang," kata pria itu.Aku mulai paham, ini persaingan antara aku dan kepala desa lama. Mungkin mereka kehilangan lahan setelah aku menggantikan kepala desa lama. Aku baru ingat dua hari yang lalu, ada sek
PoV NiaAku tak bisa menahan tawa saat tak sengaja mendengar Butet ditembak Sandy, aku justru jadi teringat saat-saat seusia Butet. Bedanya dulu, aku klepek-klepek, sementara Butet tetap pada pendiriannya tidak pacaran. Aku harus bersyukur punya anak gadis seperti ini.Umar lagi, dia menggunakan orang tua angkatnya yang Kapolres itu untuk menunang Butet. Bang Parlindungan bisa menolaknya dengan tegas. Ada apa ini, dalam dua hari, Butet dua kali ditembak langsung."Mak, gara-gara mamak calon wakil bupati, hidupku juga berubah," kata Butet di suatu siang. Saat itu kami lagi makan siang bersama di kantor desa."Kok gitu, Tet?""Gitulah, Mak, tiba-tiba banyak penjilat, bahkan guruku tiba-tiba baik, aku seperti diistimewakan, bahkan ada guru yang bilang, belum pernah ada anak pejabat yang sekolah di situ, dia berharap mamak menang supaya ada anak pejabat sekolah di situ," kata Butet."Ini baik atau buruk, Tet,?" "Entahlah, Mak, baiknya , gak ada yang berani bully aku, Mak, buruknya, banya
PoV ButetKulirik Bang Sandy, dia menunduk sambil mempermainkan kancing bajunya. Dia sepertinya tak berani mengangkat wajah, atau dia sudah patah hati lagi. Harus kuakui perjuangannya, akan tetapi sudah komitmen pada diri sendiri, tidak akan pacaran."Terbuat dari apa hatimu, Butet? aku sungguh-sungguh mengatakan cinta, Kamu malah bilang itu kabar buruk, Ya, Allah, kuatkan hambamu ini," kata Bang Sandy. "Maaf, Bang, kenapa tiba-tiba ngomong cinta? kan sudah kubilang aku tidak pacaran,""Makin lama kupendam, hatiku justru makin tersiksa, Butet, terus makin lama sepertinya akan lebih sulit untuk mengatakan cinta.""Hmmm,""Panah cintaku sudah kutembakkan dari busurnya, langsung mengarah ke jantung hatimu, akan tetapi kamu mematahkannya, tidak apa-apa Butet, setidaknya aku lega, akhirnya panah cinta bisa kutembakkan, sudah lelah memegangnya selama ini," kata Sandy."Abang ngomong apa, sih?" tanyaku."Butet, tolonglah jangan permainkan hatiku, jika kamu menolak, walaupun kecewa, kuterima
PoV ButetSemenjak mamak resmi' jadi bakal calon wakil bupati. Aku justru jadi terkenal, bahkan guru sekolah pun tiba-tiba baik sekali. Seperti saat itu, aku terlambat masuk kelas karena lagi makan bakso. Ini salah tukang baksos itu, pesananku lama datang. Pas datang lonceng tanda masuk kelas sudah berbunyi. Sayanglah baksoku, akhirnya kumakan juga, biarlah terlambat sekali ini.Guru yang satu ini terkenal galak, mengajar bidang studi Bahasa Inggris, akan tetapi saat aku masuk kelas, beliau tidak marah. Justru tersenyum melihatku."Silahkan duduk, Tet," kata ibu tersebut. Tentu saja aku heran.Saat pulang dari sekolah, ibu guru itu malah menawarkan tumpangan untuk pulang. Karena memang ayah gak bisa datang menjemput, aku mau saja, langsung naik motor matic ibu tersebut."Jika makmu jadi wakil bupati, jangan lupa sama ibu ya," kata ibu tersebut saat aku turun di kantor desa."Iya, Bu," jawabku. Ternyata ada mau ibu ini, aku jadi membayangkan kelak jika mamak jadi pejabat akan ban
PoV UcokMamak akhirnya datang melihatku, aku sangat senang sekali, rindu ini akhirnya bisa terobati. Bang Torkis juga ikut, dia jadi pembelaku saat mamak lagi-lagi menyalahkanku. Pesan Ayah jika untuk gaya hidup, anggap saja ayahmu paling miskin' benar-benar kuterapkan, mulai motor sampai bangun rumah bertingkat pun aku tidak meminta sama orang tua. Harus kubuktikan pada dunia, aku bisa mandiri.Malam itu ada musyawarah di masjid, agendanya adalah pembentukan BKM masjid tersebut yang sudah lama vakum. Aku yang jadi panitia pelaksana. Dua hari ini aku sudah mendatangi setiap rumah di lingkungan ini, memberikan undangan untuk musyawarah. Di lingkungan ini ternyata kesadaran orang memakmurkan mesjid sangat rendah. Dari seratusan orang yang diundang, yang datang hanya kira-kira tiga puluhan orang. Padahal undangan itu ditandatangani ketua RW daerah ini.Dalam musyawarah itu tidak ada yang bersedia jadi pengurus masjid, sementara pengurus yang lama sudah pindah. Aku juga akhirnya yan
PoV NiaTernyata tim sukses sudah mempersiapkan semua, begitu aku iyakan, baliho sudah berdiri di pintu gerbang desa kami, juga di simpang. Bupati ini benar-benar serius. "Go, go, Nia, Membangun dari Desa," begitu tulisan di baliho raksasa, fotoku dan foto bupati terpangpang besar. Go, go itu sendiri artinya dalam bahasa Mandailing adalah kuat. Aku hanya duduk manis di rumah, semua dikerjakan tim sukses, dan seluruh dana ditanggung bupati. Katanya dia menghabiskan kebun sawit dua ratus hektar untuk daftar bupati ini.Hari itu Sandy datang berkunjung ke rumah, aku tentu heran, Butet sedang tidak ada di rumah, katanya dia ada ekstra kulikuler di sekolah."Butet belum pulang," kataku sambil mempersilahkan masuk."Aku datang mau bertemu Tante dan Om," jawab Sandy."Ada apa?" tanya Bang Parlin."Jangan terkejut ya, Om, Tante, kata Sandy serata mengeluarkan laptopnya,""Ada apa sih, Sandy, buat deg-degan aja," kataku."Ini, Tante, sebenarnya ini sudah dua Minggu lalu kejadiannya, tapi Uc
"Maju lo, kalau berani!" kataku lagi. Entah kenapa aku merasa tertantang jika bertemu orang seperti ini. Darah mudaku terasa bergolak. Satu temannya mengambil sesuatu dari mobil, satu lagi maju. Kami beradu pukulan beberapa kali, dua pukulanku membuat pria itu terpojok di dinding ruko orang. Ada yang aneh di sini, kalau di kampung ada keributan, orang-orang akan keluar rumah. Di sini, orang-orang justru menutup pintu, ruko yang di samping tadi masih terbuka pintunya kini sudah tutup.Akhirnya ada juga pengendara motor yang berhenti, akan tetapi mereka bukan membantu atau melerai, akan tetapi justru merekam. Aku makin emosi, darah mudaku makin mendidih, beberapa kali pukulanku mendarat di perut pria tersebut, akan tetapi tiba-tiba sebuah pukulan benda tumpul mendarat di kepalaku, aku memegang kepala, terasa dingin, ternyata darah sudah mengucur. Dua orang itu lalu pergi meninggalkanku, sebelum mereka pergi, bahuku masih sempat kena pukulan. Aku ambil HP, menghubungi Bang Bangbang,
PoV UcokBang Bambang benar, ternyata uang kami kurang untuk bangun kamar mandi tersebut, belum selesai dananya sudah habis. Jika kamar mandi tetap yang satu itu, kamar yang baru selesai akan sulit untuk dikontrakkan. Karena kamar mandi yang lain tempat. "Begini saja, Ucok, upah saya gak usah dikasih dulu, semua uangnya belikan bahan, upahku belakanganya saja," usul dari Bang Bambang. Selama ini aku memang menggajinya harian. Kata orang gaji di kota ini dua ratus ribu perhari, segitu lah dia kugaji."Gak bisa begitu, Bang, ada hadis yang artinya, Bayarlah upah pekerja itu sebelum keringatnya kering," kataku."Wah, salut sama Kamu, Cok, masih muda tau agama dan menerapkannya pada kehidupan sehari-hari."Berapa lagi kira-kira butuhnya, Bang?" tanyaku pada Bang Bambang."Kira-kira lima belas jutaan lagi, Cok, baru leluasa," kata Bang Bambang.Padahal, sekali telepon ke orang tua, pasti diberikan, akan tetapi aku ingin mandiri, berdiri di atas kami sendiri, tanpa menyusahkan orang tua
Hari Minggu adalah hari merdeka bagiku, sehabis salat subuh aku bisa tiduran lagi, karena Butet tidak sekolah, dia yang urus Cantik pagi hari. Bangun jam delapan pagi sudah ada sarapan yang dimasak Bang Parlin.Selesai sarapan, ada telepon dari Pak Bupati."Assalamualaikum, Bu Kades," salam bupati dari seberang sana," "Waalaikum salam,""Saya tahu, besok waktu terakhir batasan waktu ibu berpikir itu, tapi kok saya tidak sabaran ya," kata bupati itu lagi."Besok saja saya kasih kepastian, Pak,""Hari ini saja, saya undang ibu dan keluarga makan siang di Lopo Saba," kata bupati itu lagi. Lopo Saba adalah salah satu restoran yang baru buka di daerah kami, warung lesehan yang berada di pinggir sawah, menunya masakan khas Mandailing. "Baik, Pak, kami datang," jawabku."Saya berharap, jika nanti sudah ada jawaban kepastian, karena kita harus gerak cepat, kita butuh puluhan ribu tanda tangan untuk persyaratan mendaftar ke KPU," kata bapak itu lagi."Baik, Pak,""Bang, Butet!" aku berteriak
Aku benar-benar khawatir sekali dengan anakku itu, dugaanku kemarin dia menelepon mau mengadu, akan tetapi tak mau menyusahkan orang tua. Aku ambil HP, coba hubungi Ucok, akan tetapi tak tersambung, HP -nya bahkan tidak aktif. Aku jadi makin khawatir, tak bisa kubayangkan anakku di tahanan polisi.Butet datang, begitu datang dia langsung ikut menonton video tersebut."Butet, Mamak mau ke Jakarta, kalian di sini duku ya?" kataku pada Butet."Cantik?""Mamak bawa,""Mamak baru sehat,""Abangmu dapat masalah, Tet,"Sementara Butet terus memperhatikan video itu."Mak, bukankah ini Annisa?" kata Butet."Nggaklah, Annisa berjilbab panjang, rambutnya gak mungkin pirang," mataku kemudian."Ini Annisa, Mak," kata Butet serata memperbesar foto screenshot."Iyakah?" "Aku yakin ini Annisa, Ayah telepon dulu Pak Ali Akhir," kata Butet.Tepat dugaanku, wanita cantik adalah kelemahan anakku ini, dia pasti sudah dirayu Annisa dan mengajaknya ke tempat hiburan malam."Assalamualaikum, Pak," terdenga