Share

bab 4

Tante Desi menangis tersedu. "Iya, Nia. Tante minta maaf, karena sudah bersikap tidak baik sama Bu Rini. Tapi, kamu juga jangan bersikap seperti itu sama Tante," katanya sambil terisak.

"Ada apa ini? kamu kenapa duduk di lantai seperti itu?" Suara Pak Dewangga terdengar lantang. “Oh, jadi wanita ular ini sedang melakukan sandiwara di depan Ayah.” Gumam Nia

"Aku memang salah, Mas, karena telah meminta bantuan Bu Rini untuk membuatkan nasi goreng untuk sarapan. Tapi aku tidak menyangka jika Nia akan sampai semarah itu sama aku." Rengek Tante Desi

"Memangnya apa yang diperbuat Nia sampai kamu terjungkal begitu?" sela Pak Dewangga.

"Dia mendorongku, Mas. Ya, mungkin karena Nia terlalu emosi karena aku berbuat semena-mena pada Bu Rini. Tapi, niatku hanya agar Bu Rini bisa membaur sama kita dan menganggap rumah ini rumahnya sendiri. Tapi ternyata niat baikku itu disalah artikan oleh Nia. Dia mengira kalau aku sedang menyuruhnya seperti pada pembantu," Jawab Tante Desi yang membuat Niat emosi.

"Bohong!" Nia berteriak dengan mata menatap nyalang.

"Nia!" Pak Dewangga balik berteriak pada Nia dengan tatapan tak kalah nyalang. "Jangan pernah berteriak pada orang yang lebih tua! Hargai Desi, bagaimanapun dia adalah ibumu." Sambung Pak Dewangga.

"Aku tidak punya ibu. Ibuku sudah mati." Jawab Nia.

Plak!

Sebuah tamparan mendarat di pipi Nia. Nia terdiam seketika.

"Pak Dewangga, jika Anda mau menasihati Nia, bukan dengan kekerasan seperti ini." Sebuah suara mengembalikan kesadaran Nia yang termenung.

Ternyata Reza sudah berdiri tepat di antara Nia dan Pak Dewangga.

"Nia sudah keterlaluan. Saya berhak menegurnya," ujar Pak Dewangga masih terdengar marah.

"Tapi bukan begitu caranya. Sekarang Nia adalah tanggung jawab saya. Saya yang berhak menegurnya," ujar Reza lagi dengan tegas.

Mata Pak Dewangga terbelalak. Namun, Nia justru merasa punya seseorang yang membela setelah sekian lama selalu disisihkan. Sesaat kemudian Pak Dewangga membuang muka, lalu menghampiri istrinya dan membantunya berdiri.

"Saya pun mau berpamitan, karena saya mau membawa Nia pergi dari rumah ini,” ujar Reza kemudian. Kini giliran Nia yang terperangah.

"Tidak bisa. Saya tidak akan memberikannya," jawab Pak Dewangga dengan lantang. Wajahnya terlihat marah. Berbeda dengan Tante Desi yang justru terlihat bahagia.

"Maaf, Pak Dewangga. Di saat saya mengucap ijab kabul kemarin, maka semua tanggung jawab Pak Dewangga terhadap Nia telah berpindah pada saya. Sekarang Nia adalah hak saya." Balas Reza kepada Ayah mertuanya.

Nia pun tertegun melihat pada Reza yang begitu tegas pada Ayahnya.

"Kamu tidak keberatan, kan, jika harus meninggalkan rumah ini?” kali ini Reza mengalihkan pandangannya dan bertanya pada Nia yang masih terpaku.

Nia pun hanya diam mematung

"Nia" ulang Reza lagi memanggil Nia yang terlihat melamun.

Nia pun tersadar dari lamunannya lalu menjawab “Ah, i-iya, tentu saja,” suaranya terdengar sedikit gugup.

Reza pun menyungging senyum lalu berbalik kembali menghadap Pak Dewangga.

"Sekarang saya minta, agar Pak Dewangga juga mengikhlaskan Nia untuk ikut bersama saya. Mungkin saya memang tidak bisa memberikan harta yang berlimpah. Tapi saya berjanji untuk membahagiakannya.”

Pak Dewangga terlihat tampak sedih mendengar ucapan Reza. Entah apa yang dipikirkannya. Apakah dia takut kehilangan anaknya? Tapi dia masih punya Tante Desi dan Anita di sisinya, walaupun Anita sekedar anak tirinya tapi dia menyayanginya.

“Nia, apa kamu bersedia ikut pergi dari rumah dengan Reza dan meninggalkan rumah ini?” tanya Pak Dewangga pada Nia memastikan.

“Apakah ada pilihan lain yang bisa aku pilih? Bukannya Reza adalah lelaki pilihannya untuk menggantikan Ardi? Ataukah dia terpaksa memilih Reza hanya karena hasutan istri kesayangannya?” kata-kata itu terbesit dalam pikiran Nia.

"Tentu saja aku bersedia, Yah. Akan jauh lebih baik untukku keluar dari rumah ini,” jawab Nia dengan yakin, walau dalam hatinya terasa berat meninggalkan Ayah dan rumahnya ini. Bahu Pak Dewangga terlihat tampak meluruh, tetapi berbeda dengan Tante Desi sang ibu tiri terlihat sedang berusaha menyembunyikan senyum bahagianya.

“Baiklah, Nak. Ayah minta maaf karena tadi sudah berbuat kasar sama kamu. sekarang Ayah tidak bisa melarang kamu untuk pergi dari sini, karena suamimu memintanya.” Ucap Pak Dewangga sambil melangkah mendekati Nia lalu menghambur memeluknya.

Nia pun terlihat sedih. Setelah sekian lama, baru kali ini Nia rasakan lagi pelukan Ayahnya yang benar-benar tulus. Bahkan kemarin saat Nia menikah, Nia merasakan pelukan sang Ayah yang seerat ini memeluknya.

“Ayah jangan khawatir. Reza akan menjagaku," ucap Nia dengan yakin. Padahal dalam hati Nia merasa entah kehidupan seperti apa yang akan dia hadapi selanjutnya dengan seorang suami yang hanya seorang satpam, yang gajinya pun mungkin hanya sepersepuluh gajinya Ardi. Atau mungkin jauh lebih kecil dari itu.

"Tadinya Ayah harap kamu dan Reza tinggal di sini saja, nemenin Ayah sampai tua," ucap Pak Dewangga dengan mata berkaca-kaca. Tapi, disisi lain Nia melihat dengan ujung matanya jika Ibu Tirinya membuang muka dengan senyuman sinis. Nia pun semakin bisa menebak isi kepalanya. Bahwa Ibu Tirinya tidak ingin ada dia di rumah ini.

"Ayah jangan sedih. Di sini masih ada Tante Desi sama Anita, ditambah sekarang ada Ardi. Ayah nggak akan kesepian,” jawab Nia.

“Iya, Mas. Kamu jangan terlalu khawatir. Nia, kan, bukan anak kecil. Dia udah menikah. Jadi dia harus belajar mandiri. Dia harus mulai menyesuaikan dengan kondisi suaminya. Bukan begitu, Nia?" ucap Tante Desi dengan senyuman yang dibuat-buat.

Nia pun terlihat malas untuk menanggapi maupun menjawab ucapan Ibu tirinya, karena Nia sudah tahu sekarang niat Ibu Tirinya yang menikahkannya dengan Reza. Dia ingin hidupnya menderita, sementara putrinya menikah dengan lelaki mapan seperti Ardi. Dan melihat hidupnya sengsara, menertawakan kehidupannya dan Reza yang miskin, dan mungkiin membuat Ayahnya melupakan dirinya selamanya.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status