Nia membereskan pakaian dan barang-barang yang bisa dia bawa ke kontrakan yang akan dia dan Reza tempati, entah untuk sementara atau selamanya.
"Nia, saya minta maaf karena harus mengajak kamu keluar dari rumah ini," ucap Reza yang ikut membantu menyusun pakaian dan barang yang ingin dibawa mereka. “Saya sadar jika saya belum bisa memberikan kehidupan yang layak buat kamu. Tapi saya akan berusaha sebaik-baiknya." Sambung Reza. Nia pun tersenyum miris. "Aku mungkin memang lebih baik pergi dari rumah ini secepatnya, agar tidak pernah lagi melihat kebusukan mereka,” jawab Nia pelan. “Oh, iya. Aku justru yang minta maaf sama kamu, karena Tante Desi sudah mmeperlakukan ibumu dengan buruk. Dia memang nggak punya otak." Sambung Nia. Reza pun mengulas senyum. "Tidak apa-apa. ibu orangnya tulus. Dia tidak akan mendendam." Jawab Reza. Nia melanjutkan perkataannya "Aku tetap tidak enak. Ini adalah saat pertama dia bertemu dengan keluargaku, tapi Tante Desi malah berbuat seperti itu." "Tidak usah kamu pikirkan. Ibu pasti memaafkannya," balas Reza lagi dengan senyuman manis. Setelah semua selesai membereskan barang-barang yang hendak di bawa ke Kontrakan, mereka bertiga berpamitan pada Pak Dewangga. Nia pun kembali dipeluk dengan erat oleh sang Ayah. Tak ada pelukan atau kata-kata yang terlontar dari Nia untuk Ibu dan Adik Tirinya, Nia merasa tidak sudi melakukannya. Akan tetapi saat Nia hendak keluar rumah tiba-tiba wanita yang selalu bermake-up tebal itu justru menarik tangannya dan berpura-pura memeluk Nia. Dia kemudian berbisik ditelinga Nia, “Selamat menikmati hari-hari barumu sebagai orang miskin Nia.” Nia pun gegas mengurai pelukannya dan menatap ibu tirinya dengan tatapan nyalang. Tapi Ibu tirinya menyungging senyum manis dan menepuk pelan pundaknya. Nia berguman dalam hati “Jika saja ini bukan acara pamitan, mungkin aku akan membantainya sekalian. namun, aku tidak ingin meninggalkan lagi kesedihan pada Ayah. Semoga setelah keluar dari rumah ini, hidupku akan tenang, walau dengan uang yang pas-pasan. Ah, tidak juga. Aku, kan, masih punya kartu kredit yang dikasih Papa.” Pak Dewangga menyuruh Nia untuk membawa salah satu mobil yang biasa dipakai oleh Nia. Meski Reza awalnya menolak, tetapi meraka memang membutuhkannya untuk pindahan saat ini. ada banyak barang yang harus mereka bawa. Setidaknya mereka berdua bisa bawa Bu Rini ke kontrakannya Reza. Karena kalau tidak bawa mobil, hanya Nia yang bisa nebeng pada motor Reza, sementara Bu Rini harus naik taksi atau ojek. Mereka pun berangkat ke kontrakan Reza bertiga menggunakan mobil yang sering digunakan Nia. Jarak kontrakan Reza dengan komplek Rumah Pak Dewangga, tidak terlalu jauh. Paling sekitar dua kilo meter. Dan berada di lingkungan perkampungan di mana orang-orang akan saling mengenal antar tetangga. Tidak seperti di komplek besar seperti rumah Pak Dewangga. kebanyakan tetangga tidak saling kenal. Kontrakan Reza hanya kontrakan sepetak yang terdiri dari ruang bagian depan yang mungkin bisa dipakai untuk ruang tamu. Lalu sebuah ruangan lagi di tengah yang berfungsi sebagai kamar. Sebuah dapur juga kamar mandi berukuran kecil. Namun, walaupun kecil ruangannya terbilang bersih dan rapih. Reza memang tipe orang yang suka bersih-bersih. “Mmh, Nia, maaf ya, untuk sementara saya hanya bisa membawa kamu di kontrakan ini. Saya sudah mencari rumah yang bisa disewa, tapi belum nemu yang cocok," ucap Reza dengan mimik wajah yang bersalah. Belum nemu yang cocok di sini, atau mungkin belum nemu harga yang cocok dengan uangnya. Tapi Nia mengerti dengan kondisi Reza. "Bagaimana kalau aku saja yang cari?" tawar Nia pada Reza. Namun, Reza tampak gugup dan langsung menolak tawaran Nia. "Tidak. Tidak usah, biar aku saja nanti yang cari," jawab Reza sambil gelagapan. "Reza, kalau misalnya kamu punya masalah keuangan, biar aku bantu. Aku bisa pakai kartu kreditnya Ayah untuk bayar uang sewa rumah kita.” Ucap Nia lagi “Tidak, Nia. Aku mohon, jangan lakukan itu." Reza menolak mentah-mentah. Wajahnya terlihat kecewa. "Reza, sudah seharusnya kita saling membantu. Bukankah kita sudah menjadi keluarga? Kalau kita tinggal di ruangan sesempit ini, bagaimana nanti ibumu tidur?” Nia nebcoba membujuk Reza. Reza pun menoleh ke dalam rumah di mana sang ibu sedang duduk di ruangan depan sambil meneguk segelas air putih. Sementara Nia dan Reza membawa barang-barang dari mobil. Sebetulnya Reza melarang Nia membantunya, tetapi Nia merasa tak tega melihat Reza kerepotan sendiri. “Mmh, apa kamu tidak keberatan tidur sama ibu? Nanti, aku akan tidur di ruang tamu saja," ucap Reza pelan, mencoba melupakan pembahasan tentang masalah keuangan tadi. "Di atas karpet tipis itu?" Nia balik bertanya kepda Reza, karena merasa tidak yakin jika suaminya harus tidur di sana. pasti akan sakit badan saat bangun di keesokan harinya. “Nggak apa-apa, Nia. Aku sudah biasa. Yang penting, kamu sama ibu saja bisa tidur dengan nyaman,” jawab Reza, lalu mengangkut tas besar milik Nia ke dalam. Nia pun memilih untuk membawa barang-barang kecil. "Reza, Neng Nia, maaf ya, kalau Ibu mengganggu kebersamaan kalian. Besok, ibu akan kembali ke kampung, biar kalian bisa nyaman," ujar Bu Rini saat Reza dan Nia sudah ada di dalam. "Eh, Ibu, jangan begitu. Aku justru senang ada Ibu di sini," sahut Nia dengan tulus. "Iya, Bu. Kenapa harus pulang segala? Besok aku akan cari rumah yang lebih besar, biar ibu punya kamar sendiri," sahut Reza setuju dengan pendapat Nia. "Nggak apa-apa, Reza. Ibu lebih kerasan tinggal di kampung. Di sana Ibu bisa bercocok tanam, bisa ngambil sayuran dari kebun nggak usah beli. Kalau di sini, ibu nggak bisa ngapa-ngapain. Segala mesti beli. Beban kamu bertambah berat nantinya. Uangnya mending kamu tabung buat beli rumah,” ungkap Bu Rini. "Bu, sejak kapan Ibu jadi beban buat Reza? Ibu saja merawat Reza dari kecil sampai sebesar ini. Hanya menampung Ibu saja, itu sama sekali tidak akan menjadi beban. Tinggallah di sini. Aku akan berusaha sebaik mungkin untuk membahagiakan Ibu dan juga Nia,” pinta Reza terdengar memelas kepada ibunya. Tak terdengar lagi jawaban dari Bu Rini. Mungkin Bu Rini memahami ucapan Reza, jika Reza sangat menyayanginya.Malam menjelang, Bu Rini tidur lebih dulu dari pada sepasang pengantin baru itu di ruang tamu yang kecil itu. Dia tadi melaksanakan sholat di sana, lalu tak lama dia telah tidur meringkuk dengan mukenanya.Nia duduk di atas kasur sambil melihat-lihat beranda sosial medianya, sedangkan Reza mondar-mandir seperti yang bingung. Nia pun mengerti, jika Reza pasti sedang tak enak untuk tidur di ruang tamu karena ada ibunya di sana. Lalu, dia juga sepertinya tak mau melanggar perjanjian mereka yang tidak akan tidur satu ranjang.Mau bagaimana lagi, Nia juga merasa bingung. Dia pura-pura tidak mengerti. Biar Reza saja yang cari sendiri jalan keluarnya.“Kamu ngapain mondar-mandir di situ?" Tanya Bu Rini kepada Reza. Saat bu Rini terbangun dari tidurnya."Bu, Ibu tidur di atas kasur saja sama Nia. Biar aku tidur di situ," jawab Reza."Nggak usah. Biar Ibu yang tidur di sini. Kamu cepet tidur sana. Neng Nia pasti nungguin,” balas Bu Rini lagi.Reza pun hanya bisa menganggukan kepala menanggapi
Saat Reza tiba di pos jaganya, dia melihat rekan kerjanya yang sudah siap-siap untuk pulang, Rezapun bergegas menghampiri rekannya.“Maaf Gas saya terlambat, barusan ada kendala dijalan” ucap Reza kepada Bagas temas kerjanya.“iya gak apa-apa, saya langsung pulang aja yah Za” jawab Bagas“Ok.” sahut Reza sambil masuh ke Pos jaga.Tidak lama setelah Reza masuk ke Pos jaga nya, Dia melihat mobil yang tak asing baginya berhenti di depan Pos jaga kemudian Ardi keluar dari mobilnya sambil menengteng kantong plastik, dan berjalan masuk ke pos jaga."Hei, pagi," sapa Ardi dengan nada yang sombong pada Reza."Selamat pagi, Mas," jawab Reza sambil mengangguk sopan."Ini makanan buat elu" Ardi memberikan sebungkus gorengan pada Reza. Lelaki itu pun dengan sopan menerimanya. Lalu, Ardi duduk di atas meja yang ada di dalam pos jaga."Rasanya gue sedang mengenang masa-masa apel sama Nia, dulu. gue antar jemput dia, melalui jalan ini dan gue selalu ngasih elu makanan. Lalu sekarang, malah elu yang
. . .“Dasar wanita m15k1n, kenapa kamu masih berada di rumah ini?” ucap seorang wanita dengan nada angkuh dan sombong kepada Rini“Emangnya kenapa bu, kanaku istrinya Mas Wisnu menatu ibu, dan aku juhga lagi hamil cucu ibu” jawab Rini sambil menangis“Aku tak sudi punya cucu dari menantu yang m15k1n dan kampungan seperti kamu” ucap bu Lasmi wanita yang menjadi mertua Rini itu dengan sinis.“Seandainya dulu kamu tidak datang menggoda Wisnu, pasti sekarang Wisnu sudah menikah dengan wanita yang telaha kupilih, wanita yang pantas mendampingi wisnu dan sederajat sama Wisnu, wanita dari keluarga kaya yang terhormat bukan sama wanita m15k1n kampungan seperti kamu.” Sambung bu Lasmi lagi.“Tapi bu aku tak pernah menggoda Mas Wisnu seperti …..”“Diam Kamu” Bentak bu Lasmi yang memotong ucapan Rini.“Aku tak mau mendengar apapun dari mulut mu. Dan kamu harus ingat bahwa aku tidak akan berhenti membuat hidupmu menderita dan terhina selama kamu masih berada di rumah ini dan masih bersama Wisnu.
Selesai makan, Nia berganti pakaian dan siap mengantarkan makan siang untuk Reza. Dari rumah kontrakan yang baru ke komplek itu lumayan cukup jauh, Dan itu harus dilalui dengan berjalan kaki, karena mobil sudah dikembalikan ke rumah Pak Dewangga. Nia tak membawanya karena tak ada lahan untuk parkir.. . . Disiang hari yang lumayan panas saat Reza sedang duduk di depan Pos satpam sambil mengibas-ngibaskan topinya untuk mengusir rasa gerah, dia melebarkan mataya saat melihat wanita yang telah menjadi istrinya itu datang ke Pos jaga dengan menenteng kantong."Mau ke mana, Nia?" tanyanya sembari menghampiri istrinya itu."Mau ke sini, lah,” jawab Nia sambil tersenyum “Aku bawain makan siang buat kamu.” Sambug Nia sambil mengangkat kantong kotak makan berisi nasi dan sayur sop."Wah, terima kasih. Padahal kamu nggak usah repot-repot nganterin makan. Saya masih ada makanan, tadi ada yang ngasih gorengan," ujar Reza, sambil menggiring sang istri masuk ke dalam pos satpam."Ibu bilang, kamu
“Weleh, weleh. Ada pasangan baru lagi mesra-mesraan,” ujar seseorang dari luar. Nia dan Reza sontak menoleh ke luar. Ternyata ada Anita dengan mobilnya mau lewat. Dia turun untuk menyapa."Wow, keren juga kamu. Lagi nganterin suami makan siang rupanya? Naik apa kamu ke sini?" cibir Anita dengan mata memindai sekeliling dan dia tak menemukan apa-apa selain motor Reza yang emang selalu ada disana.“Aku jalan kaki, emangnya kenapa?" tantang Nia kepada adik tirinya."Oowhh, hahahha." Anita langsung terbahak. "Kasian sekali hidupmu sekarang ya. Jadi miskin dan menderita.""Anita, cukup!" Reza yang sedang duduk tersulut juga emosinya. Dia tak rela jika istrinya dihina seperti itu."Wow, si satpam miskin ini mulai berani membentakku.” Anita menilik Reza dengan tatapan merendahkan."Silakan kamu hina saya, tapi jangan hina istri saya. Apalagi dia itu kakakmu sendiri,” balas Reza“Hih, aku tak sudi punya kakak miskin kaya dia. Dan mulai sekarang, jangan harap Ayah akan bantu kamu lagi. Byyyeee
“Hust, jangan ngomong kaya gitu kamu Za, mungkin Neng Nia belum terbiasa naik motor, kan kamu tau sendiri Neng Nia kalau berpergian pasti naik mobil” timpal Bu Rini kepada anaknya itu.“Iya Bu” ujar Reza singkat.“kamu yang sabara aja Za, dan lebih giat berkerja keras lagi untuk bisa memenuhi dan menyenangkan istrimu” ujar Bu RiniReza pun hanya menganggukan kepala nya dengan wajah sedihnya yang meratapi nasibnya.“oh iya Za, ibu mau menghadiri pengajian di rumah Bu RT dulu, kamu yang sabar aja jangan terus-terusan sedih begitu, gak baik Za.” Ucap Bu Rini sambil berdiri dan langsung berangkat ke rumah Bu RT.“Iya Bu” jawab Reza lagi, kemudia dia pun pergi ke ruanagan belakang.Tak lama setelah Bu Rini pergi, terlihat Nia pulang dengan wajah yang menyungging senyum semringah, meski tubuhnya terlihat lelah. Dia langsung masuk kamar dan mengempaskan diri di pinggiran kasur.Reza yang melihat kepulangan istrinya lantas menyusul ke kamar.“Gimana hasilnya, Nia? Apa kamu diterima?"Nia kemb
Hingga hari itu pun tiba. Hari di mana Nia mulai bekerja. Dia memakai setelan yang rapih dengan parfum mahalnya yang menguarkan aroma lembut. Saat keluar dari rumah tak lupa dia berpamitan dan mencium tangan sang ibu mertua. Di luar sana ada Reza yang sudah siap di atas motornya."Ayo aku antar," ajak Reza.Namun, Nia justru diam tak melanjutkan langkahnya."Mmh, Reza maaf... aku berangkat naik taksi saja. Kamu berangkat saja sana. Nanti kamu telat," ujar Nia menolak.Reza menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, kok. Tadi aku udah bilang sama temen kalau aku mungkin sedikit telat karena mau nganter kamu dulu."Nia kembali terlihat salah tingkah. “Mmh, Reza Maaf lagi. Aku nggak bisa pergi sama kamu. Aku nggak mau kalau nanti sampai kantor rambutku acak-acakan."Reza pun melengos untuk menutupi rasa kecewanya. Dia memikirkan bagaimana sang istri bisa mengelola uangnya yang paspasan jika setiap hari pulang pergi naik taksi."Uangku nggak banyak, Nia. Kamu tau sendiri, kan? Kalau kamu na
Senyum di wajah Reza pun perlahan memudar. Dia tak menyangka jika istrinya tidak akan senang. "Nia, denger! Aku dapat tawaran gaji dua kali lipat.” Naifnya Reza menyangka jika sang istri akan merasa bahagia. "Apapun itu, aku gak peduli Reza. Aku nggak butuh sama uang kamu, Reza.” jawab Nia yang kadung merasa kecewa dengan keputusan Reza. Dia memang tak membutuhkan gaji Reza. Gajinya jauh lebih besar dari itu. "Nia!" Reza menyebut nama sang istri dengan perasaan sedih. "kamu tau? Aku tidak ingin ada siapapun di kantorku yang tau kalau aku sudah menikah." Nia berkata dengan tegas. "Apa?" Reza tersentak kaget. "Ya. kamu tidak salah dengar, Reza. Aku tidak ingin ada yang tau kalau aku sudah menikah. Apa lagi dengan... aarrghh!" Nia tampak frustrasi. "Satpam seperti aku?" Reza tahu kata kata apa yang belum sempat dilanjutkan oleh Nia. "Reza, maafkan aku. Saat aku melamar pekerjaan itu, mereka membutuhkan seseorang yang masih singel. Kebetulan status di KTP aku belum berubah
Nia masuk ke rumah itu dan melihat-lihat keadaan di dalamnya.Ternyata benar, barang-barang Reza masih lengkap. Bahkan baju-baju milik lelaki itu masih utuh di lemari. Foto saat mereka menikah pun masih ada di atas meja yang dulu sering dipakai Nia untuk bekerja.Nia mengambil jaket yang tergantung di balik pintu. Jaket kanvas warna army yang sering dipakai Reza saat bekerja.Dia memeluk dan menghirup bau keringat yang masih menempel di sana. Wangi tubuh itu seakan membawanya kembali pada saat mereka masih bersama. Kerinduan itu hadir tanpa bisa dicegah."Kamu di mana, Reza? Kenapa membuatku khawatir tanpa kabar?” gumamnya dengan mata terpejam menikmati bau jaket itu.Nia kemudian membawa jaket itu ke atas kasur yang terasa berdebu.Tentu saja, sudah sebulan sejak kepergian Reza dari rumah, sepreinya tak pernah dibersihkan apalagi diganti."Reza, apa kamu tau maksudku selama ini? Aku ingin kamu berjuang lebih keras agar tak ada siapapun yang berani merendahkanmu. Aku tidak mau jika ka
"Rezaaaaaa!" Nia menjerit seperti orang gila."Reza!" Nia menyebut nama itu saat terbangun dari tidurnya.Napasnya tersengal karena mimpi itu seakan nyata. Wajahnya dipenuhi keringat seperti telah berlari maraton sepuluh kilo meter.Tiba-tiba dia merasa khawatir dengan suaminya itu. Padahal baru beberapa hari dia tinggalkan.Dia meraih ponsel yang tersimpan di atas nakas di rumah dinas yang disediakan perusahaan. Melihat waktu di atas layar, sudah pukul setengah tiga dini hari. Nia mencari kontak Reza dan memilihnya.Tercantum jika lelaki itu terlihat memakai aplikasi whatsapp tiga hari yang lalu. Dia lalu menekan simbol telepon. Dia tak peduli meski sekarang sudah lewat tengah malam, tetapi dia ingin tahu kabar Reza.Namun, panggilan itu rupanya tak tersambung. Hanya tanda memanggil tanpa terlihat jika ponsel di seberang sana berdering."Apa Reza mematikan ponselnya?" gumam Nia. Dia lalu mencoba mengirimkan pesan. satu.[Reza, kamu lagi apa?]Terkirim, tetapi hanya centang Nia menden
Wisnu dan Rini pun tertunduk lesu medengar jawaban sang domter."Dok, apakah kami sudah boleh melihat langsung kondisi putra kami?" kali ini Rini yang bertanya pada dokter. Dia sudah tidak bisa menahan lagi untuk bisa melihat langsung kondisi sang putra."Bolah. Tapi Bapak dan ibu harus bergantian menemuinya." Jawab Dokter.Mereka pun menggangguk. Lalu Wisnu memberi kesempatan pada istrinya untuk masuk lebih dulu ke ruangan ICU di mana Reza dirawat. Sedangkan dia memanggil bawahannya untuk berjaga didepan ruangan itu. Agar tidak sembarang orang yang bisa masuk ke sana. Semua harus atas persetujuannya, demi keselataman sang putra.Lelaki itu takut, jika Doni mengetahui siapa Reza sebenarnya, maka Doni akan melakukan sesuatu yang curang untuk melenyapkan pemuda itu. Hak waris. Itu yang Wisnu khawatirkan. Meskipun dia sudah merencanakan untuk membaginya dengan Adil. Tujuh puluh persen asetnya akan jatuh ke tangan Reza, dua puluh persen ke tangan Dion dan sisanya untuk Doni. Namun, dia ta
"Tapi Pak...""Panggil ambulan sekarang juga cepat, atau kalian akan menanggung akibatnya!" teriak baskara lagi."Sebenarnya ada pa Pak? Kenapa Pak Baskara membantunya?" Tanya Doni yang merasa heran."Diam kamu. Pak Wisnu pasti akan marah besar melihat kondisi Reza seperti ini.""Kenapa? Emang dia siapa? Dia kan cuma sampah yang tak berguna." tanya Doni yang semakin terheran dan tak mengerti dengan ucapan Baskara."Nanti juga kamu akan mengetahuinya. Sekarang kamu bertanggung jawab dan siap-siap menanggung akibatnya. Karna papi kamu pasti akan murka." Papar Baskara yang membuat Doni semakin terheran dan penasaran.Doni pun hanaya diam mematung. Dia masih tak mengerti dengan apa yang disampaikan Baskara."Reza, kamu bisa dengar saya?” tanya Baskara sambil menggoyangkan tubuh Reza saat dia telah masuk keruangan tahanan. Tak ada jawaban. Reza pingsan setelah penganiayaan yang tak beradab oleh Doni dan satu oknum polisi."Reza, bertahan. Tolong bertahanlah," pinta Baskara dengan khawatir
. . .Sementara itu, Reza yang sudah berada di rumah kontrakannya. Dia duduk melamun di pinggiran kasur. Pikirannya melayang pada sang istri yang begitu bersemangat dalam mengejar harta dunia. Teringat dengan kata-katanya yang mengatakan hanya ingin memperbaiki kehidupan mereka."Jika kau bisa diinjak dan dihina, tapi aku tidak bisa!" kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepalanya. Kini, dia semakin merasakan jika yang diucapkan istrinya itu benar. Menjadi orang miskin hanya jadi bahan cacian dan hinaan. Dia sama sekali tak punya kuasa untuk membantah atau sekadar membela diri.Tapi, sekarang dia berjanji dalam hati. Bahwa ini adalah hinaan yang terakhir dalam hidupnya. Karena setelah semua rencananya selesai, dia akan menunjukan kepada semua orang siapa dirinya. Pikirnya.Reza merebahkan diri ke kasur, membayangkan wajah Nia yang kadang terlihat manis saat tersenyum. Namun, lebih sering terlihat judes dan ketus karena marah dan kecewa.Reza mengerti jika wanita yang dicintainya itu
"Hiiyaa!" Tiba-tiba Dion mempraktekan jurus yang sudah diajarkan Reza padanya.Dug!"Wow." Reza tertawa dengan tubuh terhuyung. "Sudah hebat sekarang, ya?"Dion pun ikut tertawa. Dia kemudian menyerang Reza lagi dengan jurus yang sudah dipelajarinya. Kali ini Reza bisa dengan mudah menghindar karena sudah waspada. Lalu, dia mulai memasang kuda-kuda dan bersiap menerima serangan."Hiyaaa!" Dion kembali menyerang dengan kekuatan penuh. Reza menerima serangan itu dan menunjukan bagaimana cara untuk melumpuhkan lawannya.Sukses. Dion bisa dilumpuhkan dengan beberapa gerakan tanpa menyakitinya."Om Reza memang keren!" Dion mengacungkan jempolnya. Dia kemudian kembali menyerang Reza dengan jurus-jurus yang lain."Hyaaa!" Dion menyarangkan tendangan dengan kekuatan penuh. Kali ini Reza memiringkan tubuhnya untuk menghindar, hingga tendangan Dion hanya mengenai angin.Namun, bukan hanya itu. Kaki anak itu mengenai kursi besi yang biasa dipakai untuk bersantai di pinggir lapangan.Reza tersent
Nia terkaget mendengar pemaparan dari ayahnya barusan. Sampai dia berdiri dari tempat duduk dan menatap heran kepada sang Ayah."Nggak Ayah. Aku nggak akan bercerai dari Reza sapai kapanpun, kecuali Reza sendiri yang menceraikan aku." Jawab Nia tegas kepada sang Ayah."Tapi Nia....""Nggak!" Potong Nia. " Walaupun Reza hanya seorang satpam, tapi dia baik, setia dan selalu menjaga aku. Dan aku sudah mulai mencintainya." Lanjutnya."Cinta dan baik aja nggak cukup Nia!" Ujar Dewangga lagi sambil dia berdiri."Maaf Ayah. Kedatangan aku kesini hanya untuk berpamitan kepada ayah, bukan untuk meminta pendapat tentang rumah tangga aku. Jadi sekarang aku pamit Ayah. Permisi." Ujar Nia yang merasa kecewa kepada Dewangga. Lalu dia pun pergi dari rumah sang ayah untuk kembali kekontrakannya."Nia!" Terika Dewangga, yang tak dihirauan oleh Nia. Dia pun hendak mengejar putrinya itu. Tapi Desi menahannya."Sudahlah Pa, jangan kamu paksa putrimu untuk bercerai dari suaminya. Dia terlihat sangat menci
Seperti permintaan Anita sebelumnya, dia pulang ke rumah Dewangga. Desi tampak semringah saat tahu jika sang putri memilih pulang ke rumahnya. Dia menyangka jika Anita kembali ke sana, maka Ardi pun akan ikut kembali ke rumah itu.Akan sangat menyenangkan bisa serumah lagi dengan sang menantu idaman, yang selalu membuat dirinya selalu terpuaskan.Namun, Desi merasa heran karena saat malam tiba, lelaki itu tak pulang ke rumah mereka. Ardi lebih memilih untuk pulang ke rumahnya."Kamu kenapa nggak nyuruh dia pulang ke sini, sih?” Desi tampak geram. Anita hanya tersenyum sinis."Kenapa memangnya? Mama kangen bercinta sama dia?" sindir Anita dengan senyum mencibir."Sstt, jaga ucapanmu. Ada Papamu di rumah. Jangan sampai dia mendengarnya." Mata Desi melotot marah."Yang harusnya dijaga tuh, kelakuan Mama. Udah tua masih aja kelakuan kaya ABG. Insyaf, Ma. Inget kalau Mama tuh, udah bau tanah.” Anita mulai berani melawan."Lancang kamu!” Desi meraih dagu sang putri dan menekannya dengan ker
Wajah Reza tampak bingung, antara ingin tertawa dan bingung dengan sikap Nia yang seperti ini. "Apa buktinya?" akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut lelaki itu."Aku melihat kalian pergi berdua, lalu berpelukan di tempat parkir restoran," ungkap Nia keceplosan.Reza lantas terbahak mendengarnya. “Hanya karena itu kau menuduhku selingkuh?" tanya Reza yang mulai merasa senang karena sepertinya Nia cemburu."Kau cemburu?” Reza semakin mendekat dan memojokan Nia yang kini berdiri membelakangi meja makan."A-apa maksudmu? Aku nggak mungkin cemburu. Jangan pikir yang aneh-aneh, deh.” Nia tampak gugup, karena kini jarak Reza dan dia hanya tinggal sejengkal saja. Tatapan Reza menghujam ke maniknya yang indah."Benarkah?" Reza mengangkat sebelah alisnya."Bagaimana kalau aku bilang jika aku cemburu melihatmu dengan lelaki lain? Apa kamu akan peduli dengan perasaanku?" tanya Reza.Nia kembali membuang muka. "Jika yang kamu maksud adalah Pak Riki, dia bukan siapa-siapa. Dia hanya atasan ba