“Weleh, weleh. Ada pasangan baru lagi mesra-mesraan,” ujar seseorang dari luar. Nia dan Reza sontak menoleh ke luar. Ternyata ada Anita dengan mobilnya mau lewat. Dia turun untuk menyapa."Wow, keren juga kamu. Lagi nganterin suami makan siang rupanya? Naik apa kamu ke sini?" cibir Anita dengan mata memindai sekeliling dan dia tak menemukan apa-apa selain motor Reza yang emang selalu ada disana.“Aku jalan kaki, emangnya kenapa?" tantang Nia kepada adik tirinya."Oowhh, hahahha." Anita langsung terbahak. "Kasian sekali hidupmu sekarang ya. Jadi miskin dan menderita.""Anita, cukup!" Reza yang sedang duduk tersulut juga emosinya. Dia tak rela jika istrinya dihina seperti itu."Wow, si satpam miskin ini mulai berani membentakku.” Anita menilik Reza dengan tatapan merendahkan."Silakan kamu hina saya, tapi jangan hina istri saya. Apalagi dia itu kakakmu sendiri,” balas Reza“Hih, aku tak sudi punya kakak miskin kaya dia. Dan mulai sekarang, jangan harap Ayah akan bantu kamu lagi. Byyyeee
“Hust, jangan ngomong kaya gitu kamu Za, mungkin Neng Nia belum terbiasa naik motor, kan kamu tau sendiri Neng Nia kalau berpergian pasti naik mobil” timpal Bu Rini kepada anaknya itu.“Iya Bu” ujar Reza singkat.“kamu yang sabara aja Za, dan lebih giat berkerja keras lagi untuk bisa memenuhi dan menyenangkan istrimu” ujar Bu RiniReza pun hanya menganggukan kepala nya dengan wajah sedihnya yang meratapi nasibnya.“oh iya Za, ibu mau menghadiri pengajian di rumah Bu RT dulu, kamu yang sabar aja jangan terus-terusan sedih begitu, gak baik Za.” Ucap Bu Rini sambil berdiri dan langsung berangkat ke rumah Bu RT.“Iya Bu” jawab Reza lagi, kemudia dia pun pergi ke ruanagan belakang.Tak lama setelah Bu Rini pergi, terlihat Nia pulang dengan wajah yang menyungging senyum semringah, meski tubuhnya terlihat lelah. Dia langsung masuk kamar dan mengempaskan diri di pinggiran kasur.Reza yang melihat kepulangan istrinya lantas menyusul ke kamar.“Gimana hasilnya, Nia? Apa kamu diterima?"Nia kemb
Hingga hari itu pun tiba. Hari di mana Nia mulai bekerja. Dia memakai setelan yang rapih dengan parfum mahalnya yang menguarkan aroma lembut. Saat keluar dari rumah tak lupa dia berpamitan dan mencium tangan sang ibu mertua. Di luar sana ada Reza yang sudah siap di atas motornya."Ayo aku antar," ajak Reza.Namun, Nia justru diam tak melanjutkan langkahnya."Mmh, Reza maaf... aku berangkat naik taksi saja. Kamu berangkat saja sana. Nanti kamu telat," ujar Nia menolak.Reza menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, kok. Tadi aku udah bilang sama temen kalau aku mungkin sedikit telat karena mau nganter kamu dulu."Nia kembali terlihat salah tingkah. “Mmh, Reza Maaf lagi. Aku nggak bisa pergi sama kamu. Aku nggak mau kalau nanti sampai kantor rambutku acak-acakan."Reza pun melengos untuk menutupi rasa kecewanya. Dia memikirkan bagaimana sang istri bisa mengelola uangnya yang paspasan jika setiap hari pulang pergi naik taksi."Uangku nggak banyak, Nia. Kamu tau sendiri, kan? Kalau kamu na
Senyum di wajah Reza pun perlahan memudar. Dia tak menyangka jika istrinya tidak akan senang. "Nia, denger! Aku dapat tawaran gaji dua kali lipat.” Naifnya Reza menyangka jika sang istri akan merasa bahagia. "Apapun itu, aku gak peduli Reza. Aku nggak butuh sama uang kamu, Reza.” jawab Nia yang kadung merasa kecewa dengan keputusan Reza. Dia memang tak membutuhkan gaji Reza. Gajinya jauh lebih besar dari itu. "Nia!" Reza menyebut nama sang istri dengan perasaan sedih. "kamu tau? Aku tidak ingin ada siapapun di kantorku yang tau kalau aku sudah menikah." Nia berkata dengan tegas. "Apa?" Reza tersentak kaget. "Ya. kamu tidak salah dengar, Reza. Aku tidak ingin ada yang tau kalau aku sudah menikah. Apa lagi dengan... aarrghh!" Nia tampak frustrasi. "Satpam seperti aku?" Reza tahu kata kata apa yang belum sempat dilanjutkan oleh Nia. "Reza, maafkan aku. Saat aku melamar pekerjaan itu, mereka membutuhkan seseorang yang masih singel. Kebetulan status di KTP aku belum berubah
Pukul empat sore keriuhan saat pulang kerja pun terjadi. Para staff berlalu meninggalkan gedung tinggi itu ke rumah masing-masing.Nia dan beberapa staff marketing yang lain selesai meeting di pukul empat lebih. Hingga dia keluar dari kantor sudah dalam keadaan sepi. Meja resepsionos pun sudah kosong sejak tadi."Kamu pulang sama siapa, Nia?” tanya Riki dengan tatapan kagum."Naik taksi seperti biasa," jawab Nia.“Aku antar, gimana?” tawar Riki yang berdiri tepat di samping Nia.Obrolan itu tentu saja terdengar oleh Reza yang masih berjaga di depan loby. Jika boleh jujur, hatinya teremas saat mendengar lelaki lain menawarkan tumpangan pada istrinya."Nggaklah. Aku udah biasa naik taksi. Bentar lagi juga datang. Aku udah pesan dari tadi," sahut Nia lagi.Tampak raut kecewa di wajah Riki. Namun, berbeda dengan Reza, dia merasa lega karena sang istri menolak ajakan lelaki itu."Ya udah, aku tunggu sampai taksinya datang. Takutnya mereka cancel order dan kamu nggak bisa pulang." Riki terk
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Dewangga yang baru keluar dari kamarnya. “Nia?" gumamnya dengan wajah yang heran. Dia mendekat ke ruang makan. “Sama siapa kamu ke sini? Mana Reza?"“Ayah.” Nia menghambur dan meraih tangan Dewangga lalu menciumnya dengan takzim. “Aku tadi ke sini dianter temen. Reza pasti udah pulang ke rumah." Sambungnya lagi."Tumben kamu ke sini?" ucap Dewangga.Sementara itu Tante Desi dan Anita hanya memperhatikan dengan tatapan tak suka.“Iya, Yah. Ada yang mau aku bicarakan dengan Ayah.""Kamu basah begini? Kehujanan tadi?” Dewangga menilik kondisi putrinya yang basah di bagian kepala."Nggak, tadi disembur bisa ular," jawab Nia dengan enteng."Bisa ular?" Dewangga semakin kebingungan."Sudahlah, Yah, itu nggak penting. Aku kesini mau bicara sama Ayah soal mobil yang biasa aku pake. Apa boleh aku memakainya lagi untuk aku berangkat kerja?” tanya Nia yang mulai merasa berat dengan ongkos taksinya. Dia juga tidak mau diantar oleh Riki yang kemungkinan besar akan
"Reza" pekik Nia dengan menekankan suaranya walaupun pelan. Dia tak ingin jika ibu mertuanya mendengar percakapan mereka."Sudah saya bilang, saya sudah maafin. Permisi, Mbak,” jawab Reza sambil bangkit lalu membawa piring yang telah kosong ke belakang.Nia menghela napas kasar. Dia akui dia salah, tetapi Nia berharap jika Reza mengerti dengan posisinya saat ini.Dia pun bangkit dan menyusul Reza ke dapur. Namun, lelaki itu gegas kembali dan menuju kamar."Astaga." Nia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu dia pun menyusul Reza ke kamar mereka.Saat membuka pintu, terlihat Reza sedang duduk sambil melihat layar ponselnya. Nia pun gegas menutup pintu agar pembicaraan mereka tidak terdengar sampai ke luar ruangan."Reza," panggil Nia. Namun, lelaki itu hanya menjawab dengan gumaman, matanya masih tertuju pada layar ponsel.“Reza, kita harus bicara,” ujar Nia terdengar tegas.“Saya mengerti, Mbak. Saya mengerti dengan semua alasan yang mau Mbak bilang sama saya," ucap Reza yang kini beran
Seperti hari-hari biasanya pagi itu juga Nia bersiap untuk berangkat ketempat kerjanya dengan memesan taxi online sedangkan Reza tengah memanaskan mesin motornya. "Reza, ibu saya berangkat kerja dulu ya" ucap Nia yang langsung mencium tangan suami dan ibu mertuanya. "Iya Neng, hati-hati." Sahut sang ibu mertua. "Nggak bareng sama Reza berangkatnya Neng?" Lanjut bu Rini bertanya. "Ngggak bu, aku udah pesen taxi tadi" jawab Nia pada bu Rini "Assalamu'alaikum" sambungnya sambil pergi menuju taxi yang sudah ia pesan. "Za, istrimu masih gak mau berangkat bareng kamu naik motor?" Tanya bu Rini pada Reza yang berada disampingnya. "Ya begitulah bu, orang kantoran mana mau naik motor bututnya Reza." Jawab Reza dengan sendu. "Kamu yang sabar ya Za." Ujar bu Rini sambil mengelus lengan anak semata wayangnya untuk memberi semangat. "Iya bu" sahut Reza "ya udah Reza berangkat dulu ya bu" lanjut Reza dan tak lupa mencium tangan sang ibu. "Iya Za, kamu juga hati-hati dan jangan ngebut bawa m