Pukul empat sore keriuhan saat pulang kerja pun terjadi. Para staff berlalu meninggalkan gedung tinggi itu ke rumah masing-masing.Nia dan beberapa staff marketing yang lain selesai meeting di pukul empat lebih. Hingga dia keluar dari kantor sudah dalam keadaan sepi. Meja resepsionos pun sudah kosong sejak tadi."Kamu pulang sama siapa, Nia?” tanya Riki dengan tatapan kagum."Naik taksi seperti biasa," jawab Nia.“Aku antar, gimana?” tawar Riki yang berdiri tepat di samping Nia.Obrolan itu tentu saja terdengar oleh Reza yang masih berjaga di depan loby. Jika boleh jujur, hatinya teremas saat mendengar lelaki lain menawarkan tumpangan pada istrinya."Nggaklah. Aku udah biasa naik taksi. Bentar lagi juga datang. Aku udah pesan dari tadi," sahut Nia lagi.Tampak raut kecewa di wajah Riki. Namun, berbeda dengan Reza, dia merasa lega karena sang istri menolak ajakan lelaki itu."Ya udah, aku tunggu sampai taksinya datang. Takutnya mereka cancel order dan kamu nggak bisa pulang." Riki terk
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Dewangga yang baru keluar dari kamarnya. “Nia?" gumamnya dengan wajah yang heran. Dia mendekat ke ruang makan. “Sama siapa kamu ke sini? Mana Reza?"“Ayah.” Nia menghambur dan meraih tangan Dewangga lalu menciumnya dengan takzim. “Aku tadi ke sini dianter temen. Reza pasti udah pulang ke rumah." Sambungnya lagi."Tumben kamu ke sini?" ucap Dewangga.Sementara itu Tante Desi dan Anita hanya memperhatikan dengan tatapan tak suka.“Iya, Yah. Ada yang mau aku bicarakan dengan Ayah.""Kamu basah begini? Kehujanan tadi?” Dewangga menilik kondisi putrinya yang basah di bagian kepala."Nggak, tadi disembur bisa ular," jawab Nia dengan enteng."Bisa ular?" Dewangga semakin kebingungan."Sudahlah, Yah, itu nggak penting. Aku kesini mau bicara sama Ayah soal mobil yang biasa aku pake. Apa boleh aku memakainya lagi untuk aku berangkat kerja?” tanya Nia yang mulai merasa berat dengan ongkos taksinya. Dia juga tidak mau diantar oleh Riki yang kemungkinan besar akan
"Reza" pekik Nia dengan menekankan suaranya walaupun pelan. Dia tak ingin jika ibu mertuanya mendengar percakapan mereka."Sudah saya bilang, saya sudah maafin. Permisi, Mbak,” jawab Reza sambil bangkit lalu membawa piring yang telah kosong ke belakang.Nia menghela napas kasar. Dia akui dia salah, tetapi Nia berharap jika Reza mengerti dengan posisinya saat ini.Dia pun bangkit dan menyusul Reza ke dapur. Namun, lelaki itu gegas kembali dan menuju kamar."Astaga." Nia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu dia pun menyusul Reza ke kamar mereka.Saat membuka pintu, terlihat Reza sedang duduk sambil melihat layar ponselnya. Nia pun gegas menutup pintu agar pembicaraan mereka tidak terdengar sampai ke luar ruangan."Reza," panggil Nia. Namun, lelaki itu hanya menjawab dengan gumaman, matanya masih tertuju pada layar ponsel.“Reza, kita harus bicara,” ujar Nia terdengar tegas.“Saya mengerti, Mbak. Saya mengerti dengan semua alasan yang mau Mbak bilang sama saya," ucap Reza yang kini beran
Seperti hari-hari biasanya pagi itu juga Nia bersiap untuk berangkat ketempat kerjanya dengan memesan taxi online sedangkan Reza tengah memanaskan mesin motornya. "Reza, ibu saya berangkat kerja dulu ya" ucap Nia yang langsung mencium tangan suami dan ibu mertuanya. "Iya Neng, hati-hati." Sahut sang ibu mertua. "Nggak bareng sama Reza berangkatnya Neng?" Lanjut bu Rini bertanya. "Ngggak bu, aku udah pesen taxi tadi" jawab Nia pada bu Rini "Assalamu'alaikum" sambungnya sambil pergi menuju taxi yang sudah ia pesan. "Za, istrimu masih gak mau berangkat bareng kamu naik motor?" Tanya bu Rini pada Reza yang berada disampingnya. "Ya begitulah bu, orang kantoran mana mau naik motor bututnya Reza." Jawab Reza dengan sendu. "Kamu yang sabar ya Za." Ujar bu Rini sambil mengelus lengan anak semata wayangnya untuk memberi semangat. "Iya bu" sahut Reza "ya udah Reza berangkat dulu ya bu" lanjut Reza dan tak lupa mencium tangan sang ibu. "Iya Za, kamu juga hati-hati dan jangan ngebut bawa m
Ardi berdiri di depan pintu kaca bertuliskan meeting room, kemudian mengetuknya pelan."Masuk," ujar Riki dari dalam.Ardi pun membuka pintu itu dengan senyuman tersungging di bibir. Namun, senyuman itu mendadak berganti rasa kaget, saat melihat siapa yang sedang duduk berhadapan dengan Riki."Nia?" gumamnya bingung.Tentu saja bukan hanya Ardi yang kaget, Nia pun merasakan hal yang sama. Dia tak mengerti bagaimana Ardi bisa ada di sana."Hey, Ardi. Akhirnya kamu datang juga," ujar Riki dengan bangkit dari duduknya."Ayo masuk," pintanya. "Kenalkan, ini staff aku yang baru, nama nya Nia. Dan Nia, ini adalah manager kami di kantor cabang. Dia Ardi,” ujar Riki memperkenalkan keduanya, tanpa dia tahu jika kedua orang itu sudah saling mengenal sejak lama."Nia.""Ardi."Kedua orang itu saling berjabat tangan dengan tatapan tajam, namun berpura-pura tak saling kenal.“Anda pintar sekali mencari staff, Pak Riki," ujar Ardi seraya melirik sekilas pada wanita di sampingnya. Dia sengaja mengam
. . . Di rumah Dewangga, Desi terbangun di tengah malam karena merasa haus, lalu diapun keluar dari kamarnya untuk mengambil air minum di dapur. Setelah menggambil air minum Desi pun langsung kembali kekamarnya, tapi saat dia hendak memasuki kamarnya terdengar deru mesin mobil yang mati di depan rumah. Dia menyangka jika itu adalah Dewangga yang pulang. Namun, matanya sontak melebar saat melihat jika sang menantu yang pulang. “Eh, kamu Ardi kirain Mama Mas Dewangga yang pulang.” Ucap Desa sambil tersenyum manis. “Emang ayah kemana jam segini belum pulang?” tanya Ardi yang merasa heran. “Kaluar kota.” Jawa Desi “kamu kemana aja tengah malam begini baru pulang? Tadi Anita nungguin kamu sampai-sampai ketiduran di sofa” sambung Desi dengan pertanyaan pada Ardi. Ardi pun menoleh ke arah sofa setelah mendengar ucapan ibu mertuanya. “udah pindah kekamar” sahut Desi yang melihat Ardi menoleh ke arah sofa. “Hmmm… tadi banyak kerjaan yang harus di selesaikan hari ini juga, untuk
Seorang pemuda tengah duduk disamping wanita di atas pelaminan. Reza, pemuda itu terlihat tegang dan gugup begitu pun Nia wanita yang berada disampingnya. Bagaimana tidak, dalam waktu satu hari merka tiba-tiba harus menikah dengan orang yang tak meraka kenal dengan baik. Baik Reza maupun Nia mereka tidak mengenal satu sama lain dengan dekat. Reza cuma mengenal Nia seorang putri dari orang kaya pemilik rumah di komplek yang ia jaga, dan Nia pun hanya tahu jika Reza adalah satpam komplek yang dikenal baik pada semua orang. Selebihnya meraka tidak tahu apa-apa soal keperibadian masing-masing. Dan sekarang mereka harus duduk bersanding dipelaminan. Meraka terpaksa menikah kare dipaksa oleh kelurga Nia terutama Pak Dewangga ayahnya Nia. Sebleumnya Pak Dewangga mempersiapkan acara pernikahan ini untuk Nia dengan Ardi pacarnya Nia, Tapi sehari sebelum acara H tersebut Nia memutuskan untuk tidak menikah dengan Ardi karena Ardi ketahuan sedang berselingkuh dengan Anita adik tirinya Nia, dan
Reza pun melepaskan tangannya setelah berada jauh dari pandangan dua orang yang tengah bermesraan di ruang TV itu."Maaf, Mbak Nia, saya cuma berpura-pura di depan mereka. Agar Mbak tak lagi diremehkan sama Mbak Anita. Biar dia melihat kalau bukan hanya dia yang bisa diperlakukan baok oleh siaminya, tapi Mbak Nia juga akan mendapatkan perlakuan baik dari saya sebagai suami Mbak," Ucap Reza dengan nada yang begitu sopan. Reza bahkan kembali menyebut Nia dengan sebuatn Mbak. Seperti setiap kali dia bertemu dengan Nia saat Nia mau berangkat kerja. Reza akan tersenyum dengan sopan sambil berkata, “Hati-hati di jalan, Mbak."Dari kata-kata Reza barusan, sepertinya Reza menganggap pernikahan ini betulan. Nia pun segera meluruskan semua ini agar Reza tidak berharap banyak.“Dengar, Reza. Kamu jangan salah paham dulu. Saya menerima pernikahan ini, bukan berarti saya memang menginginkannya. Sorry, kalau aku harus sejujur ini." Ucap Nia.Reza pun terdiam menatap Nia. Dan Nia merasa tidak nyama