Hingga hari itu pun tiba. Hari di mana Nia mulai bekerja. Dia memakai setelan yang rapih dengan parfum mahalnya yang menguarkan aroma lembut. Saat keluar dari rumah tak lupa dia berpamitan dan mencium tangan sang ibu mertua. Di luar sana ada Reza yang sudah siap di atas motornya."Ayo aku antar," ajak Reza.Namun, Nia justru diam tak melanjutkan langkahnya."Mmh, Reza maaf... aku berangkat naik taksi saja. Kamu berangkat saja sana. Nanti kamu telat," ujar Nia menolak.Reza menggelengkan kepalanya. “Nggak apa-apa, kok. Tadi aku udah bilang sama temen kalau aku mungkin sedikit telat karena mau nganter kamu dulu."Nia kembali terlihat salah tingkah. “Mmh, Reza Maaf lagi. Aku nggak bisa pergi sama kamu. Aku nggak mau kalau nanti sampai kantor rambutku acak-acakan."Reza pun melengos untuk menutupi rasa kecewanya. Dia memikirkan bagaimana sang istri bisa mengelola uangnya yang paspasan jika setiap hari pulang pergi naik taksi."Uangku nggak banyak, Nia. Kamu tau sendiri, kan? Kalau kamu na
Senyum di wajah Reza pun perlahan memudar. Dia tak menyangka jika istrinya tidak akan senang. "Nia, denger! Aku dapat tawaran gaji dua kali lipat.” Naifnya Reza menyangka jika sang istri akan merasa bahagia. "Apapun itu, aku gak peduli Reza. Aku nggak butuh sama uang kamu, Reza.” jawab Nia yang kadung merasa kecewa dengan keputusan Reza. Dia memang tak membutuhkan gaji Reza. Gajinya jauh lebih besar dari itu. "Nia!" Reza menyebut nama sang istri dengan perasaan sedih. "kamu tau? Aku tidak ingin ada siapapun di kantorku yang tau kalau aku sudah menikah." Nia berkata dengan tegas. "Apa?" Reza tersentak kaget. "Ya. kamu tidak salah dengar, Reza. Aku tidak ingin ada yang tau kalau aku sudah menikah. Apa lagi dengan... aarrghh!" Nia tampak frustrasi. "Satpam seperti aku?" Reza tahu kata kata apa yang belum sempat dilanjutkan oleh Nia. "Reza, maafkan aku. Saat aku melamar pekerjaan itu, mereka membutuhkan seseorang yang masih singel. Kebetulan status di KTP aku belum berubah
Pukul empat sore keriuhan saat pulang kerja pun terjadi. Para staff berlalu meninggalkan gedung tinggi itu ke rumah masing-masing.Nia dan beberapa staff marketing yang lain selesai meeting di pukul empat lebih. Hingga dia keluar dari kantor sudah dalam keadaan sepi. Meja resepsionos pun sudah kosong sejak tadi."Kamu pulang sama siapa, Nia?” tanya Riki dengan tatapan kagum."Naik taksi seperti biasa," jawab Nia.“Aku antar, gimana?” tawar Riki yang berdiri tepat di samping Nia.Obrolan itu tentu saja terdengar oleh Reza yang masih berjaga di depan loby. Jika boleh jujur, hatinya teremas saat mendengar lelaki lain menawarkan tumpangan pada istrinya."Nggaklah. Aku udah biasa naik taksi. Bentar lagi juga datang. Aku udah pesan dari tadi," sahut Nia lagi.Tampak raut kecewa di wajah Riki. Namun, berbeda dengan Reza, dia merasa lega karena sang istri menolak ajakan lelaki itu."Ya udah, aku tunggu sampai taksinya datang. Takutnya mereka cancel order dan kamu nggak bisa pulang." Riki terk
“Ada apa ini ribut-ribut?” tanya Dewangga yang baru keluar dari kamarnya. “Nia?" gumamnya dengan wajah yang heran. Dia mendekat ke ruang makan. “Sama siapa kamu ke sini? Mana Reza?"“Ayah.” Nia menghambur dan meraih tangan Dewangga lalu menciumnya dengan takzim. “Aku tadi ke sini dianter temen. Reza pasti udah pulang ke rumah." Sambungnya lagi."Tumben kamu ke sini?" ucap Dewangga.Sementara itu Tante Desi dan Anita hanya memperhatikan dengan tatapan tak suka.“Iya, Yah. Ada yang mau aku bicarakan dengan Ayah.""Kamu basah begini? Kehujanan tadi?” Dewangga menilik kondisi putrinya yang basah di bagian kepala."Nggak, tadi disembur bisa ular," jawab Nia dengan enteng."Bisa ular?" Dewangga semakin kebingungan."Sudahlah, Yah, itu nggak penting. Aku kesini mau bicara sama Ayah soal mobil yang biasa aku pake. Apa boleh aku memakainya lagi untuk aku berangkat kerja?” tanya Nia yang mulai merasa berat dengan ongkos taksinya. Dia juga tidak mau diantar oleh Riki yang kemungkinan besar akan
"Reza" pekik Nia dengan menekankan suaranya walaupun pelan. Dia tak ingin jika ibu mertuanya mendengar percakapan mereka."Sudah saya bilang, saya sudah maafin. Permisi, Mbak,” jawab Reza sambil bangkit lalu membawa piring yang telah kosong ke belakang.Nia menghela napas kasar. Dia akui dia salah, tetapi Nia berharap jika Reza mengerti dengan posisinya saat ini.Dia pun bangkit dan menyusul Reza ke dapur. Namun, lelaki itu gegas kembali dan menuju kamar."Astaga." Nia mengusap wajahnya dengan kasar, lalu dia pun menyusul Reza ke kamar mereka.Saat membuka pintu, terlihat Reza sedang duduk sambil melihat layar ponselnya. Nia pun gegas menutup pintu agar pembicaraan mereka tidak terdengar sampai ke luar ruangan."Reza," panggil Nia. Namun, lelaki itu hanya menjawab dengan gumaman, matanya masih tertuju pada layar ponsel.“Reza, kita harus bicara,” ujar Nia terdengar tegas.“Saya mengerti, Mbak. Saya mengerti dengan semua alasan yang mau Mbak bilang sama saya," ucap Reza yang kini beran
Seperti hari-hari biasanya pagi itu juga Nia bersiap untuk berangkat ketempat kerjanya dengan memesan taxi online sedangkan Reza tengah memanaskan mesin motornya. "Reza, ibu saya berangkat kerja dulu ya" ucap Nia yang langsung mencium tangan suami dan ibu mertuanya. "Iya Neng, hati-hati." Sahut sang ibu mertua. "Nggak bareng sama Reza berangkatnya Neng?" Lanjut bu Rini bertanya. "Ngggak bu, aku udah pesen taxi tadi" jawab Nia pada bu Rini "Assalamu'alaikum" sambungnya sambil pergi menuju taxi yang sudah ia pesan. "Za, istrimu masih gak mau berangkat bareng kamu naik motor?" Tanya bu Rini pada Reza yang berada disampingnya. "Ya begitulah bu, orang kantoran mana mau naik motor bututnya Reza." Jawab Reza dengan sendu. "Kamu yang sabar ya Za." Ujar bu Rini sambil mengelus lengan anak semata wayangnya untuk memberi semangat. "Iya bu" sahut Reza "ya udah Reza berangkat dulu ya bu" lanjut Reza dan tak lupa mencium tangan sang ibu. "Iya Za, kamu juga hati-hati dan jangan ngebut bawa m
Ardi berdiri di depan pintu kaca bertuliskan meeting room, kemudian mengetuknya pelan."Masuk," ujar Riki dari dalam.Ardi pun membuka pintu itu dengan senyuman tersungging di bibir. Namun, senyuman itu mendadak berganti rasa kaget, saat melihat siapa yang sedang duduk berhadapan dengan Riki."Nia?" gumamnya bingung.Tentu saja bukan hanya Ardi yang kaget, Nia pun merasakan hal yang sama. Dia tak mengerti bagaimana Ardi bisa ada di sana."Hey, Ardi. Akhirnya kamu datang juga," ujar Riki dengan bangkit dari duduknya."Ayo masuk," pintanya. "Kenalkan, ini staff aku yang baru, nama nya Nia. Dan Nia, ini adalah manager kami di kantor cabang. Dia Ardi,” ujar Riki memperkenalkan keduanya, tanpa dia tahu jika kedua orang itu sudah saling mengenal sejak lama."Nia.""Ardi."Kedua orang itu saling berjabat tangan dengan tatapan tajam, namun berpura-pura tak saling kenal.“Anda pintar sekali mencari staff, Pak Riki," ujar Ardi seraya melirik sekilas pada wanita di sampingnya. Dia sengaja mengam
. . . Di rumah Dewangga, Desi terbangun di tengah malam karena merasa haus, lalu diapun keluar dari kamarnya untuk mengambil air minum di dapur. Setelah menggambil air minum Desi pun langsung kembali kekamarnya, tapi saat dia hendak memasuki kamarnya terdengar deru mesin mobil yang mati di depan rumah. Dia menyangka jika itu adalah Dewangga yang pulang. Namun, matanya sontak melebar saat melihat jika sang menantu yang pulang. “Eh, kamu Ardi kirain Mama Mas Dewangga yang pulang.” Ucap Desa sambil tersenyum manis. “Emang ayah kemana jam segini belum pulang?” tanya Ardi yang merasa heran. “Kaluar kota.” Jawa Desi “kamu kemana aja tengah malam begini baru pulang? Tadi Anita nungguin kamu sampai-sampai ketiduran di sofa” sambung Desi dengan pertanyaan pada Ardi. Ardi pun menoleh ke arah sofa setelah mendengar ucapan ibu mertuanya. “udah pindah kekamar” sahut Desi yang melihat Ardi menoleh ke arah sofa. “Hmmm… tadi banyak kerjaan yang harus di selesaikan hari ini juga, untuk
. . .Sementara itu, Reza yang sudah berada di rumah kontrakannya. Dia duduk melamun di pinggiran kasur. Pikirannya melayang pada sang istri yang begitu bersemangat dalam mengejar harta dunia. Teringat dengan kata-katanya yang mengatakan hanya ingin memperbaiki kehidupan mereka."Jika kau bisa diinjak dan dihina, tapi aku tidak bisa!" kalimat itu begitu terngiang-ngiang di kepalanya. Kini, dia semakin merasakan jika yang diucapkan istrinya itu benar. Menjadi orang miskin hanya jadi bahan cacian dan hinaan. Dia sama sekali tak punya kuasa untuk membantah atau sekadar membela diri.Tapi, sekarang dia berjanji dalam hati. Bahwa ini adalah hinaan yang terakhir dalam hidupnya. Karena setelah semua rencananya selesai, dia akan menunjukan kepada semua orang siapa dirinya. Pikirnya.Reza merebahkan diri ke kasur, membayangkan wajah Nia yang kadang terlihat manis saat tersenyum. Namun, lebih sering terlihat judes dan ketus karena marah dan kecewa.Reza mengerti jika wanita yang dicintainya itu
"Hiiyaa!" Tiba-tiba Dion mempraktekan jurus yang sudah diajarkan Reza padanya.Dug!"Wow." Reza tertawa dengan tubuh terhuyung. "Sudah hebat sekarang, ya?"Dion pun ikut tertawa. Dia kemudian menyerang Reza lagi dengan jurus yang sudah dipelajarinya. Kali ini Reza bisa dengan mudah menghindar karena sudah waspada. Lalu, dia mulai memasang kuda-kuda dan bersiap menerima serangan."Hiyaaa!" Dion kembali menyerang dengan kekuatan penuh. Reza menerima serangan itu dan menunjukan bagaimana cara untuk melumpuhkan lawannya.Sukses. Dion bisa dilumpuhkan dengan beberapa gerakan tanpa menyakitinya."Om Reza memang keren!" Dion mengacungkan jempolnya. Dia kemudian kembali menyerang Reza dengan jurus-jurus yang lain."Hyaaa!" Dion menyarangkan tendangan dengan kekuatan penuh. Kali ini Reza memiringkan tubuhnya untuk menghindar, hingga tendangan Dion hanya mengenai angin.Namun, bukan hanya itu. Kaki anak itu mengenai kursi besi yang biasa dipakai untuk bersantai di pinggir lapangan.Reza tersent
Nia terkaget mendengar pemaparan dari ayahnya barusan. Sampai dia berdiri dari tempat duduk dan menatap heran kepada sang Ayah."Nggak Ayah. Aku nggak akan bercerai dari Reza sapai kapanpun, kecuali Reza sendiri yang menceraikan aku." Jawab Nia tegas kepada sang Ayah."Tapi Nia....""Nggak!" Potong Nia. " Walaupun Reza hanya seorang satpam, tapi dia baik, setia dan selalu menjaga aku. Dan aku sudah mulai mencintainya." Lanjutnya."Cinta dan baik aja nggak cukup Nia!" Ujar Dewangga lagi sambil dia berdiri."Maaf Ayah. Kedatangan aku kesini hanya untuk berpamitan kepada ayah, bukan untuk meminta pendapat tentang rumah tangga aku. Jadi sekarang aku pamit Ayah. Permisi." Ujar Nia yang merasa kecewa kepada Dewangga. Lalu dia pun pergi dari rumah sang ayah untuk kembali kekontrakannya."Nia!" Terika Dewangga, yang tak dihirauan oleh Nia. Dia pun hendak mengejar putrinya itu. Tapi Desi menahannya."Sudahlah Pa, jangan kamu paksa putrimu untuk bercerai dari suaminya. Dia terlihat sangat menci
Seperti permintaan Anita sebelumnya, dia pulang ke rumah Dewangga. Desi tampak semringah saat tahu jika sang putri memilih pulang ke rumahnya. Dia menyangka jika Anita kembali ke sana, maka Ardi pun akan ikut kembali ke rumah itu.Akan sangat menyenangkan bisa serumah lagi dengan sang menantu idaman, yang selalu membuat dirinya selalu terpuaskan.Namun, Desi merasa heran karena saat malam tiba, lelaki itu tak pulang ke rumah mereka. Ardi lebih memilih untuk pulang ke rumahnya."Kamu kenapa nggak nyuruh dia pulang ke sini, sih?” Desi tampak geram. Anita hanya tersenyum sinis."Kenapa memangnya? Mama kangen bercinta sama dia?" sindir Anita dengan senyum mencibir."Sstt, jaga ucapanmu. Ada Papamu di rumah. Jangan sampai dia mendengarnya." Mata Desi melotot marah."Yang harusnya dijaga tuh, kelakuan Mama. Udah tua masih aja kelakuan kaya ABG. Insyaf, Ma. Inget kalau Mama tuh, udah bau tanah.” Anita mulai berani melawan."Lancang kamu!” Desi meraih dagu sang putri dan menekannya dengan ker
Wajah Reza tampak bingung, antara ingin tertawa dan bingung dengan sikap Nia yang seperti ini. "Apa buktinya?" akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulut lelaki itu."Aku melihat kalian pergi berdua, lalu berpelukan di tempat parkir restoran," ungkap Nia keceplosan.Reza lantas terbahak mendengarnya. “Hanya karena itu kau menuduhku selingkuh?" tanya Reza yang mulai merasa senang karena sepertinya Nia cemburu."Kau cemburu?” Reza semakin mendekat dan memojokan Nia yang kini berdiri membelakangi meja makan."A-apa maksudmu? Aku nggak mungkin cemburu. Jangan pikir yang aneh-aneh, deh.” Nia tampak gugup, karena kini jarak Reza dan dia hanya tinggal sejengkal saja. Tatapan Reza menghujam ke maniknya yang indah."Benarkah?" Reza mengangkat sebelah alisnya."Bagaimana kalau aku bilang jika aku cemburu melihatmu dengan lelaki lain? Apa kamu akan peduli dengan perasaanku?" tanya Reza.Nia kembali membuang muka. "Jika yang kamu maksud adalah Pak Riki, dia bukan siapa-siapa. Dia hanya atasan ba
Sintia sesekali mencuri pandang dan menyungging senyum kala melihat Reza makan dengan begitu lahapnya. Pikiran kotornya melanglang buana ke mana-mana. Dada bidang itu, pasti akan nyaman jika bersandar di sana.Di saat lamunan itu menggelayuti alam bawah sadarnya, datang dua orang yang begitu mesra. Sang lelaki merangkul pinggang wanita di sampingnya. Sang lelaki menghentikan langkahnya saat melihat ada Sintia di sana."Sintia?" sapanya seolah sengaja ingin memamerkan kemesraannya dengan wanita yang dia bawa.Sintia tersentak kaget dan mendongak. Matanya melebar. Senyumnya pun ikut memudar."Wah, ada kemajuan juga rupanya kamu," ucapnya dengan nada menyindir. Tangannya tak sedetik pun lepas dari pinggang wanita yang dibawanya. Matanya melirik sekilas pada Reza yang tak tahu apa-apa."Mas Doni?" ucapnya pelan. Sintia melirik pada wanita bertubuh seksi yang berdiri pongah di samping sang suami. Bibirnya menyungging senyum meremehkan."Ya. Sangat bagus kita bertemu di sini. Apakah kamu ma
“Eeuuh, kamu belum tau kabar burung, rahasia umumnya Bu Sintia sama Pak Doni. Pak Doni itu... doyan maen perempuan di luaran. Sama Bu Sintia itu dijodohin. Pak Doni nggak bisa nolak, karena dia merasa berhutang budi sama Pak Wisnu.""Hutang budi?" Reza mengerutkan keningnya."Iya. Pak Doni itu anak tirinya Pak Wisnu. Katanya sih, saat setelah ibunya Pak Doni meninggal Pak Wisnu baru mengetahuinya bahwa Pak Doni bukan anak kandungnya. Entahlah, apa bener atau nggak. Hidup Pak Doni itu banyak diatur sama Pak Wisnu, termasuk jodoh, karena dia takut kalau Pak Wisnu marah dan membuangnya. Dia nggak cinta sama Bu Sintia, makanya dia cari pelampiasan dengan main cewek di luaran." Ali melanjutkan kembali ceritanya.Reza hanya manggut-manggut, karena sebenarnya dia sudah mengetahui semua ceritanya langsung dari Wisnu sang ayah. Ali kembali bercerita, tetapi ujung mata Reza menangkap kehadiran Nia dari dalam lift yang membawanya turun ke lantai bawah. Dia memperhatikan langkah wanita itu dengan
"Apa ada masalah yang saya perbuat, Bu?" tanya Reza memulai obrolan. Dia sudah tidak sabar ingin mendengar kabar apa yang akan disampaikan oleh Sintia."Oh, no, no. Kamu sama sekali tidak membuat masalah. Kamu justru bagus melatih Dion. Dia sangat cocok sama kamu. Udah beberapa pelatih yang Papi Wisnu rekrut, belum pernah ada yang cocok sama dia."Reza pun manggut-manggut. “Terima kasih, kalau memang Bu Sintia dan Dion suka dengan kerjaan saya.”"Iya, tentu saja. Tapi buka hanya itu saja yang ingin saya bicarakan sama kamu sekarang." Ujar Sintia lagi yang membuat Reza heran dan juga penasaran."Minggu kemarin kamu dipanggil keruangan kerja Papi, dan saya juga melihat Pak Baskara berada disana. Apakah kamu melakuakan kesalahan besar, sehingga Papi memanggil mu dan Pak Baskara?" Tanya Sintia yang penasaran.Reza pun terkejut Sintia menanyakan hal itu. Dia juga bingung harus menjawab apa, dan tak mungkin juga dia memberi tahu yang sebenarnya pada Sintia. Sebab dia sudah berjanji untuk t
"Lalu, selama aku seperti ini, kamu akan melakukannya dengan dia, begitu?" Anita kalap meski tubuhnya lemah."Aku tidak mau, Mas. Aku sudah bosan seperti ini. tolong kembalikan aku ke rumah Mama,” pinta Anita dengan tangis yang tak berhenti.“Baik, aku akan mengantarmu ke rumah mamamu, tapi, kita pikirkan lagi soal perceraian itu. ok?" Ardi melipir keluar dari ruangan itu sambil mengambil pakaiannya yang tercecer."Aku ganti baju dulu ya. Setelah itu nganter kamu ke rumah mamamu," teriak Ardi sambil berlalu meninggalkan Anita yang masih duduk tak berdaya sambil bersandar di pintu kamar Maya.Sementara wanita bertubuh sintal itu seperti tak berdosa, dia memakai helai demi helai pakaiannya di depan Anita.“Maaf, ya, Bu. Ini semua karena Pak Ardi sudah tidak bisa menahan hasratnya. Harusnya Ibu berterima kasih sama saya, karena saya sudah melayani Bapak luar dalam. Saya juga menngurus Bu Nita tiap hari.""Kamu pembantu di sini!” teriak Anita membalas ucapan Maya. “Memang sudah sepantasny