Hari demi hari berlalu Nabilah dan Robin semakin dekat, tentu hanya sebagai teman saja. Mereka sudah mulai terbuka satu sama lain. Mulai dari hobi sampai kehidupan pribadi.
"Masa sih Abang belum punya pacar?" tanya Nabilah pada suatu malam. "Iya benar, tapi kalau teman dekat ada. Seperti Sita yang kamu lihat di kampung Rantau. Dia kerja di pengepul juga jadi admin," jawab Robin apa adanya. Nabilah kembali bertanya, "Kalau ada perempuan yang diam-diam suka sama Abang bagaimana?" Sebenarnya ia ingin mencari tahu siapa wanita yang datang menemuinya tempo hari. "Ya nggak apa-apa, tapi kayaknya nggak mungkin deh. Siapa yang mau sama Abang sudah miskin, jelek dan masa depan pun suram," jawab Robin merendah. "Jangan-jangan Bilah suka ya sama Abang?" tanya pria itu yang membuat istrinya tampak tercengang. Nabilah menjawab dengan jujur, "Iya, Bilah kagum sama Bang Robin yang suka berbagi dan bisa dekat sama anak-anak. Jarang sekali seorang preman bisa seperti itu." "Jadi Nabilah cuma kagum sama Abang?" tanya Robin yang dijawab anggukkan kecil oleh Nabilah. "Kalau kriteria calon suami Nabilah seperti apa?" Ia kembali bertanya. "Pria itu tidak mesti kaya atau tampan, tapi harus bisa menjaga tutur kata, emosi, terutama salatnya." Nabilah memberikan jawaban sederhana, tetapi bermakna dalam. Robin tampak mengangguk mendengar jawaban dari Nabilah. "Misal ada seorang preman, tapi dia rajin salat. Nabilah mau menerimanya sebagai suami?" "Kenapa nggak, tapi itu hanya keinginan saja karena jodoh yang sesungguhnya sudah ditentukan oleh Allah. Siapa dan bagaimana pun pria itu, Bilah akan menerimanya dengan ikhlas," jawab Nabilah kembali. "Abang doakan Bilah dapat suami yang baik, tampan, kaya dan soleh!" ujar Robin menimpali. Nabilah tertawa kecil seraya berkata, "Aaminn, tapi jaman sekarang Cinderella mana ada. Oh ya Abang asli orang mana sih sebenarnya dan masih punya keluarga nggak?" tanya gadis itu penasaran. Robin tahu Nabilah sedang mencoba mengenal dirinya lebih jauh lagi. Ia kemudian menjawab dengan jujur, "Abang asli orang Surabaya, tapi sudah lama merantau ke Jakarta. Orang tua masih ada, kalau Bilah mau kenal sama mereka. Berarti harus mau jadi istri beneran Abang." "Eh ...." Nabilah tampak terkejut mendengarnya. "Becanda, tidur yuk kamu sudah ngantuk kan!" ajak Robin yang dijawab anggukan oleh Nabilah. Malam kian merambat jauh dan waktu telah menunjukan pukul satu dini hari. Di mana orang-orang sedang tidur dengan nyenyak, Nabilah sudah terjaga. Ia memang sudah terbiasa melakukan salat tahajud. Baru saja selesai melakukan salat sunah itu, tiba-tiba Robin keluar dengan wajah yang tegang. "Bilah, ayo kita ke rumah Bapak!" ajak Robin yang membuat Nabilah terkejut. Dengan panik Nabilah bertanya, "Ada apa Bang?" "Pengepul kebakaran, sepertinya Abang akan lama di kampung rantau. Kamu lebih baik di rumah Bapak dulu ya!" jawab Robin yang dijawab anggukan oleh Nabilah. Setelah mengunci semua pintu, Robin dan Nabilah menuju ke rumah Pak Jamal. Sementara itu di kampung Rantau, api berkobar cukup besar. Melahap apa pun yang ada di tempat pengepul. Banyaknya barang-barang yang mudah terbakar membuat si Jago merah kian perkasa. Untungnya tidak merambat ke rumah warga di sekitarnya karena sekeliling tempat itu sudah di pagar oleh seng. Entah berapa kerugian yang harus ditanggung oleh pemilik pengepul itu. Namun, para warga yang tinggal disekitar tempat itu langsung menyelamatkan diri sambil membawa harta benda mereka. Padahal sudah bertahun-tahun belum pernah ada kejadian seperti ini. Sementara itu pemadam kebakaran yang dihubungi kesulitan untuk menjangkau wilayah itu karena kecilnya jalan dan berada jauh dari jalan raya. Bahkan ketika Robin sampai di tempat kejadian, api itu belum juga ada yang memadamkan. "Semua habis," ujar Tigor ketika Robin sampai. "Aku dan beberapa orang yang sedang tidur tiba-tiba bangun dan kaget melihat api sudah besar," ujarnya menceritakan. "Kecil kemungkinan kebakaran ini karena korsleting listrik. Pasti ada yang sengaja membakarnya," tebak Robin sambil memandangi kobaran api. Tigor memberikan pendapatnya, "Aku juga berpikir seperti itu jahat sekali, apa mereka tidak mikir berapa orang yang menggantungkan rezekinya di tempat ini." "Hemm, aku yakin sekali pelaku ada hubungannya dengan Nabilah. Ternyata orang itu menyerangku terlebih dahulu," batin Robin berdasarkan feelingnya. "Bagaimana bisa mendapatkan duit, kalau semua omset kita habis?" ujar Tigor dengan lemas. "Itu urusanku, kau pantau saja terus kasus ini. Nanti kalau api sudah padam, selidik sumbernya. Semoga kita mendapatkan petunjuk!" seru Robin yang akan turun tangan langsung mengusut kebakaran ini. Tiba-tiba Supri datang sambil naik motor menyusul Robin. Ia kemudian memberitahu, "Bang Robin, kontrakan Abang dirusak sekelompok orang. Warga tidak ada yang tahu siapa pelakunya!" "Sial," umpat Robin yang segera meninggalkan tempat itu. Ia tidak menyangka akan mendapatkan serangan tak terduga dari dua arah sekaligus. BERSAMBUNGKetika sampai di kontrakannya, Robin melihat ada Pak RT dan beberapa orang warga sedang berkumpul. Seorang saksi kemudian menceritakan awal mula kejadian perusakan itu. "Saya lagi tidur tiba-tiba terbangun karena kaget mendengar suara gaduh. Ketika melihat dari jendela, orang-orang memakai masker sedang merusak rumah Bang Robin. Saya nggak berani ke luar, jadi telepon Pak RT. Mereka kemudian kabur ke arah jalan tol setelah warga berdatangan," ujar salah satu tetangga di depan kontrakan Robin.Robin langsung mengepalkan tangan dan rahang pipinya tampak mengeras menahan amarah ketika melihat kontrakannya hancur. Mulai dari ruang tamu, dapur bahkan barang-barang di kamarnya yang dikunci juga berantakan. "Kami tidak melihat istrimu, jangan-jangan mereka menculiknya?" tebak Pak RT dengan cemas."Nabilah ada di rumah orang tuanya Pak. Tadi pas tengah malam saya mendapat kabar, kalau tempat pengepulan di kampung Rantau kebakaran," ujar Robin memberitahu. Pak RT tampak terkejut sekali mend
Mentari tampak meninggi ketika Robinmenuju ke warung Mpok Ijah. Ia jadi bimbang antara menyelesaikan masalahnya kebakaran pengepul dulu atau melindungi Nabilah."Aku tidak boleh pergi, pasti pelaku sedang menunggu diriku lengah," batin Robin sambil terus memikirkan caranya.Ternyata di warung Mpok Ijah ada Supri dan Udin sedang minum kopi, sambil membahas musibah kebakaran dan perusakan itu."Kasihan Bang Robin sudah pengepul kebakaran, kontrakannya pun dirusak orang. Untung dia dan Nabilah tidak apa-apa," ujar Udin yang merasa miris membayangkan musibah itu."Syukurlah kalau Bang Robin dan istrinya selamat, kalau harta benda bisa dicari lagi," ujar Mpok Ijah mengomentari cerita Udin.Supri ikut pun menimpali, "Iya Mpok, bahkan Bang Robin harus bayar ganti rugi sama pemilik kontrakan. Sudah jatuh tertimpa tangga pula."Mereka langsung terdiam ketika melihat kedatangan Robin sambil membawa sebuah tas ransel besar. Seolah menanggung beban hidup yang cukup berat. "Kopinya satu, Mpok!"
Tigor langsung berdiri dan terkesima melihat seorang gadis dengan memakai gamis sederhana. Wajahnya terlihat cantik alami yang jarang dimiliki setiap wanita pada umumnya. "Alamak adem dan beningnya, gadis itu istrimu, Bin?" tanya Tigor yang dijawab anggukan oleh Robin. "Bilah, kenalkan teman Abang!" ujar Robin mengenalkan Tigor."Nabilah," ujar gadis itu sambil mengatupkan tangannya dan menunduk. Ia sangat menjaga sikap ketika bertemu dengan lelaki yang bukan muhrimnya. Robin kemudian berkata, "Perabotan sudah ada di dapur dan kamar Bilah yang kedua. Kamu atur saja sendiri ya!" "Iya Bang," sahut Nabilah sambil berlalu. "Kalau begini aku pun bingung harus pilih yang mana Risa atau Nabilah!" ujar Tigor membandingkan kedua wanita itu karena masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri.Robin langsung mengingatkan Tigor, "Jangan sebut-sebut Risa di sini, nanti Nabilah bisa salah paham lagi!" "Ya sudah, aku balik ke kampung Rantau dulu ya! Nanti kita bicarakan lagi masalah kebakaran
"Peraturan masih sama, Nabilah tidak boleh menerima tamu dan harus mengunci pintu!" ujar Robin mengingatkan. Nabilah mengangguk dan menjawab dengan patuh, "Iya Bang, termasuk Ibu dan Bapak juga tidak boleh masuk ke rumah ini?" tanya gadis itu kemudian. "Iya, Bilah saja yang main ke rumah Bapak. Abang pergi dulu ya!" jawab Robin sambil berpesan. Nabilah kemudian mengantar Robin sampai depan teras. "Kenapa Bang Robin selalu melarang orang lain masuk ke rumah, terutama ke dalam kamarnya?" tanya gadis itu di dalam hati dengan heran.Setelah Robin sudah hilang oleh jarak, tiba-tiba Bu Asma datang. "Bilah, kamu hari ini nggak pergi ngajar?" tanya wanita itu sambil membuka pintu gerbang. "Nggak Bu, Bilah masih takut," sahut Nabilah setelah kejadian kemarin malam. "Ya sudah, Ibu temani kamu di rumah ya!" ujar Bu Asma kemudian. Mendengar ibunya mau masuk ke rumah, Nabilah segera mencari alasan, "Di rumah kita saja yuk Bu, di sini sudah lama kosong!" "Nggak usah nakut-nakutin! Bilang saj
Siang ini Bu Asma mengajak Nabilah pergi ke pasar untuk membeli kue buat acara pengajian di mesjid. "Bilah bilang Bang Robin dulu ya, Bu!" ujar Nabilah yang tidak berani pergi tanpa izin dari suaminya. "Kamu itu cuma menemani Ibu saja pakai minta izin segala. Nggak sekalian minta surat pengantar dari RT. Baru sebentar jadi istri sementara Robin sudah malas. Apalagi kalian beneran menjadi suami istri, bisa--"Mendengar Robin kembali disalahkan Nabilah langsung memotong, "Ya sudah Bu, ayo kita ke pasar!" Mereka segera jalan beriringan pergi ke pasar. Bu Asma kemudian memilih kue apa saja yang akan dibelinya. Sementara itu Nabilah melihat-lihat perabotan rumah tangga yang belum ada di rumah. "Bu Asma, Nabilah, apa kabar?" tanya seorang wanita paruh baya sambil menggendong anak kecil berusia tiga tahu. Bu Asma kemudian menjawab "Alhamdulillah kami baik Bu Nisa, pasti ini cucunya ya?" tanya wanita itu kemudian. "Syukurlah saya senang mendengarnya. Iya ini anak Nadia yang nikah sama
Robin memacu motor dengan kecepatan tinggi menuju ke kampung rantau bagian barat. Penculik itu pasti tidak tahu, kalau nomor ponsel Nabilah sudah tersambung ke handphone Robin. Sebuah kesalahan yang tidak terduga karena terlalu menganggap remeh lawan. Robin kemudian mengikuti gps ponsel nabilah dan sampai di salah satu rumah kosong yang selama ini dijadikan tempat berkumpul anak buah Baron. Mereka tampak terkejut dan tidak menyangka akan kehadiran Robin."Mau apa kamu ke sini?" tanya salah satu anak buah Baron sambil menatap Robin dengan bengis."Katakan di mana Nabilah berada atau aku akan obrak-abrik tempat ini!" seru Robin dengan serius."Tidak ada Nabilah di sini," sahut salah satu preman lainnya.Robin menatap para preman itu dengan tajam seolah tidak main-main dengan perkataannya. Semua anak buah Baron, langsung mengelilingi Robin. Mereka tahu akan kemampuan pria itu. Akan tetapi, kalau dikeroyok mungkin bisa dikalahkan. Perkelahian tidak seimbang itupun akhirnya terjadi, mesk
"Kalau menurut saya mungkin sudah tabiat Pak," jawab Beno kembali tapi justru membuat Pak Jamal jadi menghela nafas panjang."Pak, apa benar tadi yang ibu katakan soal pernikahan Nabilah?" tanya pria itu ingin tahu. Pak Jamal tampak mengangguk dan menjawab, "Iya, Robin bilang seperti itu karena mereka tidak saling mencintai." "Kalau diberikan kesempatan, saya bersedia melamar Nabilah lagi," ujar Beno dengan penuh harap. "Bapak sih tidak masalah, tapi keputusan tetap di tangan Nabilah," ujar Pak Jamal yang memberikan kebebasan Nabilah untuk menentukan pilihannya sendiri. "Ibu setuju saja, asalkan kamu tidak menduakan Nabilah," ujar Bu Asma tanpa berpikir panjang lagi.Beno langsung menyahuti, "Insya Allah Bu, saya tidak akan menyakiti Nabilah. Tiba-tiba ia mendapat pesan, setelah membacanya wajah pria itu tampak tegang dan langsung berpamitan. "Maaf saya harus pergi kerja. Pak, Bu. Tolong kabari, kalau Nabilah mau menerima saya.""Iya Nak Beno, sekali lagi kami mengucapkan banyak
Nabilah terus menangis sampai tertidur di pelukan suaminya. Mungkin karena lelah, Robin pun ikut terlelap juga. Hingga malam kian merambat jauh, pria itu baru terjaga. Ia menatap wajah Nabilah dengan saksama, begitu teduh, tenang dan cantik. "Aku tidak boleh berharap lebih, dia tidak mencintaiku," lirih Robin menepis sebuah rasa yang mulai menelusup ke relung hatinya. Ia kemudian memindahkan kepala Nabilah ke atas bantal dengan perlahan. Setelah memastikan Nabilah tidak terbangun, Robin segera ke luar dari kamar itu dan memeriksa sekeliling rumah. Ia kemudian mengunci pintu gerbang, rumah dan jendela. Semua harus aman untuk melindungi Nabilah. Pria itu kemudian masuk ke dalam kamar untuk mengerjakan apa yang harus dilakukan.Pagi pun menjelang, Nabilah terbangun dari tidurnya yang lelap. Ia segera beranjak dan menuju ke kamar mandi. Gadis itu tidak perlu sungkan lagi harus berpapasan dengan suaminya karena Robin menempati kamar utama yang ada toilet sendiri.Setelah membersihkan dir
Aku adalah seorang gadis desa yang mencintai seorang preman kampung bernama Robin. Berawal dari gagalnya pernikahanku, kami akhirnya bersatu karena takdir. Awalnya aku takut melihat Robin yang brewokan dan tampak beringas. Akan tetapi, ternyata dia pria yang bertanggungjawab dan baik hati. Sebenarnya aku sempat bimbang ketika Kak Abas kembali dan menyatakan ingin ta'aruf denganku. Pria yang dahulu aku kagumi karena kesalehannya. Seandainya belum menikah dengan Robin, mungkin aku akan menerima niat tulus Abas. Apalagi ibuku sangat merestui aku bersatu dengannya.Namun, ketika Robin rela mengorbankan nyawa, membuatku sadar cinta ini untuknya. Setelah memutuskan memilih untuk menjadi suamiku, akhirnya aku tahu kalau nama asli Robin adalah Bara Sadewa. Salah satu putra konglomerat dari Singapura. Majikan kakakku yang sudah tiada.Tidak seperti kisah Cinderella, cerita cintaku penuh dengan air mata. Terlebih ketika Sadewa memintaku pergi dari kehidupan Bara untuk selamanya. Aku dianggap
"Cukup Abang!" seru Nabilah yang datang bersama anak-anaknya. Bara mendengus kesal karena rencananya memberikan Bryan ganjaran digagalkan Nabilah. Padahal sebentar lagi adiknya itu sudah mau menangis."Om Bryan," panggil Robin sambil berlari menghampiri pamannya dengan penuh kerinduan.Azza juga tidak mau ketinggalan dan ikut mengejar sambil memanggil dengan suara cadelnya, "Om Bian."Bryan langsung menyambut kedua keponakannya itu dengan pelukan hangat. "Robin sudah besar sekarang dan tambah ganteng, kalau Azza cantik dan pinter," puji Bryan yang sudah lama tidak bertemu dengan kedua keponakannya itu. "Selamat datang Om Bryan, kenalkan nama aku Salsabilah," ujar Nabilah sambil menggendong putri bungsunya. "Tambah satu lagi keponakan Om, lucu sekali kamu." Bryan langsung menggendong Salsa dan menciumnya. Kalau Robin mirip dengan Nabilah, Azza lebih condong ke Mom Sandra. Maka Salsa mempunyai paras Bara versi perempuannya.Sementara itu Bara hanya memperhatikan saja, Bryan disambu
Ketika Bara dan keluarganya sedang mengalami ujian ekonomi, Nabilah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Salsabilah Azizah Erlangga. Kehadiran Bayi itu menjadi penyemangat atas apa yang sedang mereka hadapi. Di mana Nabilah dan Bara memulai semuanya dari nol lagi.Bara menjadi suami siaga, selalu membantu istrinya dalam segala hal. Terutama dalam mengurus Robin dan Azza yang sedang aktif bermain. Sehingga membuat Nabilah merasa beruntung memiliki pendamping hidup sepertinya. "Anak-anak bagaimana Bang?" tanya Nabilah ketika sedang menyusui putrinya."Aman, Robin sudah bisa momong. Dia dewasa sekali, bahkan mengajari Azza mengaji dan mengenal nama-nama binatang pakai bahasa Inggris," jawab Bara yang membuat Nabilah jadi bangga. "Robin memang pintar dan cepat daya tangkapnya," jawab Nabilah yang membuat Bara mengangguk kecil.Kondisi kesehatan Mom Sandra kian menurun setelah kepergian Hans. Sehingga membuat Bara jadi sedih dan cemas. "Kita ke rumah sakit ya Mom!" ajak Ba
Tidak terasa sudah hampir setahun aku kembali menjalani kehidupan yang sederhana, bersama Nabilah, Robin dan Azza, di kampung Rantau. Entah mengapa aku merasa nyaman tinggal di kampung itu. Mungkin di tempat ini telah menjadi titik balik dalam pencarian jati diriku. Aku merasa Nabilah adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah. Dari rahimnya lahir dua buah hatiku yang lucu dan menggemaskan. Dia adalah sosok ibu yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Selalu sabar dalam mengurus dan membesarkan anak-anak. Semoga kami bisa mendidik mereka menjadi pribadi yang soleh dan soleha serta istiqomah. "Terima kasih karena sudah mencintaiku," ucapku sambil memeluk Nabilah ketika anak-anak sedang tidur. Hanya disaat seperti ini kami memiliki waktu berdua."Terima kasih juga, sudah menjadi pelindung Bilah dan anak-anak," sahut Nabilah sambil menatapku dengan penuh cinta. Aku kemudian mengecup kening Nabilah lalu bibir dan terakhir perutnya yang membesar. Ya Nabilah sedang mengandung an
Setelah ayahnya meninggal, Bryan merasa tidak sanggup menjalankan perusahaan seorang diri. Apalagi kondisinya gampang drop, kalau terlalu banyak berpikir atau kelelahan. Bryan juga tidak percaya dengan wakilnya di kantor. Sehingga ia mengikuti saran Bara untuk menjual semua harta Sadewa. "Jika harta warisan memberatkanmu maka lepaskanlah. Jadi kamu bisa tenang menjalani hidup ini!" saran Bara setelah menimbang baik dan buruknya ke depan nanti."Terima kasih sudah memberikan masukan. Aku akan merelakan semua warisanku karena harta tidak dibawa mati," ujar Bryan menyetujui rencana Bara. Ia ingin melepaskan beban sebagai ahli waris keluarga Sadewa yang selama ini membuatnya tertekan dalam ketakutan.Tanpa memberitahu siapa pun, Bryan menjual satu persatu aset milik keluarga Sadewa. Mulai dari vila, mansion, pulau pribadi hingga saham. Kini seorang Billionaire dari Inggris yang memiliki perusahaan Sadewa Corp. Hanya kediaman Sadewa yang masih tersisa. Ia dan Bara sepakat tidak akan menj
"Aku ingin mengucapkan bela sungkawa secara langsung kepadamu dan Bara. Tapi sepertinya kehadiranku tidak tepat, maaf sudah mengganggu permisi," ucap Monica yang hendak pergi. "Tidak apa-apa Monica, terima kasih kamu sudah datang. Silahkan duduk!" cegah Bara yang menghargai kedatangan Monica sebagai seorang tamu. "Bilah, tolong buatkan minum ya!" serunya kemudian. Monica segera masuk dan menyalami semua orang yang ada di sana. "Dilanjut ya, kami mau siap-siap buat tahlilan nanti malam!" seru Mom Sandra yang segera meninggalkan tempat itu bersama Hans dan Pak Jamal. Bara juga segera menyusul dengan berkata, "Aku mau bantu Nabilah dulu, takut Robin nakalin adiknya!" Ia ingin memberikan kesempatan Bryan dan Monica bicara dari hati ke hati. Bryan kemudian mengajak Monica ke serambi rumah. Setelah mereka bicara sebentar, Monica pamitan untuk pulang."Mau ke mana Monica, kenapa buru-buru pulang?" tanya Bara yang datang bersama Nabilah sambil membawa suguhan. "Tidak apa-apa, aku turut
Setelah mendapatkan perawatan yang intensif, kondisi Bryan perlahan mulai membaik. Selama di rumah sakit, Bara selalu menemani dan mensuportnya. Agar Bryan siap menerima takdir dan semangat lagi untuk menjalani hidupnya. "Terima kasih sudah merawataku Kak!" ucap Bryan ketika baru saja masuk ke mobil dan meninggalkan rumah sakit. "Aku sudab memutuskan untuk pindah ke Singapura lagi. Banyak hal yang harus diselesaikan, bisa saja besok aku akan menyusul papi bukan?" ujar Bryan yang pasrah akan takdir hidupnya."Aku yakin kamu akan melakukan yang terbaik. Sekarang papi sudah tidak ada menikahlah dengan Monica. Dia masih menunggumu sampai saat ini!" saran Bara agar Bryan tidak patang asa menjalani kehidupannya. Namun, Bryan menolak usul Bara dan memberikan alasannya, "Aku dan Monica tidak akan bersatu lagi karena keluarganya minta lima puluh persen bagian harta keluarga Sadewa."Bara cukup terkejut mendengarnya dan bertanya, "Kenapa tidak kamu berikan?" "Aku tidak akan membiarkan mere
Bara langsung menghubungi Bryan melalui vidio call untuk memberitahu kalau ayah mereka sudah tiada. Tentu saja kabar itu membuat adiknya sangat terkejut dan syok. "Papi sudah tiada, tadi habis salat subuh beliau telah pergi," ujar Bara dengan suara yang bergetar. "Inalillahi wainnalillahirojiun, ya Allah aku baru mau terbang ke Singapura untuk menghadiri rapat komisaris. Habis itu ke Jakarta, menjenguk Papi. kenapa kakak nggak bilang kalau Papi sakit. Aku pasti pergi dari kemarin?" ucap Bryan dengan suara yang parau. Bara memberikan penjelasan, "Papi tidak sakit, aku pun tidak tahu kalau beliau mau berpulang. Cuma semalaman aku menemaninya yang tidak tidur. Ternyata Papi tidur menjelang pagi untuk selamanya." Mereka kemudian membahas di mana Sadewa akan dikebumikan. Akhirnya Kakak beradik itu sepakat ayah mereka dikuburkan di salah satu pemakaman elit di Indonesia saja. "Sepertinya kami tidak mungkin menguburkan setelah zuhur, kasihan papi kalau kelamaan. Jadi kemungkinan kamu t
Nabilah tampak terkejut ketika suaminya sudah pulang dari inggris, padahal baru dua hari. Namun, ia tidak berani bertanya karena Bara terlihat begitu lelah. Setelah istirahat dan makan baru mereka memulai pembicaraan."Kenapa sudah pulang, bagaimana kabar papi, Bang?" tanya Nabilah ingin tahu. "Papi baik-baik saja, Abang sudah pulang karena kita mau pindah rumah," jawab Bara yang membuat Nabilah terkejut. "Kita mau pindah ke mana Bang?" tanya Nabilah ketika mendengar keinginan Bara. Selama ini mereka menempati rumah Pak Jamal. "Ke rumah papi dan mami di Jakarta," jawab Bara yang segera menjelaskan alasannya. "Apakah Bilah siap dan bersedia membantu Abang?"Nabilah mengangguk seraya menjawab, "Insya Allah Bilah siap lahir batin mendukung dan menemani Abang untuk menjadi anak yang berbakti." Ia akan mengikuti ke mana pun Bara mengajaknya. "Ya sudah, kamu siap-siap ya, rapikan semua pakaian kita. Abang mau ngomong sama Bapak!" serunya kemudian. Bara segera menemui Pak Jamal dan men