Baron dan beberapa anak buahnya terlihat mendatangi pengepul, tempat Tigor selama ini mencari nafkah. Kedatangan mereka langsung disambut oleh Robin. Suasana yang tadinya hening kini berubah jadi tegang."Berani sekali kau datang ke tempat ini. Setelah apa yang telah terjadi!" ujar Robin sambil menatap Baron dengan tajam. "Kau tidak punya bukti jika aku yang melakukannya!" sanggah Baron tanpa rasa bersalah sedikitpun. Robin tersenyum simpul mendengar bantahan Baron. Ia kemudian berkata dengan tegas, "Aku tidak perlu bekerjasama dengan polisi untuk menghancurkan bisnismu! Tidak seperti kau yang diam-diam menusukku dari belakang. Kalau mau ke luar dalam keadaan sehat, sekarang pergi lah sebelum aku berubah pikiran!"Baron tidak berani melawan Robin karena secara pisik sudah kalah jauh. Belum lagi gerakan pria itu sangat cepat dan bisa tahu saja apa seolah punya seribu mata dan telinga. "Jangan pernah ikut campur atau kau akan ikut terbakar!" pesan Baron memperingati Robin. Robin m
Tegar memberikan rantang yang dibawanya dan berkata, "Disuruh anterin ini Bang dari Bu Guru Nabilah!"Hari ini Robin pulang siang ke kontrakannya. Ia langsung menemui Nabilah yang sedang duduk di ruang tamu."Terima kasih antaran makan siangnya," ucap Robin sambil tersenyum dan memberikan rantang yang diantarkan oleh Tegar. "Sama-sama, bagaimana masakan Bilah hari ini enak nggak Bang?" tanya Nabilah dengan ceria.Robin memperhatikan sikap Nabilah yang tiba-tiba berubah. Kemarin terlihat gelisah, sekarang sangat riang sekali. "Enak.""Cuma bilang enak Abang kok mikir dulu jawabnya?" tanya Nabilah tidak percaya. "Abang cuma heran kenapa Bilah sangat ceria sekali. Pasti senang ya, Abas berhasil menjalankan tugasnya dengan baik?" tebak Robin yang membuat Nabilah terdiam. Sebenarnya Nabilah ingin Robin membahas soal masakan dan tentang mereka berdua bukan orang lain."Sabar ya, tugas Abas belum selesai!" ujar Robin kemudian. "Oh ya, dapat salam dari Tigor dan Risa. Kata mereka masakan
Hujan masih turun rintik-rintik di kala malam mulai merambat jauh. Angin dingin pun membalut kesunyian. Sehingga membuat orang-orang enggan untuk ke luar rumah. Tiba-tiba seberkas sinar dari lampu motor tampak menerobos kegelapan. Abas yang hendak pulang ke rumah orangtuanya, terus mengendarai kendaraan beroda dua dengan kecepatan tinggi, sambil sesekali melirik ke arah spion. Di mana sebuah motor membuntutinya dari tadi. Sebagai seorang polisi yang sedang menangani kasus, rupanya ia tidak lepas dari mata-mata musuh. Pria itu tidak merasa gentar sedikitpun. Bahkan merasa tertantang untuk membekuk dalang utamanya. "Cepat sekali dia menghilang, ke arah mana beloknya?" tanya seorang pria yang membuntuti Abas ketika sampai di pertigaan. "Aku di sini!" sahut Abas yang muncul dari semak-semak. Sehingga membuat terkejut dua orang yang mengikutinya. "Aku rasa kalian cukup pintar, maka bekerjasama lah denganku!" ujarnya yang ingin bicara baik-baik. Namun, niat baik Abas justru membuat k
Baron sangat kesal sekali karena gagal melenyapkan Abas. Menurut laporan dari salah satu anak buahnya yang berhasil lolos ketika akan menghabisi Abas semalam, tiba-tiba seseorang datang dan menghajar mereka semua. Namun, sayang tempat yang gelap membuat mereka tidak bisa mengenali siapa orang itu. "Cari terus pengkhianat itu! Aku yakin sekali dia orang kampung rantau. Sehingga bisa tahu rencana kita!" seru Baron dengan penuh kemarahan. Salah satu anak buah Baron memberikan pendapatnya, "Jangan-jangan Robin karena gerakannya sangat cepat dan mampu melumpuhkan kami semua. Selama ini hanya dia yang bisa melakukan itu!" "Tidak mungkin, aku melihat sendiri Robin sudah pulang ke rumahnya dan tidak ke luar lagi!" sangkal anak buah Baron yang ditugasi memata-matai Robin. Anak buah Baron saling adu pendapat karena masing-masing merasa benar. "Sudah cukup! Birong memang benar, cuma Robin yang mampu melumpuhkan kalian. Tapi buat apa dia membantu polisi itu, apa untungnya?" ujar Baron yang
Hari demi hari berlalu dan siang sudah beberapa kali berganti malam, Robin baru saja selesai makan bersama Nabilah di rumah kontrakan mereka. "Bang, boleh Bilah minta sesuatu?" tanya Nabilah memulai pembicaraan. Robin tampak mengangguk dan berseru, "Katakanlah!" "Tolong bantu Kak Abas, Bilah nggak tega melihat keadaannya!" pinta Nabilah dengan penuh harap."Siapa yang menyuruh Bilah!" tanya Robin sambil menatap istrinya dengan lekat. Nabilah tampak menggeleng dan menjawab dengan jujur, "Nggak ada, Bilah cuma kasihan melihat Kak Abas babak belur seperti itu.""Itu sudah resiko pekerjaannya," jawab Robin acuh tak acuh. "Abang harap apa pun alasannya Bilah jangan menemui Abas lagi atau berkomunikasi lewat ponsel!" pesannya kemudian. "Iya Bang, tapi boleh nggak Rambo tinggal di--""Tidak ada yang boleh masuk ke rumah ini selain kita!" potong Robin sambil beranjak dan masuk ke kamarnya.Nabilah tampak mengangguk patuh, meskipun dalam hatinya merasa sedih Robin tidak mau membantu Abas
Bu Asma tampak terkejut melihat apa yang sedang anak dan menantunya lakukan. Begitupun dengan Robin dan Nabilah yang tidak menduga Bu Asma berani main masuk begitu saja. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Bu Asama ketika melihat Robin sedang memegang kaki Nabilah. "Nabilah keseleo Bu," jawab Robin sambil melepas kaki istrinya. Namun, Bu Asma tidak percaya dan tetap marah-marah. "Halah alasan, kamu ingin meniduri Nabilah kan? Dasar licik!" "Kalau saya mau melakukannya kenapa tidak malam saja. Ketika Ibu dan Bapak tidur!" bantah Robin atas apa yang dituduhkan kepadanya. "Ayo pulang Bilah, kamu harus tinggal di rumah Bapak sampai Abas menyelesaikan tugasnya!" seru Bu Asma sambil menarik tangan Nabilah dan memaksanya berdiri. "Kaki Bilah masih sakit Bu, kalau buat jalan!" tolak Nabilah sambil menyeringis kesakitan. Bu Asma memaksa Nabilah untuk ikut bersamanya, "Tahan, Ibu akan bantu kamu, cepat jalan!" "Saya tidak izinkan Ibu membawa Nabilah dalam kesakitan seperti ini!"
Tentu saja berita ini membuat semua orang senang, terutama Bu Asma karena sebentar lagi Abas akan menyelesaikan tugasnya dan menjadi suami Nabilah. "Pak, cepat sini nonton berita penting!" seru Bu Asma ketika suaminya baru pulang dari mesjid. "Alhamdulillah berakhir sudah penantian kita Pak. Sebentar lagi Nabilah akan menikah dengan Abas," ujarnya sambil menatap ke layar televisi dengan senangnya, sedangkan Pak Jamal melihat siaran itu dengan ekspresi biasa saja. Ketika waktu menunjukan pukul enam pagi, Bu Asma bergegas ke kontrakan Nabilah untuk mengantarkan sarapan. "Kalau ada Robin, jangan mendesaknya untuk menceraikan Nabilah Bu. Masih pagi tidak baik membahas hal seperti itu!" pesan Pak Jamal agar istrinya tidak bikin keributan lagi."Iya, Ibu cuma mau antar sarapan saja kok," sahut Bu Asma sambil berlalu.Setelah mengetuk beberapa kali, Nabilah membukakan pintu dengan kaki yang tertatih. "Bilah, kaki kamu pasti masih sakit. Ini Ibu bawakan sarapan!" ujar Bu Asma sambil memba
Malam mulai merambat jauh, bulan sabit baru terbentuk, seolah berkata aku masih lemah untuk menerangi sang malam. Robin terlihat sedang duduk sambil memandangi langit yang gelap. Merasakan semilir angin mengusik hatinya yang terasa mulai hampa. "Bengong saja kau macam orang patah hati. Katanya tak cinta sama Nabilah!" ujar Tigor yang ikut duduk di samping Robin sambil membawa dua gelas kopi dan kacang rebus. Robin menyahuti dengan santai, "Aku memang tidak mencintainya.""Dasar naif, kalau cinta jangan kau lepaskan Nabilah!" Tigor memberikan saran. "Aku tidak akan pernah mengingkari janji. Lagi pula Nabilah sudah pulang ke rumah orang tuanya. Ketika tahu Abas telah berhasil menyelesaikan tugasnya!" sahut Robin yang sudah siap menceraikan istrinya. "Setelah Baron dan para anak buahnya tertangkap, kampung Rantau bagian barat tidak ada yang menguasai. Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Tigor dengan serius. Robin memberikan jawaban di luar prediksi siapa pun, "Tidak ada, Pemda akan b