Tegar memberikan rantang yang dibawanya dan berkata, "Disuruh anterin ini Bang dari Bu Guru Nabilah!"Hari ini Robin pulang siang ke kontrakannya. Ia langsung menemui Nabilah yang sedang duduk di ruang tamu."Terima kasih antaran makan siangnya," ucap Robin sambil tersenyum dan memberikan rantang yang diantarkan oleh Tegar. "Sama-sama, bagaimana masakan Bilah hari ini enak nggak Bang?" tanya Nabilah dengan ceria.Robin memperhatikan sikap Nabilah yang tiba-tiba berubah. Kemarin terlihat gelisah, sekarang sangat riang sekali. "Enak.""Cuma bilang enak Abang kok mikir dulu jawabnya?" tanya Nabilah tidak percaya. "Abang cuma heran kenapa Bilah sangat ceria sekali. Pasti senang ya, Abas berhasil menjalankan tugasnya dengan baik?" tebak Robin yang membuat Nabilah terdiam. Sebenarnya Nabilah ingin Robin membahas soal masakan dan tentang mereka berdua bukan orang lain."Sabar ya, tugas Abas belum selesai!" ujar Robin kemudian. "Oh ya, dapat salam dari Tigor dan Risa. Kata mereka masakan
Hujan masih turun rintik-rintik di kala malam mulai merambat jauh. Angin dingin pun membalut kesunyian. Sehingga membuat orang-orang enggan untuk ke luar rumah. Tiba-tiba seberkas sinar dari lampu motor tampak menerobos kegelapan. Abas yang hendak pulang ke rumah orangtuanya, terus mengendarai kendaraan beroda dua dengan kecepatan tinggi, sambil sesekali melirik ke arah spion. Di mana sebuah motor membuntutinya dari tadi. Sebagai seorang polisi yang sedang menangani kasus, rupanya ia tidak lepas dari mata-mata musuh. Pria itu tidak merasa gentar sedikitpun. Bahkan merasa tertantang untuk membekuk dalang utamanya. "Cepat sekali dia menghilang, ke arah mana beloknya?" tanya seorang pria yang membuntuti Abas ketika sampai di pertigaan. "Aku di sini!" sahut Abas yang muncul dari semak-semak. Sehingga membuat terkejut dua orang yang mengikutinya. "Aku rasa kalian cukup pintar, maka bekerjasama lah denganku!" ujarnya yang ingin bicara baik-baik. Namun, niat baik Abas justru membuat k
Baron sangat kesal sekali karena gagal melenyapkan Abas. Menurut laporan dari salah satu anak buahnya yang berhasil lolos ketika akan menghabisi Abas semalam, tiba-tiba seseorang datang dan menghajar mereka semua. Namun, sayang tempat yang gelap membuat mereka tidak bisa mengenali siapa orang itu. "Cari terus pengkhianat itu! Aku yakin sekali dia orang kampung rantau. Sehingga bisa tahu rencana kita!" seru Baron dengan penuh kemarahan. Salah satu anak buah Baron memberikan pendapatnya, "Jangan-jangan Robin karena gerakannya sangat cepat dan mampu melumpuhkan kami semua. Selama ini hanya dia yang bisa melakukan itu!" "Tidak mungkin, aku melihat sendiri Robin sudah pulang ke rumahnya dan tidak ke luar lagi!" sangkal anak buah Baron yang ditugasi memata-matai Robin. Anak buah Baron saling adu pendapat karena masing-masing merasa benar. "Sudah cukup! Birong memang benar, cuma Robin yang mampu melumpuhkan kalian. Tapi buat apa dia membantu polisi itu, apa untungnya?" ujar Baron yang
Hari demi hari berlalu dan siang sudah beberapa kali berganti malam, Robin baru saja selesai makan bersama Nabilah di rumah kontrakan mereka. "Bang, boleh Bilah minta sesuatu?" tanya Nabilah memulai pembicaraan. Robin tampak mengangguk dan berseru, "Katakanlah!" "Tolong bantu Kak Abas, Bilah nggak tega melihat keadaannya!" pinta Nabilah dengan penuh harap."Siapa yang menyuruh Bilah!" tanya Robin sambil menatap istrinya dengan lekat. Nabilah tampak menggeleng dan menjawab dengan jujur, "Nggak ada, Bilah cuma kasihan melihat Kak Abas babak belur seperti itu.""Itu sudah resiko pekerjaannya," jawab Robin acuh tak acuh. "Abang harap apa pun alasannya Bilah jangan menemui Abas lagi atau berkomunikasi lewat ponsel!" pesannya kemudian. "Iya Bang, tapi boleh nggak Rambo tinggal di--""Tidak ada yang boleh masuk ke rumah ini selain kita!" potong Robin sambil beranjak dan masuk ke kamarnya.Nabilah tampak mengangguk patuh, meskipun dalam hatinya merasa sedih Robin tidak mau membantu Abas
Bu Asma tampak terkejut melihat apa yang sedang anak dan menantunya lakukan. Begitupun dengan Robin dan Nabilah yang tidak menduga Bu Asma berani main masuk begitu saja. "Apa yang kalian lakukan?" tanya Bu Asama ketika melihat Robin sedang memegang kaki Nabilah. "Nabilah keseleo Bu," jawab Robin sambil melepas kaki istrinya. Namun, Bu Asma tidak percaya dan tetap marah-marah. "Halah alasan, kamu ingin meniduri Nabilah kan? Dasar licik!" "Kalau saya mau melakukannya kenapa tidak malam saja. Ketika Ibu dan Bapak tidur!" bantah Robin atas apa yang dituduhkan kepadanya. "Ayo pulang Bilah, kamu harus tinggal di rumah Bapak sampai Abas menyelesaikan tugasnya!" seru Bu Asma sambil menarik tangan Nabilah dan memaksanya berdiri. "Kaki Bilah masih sakit Bu, kalau buat jalan!" tolak Nabilah sambil menyeringis kesakitan. Bu Asma memaksa Nabilah untuk ikut bersamanya, "Tahan, Ibu akan bantu kamu, cepat jalan!" "Saya tidak izinkan Ibu membawa Nabilah dalam kesakitan seperti ini!"
Tentu saja berita ini membuat semua orang senang, terutama Bu Asma karena sebentar lagi Abas akan menyelesaikan tugasnya dan menjadi suami Nabilah. "Pak, cepat sini nonton berita penting!" seru Bu Asma ketika suaminya baru pulang dari mesjid. "Alhamdulillah berakhir sudah penantian kita Pak. Sebentar lagi Nabilah akan menikah dengan Abas," ujarnya sambil menatap ke layar televisi dengan senangnya, sedangkan Pak Jamal melihat siaran itu dengan ekspresi biasa saja. Ketika waktu menunjukan pukul enam pagi, Bu Asma bergegas ke kontrakan Nabilah untuk mengantarkan sarapan. "Kalau ada Robin, jangan mendesaknya untuk menceraikan Nabilah Bu. Masih pagi tidak baik membahas hal seperti itu!" pesan Pak Jamal agar istrinya tidak bikin keributan lagi."Iya, Ibu cuma mau antar sarapan saja kok," sahut Bu Asma sambil berlalu.Setelah mengetuk beberapa kali, Nabilah membukakan pintu dengan kaki yang tertatih. "Bilah, kaki kamu pasti masih sakit. Ini Ibu bawakan sarapan!" ujar Bu Asma sambil memba
Malam mulai merambat jauh, bulan sabit baru terbentuk, seolah berkata aku masih lemah untuk menerangi sang malam. Robin terlihat sedang duduk sambil memandangi langit yang gelap. Merasakan semilir angin mengusik hatinya yang terasa mulai hampa. "Bengong saja kau macam orang patah hati. Katanya tak cinta sama Nabilah!" ujar Tigor yang ikut duduk di samping Robin sambil membawa dua gelas kopi dan kacang rebus. Robin menyahuti dengan santai, "Aku memang tidak mencintainya.""Dasar naif, kalau cinta jangan kau lepaskan Nabilah!" Tigor memberikan saran. "Aku tidak akan pernah mengingkari janji. Lagi pula Nabilah sudah pulang ke rumah orang tuanya. Ketika tahu Abas telah berhasil menyelesaikan tugasnya!" sahut Robin yang sudah siap menceraikan istrinya. "Setelah Baron dan para anak buahnya tertangkap, kampung Rantau bagian barat tidak ada yang menguasai. Apa rencanamu selanjutnya?" tanya Tigor dengan serius. Robin memberikan jawaban di luar prediksi siapa pun, "Tidak ada, Pemda akan b
Sepasang mata elang tampak gusar menatap senja yang tampak merona di ufuk barat. Seolah tidak rela sang malam menggantikan siang. "Nggak malam, nggak sore melamun terus. Sampai lupa makan siang!" ujar Tigor ketika melihat Robin sedang duduk termangu."Seharian ini kok perasaan aku nggak enak ya. Selalu kepikiran ...."Tigor langsung menebak, "Nabilah, kalau kangen samperin ke rumahnya. Mumpung kalian masih halal untuk bertemu dan berdekatan!" "Bukan kangen, tapi seperti firasat akan terjadi sesuatu," sahut Robin kemudian. "Jangan dipikirkan, mungkin itu hanya perasaanmu saja karena kalian mau bercerai. Lebih baik kau mandi biar segar?" saran Tigor kembali. Robin berpikir apa yang dikatakan Tigor ada benarnya juga. Lebih baik ia membasuh tubuhnya yang berkeringat. Setelah mandi Robin terlihat lebih segar karena rambutnya yang gondrong sebahu tampak tergerai basah."Tumben kau rapi sekali, mau pergi ke mana?" tanya Tigor ingin tahu. "Ke rumah Nabilah, mau mengajaknya jalan sebentar
Aku adalah seorang gadis desa yang mencintai seorang preman kampung bernama Robin. Berawal dari gagalnya pernikahanku, kami akhirnya bersatu karena takdir. Awalnya aku takut melihat Robin yang brewokan dan tampak beringas. Akan tetapi, ternyata dia pria yang bertanggungjawab dan baik hati. Sebenarnya aku sempat bimbang ketika Kak Abas kembali dan menyatakan ingin ta'aruf denganku. Pria yang dahulu aku kagumi karena kesalehannya. Seandainya belum menikah dengan Robin, mungkin aku akan menerima niat tulus Abas. Apalagi ibuku sangat merestui aku bersatu dengannya.Namun, ketika Robin rela mengorbankan nyawa, membuatku sadar cinta ini untuknya. Setelah memutuskan memilih untuk menjadi suamiku, akhirnya aku tahu kalau nama asli Robin adalah Bara Sadewa. Salah satu putra konglomerat dari Singapura. Majikan kakakku yang sudah tiada.Tidak seperti kisah Cinderella, cerita cintaku penuh dengan air mata. Terlebih ketika Sadewa memintaku pergi dari kehidupan Bara untuk selamanya. Aku dianggap
"Cukup Abang!" seru Nabilah yang datang bersama anak-anaknya. Bara mendengus kesal karena rencananya memberikan Bryan ganjaran digagalkan Nabilah. Padahal sebentar lagi adiknya itu sudah mau menangis."Om Bryan," panggil Robin sambil berlari menghampiri pamannya dengan penuh kerinduan.Azza juga tidak mau ketinggalan dan ikut mengejar sambil memanggil dengan suara cadelnya, "Om Bian."Bryan langsung menyambut kedua keponakannya itu dengan pelukan hangat. "Robin sudah besar sekarang dan tambah ganteng, kalau Azza cantik dan pinter," puji Bryan yang sudah lama tidak bertemu dengan kedua keponakannya itu. "Selamat datang Om Bryan, kenalkan nama aku Salsabilah," ujar Nabilah sambil menggendong putri bungsunya. "Tambah satu lagi keponakan Om, lucu sekali kamu." Bryan langsung menggendong Salsa dan menciumnya. Kalau Robin mirip dengan Nabilah, Azza lebih condong ke Mom Sandra. Maka Salsa mempunyai paras Bara versi perempuannya.Sementara itu Bara hanya memperhatikan saja, Bryan disambu
Ketika Bara dan keluarganya sedang mengalami ujian ekonomi, Nabilah melahirkan seorang anak perempuan yang diberi nama Salsabilah Azizah Erlangga. Kehadiran Bayi itu menjadi penyemangat atas apa yang sedang mereka hadapi. Di mana Nabilah dan Bara memulai semuanya dari nol lagi.Bara menjadi suami siaga, selalu membantu istrinya dalam segala hal. Terutama dalam mengurus Robin dan Azza yang sedang aktif bermain. Sehingga membuat Nabilah merasa beruntung memiliki pendamping hidup sepertinya. "Anak-anak bagaimana Bang?" tanya Nabilah ketika sedang menyusui putrinya."Aman, Robin sudah bisa momong. Dia dewasa sekali, bahkan mengajari Azza mengaji dan mengenal nama-nama binatang pakai bahasa Inggris," jawab Bara yang membuat Nabilah jadi bangga. "Robin memang pintar dan cepat daya tangkapnya," jawab Nabilah yang membuat Bara mengangguk kecil.Kondisi kesehatan Mom Sandra kian menurun setelah kepergian Hans. Sehingga membuat Bara jadi sedih dan cemas. "Kita ke rumah sakit ya Mom!" ajak Ba
Tidak terasa sudah hampir setahun aku kembali menjalani kehidupan yang sederhana, bersama Nabilah, Robin dan Azza, di kampung Rantau. Entah mengapa aku merasa nyaman tinggal di kampung itu. Mungkin di tempat ini telah menjadi titik balik dalam pencarian jati diriku. Aku merasa Nabilah adalah anugerah terindah yang diberikan oleh Allah. Dari rahimnya lahir dua buah hatiku yang lucu dan menggemaskan. Dia adalah sosok ibu yang lemah lembut dan penuh kasih sayang. Selalu sabar dalam mengurus dan membesarkan anak-anak. Semoga kami bisa mendidik mereka menjadi pribadi yang soleh dan soleha serta istiqomah. "Terima kasih karena sudah mencintaiku," ucapku sambil memeluk Nabilah ketika anak-anak sedang tidur. Hanya disaat seperti ini kami memiliki waktu berdua."Terima kasih juga, sudah menjadi pelindung Bilah dan anak-anak," sahut Nabilah sambil menatapku dengan penuh cinta. Aku kemudian mengecup kening Nabilah lalu bibir dan terakhir perutnya yang membesar. Ya Nabilah sedang mengandung an
Setelah ayahnya meninggal, Bryan merasa tidak sanggup menjalankan perusahaan seorang diri. Apalagi kondisinya gampang drop, kalau terlalu banyak berpikir atau kelelahan. Bryan juga tidak percaya dengan wakilnya di kantor. Sehingga ia mengikuti saran Bara untuk menjual semua harta Sadewa. "Jika harta warisan memberatkanmu maka lepaskanlah. Jadi kamu bisa tenang menjalani hidup ini!" saran Bara setelah menimbang baik dan buruknya ke depan nanti."Terima kasih sudah memberikan masukan. Aku akan merelakan semua warisanku karena harta tidak dibawa mati," ujar Bryan menyetujui rencana Bara. Ia ingin melepaskan beban sebagai ahli waris keluarga Sadewa yang selama ini membuatnya tertekan dalam ketakutan.Tanpa memberitahu siapa pun, Bryan menjual satu persatu aset milik keluarga Sadewa. Mulai dari vila, mansion, pulau pribadi hingga saham. Kini seorang Billionaire dari Inggris yang memiliki perusahaan Sadewa Corp. Hanya kediaman Sadewa yang masih tersisa. Ia dan Bara sepakat tidak akan menj
"Aku ingin mengucapkan bela sungkawa secara langsung kepadamu dan Bara. Tapi sepertinya kehadiranku tidak tepat, maaf sudah mengganggu permisi," ucap Monica yang hendak pergi. "Tidak apa-apa Monica, terima kasih kamu sudah datang. Silahkan duduk!" cegah Bara yang menghargai kedatangan Monica sebagai seorang tamu. "Bilah, tolong buatkan minum ya!" serunya kemudian. Monica segera masuk dan menyalami semua orang yang ada di sana. "Dilanjut ya, kami mau siap-siap buat tahlilan nanti malam!" seru Mom Sandra yang segera meninggalkan tempat itu bersama Hans dan Pak Jamal. Bara juga segera menyusul dengan berkata, "Aku mau bantu Nabilah dulu, takut Robin nakalin adiknya!" Ia ingin memberikan kesempatan Bryan dan Monica bicara dari hati ke hati. Bryan kemudian mengajak Monica ke serambi rumah. Setelah mereka bicara sebentar, Monica pamitan untuk pulang."Mau ke mana Monica, kenapa buru-buru pulang?" tanya Bara yang datang bersama Nabilah sambil membawa suguhan. "Tidak apa-apa, aku turut
Setelah mendapatkan perawatan yang intensif, kondisi Bryan perlahan mulai membaik. Selama di rumah sakit, Bara selalu menemani dan mensuportnya. Agar Bryan siap menerima takdir dan semangat lagi untuk menjalani hidupnya. "Terima kasih sudah merawataku Kak!" ucap Bryan ketika baru saja masuk ke mobil dan meninggalkan rumah sakit. "Aku sudab memutuskan untuk pindah ke Singapura lagi. Banyak hal yang harus diselesaikan, bisa saja besok aku akan menyusul papi bukan?" ujar Bryan yang pasrah akan takdir hidupnya."Aku yakin kamu akan melakukan yang terbaik. Sekarang papi sudah tidak ada menikahlah dengan Monica. Dia masih menunggumu sampai saat ini!" saran Bara agar Bryan tidak patang asa menjalani kehidupannya. Namun, Bryan menolak usul Bara dan memberikan alasannya, "Aku dan Monica tidak akan bersatu lagi karena keluarganya minta lima puluh persen bagian harta keluarga Sadewa."Bara cukup terkejut mendengarnya dan bertanya, "Kenapa tidak kamu berikan?" "Aku tidak akan membiarkan mere
Bara langsung menghubungi Bryan melalui vidio call untuk memberitahu kalau ayah mereka sudah tiada. Tentu saja kabar itu membuat adiknya sangat terkejut dan syok. "Papi sudah tiada, tadi habis salat subuh beliau telah pergi," ujar Bara dengan suara yang bergetar. "Inalillahi wainnalillahirojiun, ya Allah aku baru mau terbang ke Singapura untuk menghadiri rapat komisaris. Habis itu ke Jakarta, menjenguk Papi. kenapa kakak nggak bilang kalau Papi sakit. Aku pasti pergi dari kemarin?" ucap Bryan dengan suara yang parau. Bara memberikan penjelasan, "Papi tidak sakit, aku pun tidak tahu kalau beliau mau berpulang. Cuma semalaman aku menemaninya yang tidak tidur. Ternyata Papi tidur menjelang pagi untuk selamanya." Mereka kemudian membahas di mana Sadewa akan dikebumikan. Akhirnya Kakak beradik itu sepakat ayah mereka dikuburkan di salah satu pemakaman elit di Indonesia saja. "Sepertinya kami tidak mungkin menguburkan setelah zuhur, kasihan papi kalau kelamaan. Jadi kemungkinan kamu t
Nabilah tampak terkejut ketika suaminya sudah pulang dari inggris, padahal baru dua hari. Namun, ia tidak berani bertanya karena Bara terlihat begitu lelah. Setelah istirahat dan makan baru mereka memulai pembicaraan."Kenapa sudah pulang, bagaimana kabar papi, Bang?" tanya Nabilah ingin tahu. "Papi baik-baik saja, Abang sudah pulang karena kita mau pindah rumah," jawab Bara yang membuat Nabilah terkejut. "Kita mau pindah ke mana Bang?" tanya Nabilah ketika mendengar keinginan Bara. Selama ini mereka menempati rumah Pak Jamal. "Ke rumah papi dan mami di Jakarta," jawab Bara yang segera menjelaskan alasannya. "Apakah Bilah siap dan bersedia membantu Abang?"Nabilah mengangguk seraya menjawab, "Insya Allah Bilah siap lahir batin mendukung dan menemani Abang untuk menjadi anak yang berbakti." Ia akan mengikuti ke mana pun Bara mengajaknya. "Ya sudah, kamu siap-siap ya, rapikan semua pakaian kita. Abang mau ngomong sama Bapak!" serunya kemudian. Bara segera menemui Pak Jamal dan men