Matahari sudah hampir terbenam ketika Atika menjatuhkan bok*ngnya ke atas bangku besi panjang di atap kantor. Walau bukan gedung tertinggi, tetapi kantor SJ Grup memiliki spot pemandangan yang menghadap langsung ke arah jajaran pegunungan yang mengitari kota. Sehingga sore ini, di depan mata Atika terhampar pemandangan unik perpaduan antara perkotaan dan alam dalam kanvas berwarna jingga. Suasana rembang petang menghipnotis Atika untuk sesaat, perempuan itu lalu menyesap kopi hangat dari gelas kertas di tangannya. Atika mendesah lega, selain menerima upah, inilah salah satu kenikmatan yang ia rindukan saat menjadi seorang pekerja, menikmati pergantian hari dengan segelas kopi setelah seharian bekerja keras. Secara keseluruhan, hari pertama Atika tidak begitu buruk. Separuh hari pertama, Atika memang seperti sedang diplonco habis-habisan. Namun, seusai rapat semua berjalan normal. Atika menerima tugas sama seperti rekannya yang lain, jika ia tidak mengerti maka teman-temannya tidak pe
"Aku tahu kamu akan bereaksi seperti ini," gerutu Elang seraya mengalihkan pandangan lurus ke depan.Rasa bersalah menggelayuti benak Atika, syarat Elang sebenarnya sangat sederhana. Tapi, rasanya sulit bagi Atika untuk mengabulkannya."Panggilan aku dan kamu terdengar kaku dan tidak sopan," sambung Elang. "Kita bukan lagi orang asing, tidak peduli aku lebih muda darimu, aku tetap ingin dipanggil dengan panggilan hormat oleh istriku sendiri."Atika tersentak. Tidak mengira bahwa sampai sedalam itu dampak sebuah nama panggilan bagi suaminya."Aku...aku, minta maaf," ujar Atika bingung.Lidahnya gatal ingin memanggil Elang dengan sebutan yang diharapkan pria itu. Tapi sungguh, bukan faktor perbedaan usia yang membuat Atika enggan memanggil Elang dengan kata 'Mas', Atika hanya tidak terbiasa untuk menyematkan panggilan sayang pada seseorang. Karena sudah lama sekali ia tidak memiliki seseorang yang spesial di hatinya.Elang diam termanggu sejenak, lalu sebuah bunyi berharmoni terdengar d
"Mau apa kamu ke sini?"Cindy tersenyum pongah dan berjalan perlahan mendekati Atika."Kamu tahu, kamu gak punya hak untuk mengatakan itu, Tika. Aku bisa bebas kapan saja datang ke tempat mana pun yang aku mau. Termasuk datang ke sini, kamu gak lupa kalau posisi yang kamu miliki itu sebenarnya punya siapa?"Elang menggebrak meja hingga semua benda yang ada di atasnya bergetar hebat."Aku sudah muak mendengar ancamanmu, Cindy! Tidak peduli dengan siapa dulu aku dijodohkan, yang menjadi istriku sekarang dan selamanya adalah Atika, kakakmu. Kamu harusnya paham itu!" Elang meraih pesawat telepon di atas meja kerjanya dan menekan tombol tiga. "Sambungkan dengan pos keamanan, ada pembuat onar di ruanganku....""Tunggu! Tidak perlu panggil satpam!" teriak seorang pria yang berlari tunggang langgang memasuki ruangan Elang.Sesampainya di dalam ruangan, pria itu lalu mengangsurkan kartu namanya pada Elang dan bicara dengan nafas yang masih tersengal-sengal, "Maaf, Pak. Saya Robby, manajer Cind
Elang memutar kemudi dan menepikan mobil ke dekat trotoar yang dipayungi rindangnya pohon Trembesi. Saat mesin mobil dimatikan, suasana semakin temaram membuat suara detak jantung Atika seperti diperbesar otomatis."Kamu mendengar percakapanku dengan Cindy?" bisik Atika lirih, kedua lututnya terasa lemas.Beruntung ia kini sedang duduk, kalau tidak mungkin Atika sudah ambruk seperti agar-agar. Namun tetap, Atika tidak dapat menghindari rasa gugup yang menyerangnya. Buru-buru Atika mengepalkan kedua tangan, menyembunyikan tangannya yang tiba-tiba gemetar hebat.Elang mengangguk pelan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Aku tidak berniat untuk menguping. Saat itu aku mencarimu karena ingin membicarakan pesta pernikahan kita, para pelayan bilang kamu ada di dapur, dan saat itulah aku mendengar pembicaraanmu dengan Cindy. Aku tahu mungkin kamu belum bisa membuka hatimu untukku, tapi aku tidak mengerti kenapa kamu bisa menjanjikan hal seperti itu pada Cindy. Aku kecewa,"Atika su
"Mbak, dulu waktu di sekolah Pak Daffa itu anak yang pintar atau bandel?" tanya Keyla tanpa ragu.Siang ini, Atika dan Keyla sedang makan siang bersama di sebuah warung makan yang terletak tak jauh dari gedung kantor. Sejak meninggalkan kantor, Atika memang sudah memiliki firasat kalau ajakan Keyla untuk makan siang bersama di luar pasti ada maksud terselubung. Namun, tetap saja Atika terkejut dengan sikap terus terang Keyla sekarang."Kami gak begitu dekat, hanya pernah satu kelas saat kelas dua SMA saja. Tapi, dari yang aku lihat, Daffa biasa-biasa saja. Gak bisa dibilang masuk ke golongan anak-anak pintar atau anak-anak nakal, biasa saja!" jawab Atika setelah berpikir sejenak. Atika tidak ingin hari-harinya di kantor lebih berat karena Keyla yang cemburu kalau tahu dulu ia dan Daffa pernah menjadi sepasang kekasih.Keyla menganggung-ngangguk pelan, dan kembali bertanya, "Tapi kayanya Pak Daffa itu pintar, ya. Dia lulusan Teknik Pangan. Aku dengar masuk jurusan teknik saja sudah su
"Apa menariknya layar kosong itu? Kamu sampai tidak menyadari kehadiran Om sejak tadi."Ardian merendahkan posisinya hingga sejajar dengan Elang yang duduk menghadap layar PC yang kini dalam kondisi mati. Berkali-kali Ardian menoleh ke arah Elang lalu kembali ikut memerhatikan layar berukuran 27 inch di depannya. Tidak ada yang aneh, justru bocah di sampingnya lah yang berperilaku tidak biasa sejak tadi pagi. Saat rapat, Elang lebih banyak diam. Seakan jiwanya terbang entah kemana, hanya raganya yang ada bersamanya. Lalu sekarang, sudah hampir sepuluh menit Ardian tiba di ruangan Elang hendak meminta persetujuan untuk proses produksi varian rasa sate terbaru mereka, tetapi lagi-lagi Elang seperti sebongkah pelepah pisang, tak merespon sama sekali."Lang, kamu sakit?" tanya Ardian khawatir sambil menempelkan punggung tangannya ke kening Elang tetapi segera ditepis Elang."Aku sehat!" jawab Elang sambil memberikan death glare ciri khasnya yang tak pelak membuat Ardian sedikit merinding.
"Mbak Tika, aku lupa!" seru Keyla menepuk pelan keningnya sendiri."Kenapa?""Ada artikel yang harus kuungah ke laman perusahaan, tapi berkasnya masih ada di komputerku di atas," lanjut Keyla panik sesekali melirik jam yang melingkar di tangannya. "Lima menit lagi harusnya sudah tayang. Mbak Tika bisa teruskan liputannya di sini sendirian, kan?"Atika bergidik ngeri mengingat ada Cindy di ruangan yang sama tanpa ada seorang pun yang akan membelanya."Kalau aku saja yang naik ke atas bagaimana?" usul Atika, lagipula kemarin ia pernah melakukan hal yang sama untuk Keyla. "Aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan di studio.""Seriusan? Aku gak enak harus buat Mbak Tika naik turun lantai."Atika berusaha keras untuk tidak mengerlingkan mata sebab kalimat Keyla sangat berbanding terbalik dengan apa yang gadis ini lakukan kemarin saat belum tahu Atika mengenal Daffa. Walau sedikit kesal dengan sikap Keyla yang mudah ditebak, Atika harus menahan diri dan melakukan apapun untuk memin
"Kenapa buru-buru?" Cindy tiba-tiba saja muncul dari kelokan saat Atika hendak memasuki studio, membuat Atika berhenti berlari dan membeku di tempat."Kamu, bukannya kamu harus ada di dalam?"Atika menoleh ke kanan dan ke kiri mencari bantuan, namun tidak ada siapa-siapa di lorong ini. Bahkan ketukan heels Cindy yang beradu dengan lantai marmer seperti diperbesar menggunakan toa di telinga Atika. Adik tirinya itu sudah melepaskan topeng ibu perinya, yang Atika lihat sekarang adalah Cindy yang biasa ia temui di rumah, Cindy yang sering menghadiahi Atika dengan berbagai jenis pukulan, lemparan dan tendangan di sekujur tubuhnya."Aku sengaja keluar cari kamu, Tika," jawab Cindy meraih kedua lengan Atika seperti hendak memeluknya namun tak berapa lama, gadis itu mencengkeram lengan Atika hingga kuku-kukunya seperti menusuk ke dalam tulang. "Aku cuma mau nyapa kakakku tersayang, gak boleh?"Atika berusaha untuk tidak meringis atau menunjukkan rasa sakit, karena itu yang Cindy inginkan seka