“Jika tetap ingin pergi, maka pergilah! Kupastikan ini terakhir kalinya kita bertemu!” Teriak So Hee sebelum ia berlari pergi meninggalkan Kim Jae Hee sendirian di aula sekolah. Kim Jae Hee tak berniat sedikit pun mengejar So Hee. Bukan hanya Kim So Hee yang sedang kesal saat ini, Kim Jae Hee merasa ia yang lebih berhak kesal dibanding So Hee. Ia kesal pada Kim So Hee yang masih bersikap egois padahal usianya sudah menginjak 20. Acara reuni SMA mereka akar masalah pertengkaran mereka, sejak bulan lalu So Hee selalu melonjak kegirangan setiap membicarakan reuni SMA. So Hee bahkan bersedia menjadi sukarelawan agar acara itu bisa berjalan lancar. Sisa waktunya yang tidak digunakan untuk kuliah dihabiskan So Hee mengelilingi hampir seluruh penjuru Seoul, mengkoordinasikan semua pihak yang berhubungan dalam acara itu. Bobot tubuh So Hee sempat turun drastis karenanya, namun Kim Jae Hee tak mampu mencegah So Hee, karena sama sepertinya, So Hee akan semakin membangkang saat dilarang.Sepanj
Aku merapikan ikatan rambutku saat hampir mendekati gerombolan fans Kim Jae Hee yang menunggu di depan gedung teater tempat Kim Jae Hee tampil hari ini. Lee Hye Na dan Jang Ga Eun, dua remaja yang baru kukenal tadi berjalan di depanku. Setelah sedikit mencari informasi, dua gadis itu akhirnya tahu jadwal keseluruhan Kim Jae Hee mulai hari ini hingga minggu depan. Dan kami, memutuskan untuk terus mengikuti Kim Jae Hee. Aku sadar aku bertindak terlalu jauh, tapi yang kulakukan kali ini karena hatiku yang mengatakannya. Aku hanya ingin melihat Kim Jae Hee, dan melihat bagaimana Kim Jae Hee saat melihatku. Setidaknya, aku ingin membuktikan bahwa waktu yang sempat kami habiskan cukup berarti untuk dipertahankan. “Onnie, kemari! Kita harus berbaris. Jangan sampai membuat fans lain marah.” Hye Na menarik lenganku dan memosisikanku di tengah di antara ia dan Ga Eun. Ga Eun lalu mengeluarkan kaus bergambar kartun Chibi Kim Jae Hee yang memenuhi seluruh bagian depan kaus dan menyodorkannya pad
Hari ini, kegilaanku terus berlanjut. Karena semalam Ga Eun dan Hye Na tak sempat bertemu Kim Jae Hee mereka bersikeras agar aku mau kembali mengikuti jadwal Kim Jae Hee. Kali ini aku tidak memakai atribut apa pun yang berbau Kim Jae Hee, mereka kelihatan kecewa tapi aku tak mau mengambil resiko membuat Kim Jae Hee semakin muak padaku. Tapi sungguhkah Kim Jae Hee tidak suka melihatku, ekspresinya sulit dibaca. Aku hanya melihat kesedihan di matanya, mungkin ia sedih melihatku hancur.“kau juga harus menjaga kesehatanmu.” Setidaknya kalimat Kim Jae Hee semalam, membuatku yakin Kim Jae Hee masih mengkhawatirkan keadaanku.“Cha, Kita sudah sampai!” Kata Ga Eun, taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah bergaya kontemporer. Setelah membayar ongkos taksi, aku ikut turun menyusul Ga Eun dan Hye Na. “Wah, kita beruntung, belum ada yang datang. Bebas pilih tempat!” Seru Hye Na, ia lalu mengeluarkan tikar tipis dari ranselnya.“Ini dimana?” Tanyaku.“Aish! Benar, kita belum bila
“Key, baju nya ganti ah jangan yang itu terus.” Mama mengomentari penampilanku. Sontak aku berhenti di ambang pintu dan melihat penampilanku sendiri di kaca jendela. Tidak ada yang aneh, biasa saja hanya celana bahan berwarna hitam dan kemeja merah bata.“Kenapa diganti, yang ini juga bagus.”Aku berputar-putar di depan mama memperlihatkan penampilanku dari depan lalu ke belakang.“Warnanya sudah kusam, lebih baik yang lain. Terus kamu gak dibedak?”Aku menyentuh wajahku, sedikit berminyak. Aku berlari ke depan cermin mematut bayanganku. Tanpa sengaja tatapanku jatuh pada foto Kim Jae Hee yang kutaruh di samping cermin. Aku mengusap lembut foto itu, foto yang kudapat setelah bersusah payah, berdesak-desakkan dengan ratusan penggemar lainnya.Kuyakini aku sanggup bertahan meski kau tak pernah di sampingku. Waktu yang membuatku bertahan. Aku berhasil menguasai kembali apa yang kumau, sama seperti sebelum aku sadar aku membutuhkan kehadiran mu, aku mampu bertahan sendiri. Kini aku percay
"Neng, jangan lupa nanti tanggal dua belas kontrakannya dilunasi, ya. Sekalian sama tunggakan dua bulan kemarin!"Atika yang baru saja membuang bungkusan popok kotor sekali pakai ke tong sampah tersentak kaget. "Eh, maaf bukan maksud ibu bikin si Neng kaget!" ujar ibu pemilik rumah petak tempat Atika mengontrak satu tahu terakhir. "Tapi, ibu gak tega kalau datang ke kamar si Neng langsung, takut bangunin adek Dian."Atika tersenyum singkat dan mengangguk paham. "Iya, Bu gak apa-apa. Kebetulan saya lagi agak melamun tadi. Uang kontrakannya akan saya usahakan, ya Bu. Saya minta maaf sekaligus terima kasih, ibu mengijinkan saya tetap tinggal padahal saya bukan penyewa yang baik.""Aduh, si Neng. Jangan bilang gitu, ibu malah tambah gak enak. Neng Tika biar telat bayar kontrakan tapi sering bantu bersihkan rumput-rumput liar, pilah-pilah sampah, bantu kebersihan lingkungan kontrakan ini. Ibu sebetulnya mau gaji Neng untuk itu, tapi tahu sendiri kalau ibu juga punya uang dari mana." Ibu p
"Atika, Papa akan menikahkanmu dengan pria pilihan Papa dan Mami. Sekarang dia dalam perjalanan ke sini untuk melamarmu."Niat hati ingin menyapa ayahnya yang terbaring lemah karena stroke yang melanda tubuhnya, Atika justru dikejutkan dengan ucapan yang tak pernah disangka olehnya.Mencoba meredam rasa terkejutnya, Atika menghampiri ayahnya, dan duduk di sampingnya. Tangan wanita itu sigap menyentuh tangan sang ayah, dan memijatnya dengan halus."Pa, Tika tahu, kalau Papa kepikiran sama umur Tika yang udah gak muda lagi, tapi, ini terlalu cepat dan tiba-tiba. Tika perlu mengenal pria itu lebih dulu, Pa." ucap Tika, menatap sosok ayahnya dengan sendu. "Jangan khawatir, pria itu orang baik-baik. Mami dan ibunya dulu sahabat dekat, jadi kamu gak perlu khawatir dengan asal-usul keluarganya," kata ayahnya berusaha menenangkan.Tetapi yang terjadi sebaliknya. Atika justru semakin tak tenang mengetahui bahwa calon suami pilihan ayahnya adalah anak dari sahabat Mami Anyelir.Atika pernah me
"Seneng banget ya, yang mau nikah. Tapi gue baru inget, Mami dulu pernah cerita kalo Tante Hanum sama anaknya itu diusir sama keluarga besar mereka soalnya udah bikin aib besar. Jadi ati-ati aja, siapa tahu Elang sebenarnya residivis."Malam itu, jarum jam sudah menunjuk ke angka tiga, tetapi Atika belum bisa memejamkan mata. Kotak merah maroon mungil di atas meja riasnya berubah seukuran kulkas dua pintu di mata Atika. Tetapi karena ocehan Cindy begitu Atika keluar dari kamar Papa, Atika memutuskan menaruh cincin bermata ruby dari Elang ke dalam kotaknya lagi. Belum lagi bayangan Elang yang berlutut ala drama telenovela jadul tak juga menghilang dari pelupuk matanya. Kenyataan bahwa beberapa jam lagi Atika akan menjadi istri seseorang, membuatnya berguling-guling resah dan menelepon Hani, sahabatnya. "Hah? Tiba-tiba nikah? Sama orangnya Tante Anyelir!? Gila kamu! Pokoknya, aku gak setuju kamu menikah dengan orangnya tante. Lihat saja besok, aku gak akan diam saja. Besok aku akan bu
“SJ Grup? Gila, itu kan perusahaan yang produksi sate instan kesukaan Mas Aris! Mereka juga punya dua ribuan lebih waralaba minimarket. Suami kamu sekarang pewaris tunggalnya, ini bukan durian runtuh tapi sekebon durian runtuh semua!” Hani berjalan hilir mudik di kamar Atika sambil menggeser layar ponselnya, lalu berhenti dan menatap kosong ke arah Atika. “Kamu sekarang orang tajir, Tika!”Alih-alih membalas ucapan riang Hani, Atika merebut ponsel Hani dan menggulirkan berita tentang perusahaan yang ‘katanya’ sekarang menjadi milik suaminya. Bukan berita tentang berapa besar bisnis dan aset yang dimiliki sang almarhum mertua yang menarik perhatian Atika, melainkan berita tentang kecelakaan pesawat pribadi yang menimpa keluarga Elang. Peristiwa itu terjadi kemarin pagi di atas perairan Belanda. Ayah, Ibu tiri serta dua saudari tiri Elang ada di dalam pesawat itu. Mereka sedang dalam perjalanan berlibur ke luar negeri. Tiba-tiba pesawat hilang kontak dan beberapa jam kemudian, pesawat