"Seneng banget ya, yang mau nikah. Tapi gue baru inget, Mami dulu pernah cerita kalo Tante Hanum sama anaknya itu diusir sama keluarga besar mereka soalnya udah bikin aib besar. Jadi ati-ati aja, siapa tahu Elang sebenarnya residivis."
Malam itu, jarum jam sudah menunjuk ke angka tiga, tetapi Atika belum bisa memejamkan mata. Kotak merah maroon mungil di atas meja riasnya berubah seukuran kulkas dua pintu di mata Atika. Tetapi karena ocehan Cindy begitu Atika keluar dari kamar Papa, Atika memutuskan menaruh cincin bermata ruby dari Elang ke dalam kotaknya lagi. Belum lagi bayangan Elang yang berlutut ala drama telenovela jadul tak juga menghilang dari pelupuk matanya.Kenyataan bahwa beberapa jam lagi Atika akan menjadi istri seseorang, membuatnya berguling-guling resah dan menelepon Hani, sahabatnya.
"Hah? Tiba-tiba nikah? Sama orangnya Tante Anyelir!? Gila kamu! Pokoknya, aku gak setuju kamu menikah dengan orangnya tante. Lihat saja besok, aku gak akan diam saja. Besok aku akan buat pernikahan kamu batal."
Mengira dia akan mendapat dukungan, Atika tak bisa berkata-kata ketika dia menceritakan perjodohan dan rencana pernikahannya. Bahkan, sahabatnya itu menutup panggilan secara sepihak. Tak ingin kembali pusing, Atika pun memejamkan matanya.
Sementara itu, di kamar lain Elang juga masih sama terjaganya dengan Atika. Pria itu duduk bersandar pada kepala tempat tidur. Namun berbeda dengan Atika yang bingung dan ketakutan, sebaliknya Elang belum tertidur karena hatinya penuh dengan rasa syukur. Bahkan rasa lelah karena perjalanan kereta selama dua puluh satu jam lebih, sirna begitu melihat calon istrinya. Elang kini hanya merasakan hangat di hatinya yang menjalar ke seluruh tubuhnya.
“Akhirnya, Elang menemukannya, Buk. Besok, kami akan segera menikah,” ucap Elang lirih seraya menatap haru selembar foto usang berwarna kekuningan.
“Elang berjanji akan menepati permintaan terakhir Ibuk, Elang akan menjaga dan mencintai istri pilihan Ibuk sepenuh hati.”
***
“Penghulunya baru datang, kamu tunggu saja di kamar. Nanti kalau sudah sah baru keluar. Papamu yang minta, aneh-aneh saja!” kata Mami Anyelir saat Atika mematut bayangannya sendiri di cermin, wajahnya terlihat semakin pucat dengan pakaian serba putih yang ia kenakan kini.Atika hendak bertanya apa Mami Anyelir mau meminjamkan beberapa peralatan make-upnya tetapi melihat wajah Mami Anyelir yang tertekuk sempurna, Atika mengurungkan niatnya. Biarlah, Atika hanya akan memulas wajahnya dengan bedak yang biasa ia pakai untuk sehari-hari. Lagipula, selesai akad Atika akan kembali ke rutinitas hariannya seperti biasa. Bahkan kalau sempat, Atika berniat datang ke lokasi wawancara kerja yang harus ia datangi.“Kamu harus tahu, Hanum-ibunya Elang itu sahabat Mami sejak kecil. Dalam adat kebiasaan asal kelahiran Mami, melanggar janji perjodohan itu pantang untuk dilakukan. Elang....”“Asalnya dijodohkan dengan Cindy, Tika sudah tahu, Mi,” potong Atika segera. "Tapi, Cindy dan Mami memutuskan untuk menikahkan Elang dengan Tika, karena usia Tika.""Baguslah kalau sudah tahu, jadi kamu harus ingat pengorbanan Mami dan Cindy, ya."Atika mengangguk dan menelan ludahnya susah payah, berat sekali rasanya untuk mengucapkan terima kasih pada Mami Anyelir atau Cindy."Atika, aku tarik lagi kata-kataku!" pintu kamar Atika tiba-tiba dibuka lebar dan Hani muncul di ambang pintu. Perempuan bermata bulat itu mengerjap kaget melihat Mami Anyelir ada di dalam kamar. Dengan cepat Hani memasang wajah penuh senyum."Jadi ceritanya gak jadi batalin pernikahanku, kenapa?" tanya Atika teringat percakapan mereka beberapa jam lalu."Aku berubah pikiran. Aku mendukung seratus persen kamu menikah sama Elang!""Secepat itu?"Hani mengangguk cepat seperti boneka mainan yang biasa dipasang di dasbor mobil."Aku sudah lihat calon suami kamu, Tika. Sumpah, gak ada kata lain selain 'ganteng banget'! Sudah kulitnya putih, pakai baju putih-putih pula, kamu gak perlu nyalain lampu lagi nanti kalau malam, suamimu udah cukup menerangi hingga sanubari!"
"Lebay!""Aku tahu. Sekarang, aku ikut bahagia kamu mau menikah. Aku tahu Tuhan pasti punya rencana indah buat kamu, Tika. Tapi tetap aku gak nyangka bakalan seindah ini, kamu memang pantas dapetin kisah paling romantis sedunia. Apalagi lamaran Elang yang kamu bilang kemarin itu, Mas Adit aja belum pernah loh, treat aku seromantis itu waktu pacaran. Aku iri tapi aku bahagia buat kamu!""Kamu pikir ini indah, ya Han? Tapi kok aku malah takut.""Ya jelas indah lah, cinta. Kalau Elang seganteng yang kamu bilang, dan dia lebih muda ditambah dengan janjinya di depan orang tua kamu, apalagi yang kurang? Laki-laki itu yang dipegang omongannya, dia gak akan semudah itu obral janji di depan orang tua kamu.""Korban drakor kamu, Han! Tadi subuh kalau gak salah ada yang ngancam mau batalin pernikahan, deh," cibir Atika."Tapi seriusan, Tika. Dari cerita kamu, aku punya firasat Elang pria baik, inget gak firasatku waktu kamu kenalin aku sama Daffa? Aku langsung gak suka liat gaya Daffa yang sok kecakepan itu, dan terbukti, kan? Dia ninggalin kamu yang udah sokong dia selama delapan tahun buat cewek yang baru dia kenal dua bulan."Inginnya Atika membantah kalimat Hani tentang Daffa, tapi sekarang bukan saat yang tepat. Hani kemungkinan besar akan beranggapan bahwa Atika membela Daffa dan masih belum bisa menghilangkan bayangan pria itu."Masalahnya, Cindy bilang aku cuma pengganti dia.""Jangan didengar! Cindy itu cuma cemburu. Kamu bilang tadi Elang kerjanya serabutan, kan? Mana mau Mami Anyelir punya mantu yang kerjanya belum mapan, tapi dalam hatinya Cindy tetep pengen nikah sama cowok seganteng Elang!"Atika mengamini dalam hati perkataan Hani. Tanpa perlu dijelaskan oleh Hani pun, Atika sudah dapat menduga kalimat-kalimat sinis Cindy memang berasal dari rasa penyesalan serta kecemburuan Cindy padanya. Bagaimanapun Cindy tak bisa menafikan bahwa Elang memang menarik. Namun, rasanya masih ada yang mengganjal dalam hati Atika."Tapi Cindy bilang ada kemungkinan Elang...."Atika menggantungkan kalimatnya bingung mencari padanan kata yang lebih halus daripada mantan napi.
"Udahlah, jangan dipikirin omongannya Cindy. Kamu yang lebih tahu selicik apa adik tirimu. Lagipula, rasa ragu menjelang pernikahan itu wajar adanya. Aku aja yang pacaran lima tahun sama Mas Adit mendadak ragu sebelum nikah, apalagi kamu yang baru ketemu beberapa jam! Pelan-pelan aja, Tika.""Iya sih....""Tunggu, seriusan kamu mau tampil kaya gini! Mana ada pengantin yang mirip ibu melahirkan kehabisan darah? Benar-benar keterlaluan keluarga kamu itu!" Hani yang baru menyadari wajah polos Atika, segera menumpahkan isi tas tangannya dan memoles penampilan sahabatnya semampu yang ia bisa. "Memang sih, akad sederhana tapi gak begini juga!" keluh Hani sebal. "Padahal Cindy pasti punya set make up lengkap di kamarnya, dan kamu itu bisa dibilang bantu dia lepas dari perjodohan tapi kok gak ada empatinya sama sekali.""Maaf, ya. Aku selalu merepotkan kamu, Han."Hani berhenti memulas bibir Atika dengan liptint, dan berkata dalam, "Jangan mulai! Aku benci adegan sedih gini."Tanpa aba-aba, Atika meraih Hani ke dalam pelukannya."Thank you, Han. Aku gak tahu bakal bisa lewatin semua ini kalau gak ada kamu!" ucap Atika teredam bahu Hani.
"Aku tahu, makanya kamu harus berjanji untuk hidup lebih baik dan bahagia mulai sekarang, ya!" kata Hani terisak pelan, rasa sedih dan haru yang sejak tadi ditahan akhirnya tak mampu ia bendung lagi. “Berhenti terus berkorban untuk orang lain, kamu harus mulai memikirkan kebahagiaan kamu sendiri.”
"Iya, aku janji. Aku akan berusaha hidup lebih baik."
Pintu kamar membuka tiba-tiba memperlihatkan Cindy yang tengah berkacak pinggang. Gadis itu terlihat memukau dengan gaun panjang putih tanpa lengan, membuat orang-orang bisa salah mengira kalau Cindy adalah pengantin perempuan hari ini.
“Suami Lo udah nunggu di bawah, Papa minta kalian turun sekarang!”
Atika mengangguk dan menarik lengan Hani bersamanya, perasaan Atika mulai tak keruan mengingat sekarang statusnya telah berubah menjadi istri seseorang.
“Mulutnya mingkem, say. Bener kan, yang kubilang. Suami kamu manglingi banget. Minimal bisa cuci mata terus setiap hari,” bisik Hani begitu mereka di lantai bawah.
Atika menyisir seisi ruang tamu ayahnya, hanya ada sedikit tamu yang datang. Selain pengurus RT dan RW, hanya beberapa tetangga kanan kiri yang hadir. Atika berusaha keras tidak menjatuhkan pandangan pada Elang yang tampak paling bersinar.
“Makan tuh ganteng, hidup itu harus realistis. Setelah nikah kamu masih harus banting tulang cari uang, selamat ya!” desis Cindy menimpali dari belakang.
Atika diam tak membalas baik ucapan Hani apalagi Cindy, karena perhatiannya dicuri oleh sebuah mobil mewah yang tiba-tiba berhenti tepat di depan rumahnya.
“Tika, maju ke sini, Nak!” pinta ayahnya yang duduk di kursi roda di samping Elang. “Salim dulu sama Elang, sekarang kalian sudah sah menjadi suami istri.”
Atika tak menolak, ketika bibirnya menyentuh punggung tangan Elang, bersamaan dengan itu Elang mencium puncak kepala Atika.
Perasan hangat dan magis yang tak pernah Atika rasakan tiba-tiba menjalar memenuhi tubuh Atika. Mungkin ini yang dimaksud dari arti bahwa pernikahan adalah Mitsaqan Ghalidzan, yaitu sebuah ikatan perjanjian agung, dimana subjek perjanjian bukan hanya antara wali dan pengantin, melainkan langsung terikat dengan Sang Maha Pencipta. Tanpa bisa Atika hindari, air matanya merembes membasahi tangan Elang.
"Saya sangat bersyukur Tuhan mempertemukan kita kembali, Atika. Saya berjanji, saya tidak akan membiarkanmu menangis lagi," bisik Elang sembari mengusap air mata di pipi Atika dengan kedua ibu jarinya.
"Barakallah, lihat tanpa pacaran pun pernikahan bisa seromantis ini!" ujar penghulu yang duduk di samping ayahnya. "Pak Burhan, lepas sudah satu beban di pundak Bapak sekarang. Nak Atika sudah mendapatkan suami yang Insya Allah sangat menyayanginya."
“Alhamdulillah!” Serempak orang-orang di dalam ruangan berseru ikut merasakan haru yang Papa rasakan.
“Maaf mengganggu. Elang, ada yang hendak saya sampaikan.” Suara serak seorang pria paruh baya berjas hitam mahal dari ambang pintu merebut perhatian semua orang.
“Siapa dia, Lang?” tanya ayahnya.
“Paling Debt Collector,” ucap Cindy mengejek, wajahnya terlihat sangat puas.
Atika mengalihkan pandangan pada suaminya, rahang Elang terlihat mengeras. Jelas Elang tidak suka pada kehadiran pria asing itu, apa benar yang Cindy katakan?
“Ada perlu apa? Kita bicarakan nanti saja.” Elang berkata dingin.
“Tidak bisa, kita harus bicara sekarang juga. Ayah dan semua keluargamu meninggal dalam kecelakaan pesawat, Lang.”
“Aku tahu. Aku ikut berduka. Tapi aku tidak ada keinginan untuk datang melayat.”
“Kamu bisa mengabaikan pemakaman mereka, tapi kamu tidak mengabaikan orang-orang yang bekerja dengan ayahmu. Secara hukum, sekarang kamu pewaris tunggal SJ Grup, Lang.”
“SJ Grup? Gila, itu kan perusahaan yang produksi sate instan kesukaan Mas Aris! Mereka juga punya dua ribuan lebih waralaba minimarket. Suami kamu sekarang pewaris tunggalnya, ini bukan durian runtuh tapi sekebon durian runtuh semua!” Hani berjalan hilir mudik di kamar Atika sambil menggeser layar ponselnya, lalu berhenti dan menatap kosong ke arah Atika. “Kamu sekarang orang tajir, Tika!”Alih-alih membalas ucapan riang Hani, Atika merebut ponsel Hani dan menggulirkan berita tentang perusahaan yang ‘katanya’ sekarang menjadi milik suaminya. Bukan berita tentang berapa besar bisnis dan aset yang dimiliki sang almarhum mertua yang menarik perhatian Atika, melainkan berita tentang kecelakaan pesawat pribadi yang menimpa keluarga Elang. Peristiwa itu terjadi kemarin pagi di atas perairan Belanda. Ayah, Ibu tiri serta dua saudari tiri Elang ada di dalam pesawat itu. Mereka sedang dalam perjalanan berlibur ke luar negeri. Tiba-tiba pesawat hilang kontak dan beberapa jam kemudian, pesawat
"Kamu adalah ahli waris golongan kedua. Karena semua anggota keluarga yang ada dalam golongan pertama telah tiada, secara hukum sekarang kamu adalah ahli waris satu-satunya dari Barata Sukma."Ardian, salah seorang kepercayaan Barata menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Elang dan melanjutkan, "Amplop ini berisi rincian harta warisan yang akan kamu miliki. Rapat dewan direksi untuk mengukuhkan posisimu akan diadakan besok siang. Rapat itu hanya formalitas semata, karena almarhum ayahmu masih jadi pemegang saham utama tetapi Andini bersikeras menentang kehadiranmu.""Berikan saja apa yang diminta perempuan tua itu. Aku tidak tertarik masuk ke dalam keluarga itu lagi!" Elang mengembalikan amplop coklat tadi tanpa merasa perlu membukanya.Ardian tersenyum paham dan mengangguk. "Aku mengerti kamu masih dendam. Tapi, kamu sudah jadi pria dewasa sekarang, berpikirlah lebih rasional. Banyak orang yang menggantungkan hidup di SJ Grup, kamu tentu masih ingat tabiat tantemu, bukan? Tidak mung
“Bangun!” kata Elang tegas, membuat Atika cepat membuka mata. Jantungnya berdetak kencang serasa ditarik paksa keluar, dan Atika tak dapat mengabaikan rasa ngilu di sekujur tubuh, terutama di bagian paling privasinya yang kini berdenyut perih. Atika menahan nafas teringat kembali apa yang menimpanya beberapa saat lalu. Atika dirudap*ksa oleh suamiya sendiri. Meskipun mereka telah sah menjadi suami istri, Elang sama sekali tidak merasa perlu meminta persetujuan Atika saat menghampirinya. Pria itu memperlakukan Atika tak lebih dari seorang perempuan pemuas nafsu belaka. Bahkan, tak ada kasih sayang atau kelembutan dalam setiap sentuhan yang Elang berikan. Atika mengerti, Elang tentu marah mendengar masa lalu Atika. Namun tetap saja tidak menjadi alasan pembenaran untuk perlakuan kasar yang Elang lakukan. Belum genap satu hari Atika menjadi istri Elang, sudah tergambar jelas kehidupan pernikahannya kelak bersama pria ini. “Setelah ini siapkan barang-barang yang perlu kamu bawa. Nanti
Elang meraih ponselnya dan mengangkat panggilan yang baru saja berdering, sementara Atika masih merasa melayang. Kupu-kupu sepertinya beterbangan dengan riang di perutnya. Mulai sekarang Atika harus selalu waspada jika sewaktu-waktu Elang berubah agresif seperti tadi, jangan lupakan berapa usia suaminya sekarang, hormon ‘kelaki-lakian’ Elang tengah berkembang pesat. “Aku tidak bercanda, Om. Kami akan pindah malam ini, bahkan kalau bisa secepatnya,” kata Elang pada ponselnya, pria itu melirik sekilas Atika. “Om tidak perlu tahu detailnya, yang jelas aku ingin segera membawa istriku keluar dari rumah ini. Terlalu banyak pengaruh buruk untuknya di sini.” Atika membeliak tak percaya mendengar ucapan Elang. “Bagus, aku tunggu!” “Apa maksudnya pengaruh buruk? Baru satu hari kamu sudah berani mengejek keluargaku!” serobot Atika begitu Elang tidak lagi bicara dengan ponselnya. “Dasar Naif!” decak Elang tak sabar, pria itu berbalik dan meraih tas ranselnya. “Aku tidak akan berdebat untuk
“Kamu tidak keberatan kita satu kamar, kan?”Atika tahu Elang tidak bertanya, sebaliknya pria itu hanya menegaskan apa keinginannya.“Terserah, aku gak peduli,” jawab Atika masih sambil menaruh pakaian yang ia bawa dari rumah ke dalam lemari yang besarnya hampir memenuhi satu sisi dinding kamar. “Kalau bukan karena alasan sentimental, kamu boleh membuang baju-baju itu. Sepertinya mereka terlalu kontras dengan baju yang disiapkan Om Ardian,” kata Elang saat Atika terdiam menatap isi lemari mereka. Sudah tiga kali Atika terlihat tak nyaman begitu menginjakkan kaki di rumah pemberian ayah Elang. Pertama, ketika Rika, kepala asisten rumah tangga menyambut mereka di halaman tadi. Atika hampir saja terjatuh karena tersandung kakinya sendiri saat Rika hendak membawakan tote bag milik Atika. Kedua, saat salah seorang pelayan yang entah sengaja atau tak sadar mengucapkan kalimat, “Lebih tua, ya.”Semenjak itu, Atika terus melihat ujung sepatunya. Elang bersumpah, setelah ini ia akan mencari
“Benar yang dikatakan orang-orang, percuma susah payah memungut anjing liar, pada akhirnya mereka akan selalu kembali pada kebiasaan aslinya!”Suara cempreng dan melengking menyambut Atika dan Elang di pintu gerbang rumah. Atika terpaksa harus memicingkan mata agar dapat melihat jelas siapa yang berdiri di ambang pintu, karena gemerlap perhiasan yang dikenakan perempuan itu berkolaborasi meriah dengan cahaya lampu gantung dari dalam rumah, membuat Atika seperti sedang melihat ke arah lampu 200 Watt.“Sungguh memalukan! Bagaimana bisa pemilik SJ Grup malah makan di tepi jalan seperti seorang gelandangan? Walau rindu pada kebiasaan lama, tapi berusahalah menahan diri! Jangan buat orang lain malu akan tingkahmu!”“Apa yang Tante lakukan di sini?” tanya Elang tanpa basa-basi, refleks pria itu menarik Atika ke belakang punggungnya.“Cih! Dasar bocah congkak! Baru satu hari jadi pewaris, sudah besar kepala! Kalau bukan atas usulku, namamu tidak mungkin ada di dalam surat warisan itu!”Elang
“Nyonya, biar kami saja yang beberes. Ini tugas kami,” ucap pelayan berambut ikal seraya merebut gagang sapu dari tangan Atika. “Gak apa-apa. Aku gak sengaja memecahkan vas bunga ini, kalian lakukan pekerjaan yang lain saja.” Atika hendak kembali merebut sapu tapi sapu itu tiba-tiba berpindah ke tangan orang lain.“Kami mohon kerja sama Anda, Nyonya. Sudah tugas kami membersihkan rumah ini, kalau Nyonya ingin melakukannya sendiri, itu sama saja artinya Nyonya ingin memecat kami,” kata Rika tegas.Suara kaku kepala asisten rumah tangga itu membuat bulu kuduk Atika meremang. Secara hierarki, Rika adalah orang yang bekerja pada Atika tetapi pembawaan Rika membuat Atika menciut seketika.“Aku memang tidak cocok jadi bos,” batin Atika.“Bersihkan pecahan kacanya, jangan sampai ada yang tersisa!” perintah Rika pada asistennya, lalu menoleh pada Atika.“Nyonya, tadi Pak Elang menitipkan pesan agar Nyonya segera bersiap untuk makan siang bersama di luar dan Pak Elang juga bilang untuk menyal
"Ada apa?" tanya Elang ketika Atika hanya diam tak menjawab. "Kamu tidak suka kita terus tinggal di sini?" Atika menaruh tangannya ke atas pangkuan, sebenarnya sejak hari pernikahan mereka ada pertanyaan yang bercokol di benak Atika, tetapi ia belum mendapatkan kesempatan yang tepat menanyakannya langsung. Sepertinya sekarang waktunya. "Ada satu hal yang ingin aku tahu darimu." "Tanyakan saja, aku suka kamu mulai penasaran tentangku." "Sebenarnya apa...." Baru saja Atika hendak bertanya, ponsel Elang berdering keras menginterupsi perkataan Atika. Tanpa berpikir Elang menekan tombol tolak dan berkata, "Lanjutkan." “Terima saja teleponnya, siapa tahu itu penting,” ujar Atika, sekilas ia melihat nama Ardian di layar ponsel Elang. “Tidak ada yang lebih penting, kita sedang bicara sekarang. Lanjutkan.” “Jantungku, jantungku...aku mohon berhenti berulah!” batin Atika mengutuki jantungnya yang tak berhenti menari sejak memasuki kamar hotel. “Itu, apa gak ada yang menunggu kamu di d