“Bagus, aku tahu kamu ada di sini! kenapa tidak menjawab panggilanku? Oh, tidak maafkan aku!” Ardian berdiri membeku di ambang pintu melihat pemandangan yang seharusnya tak ia lihat sekarang. Begitu pula dengan Atika yang segera bangkit bangun dari kursi menjauhi Elang. Jangan tanyakan seperti apa wajah Atika sekarang, kalau saja Atika bisa berubah menjadi hewan, Atika ingin berubah jadi undur-undur agar bisa bersembunyi di bawah tanah sekarang juga.“Ada apa Om ke sini?” tanya Elang ketus, tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya.“Aku sudah mendapatkan informasi yang kamu cari. Tapi sepertinya kita tidak bisa membicarakannya sekarang.”Atika memahami dengan cepat maksud perkataan Ardian, ia meraih tas tangannya.“Kalian bicara saja di sini, aku akan pulang lebih dulu.”“Tidak, kamu tunggu di sini, Tika. Om Ardian bisa katakan sekarang saja,” kata Elang menahan pergelangan tangan Atika.Ardian menghela nafas panjang, mulai kesal melihat tingkah Elang yang kekanak-kanakan. Sepertiny
"Aku sudah menemukan orang yang kamu cari," ujar Ardian setelah Atika menghilang di balik pintu. Pria itu memperlihatkan ponselnya pada Elang. "Kamu harus mempersiapkan diri, musuhmu ternyata lebih dekat dari yang kamu duga. Dia manajer pengembangan produk yang baru."Elang menelusuri data yang diberikan Ardian. Semakin lama Elang membaca, semakin dalam kerutan di kening pria itu. "Pecat atau pindahkan dia ke luar kota secepatnya," perintah Elang kemudian menaruh ponsel Ardian ke atas meja."Aku tidak bisa menjanjikannya.""Kenapa? Seharusnya itu hal yang mudah, kan.""Mudah kalau Daffa bukan karyawan yang punya banyak prestasi. Bukannya sudah aku cantumkan terobosan apa saja yang pernah Daffa buat? Hampir semua produk kita yang laris di pasaran, buah ide Daffa," jelas Ardian. "Baru dua bulan lalu Daffa dipromosikan jadi manajer pengembangan produk di kantor pusat. Kalau kita memecatnya atau membuat Daffa dimutasi tanpa alasan yang jelas, Serikat pekerja tidak akan diam saja.""Lalu
Debaman pintu yang dibanting tertutup menghentikan langkah Atika. Atika menghela nafas lelah, sepertinya ia belum terbiasa dengan emosi Elang yang labil. Untung saja tadi Atika masih memiliki jarak yang cukup dengan pintu, kalau tidak mungkin hidungnya sudah patah atau setidaknya memar karena terbanting pintu, akibat ulah Elang. "Nyonya, ada paket untuk Nyonya." Rika berjalan cepat menghampiri Atika. Di tangannya, Rika memeluk sebuah kardus coklat seukuran kamus besar."Paket?""Baru saja sampai, dikirim pakai ojek online."Atika memutar setiap sisi paket untuk mencari identitas si pengirim, tapi tidak ada tulisan apapun selain nama lengkap Atika di kotak itu. "Pak Ojolnya gak bilang apa-apa?"Rika menggeleng. "Yang antar satpam perumahan, apa perlu saya hubungi pos keamanan? kemungkinan ojolnya masih ada di sana."Atika tertegun, sekarang ia tinggal di kawasan elit sehingga kemungkinannya kecil benda-benda berbahaya bisa masuk dengan mudah ke rumah ini. Setiap orang atau paket yang
Mobil hitam yang dulu menjemput Atika, siang ini kembali terlihat di pelataran parkir rumah. Tanpa berpikir lagi, Atika meraih ponsel serta menyelempangkan tas di bahu lalu berlari cepat menghampiri mobil dan segera mengambil duduk di kursi penumpang, membuat supir perusahaan yang belum sempat turun menoleh kaget. "Antarkan aku ke kantor!" "Saya diminta Pak Elang mengambil berkas yang tertinggal." Baik Atika maupun supir perusahaan bicara dalam waktu yang bersamaan. "Aku tunggu, setelah itu antar aku menemui pria itu!" Kekesalan Atika sudah memuncak di ubun-ubun. Atika hafal betul janji Elang di depan ayahnya saat melamarnya dulu, Elang berjanji tidak akan membiarkan Atika merasa sendirian tapi apa yang terjadi? Sudah lima hari pria itu tidak menunjukkan batang hidungnya. Semua pesan yang Atika kirim sama sekali tidak Elang baca, jangan tanyakan tentang sambungan panggilan yang berakhir dengan suara operator yang menjemukan. Selain itu, Atika hanya mendengar kalau Elang sempat
Ruang kerja Elang persis kapal pecah. Kertas berserakan memenuhi meja kaca yang terletak di tengah ruangan dan menara-menara berkas map bermunculan seperti rumpun jamur di hutan hujan. Atika sampai kesulitan melangkah dan ketakutan setengah mati menyenggol berkas-berkas penting itu."Duduk di mana saja kamu bisa duduk, dan jangan coba merapikan apapun! Walau terlihat berantakan, aku sengaja menyusunnya seperti ini agar mudah kuraih," kata Elang yang kini telah duduk di lantai dan menekuri layar laptopnya."Kamu selalu belajar seperti ini?" Jiwa pendidik Atika muncul melihat Elang sengaja membuat berantakan materi yang tengah ia pelajari, meski begitu tetap saja telapak tangannya gatal untuk merapikan semua kekacauan ini.Pertanyaan Atika hanya dijawab bunyi ketukan keyboard laptop. Suaminya itu menatap layar laptop tanpa berkedip. Atika lalu duduk di undakan tangga di antara sofa hitam dan lemari yang berisi plakat-plakat penghargaan.Dari kejauhan, Atika dapat melihat rambut-rambut h
Bab 16 “Ulangi sekali lagi!” “Aku ingin bekerja di sini.Terus-terusan di rumah dan tidak ada kegiatan yang jelas membuatku mudah bosan, jadi aku mau bekerja,” tegas Atika. Atika bisa tahan menerima ledakan amarah yang biasa diberikan Cindy atau Anyelir, tetapi Atika tak akan sanggup bertahan terus menerus diabaikan seperti yang Elang lakukan padanya akhir-akhir ini. Setidaknya Atika harus tahu kesalahan apa yang ia lakukan sehingga pantas menerima hukuman. Karena itulah, dalam perjalanan tadi, Atika telah memutuskan jika Elang masih berusaha menghindarinya maka Atika yang akan terus menempel pada pria itu. Walau alasan yang ia ungkapkan pada Elang juga tak sepenuhnya bohong, Atika hampir mati kebosanan di rumah besar itu. Satu hingga dua hari bermalas-malasan awalnya menyenangkan tapi memasuki hari ketiga, Atika merasa usianya bertambah dua kali lipat setiap jamnya. “Kamu yakin itu alasannya, bukan karena ingin selalu bertemu dengan Daffa?” selidik Elang tanpa sadar menyuarakan
“Nyonya sepertinya sedang bahagia,” komentar Rika ketika Atika membantunya menata makan malam ke atas meja.“Apa sangat terlihat?”Rika mengangguk pelan. “Senang melihat Nyonya selalu tersenyum setelah pulang bertemu dengan Tuan Muda.”Atika bersenandung kecil sambil merapikan sendok dan garpu di samping piring, ia tak berniat membantah walau perkiraan Rika jelas salah. Atika bahagia bukan karena telah bertemu Elang, sebaliknya menemui Elang malahan menambah kusut pikirannya. Atika tak berhenti tersenyum karena berhasil meyakinkan Ria untuk memasukkan data Atika ke dalam berkas calon magang di divisi Ria bekerja. Awalnya tidak begitu mudah membuat Ria mau mengikuti kemauan Atika, tetapi setelah sedikit ancaman yang Atika pelajari dari Cindy akhirnya Ria meluluskan permintaan Atika. Atika melipat serbet dan menaruhnya dengan anggun ke atas meja lalu memandangnya dengan senyum kemenangan, ternyata menyenangkan jadi orang berkuasa. “Apa Nyonya yakin ingin merayakan ulang tahun Tuan Mu
"Bukan seperti ini. Hentikan!" batin Atika menjerit saat Elang mencium bibirnya dengan membabi buta. Berkali-kali Atika melepaskan pukulan meminta Elang menghentikan aksinya, tapi pria itu bergeming. Sesekali Elang mengigit keras bibir bawah Atika hingga terasa kebas, seakan ingin menyalurkan amarahnya pada istrinya. Atika tahu ia sudah salah tidak mengindahkan larang Elang, ia tetap bersikeras untuk melamar di perusahaan suaminya, namun Atika tidak ingin tubuhnya kembali menjadi sasaran pelampiasan amarah Elang. Cukup Cindy dan Anyelir yang dulu selalu melakukan kekerasan pada dirinya. Atika tidak ingin lagi terjebak dalam lubang kegelapan yang sama. Atika terlanjur menaruh harapan pada Elang, Atika tidak ingin harapan itu musnah begitu saja. Jika itu terjadi, Atika tidak tahu sampai kapan ia mampu bertahan. "Tika," panggil Elang dengan suara bergetar. "Kamu menangis?" Pertanyaan Elang malah membuat tangis Atika pecah. Perempuan itu merosot dan duduk bersimpuh di lantai. Kepalany