Ruang kerja Elang persis kapal pecah. Kertas berserakan memenuhi meja kaca yang terletak di tengah ruangan dan menara-menara berkas map bermunculan seperti rumpun jamur di hutan hujan. Atika sampai kesulitan melangkah dan ketakutan setengah mati menyenggol berkas-berkas penting itu."Duduk di mana saja kamu bisa duduk, dan jangan coba merapikan apapun! Walau terlihat berantakan, aku sengaja menyusunnya seperti ini agar mudah kuraih," kata Elang yang kini telah duduk di lantai dan menekuri layar laptopnya."Kamu selalu belajar seperti ini?" Jiwa pendidik Atika muncul melihat Elang sengaja membuat berantakan materi yang tengah ia pelajari, meski begitu tetap saja telapak tangannya gatal untuk merapikan semua kekacauan ini.Pertanyaan Atika hanya dijawab bunyi ketukan keyboard laptop. Suaminya itu menatap layar laptop tanpa berkedip. Atika lalu duduk di undakan tangga di antara sofa hitam dan lemari yang berisi plakat-plakat penghargaan.Dari kejauhan, Atika dapat melihat rambut-rambut h
Bab 16 “Ulangi sekali lagi!” “Aku ingin bekerja di sini.Terus-terusan di rumah dan tidak ada kegiatan yang jelas membuatku mudah bosan, jadi aku mau bekerja,” tegas Atika. Atika bisa tahan menerima ledakan amarah yang biasa diberikan Cindy atau Anyelir, tetapi Atika tak akan sanggup bertahan terus menerus diabaikan seperti yang Elang lakukan padanya akhir-akhir ini. Setidaknya Atika harus tahu kesalahan apa yang ia lakukan sehingga pantas menerima hukuman. Karena itulah, dalam perjalanan tadi, Atika telah memutuskan jika Elang masih berusaha menghindarinya maka Atika yang akan terus menempel pada pria itu. Walau alasan yang ia ungkapkan pada Elang juga tak sepenuhnya bohong, Atika hampir mati kebosanan di rumah besar itu. Satu hingga dua hari bermalas-malasan awalnya menyenangkan tapi memasuki hari ketiga, Atika merasa usianya bertambah dua kali lipat setiap jamnya. “Kamu yakin itu alasannya, bukan karena ingin selalu bertemu dengan Daffa?” selidik Elang tanpa sadar menyuarakan
“Nyonya sepertinya sedang bahagia,” komentar Rika ketika Atika membantunya menata makan malam ke atas meja.“Apa sangat terlihat?”Rika mengangguk pelan. “Senang melihat Nyonya selalu tersenyum setelah pulang bertemu dengan Tuan Muda.”Atika bersenandung kecil sambil merapikan sendok dan garpu di samping piring, ia tak berniat membantah walau perkiraan Rika jelas salah. Atika bahagia bukan karena telah bertemu Elang, sebaliknya menemui Elang malahan menambah kusut pikirannya. Atika tak berhenti tersenyum karena berhasil meyakinkan Ria untuk memasukkan data Atika ke dalam berkas calon magang di divisi Ria bekerja. Awalnya tidak begitu mudah membuat Ria mau mengikuti kemauan Atika, tetapi setelah sedikit ancaman yang Atika pelajari dari Cindy akhirnya Ria meluluskan permintaan Atika. Atika melipat serbet dan menaruhnya dengan anggun ke atas meja lalu memandangnya dengan senyum kemenangan, ternyata menyenangkan jadi orang berkuasa. “Apa Nyonya yakin ingin merayakan ulang tahun Tuan Mu
"Bukan seperti ini. Hentikan!" batin Atika menjerit saat Elang mencium bibirnya dengan membabi buta. Berkali-kali Atika melepaskan pukulan meminta Elang menghentikan aksinya, tapi pria itu bergeming. Sesekali Elang mengigit keras bibir bawah Atika hingga terasa kebas, seakan ingin menyalurkan amarahnya pada istrinya. Atika tahu ia sudah salah tidak mengindahkan larang Elang, ia tetap bersikeras untuk melamar di perusahaan suaminya, namun Atika tidak ingin tubuhnya kembali menjadi sasaran pelampiasan amarah Elang. Cukup Cindy dan Anyelir yang dulu selalu melakukan kekerasan pada dirinya. Atika tidak ingin lagi terjebak dalam lubang kegelapan yang sama. Atika terlanjur menaruh harapan pada Elang, Atika tidak ingin harapan itu musnah begitu saja. Jika itu terjadi, Atika tidak tahu sampai kapan ia mampu bertahan. "Tika," panggil Elang dengan suara bergetar. "Kamu menangis?" Pertanyaan Elang malah membuat tangis Atika pecah. Perempuan itu merosot dan duduk bersimpuh di lantai. Kepalany
"Nyonya, bangun. Hari ini, Nyonya harus bangun lebih pagi," sapaan lembut Rika mengalun menarik Atika dari tidurnya yang tak bermimpi.Begitu membuka mata, Atika dikejutkan dengan kehadiran lima orang perempuan asing berseragam merah hati di kamarnya."Siapa mereka?" tanya Atika tanpa suara pada Rika."Maaf kami belum sempat memperkenalkan diri," ujar salah seorang perempuan yang terlihat lebih tua dibanding yang lainnya. "Saya dan anak buah saya akan membantu Nyonya agar tampil lebih memukau di pesta pernikahan Nyonya dan Tuan Elang."Perlu beberapa detik bagi Atika untuk memahami kalimat perempuan dengan rambut disanggul tinggi itu. Selama otak Atika memproses informasi itu, Atika menyisir pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar tidurnya! Atika baru menyadari kalau sekarang ia berada di tempat lain. "Kita ada di kamar hotel, Nyonya. Tuan muda Elang ingin memberikan pesta kejutan untuk Nyonya, saya harap Nyonya tidak marah." Rika berkata saat menyadari kebingungan majikanny
“Jangan khawatir. Aku di sini,” bisik Elang pada Atika saat Anyelir berjalan cepat menghampiri mereka.“Atika, Mami bahagia sekali lihat kamu dan Elang hari ini. Kalian tampak serasi,” seru Anyelir seraya memeluk Atika erat hingga Atika kesulitan bernafas.“Tante, Atika bisa sesak nafas. Tolong lepaskan Atika!” tegur Elang.“Ah, maaf. Mami hanya merindukan anak Mami.” Anyelir tersenyum lebar dan beralih bicara pada Elang, “Lang, jangan panggil Tante! Sekarang kan kamu anak Mami juga, panggil saja Mami!”Baik Atika dan Elang saling bertukar pandang teringat amukan Anyelir satu hari sebelum Elang menjadi pewaris SJ Grup, Anyelir marah dan meminta Elang hanya memanggilnya dengan sebutan Tante.“Saya lebih suka dengan panggilan yang sekarang,” kata Elang tegas.Anyelir mendelik tak suka namun tidak dapat membantah toh dulu ia yang meminta Elang untuk menjaga jarak dengannya.“Papa ada di mana, Mi? Papa baik-baik saja, kan?” tanya Atika menimbulkan senyum di wajah Anyelir.“Papa mu baik-ba
"Tante Anyelir bilang apa?" tanya Elang dengan nafas terengah-engah memasuki kamar hotel. Atika mengalihkan perhatian pada bayangannya di cermin dan memutar tubuh menghadap Elang. Suaminya itu terlihat seperti seseorang yang habis ikut lomba lari marathon tapi mengenakan setelan formal. "Om Burhan terkejut saat aku menghampirinya, aku baru sadar Tante Anyelir memintaku turun hanya akal-akalan darinya agar membuat kalian hanya berdua di sini," jelas Elang seraya melonggarkan ikatan dasinya. "Seandainya saja para tamu itu tidak mengucapkan salam dan mencegatku kembali ke sini lebih cepat, aku minta maaf...." "Sudah, gak apa-apa. Mami hanya mengatakan ia ikut bahagia." Atika tidak ingin menyulut emosi Elang menjadi semakin besar, ini hari penting mereka. Biarlah ia pendam semua keresahannya sendirian. Elang berjongkok dan meraih dagu Atika memaksa istrinya membalas tatapannya. "Kamu sembunyi lagi. Tante Anyelir tadi pasti mengatakan hal yang buruk, katakan padaku?" tuntut Elang. "B
"Terima kasih," cicit Atika malu-malu, ia melirik sekilas pada suaminya lalu kembali memandang ujung kaki mereka yang kini menari seirama dengan simfoni Moonlight Sonata yang dimainkan band orkestra."Untuk apa?" tanya Elang pura-pura tak tahu. Pria itu dengan sengaja mengeratkan pelukannya di pinggang Atika sehingga membuat mereka semakin dekat, Atika bahkan dapat merasakan detak jantung Elang yang berpacu dengan cepat di dadanya, sama seperti dirinya."Untuk semua, aku gak pernah berani memimpikan mendapat pesta sebesar ini. Ini sangat indah," desah Atika seraya menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan. Atika tidak tahu pasti berapa luas ruangan yang disulap menjadi sebuah panggung pesta pernikahan mereka. Sejauh pandangan Atika, seluruh ruangan dihiasi dengan bunga-bunga asli yang tengah bermekaran, tak perlu ditanya seperti apa wangi yang kini mengelilingi mereka. Sekilas, Atika lupa bahwa ia masih berada di sebuah ruangan tertutup bukannya taman yang penuh bunga-bunga. "Aku