"Nyonya, bangun. Hari ini, Nyonya harus bangun lebih pagi," sapaan lembut Rika mengalun menarik Atika dari tidurnya yang tak bermimpi.Begitu membuka mata, Atika dikejutkan dengan kehadiran lima orang perempuan asing berseragam merah hati di kamarnya."Siapa mereka?" tanya Atika tanpa suara pada Rika."Maaf kami belum sempat memperkenalkan diri," ujar salah seorang perempuan yang terlihat lebih tua dibanding yang lainnya. "Saya dan anak buah saya akan membantu Nyonya agar tampil lebih memukau di pesta pernikahan Nyonya dan Tuan Elang."Perlu beberapa detik bagi Atika untuk memahami kalimat perempuan dengan rambut disanggul tinggi itu. Selama otak Atika memproses informasi itu, Atika menyisir pandangan ke sekeliling ruangan. Ini bukan kamar tidurnya! Atika baru menyadari kalau sekarang ia berada di tempat lain. "Kita ada di kamar hotel, Nyonya. Tuan muda Elang ingin memberikan pesta kejutan untuk Nyonya, saya harap Nyonya tidak marah." Rika berkata saat menyadari kebingungan majikanny
“Jangan khawatir. Aku di sini,” bisik Elang pada Atika saat Anyelir berjalan cepat menghampiri mereka.“Atika, Mami bahagia sekali lihat kamu dan Elang hari ini. Kalian tampak serasi,” seru Anyelir seraya memeluk Atika erat hingga Atika kesulitan bernafas.“Tante, Atika bisa sesak nafas. Tolong lepaskan Atika!” tegur Elang.“Ah, maaf. Mami hanya merindukan anak Mami.” Anyelir tersenyum lebar dan beralih bicara pada Elang, “Lang, jangan panggil Tante! Sekarang kan kamu anak Mami juga, panggil saja Mami!”Baik Atika dan Elang saling bertukar pandang teringat amukan Anyelir satu hari sebelum Elang menjadi pewaris SJ Grup, Anyelir marah dan meminta Elang hanya memanggilnya dengan sebutan Tante.“Saya lebih suka dengan panggilan yang sekarang,” kata Elang tegas.Anyelir mendelik tak suka namun tidak dapat membantah toh dulu ia yang meminta Elang untuk menjaga jarak dengannya.“Papa ada di mana, Mi? Papa baik-baik saja, kan?” tanya Atika menimbulkan senyum di wajah Anyelir.“Papa mu baik-ba
"Tante Anyelir bilang apa?" tanya Elang dengan nafas terengah-engah memasuki kamar hotel. Atika mengalihkan perhatian pada bayangannya di cermin dan memutar tubuh menghadap Elang. Suaminya itu terlihat seperti seseorang yang habis ikut lomba lari marathon tapi mengenakan setelan formal. "Om Burhan terkejut saat aku menghampirinya, aku baru sadar Tante Anyelir memintaku turun hanya akal-akalan darinya agar membuat kalian hanya berdua di sini," jelas Elang seraya melonggarkan ikatan dasinya. "Seandainya saja para tamu itu tidak mengucapkan salam dan mencegatku kembali ke sini lebih cepat, aku minta maaf...." "Sudah, gak apa-apa. Mami hanya mengatakan ia ikut bahagia." Atika tidak ingin menyulut emosi Elang menjadi semakin besar, ini hari penting mereka. Biarlah ia pendam semua keresahannya sendirian. Elang berjongkok dan meraih dagu Atika memaksa istrinya membalas tatapannya. "Kamu sembunyi lagi. Tante Anyelir tadi pasti mengatakan hal yang buruk, katakan padaku?" tuntut Elang. "B
"Terima kasih," cicit Atika malu-malu, ia melirik sekilas pada suaminya lalu kembali memandang ujung kaki mereka yang kini menari seirama dengan simfoni Moonlight Sonata yang dimainkan band orkestra."Untuk apa?" tanya Elang pura-pura tak tahu. Pria itu dengan sengaja mengeratkan pelukannya di pinggang Atika sehingga membuat mereka semakin dekat, Atika bahkan dapat merasakan detak jantung Elang yang berpacu dengan cepat di dadanya, sama seperti dirinya."Untuk semua, aku gak pernah berani memimpikan mendapat pesta sebesar ini. Ini sangat indah," desah Atika seraya menyapukan pandangan ke sekeliling ruangan. Atika tidak tahu pasti berapa luas ruangan yang disulap menjadi sebuah panggung pesta pernikahan mereka. Sejauh pandangan Atika, seluruh ruangan dihiasi dengan bunga-bunga asli yang tengah bermekaran, tak perlu ditanya seperti apa wangi yang kini mengelilingi mereka. Sekilas, Atika lupa bahwa ia masih berada di sebuah ruangan tertutup bukannya taman yang penuh bunga-bunga. "Aku
"Bukan masalah," balas Daffa seraya mengangkat sebelah tangannya memberi isyarat pada pemain band untuk mengganti lagu yang dimainkan. Band kini memainkan sebuah lagu lawas dari Hongkong, One Summer Night. Tubuh Atika menegang ketika melodi yang sudah sangat ia hafal mulai mengalun, Atika sontak menjauh hendak melepaskan diri dari cengkraman Daffa tetapi pria itu lebih kuat menahannya. "Bertahanlah sampai lagu ini selesai, jangan memantik rasa penasaran orang-orang!" tegas Daffa. Atika mendengus jijik melihat wajah Daffa yang penuh dengan senyum palsu, entah kenapa dulu matanya begitu buta melihat kebusukan yang dimiliki pria di depannya ini? "Santai, Tika. Bukankah ini kesempatan langka, aku senang akhirnya kita bisa bertemu lagi. Garis takdir kita sepertinya belum berakhir." "Bermimpilah sesukamu!" ujar Atika seraya membuang muka, lebih baik memilih melihat penampilan para pemain musik. "Each time i think of you, my heart would beat for you, you are the one for me...." Daffa be
"Kenapa dia bisa datang ke sini? Om yang undang?" desis Elang pada Ardian. "Tidak mungkin dia bisa masuk tanpa membawa undangan!"Ardian berjalan cepat menghampiri Elang begitu melihat Daffa sedang berdansa bersama Atika, dan seperti yang sudah diduga, pria itu langsung menjadi sasaran amukan Elang. Jika tidak ingat tentang hutang budinya pada Barata, Ardian sudah angkat kaki sejak lama dari keluarga Sukma, semua keturunan Barata sama saja, mereka memang memiliki penampilan bak dewa-dewi tapi sayang semuanya minus akhlak. "Mana mungkin Om sebodoh itu, Lang. Om juga tidak tahu, dapat akses darimana dia bisa masuk ke sini," ujar Ardian seraya meraup wajahnya lelah, asal tahu saja, akibat menyiapkan pesta pernikahan ini, Ardian kehilangan banyak durasi tidur malamnya. "Bagaimana kalau Om minta petugas keamanan membawanya keluar saja?" "Tidak usah! Itu hanya akan menarik perhatian para tamu dan mereka mulai penasaran tentang hubungan pria itu dengan Atika." Elang menggertakan gigi kesal
"Nyonya, ada banyak aktivitas yang bisa Nyonya lakukan selain bekerja di perusahaan. Almarhumah Nyonya Hasna dan Nona Tara dulu menjalankan sebuah yayasan amal, kalau Nyonya mau, Nyonya bisa mengambil alih pengelolaan yayasan itu," ujar Rika sambil membantu Atika memasang anting-anting di telinganya."Bi, ini sudah kesekian kalinya Bibi mencegahku bekerja. Kemarin Bibi juga mengancam akan mengundurkan diri dan menyerahkan semua urusan rumah tangga padaku. Sebenarnya apa yang salah kalau aku kembali bekerja?" tanya Atika jengah.Tiga hari telah berlalu sejak kejutan pesta pernikahan yang Elang berikan, sejak hari itu hingga pagi ini Rika tidak henti berusaha membuat Atika mengurungkan niatnya untuk bekerja di kantor. Di satu sisi Atika merasa senang karena Rika peduli padanya, tapi di sisi lain Atika juga risih karena perhatian Rika yang kelewat batas. "Maaf, Nyonya. Bukan maksud saya untuk bersikap keterlaluan tapi, saya pikir tidak pantas kalau seseorang yang memiliki posisi tinggi
"Lima menit lagi saya sampai!" Atika menutup sambungan telepon dan bergegas berlari ke luar ruangan sambil memeluk setumpuk berkas berisi duplikat materi presentasi hari ini. Rapat akan segera dimulai, tapi bisa-bisanya materi rapat yang akan dibagikan tertinggal di ruangan begitu saja, dan anehnya tepat di meja Atika. Atika enggan memikirkan apakah seniornya lupa atau sengaja lupa dan ingin menjahili Atika. Di depan pintu lift yang tertutup, Atika berhenti dan mengambil nafas perlahan, menstabilkan kembali pernafasan dan kerja jantungnya yang tidak beraturan sejak berjam-jam yang lalu. Sejak pagi, staff-staff senior tidak hentinya memberikan Atika tugas baru. Belum sempat ia mengerjakan tugas sebelumnya, datang kembali pekerjaan yang lain. Atika tidak tahu apa memang seperti ini budaya kerja di divisi humas ataukah memang ia sedang menjalani perploncoan anak baru. Perempuan itu memandang pantulan bayangannya di pintu lift, beruntung wajah letihnya agak tersamarkan oleh setelan pak