"Lima menit lagi saya sampai!" Atika menutup sambungan telepon dan bergegas berlari ke luar ruangan sambil memeluk setumpuk berkas berisi duplikat materi presentasi hari ini. Rapat akan segera dimulai, tapi bisa-bisanya materi rapat yang akan dibagikan tertinggal di ruangan begitu saja, dan anehnya tepat di meja Atika. Atika enggan memikirkan apakah seniornya lupa atau sengaja lupa dan ingin menjahili Atika. Di depan pintu lift yang tertutup, Atika berhenti dan mengambil nafas perlahan, menstabilkan kembali pernafasan dan kerja jantungnya yang tidak beraturan sejak berjam-jam yang lalu. Sejak pagi, staff-staff senior tidak hentinya memberikan Atika tugas baru. Belum sempat ia mengerjakan tugas sebelumnya, datang kembali pekerjaan yang lain. Atika tidak tahu apa memang seperti ini budaya kerja di divisi humas ataukah memang ia sedang menjalani perploncoan anak baru. Perempuan itu memandang pantulan bayangannya di pintu lift, beruntung wajah letihnya agak tersamarkan oleh setelan pak
"Cantik, semakin cantik," lirih Daffa tanpa sadar saat Atika melenggang pergi mendahuluinya keluar dari dalam lift.Daffa tidak pernah membayangkan bertemu kembali dengan Atika setelah perpisahan menyedihkan sepuluh tahun lalu. Walau seringkali Daffa merindukan sosok lembut dan manis itu kembali hadir dalam hidupnya, tetapi Daffa sadar diri, luka yang ia berikan pada Atika terlalu dalam. Namun kini, cinta pertamanya itu tiba-tiba muncul begitu saja.Pertemuan mereka di loby hotel waktu itu tak urung menimbulkan gelenyar baru dalam hidupnya. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk mengubah penampilan seseorang, begitupun Atika. Perempuan itu mengurai rambut coklatnya, membuat kecantikannya semakin terpancar. Sorot mata Atika menunjukan kedewasaan yang memukau. Sesaat, Daffa lupa diri dan berhasrat untuk membuat Atika kembali menjadi miliknya. Seandainya saja, beberapa hari kemudian ia tidak bertemu Elang.Atau tepatnya, ia tidak memenuhi panggilan Elang."Duduk!" perintah
Matahari sudah hampir terbenam ketika Atika menjatuhkan bok*ngnya ke atas bangku besi panjang di atap kantor. Walau bukan gedung tertinggi, tetapi kantor SJ Grup memiliki spot pemandangan yang menghadap langsung ke arah jajaran pegunungan yang mengitari kota. Sehingga sore ini, di depan mata Atika terhampar pemandangan unik perpaduan antara perkotaan dan alam dalam kanvas berwarna jingga. Suasana rembang petang menghipnotis Atika untuk sesaat, perempuan itu lalu menyesap kopi hangat dari gelas kertas di tangannya. Atika mendesah lega, selain menerima upah, inilah salah satu kenikmatan yang ia rindukan saat menjadi seorang pekerja, menikmati pergantian hari dengan segelas kopi setelah seharian bekerja keras. Secara keseluruhan, hari pertama Atika tidak begitu buruk. Separuh hari pertama, Atika memang seperti sedang diplonco habis-habisan. Namun, seusai rapat semua berjalan normal. Atika menerima tugas sama seperti rekannya yang lain, jika ia tidak mengerti maka teman-temannya tidak pe
"Aku tahu kamu akan bereaksi seperti ini," gerutu Elang seraya mengalihkan pandangan lurus ke depan.Rasa bersalah menggelayuti benak Atika, syarat Elang sebenarnya sangat sederhana. Tapi, rasanya sulit bagi Atika untuk mengabulkannya."Panggilan aku dan kamu terdengar kaku dan tidak sopan," sambung Elang. "Kita bukan lagi orang asing, tidak peduli aku lebih muda darimu, aku tetap ingin dipanggil dengan panggilan hormat oleh istriku sendiri."Atika tersentak. Tidak mengira bahwa sampai sedalam itu dampak sebuah nama panggilan bagi suaminya."Aku...aku, minta maaf," ujar Atika bingung.Lidahnya gatal ingin memanggil Elang dengan sebutan yang diharapkan pria itu. Tapi sungguh, bukan faktor perbedaan usia yang membuat Atika enggan memanggil Elang dengan kata 'Mas', Atika hanya tidak terbiasa untuk menyematkan panggilan sayang pada seseorang. Karena sudah lama sekali ia tidak memiliki seseorang yang spesial di hatinya.Elang diam termanggu sejenak, lalu sebuah bunyi berharmoni terdengar d
"Mau apa kamu ke sini?"Cindy tersenyum pongah dan berjalan perlahan mendekati Atika."Kamu tahu, kamu gak punya hak untuk mengatakan itu, Tika. Aku bisa bebas kapan saja datang ke tempat mana pun yang aku mau. Termasuk datang ke sini, kamu gak lupa kalau posisi yang kamu miliki itu sebenarnya punya siapa?"Elang menggebrak meja hingga semua benda yang ada di atasnya bergetar hebat."Aku sudah muak mendengar ancamanmu, Cindy! Tidak peduli dengan siapa dulu aku dijodohkan, yang menjadi istriku sekarang dan selamanya adalah Atika, kakakmu. Kamu harusnya paham itu!" Elang meraih pesawat telepon di atas meja kerjanya dan menekan tombol tiga. "Sambungkan dengan pos keamanan, ada pembuat onar di ruanganku....""Tunggu! Tidak perlu panggil satpam!" teriak seorang pria yang berlari tunggang langgang memasuki ruangan Elang.Sesampainya di dalam ruangan, pria itu lalu mengangsurkan kartu namanya pada Elang dan bicara dengan nafas yang masih tersengal-sengal, "Maaf, Pak. Saya Robby, manajer Cind
Elang memutar kemudi dan menepikan mobil ke dekat trotoar yang dipayungi rindangnya pohon Trembesi. Saat mesin mobil dimatikan, suasana semakin temaram membuat suara detak jantung Atika seperti diperbesar otomatis."Kamu mendengar percakapanku dengan Cindy?" bisik Atika lirih, kedua lututnya terasa lemas.Beruntung ia kini sedang duduk, kalau tidak mungkin Atika sudah ambruk seperti agar-agar. Namun tetap, Atika tidak dapat menghindari rasa gugup yang menyerangnya. Buru-buru Atika mengepalkan kedua tangan, menyembunyikan tangannya yang tiba-tiba gemetar hebat.Elang mengangguk pelan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Aku tidak berniat untuk menguping. Saat itu aku mencarimu karena ingin membicarakan pesta pernikahan kita, para pelayan bilang kamu ada di dapur, dan saat itulah aku mendengar pembicaraanmu dengan Cindy. Aku tahu mungkin kamu belum bisa membuka hatimu untukku, tapi aku tidak mengerti kenapa kamu bisa menjanjikan hal seperti itu pada Cindy. Aku kecewa,"Atika su
"Mbak, dulu waktu di sekolah Pak Daffa itu anak yang pintar atau bandel?" tanya Keyla tanpa ragu.Siang ini, Atika dan Keyla sedang makan siang bersama di sebuah warung makan yang terletak tak jauh dari gedung kantor. Sejak meninggalkan kantor, Atika memang sudah memiliki firasat kalau ajakan Keyla untuk makan siang bersama di luar pasti ada maksud terselubung. Namun, tetap saja Atika terkejut dengan sikap terus terang Keyla sekarang."Kami gak begitu dekat, hanya pernah satu kelas saat kelas dua SMA saja. Tapi, dari yang aku lihat, Daffa biasa-biasa saja. Gak bisa dibilang masuk ke golongan anak-anak pintar atau anak-anak nakal, biasa saja!" jawab Atika setelah berpikir sejenak. Atika tidak ingin hari-harinya di kantor lebih berat karena Keyla yang cemburu kalau tahu dulu ia dan Daffa pernah menjadi sepasang kekasih.Keyla menganggung-ngangguk pelan, dan kembali bertanya, "Tapi kayanya Pak Daffa itu pintar, ya. Dia lulusan Teknik Pangan. Aku dengar masuk jurusan teknik saja sudah su
"Apa menariknya layar kosong itu? Kamu sampai tidak menyadari kehadiran Om sejak tadi."Ardian merendahkan posisinya hingga sejajar dengan Elang yang duduk menghadap layar PC yang kini dalam kondisi mati. Berkali-kali Ardian menoleh ke arah Elang lalu kembali ikut memerhatikan layar berukuran 27 inch di depannya. Tidak ada yang aneh, justru bocah di sampingnya lah yang berperilaku tidak biasa sejak tadi pagi. Saat rapat, Elang lebih banyak diam. Seakan jiwanya terbang entah kemana, hanya raganya yang ada bersamanya. Lalu sekarang, sudah hampir sepuluh menit Ardian tiba di ruangan Elang hendak meminta persetujuan untuk proses produksi varian rasa sate terbaru mereka, tetapi lagi-lagi Elang seperti sebongkah pelepah pisang, tak merespon sama sekali."Lang, kamu sakit?" tanya Ardian khawatir sambil menempelkan punggung tangannya ke kening Elang tetapi segera ditepis Elang."Aku sehat!" jawab Elang sambil memberikan death glare ciri khasnya yang tak pelak membuat Ardian sedikit merinding.