Elang memutar kemudi dan menepikan mobil ke dekat trotoar yang dipayungi rindangnya pohon Trembesi. Saat mesin mobil dimatikan, suasana semakin temaram membuat suara detak jantung Atika seperti diperbesar otomatis."Kamu mendengar percakapanku dengan Cindy?" bisik Atika lirih, kedua lututnya terasa lemas.Beruntung ia kini sedang duduk, kalau tidak mungkin Atika sudah ambruk seperti agar-agar. Namun tetap, Atika tidak dapat menghindari rasa gugup yang menyerangnya. Buru-buru Atika mengepalkan kedua tangan, menyembunyikan tangannya yang tiba-tiba gemetar hebat.Elang mengangguk pelan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Aku tidak berniat untuk menguping. Saat itu aku mencarimu karena ingin membicarakan pesta pernikahan kita, para pelayan bilang kamu ada di dapur, dan saat itulah aku mendengar pembicaraanmu dengan Cindy. Aku tahu mungkin kamu belum bisa membuka hatimu untukku, tapi aku tidak mengerti kenapa kamu bisa menjanjikan hal seperti itu pada Cindy. Aku kecewa,"Atika su
"Mbak, dulu waktu di sekolah Pak Daffa itu anak yang pintar atau bandel?" tanya Keyla tanpa ragu.Siang ini, Atika dan Keyla sedang makan siang bersama di sebuah warung makan yang terletak tak jauh dari gedung kantor. Sejak meninggalkan kantor, Atika memang sudah memiliki firasat kalau ajakan Keyla untuk makan siang bersama di luar pasti ada maksud terselubung. Namun, tetap saja Atika terkejut dengan sikap terus terang Keyla sekarang."Kami gak begitu dekat, hanya pernah satu kelas saat kelas dua SMA saja. Tapi, dari yang aku lihat, Daffa biasa-biasa saja. Gak bisa dibilang masuk ke golongan anak-anak pintar atau anak-anak nakal, biasa saja!" jawab Atika setelah berpikir sejenak. Atika tidak ingin hari-harinya di kantor lebih berat karena Keyla yang cemburu kalau tahu dulu ia dan Daffa pernah menjadi sepasang kekasih.Keyla menganggung-ngangguk pelan, dan kembali bertanya, "Tapi kayanya Pak Daffa itu pintar, ya. Dia lulusan Teknik Pangan. Aku dengar masuk jurusan teknik saja sudah su
"Apa menariknya layar kosong itu? Kamu sampai tidak menyadari kehadiran Om sejak tadi."Ardian merendahkan posisinya hingga sejajar dengan Elang yang duduk menghadap layar PC yang kini dalam kondisi mati. Berkali-kali Ardian menoleh ke arah Elang lalu kembali ikut memerhatikan layar berukuran 27 inch di depannya. Tidak ada yang aneh, justru bocah di sampingnya lah yang berperilaku tidak biasa sejak tadi pagi. Saat rapat, Elang lebih banyak diam. Seakan jiwanya terbang entah kemana, hanya raganya yang ada bersamanya. Lalu sekarang, sudah hampir sepuluh menit Ardian tiba di ruangan Elang hendak meminta persetujuan untuk proses produksi varian rasa sate terbaru mereka, tetapi lagi-lagi Elang seperti sebongkah pelepah pisang, tak merespon sama sekali."Lang, kamu sakit?" tanya Ardian khawatir sambil menempelkan punggung tangannya ke kening Elang tetapi segera ditepis Elang."Aku sehat!" jawab Elang sambil memberikan death glare ciri khasnya yang tak pelak membuat Ardian sedikit merinding.
"Mbak Tika, aku lupa!" seru Keyla menepuk pelan keningnya sendiri."Kenapa?""Ada artikel yang harus kuungah ke laman perusahaan, tapi berkasnya masih ada di komputerku di atas," lanjut Keyla panik sesekali melirik jam yang melingkar di tangannya. "Lima menit lagi harusnya sudah tayang. Mbak Tika bisa teruskan liputannya di sini sendirian, kan?"Atika bergidik ngeri mengingat ada Cindy di ruangan yang sama tanpa ada seorang pun yang akan membelanya."Kalau aku saja yang naik ke atas bagaimana?" usul Atika, lagipula kemarin ia pernah melakukan hal yang sama untuk Keyla. "Aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan di studio.""Seriusan? Aku gak enak harus buat Mbak Tika naik turun lantai."Atika berusaha keras untuk tidak mengerlingkan mata sebab kalimat Keyla sangat berbanding terbalik dengan apa yang gadis ini lakukan kemarin saat belum tahu Atika mengenal Daffa. Walau sedikit kesal dengan sikap Keyla yang mudah ditebak, Atika harus menahan diri dan melakukan apapun untuk memin
"Kenapa buru-buru?" Cindy tiba-tiba saja muncul dari kelokan saat Atika hendak memasuki studio, membuat Atika berhenti berlari dan membeku di tempat."Kamu, bukannya kamu harus ada di dalam?"Atika menoleh ke kanan dan ke kiri mencari bantuan, namun tidak ada siapa-siapa di lorong ini. Bahkan ketukan heels Cindy yang beradu dengan lantai marmer seperti diperbesar menggunakan toa di telinga Atika. Adik tirinya itu sudah melepaskan topeng ibu perinya, yang Atika lihat sekarang adalah Cindy yang biasa ia temui di rumah, Cindy yang sering menghadiahi Atika dengan berbagai jenis pukulan, lemparan dan tendangan di sekujur tubuhnya."Aku sengaja keluar cari kamu, Tika," jawab Cindy meraih kedua lengan Atika seperti hendak memeluknya namun tak berapa lama, gadis itu mencengkeram lengan Atika hingga kuku-kukunya seperti menusuk ke dalam tulang. "Aku cuma mau nyapa kakakku tersayang, gak boleh?"Atika berusaha untuk tidak meringis atau menunjukkan rasa sakit, karena itu yang Cindy inginkan seka
Cindy berbalik dan melenggang pergi meninggalkan Atika. Jika ini dunia kartun, mungkin dari kedua lubang hidung Cindy sekarang sedang mengepulkan asap tebal. Untuk pertama kalinya, Atika berhasil membuat adik tirinya itu kalah telak. Sebersit rasa bangga tak dapat Atika tahan menyeruak di benaknya. Benar, inilah yang sudah Atika lakukan sejak dulu. Sebenarnya, ia tidak lebih rendah atau lemah dibandingkan dengan Cindy, sehingga tidak sepantasnya Cindy memperlakukan Atika sesuka hatinya. Atika berhak untuk mempertahankan harga dirinya.Dengan kepala terangkat lebih tegap, Atika melangkah memasuki studio menghampiri Keyla yang masih berada di tempat terakhir Atika meninggalkannya. Hanya saja yang berbeda, gadis itu mengerucutkan bibirnya kesal sambil menutul-nutulkan mata pulpen ke atas buku catatannya."Apa yang salah?" tanya Atika mengejutkan Keyla.Atika memastikan Cindy sudah berada di bawah sorotan kamera, setidaknya selama di depan kamera, adiknya itu tidak akan melakukan hal aneh
Keyla berjalan perlahan menghampiri Atika, sepasang matanya bergantian menatap Elang yang kini sedang bicara dengan salah satu Direktur perusahaan, lalu memperhatikan Atika. Rasa penasaran mau tak mau menghinggapi benak Keyla saat melihat Elang dan Atika berbicara dengan ponsel mereka dalam waktu yang bersamaan. Bisa saja Elang dan Atika hanya kebetulan melakukan hal yang sama di waktu yang sama pula, tetapi jangan lupakan aksi curi-curi pandang yang dilakukan kedua orang itu. Sebagai seorang veteran penikmat K-Drama dan film Bollywood, Keyla paham betul situasi yang tengah terjadi, dan sekarang gadis itu hanya perlu memastikannya saja.""Tadi Mbak bicara sama siapa?"Wajah Atika memucat, kedua tangannya menggenggam erat ponsel seakan takut Keyla merebutnya sebagai barang bukti. Keyla memicingkan mata dan bergerak maju semakin mendekati Atika."Tidak, maksudku, apa hubungan Mbak dan Pak Elang?" tanya Keyla dalam bisikan pelan, khawatir ada karyawan lain yang mendengar percakapan merek
"SIAPA YANG HABISKAN NASI GORENG DI MEJA MAKAN?”Suara Anyelir membelah heningnya senja. Tergesa Atika melepas mukena dan berlari kesetanan menuju ruang makan. Jantung Atika bertalu kencang menyadari bahwa ia baru saja melakukan kesalahan besar."Atika yang habiskan, Mi," cicit Atika.Mami Anyelir, ibu tiri Atika berbalik perlahan menghadap Atika. Pandangannya beringas seperti macan kelaparan yang siap menerkam Atika. Dua puluh lima tahun hidup bersama perempuan tambun itu tak juga membuat Atika kebal pada tatapan menusuk Anyelir."Siapa yang bilang kamu boleh habiskan? Dasar benalu, ya! Nasi goreng ini punya Cindy, seenaknya aja !""Atika pikir, nasi gorengnya sengaja disisakan untuk Atika.""Jangan ngawur! Memang kamu sudah memberikan apa buat rumah ini sampai harus disisakan makanan segala? Tidak ada, nol besar! Kamu itu cuma jadi beban keluarga, tahu gak?"Atika semakin menyesal menghabiskan nasi goreng yang nyatanya tak sampai empat sendok. Sore tadi, perutnya amat melilit karena