"Cantik, semakin cantik," lirih Daffa tanpa sadar saat Atika melenggang pergi mendahuluinya keluar dari dalam lift.Daffa tidak pernah membayangkan bertemu kembali dengan Atika setelah perpisahan menyedihkan sepuluh tahun lalu. Walau seringkali Daffa merindukan sosok lembut dan manis itu kembali hadir dalam hidupnya, tetapi Daffa sadar diri, luka yang ia berikan pada Atika terlalu dalam. Namun kini, cinta pertamanya itu tiba-tiba muncul begitu saja.Pertemuan mereka di loby hotel waktu itu tak urung menimbulkan gelenyar baru dalam hidupnya. Sepuluh tahun memang bukan waktu yang sebentar untuk mengubah penampilan seseorang, begitupun Atika. Perempuan itu mengurai rambut coklatnya, membuat kecantikannya semakin terpancar. Sorot mata Atika menunjukan kedewasaan yang memukau. Sesaat, Daffa lupa diri dan berhasrat untuk membuat Atika kembali menjadi miliknya. Seandainya saja, beberapa hari kemudian ia tidak bertemu Elang.Atau tepatnya, ia tidak memenuhi panggilan Elang."Duduk!" perintah
Matahari sudah hampir terbenam ketika Atika menjatuhkan bok*ngnya ke atas bangku besi panjang di atap kantor. Walau bukan gedung tertinggi, tetapi kantor SJ Grup memiliki spot pemandangan yang menghadap langsung ke arah jajaran pegunungan yang mengitari kota. Sehingga sore ini, di depan mata Atika terhampar pemandangan unik perpaduan antara perkotaan dan alam dalam kanvas berwarna jingga. Suasana rembang petang menghipnotis Atika untuk sesaat, perempuan itu lalu menyesap kopi hangat dari gelas kertas di tangannya. Atika mendesah lega, selain menerima upah, inilah salah satu kenikmatan yang ia rindukan saat menjadi seorang pekerja, menikmati pergantian hari dengan segelas kopi setelah seharian bekerja keras. Secara keseluruhan, hari pertama Atika tidak begitu buruk. Separuh hari pertama, Atika memang seperti sedang diplonco habis-habisan. Namun, seusai rapat semua berjalan normal. Atika menerima tugas sama seperti rekannya yang lain, jika ia tidak mengerti maka teman-temannya tidak pe
"Aku tahu kamu akan bereaksi seperti ini," gerutu Elang seraya mengalihkan pandangan lurus ke depan.Rasa bersalah menggelayuti benak Atika, syarat Elang sebenarnya sangat sederhana. Tapi, rasanya sulit bagi Atika untuk mengabulkannya."Panggilan aku dan kamu terdengar kaku dan tidak sopan," sambung Elang. "Kita bukan lagi orang asing, tidak peduli aku lebih muda darimu, aku tetap ingin dipanggil dengan panggilan hormat oleh istriku sendiri."Atika tersentak. Tidak mengira bahwa sampai sedalam itu dampak sebuah nama panggilan bagi suaminya."Aku...aku, minta maaf," ujar Atika bingung.Lidahnya gatal ingin memanggil Elang dengan sebutan yang diharapkan pria itu. Tapi sungguh, bukan faktor perbedaan usia yang membuat Atika enggan memanggil Elang dengan kata 'Mas', Atika hanya tidak terbiasa untuk menyematkan panggilan sayang pada seseorang. Karena sudah lama sekali ia tidak memiliki seseorang yang spesial di hatinya.Elang diam termanggu sejenak, lalu sebuah bunyi berharmoni terdengar d
"Mau apa kamu ke sini?"Cindy tersenyum pongah dan berjalan perlahan mendekati Atika."Kamu tahu, kamu gak punya hak untuk mengatakan itu, Tika. Aku bisa bebas kapan saja datang ke tempat mana pun yang aku mau. Termasuk datang ke sini, kamu gak lupa kalau posisi yang kamu miliki itu sebenarnya punya siapa?"Elang menggebrak meja hingga semua benda yang ada di atasnya bergetar hebat."Aku sudah muak mendengar ancamanmu, Cindy! Tidak peduli dengan siapa dulu aku dijodohkan, yang menjadi istriku sekarang dan selamanya adalah Atika, kakakmu. Kamu harusnya paham itu!" Elang meraih pesawat telepon di atas meja kerjanya dan menekan tombol tiga. "Sambungkan dengan pos keamanan, ada pembuat onar di ruanganku....""Tunggu! Tidak perlu panggil satpam!" teriak seorang pria yang berlari tunggang langgang memasuki ruangan Elang.Sesampainya di dalam ruangan, pria itu lalu mengangsurkan kartu namanya pada Elang dan bicara dengan nafas yang masih tersengal-sengal, "Maaf, Pak. Saya Robby, manajer Cind
Elang memutar kemudi dan menepikan mobil ke dekat trotoar yang dipayungi rindangnya pohon Trembesi. Saat mesin mobil dimatikan, suasana semakin temaram membuat suara detak jantung Atika seperti diperbesar otomatis."Kamu mendengar percakapanku dengan Cindy?" bisik Atika lirih, kedua lututnya terasa lemas.Beruntung ia kini sedang duduk, kalau tidak mungkin Atika sudah ambruk seperti agar-agar. Namun tetap, Atika tidak dapat menghindari rasa gugup yang menyerangnya. Buru-buru Atika mengepalkan kedua tangan, menyembunyikan tangannya yang tiba-tiba gemetar hebat.Elang mengangguk pelan dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. "Aku tidak berniat untuk menguping. Saat itu aku mencarimu karena ingin membicarakan pesta pernikahan kita, para pelayan bilang kamu ada di dapur, dan saat itulah aku mendengar pembicaraanmu dengan Cindy. Aku tahu mungkin kamu belum bisa membuka hatimu untukku, tapi aku tidak mengerti kenapa kamu bisa menjanjikan hal seperti itu pada Cindy. Aku kecewa,"Atika su
"Mbak, dulu waktu di sekolah Pak Daffa itu anak yang pintar atau bandel?" tanya Keyla tanpa ragu.Siang ini, Atika dan Keyla sedang makan siang bersama di sebuah warung makan yang terletak tak jauh dari gedung kantor. Sejak meninggalkan kantor, Atika memang sudah memiliki firasat kalau ajakan Keyla untuk makan siang bersama di luar pasti ada maksud terselubung. Namun, tetap saja Atika terkejut dengan sikap terus terang Keyla sekarang."Kami gak begitu dekat, hanya pernah satu kelas saat kelas dua SMA saja. Tapi, dari yang aku lihat, Daffa biasa-biasa saja. Gak bisa dibilang masuk ke golongan anak-anak pintar atau anak-anak nakal, biasa saja!" jawab Atika setelah berpikir sejenak. Atika tidak ingin hari-harinya di kantor lebih berat karena Keyla yang cemburu kalau tahu dulu ia dan Daffa pernah menjadi sepasang kekasih.Keyla menganggung-ngangguk pelan, dan kembali bertanya, "Tapi kayanya Pak Daffa itu pintar, ya. Dia lulusan Teknik Pangan. Aku dengar masuk jurusan teknik saja sudah su
"Apa menariknya layar kosong itu? Kamu sampai tidak menyadari kehadiran Om sejak tadi."Ardian merendahkan posisinya hingga sejajar dengan Elang yang duduk menghadap layar PC yang kini dalam kondisi mati. Berkali-kali Ardian menoleh ke arah Elang lalu kembali ikut memerhatikan layar berukuran 27 inch di depannya. Tidak ada yang aneh, justru bocah di sampingnya lah yang berperilaku tidak biasa sejak tadi pagi. Saat rapat, Elang lebih banyak diam. Seakan jiwanya terbang entah kemana, hanya raganya yang ada bersamanya. Lalu sekarang, sudah hampir sepuluh menit Ardian tiba di ruangan Elang hendak meminta persetujuan untuk proses produksi varian rasa sate terbaru mereka, tetapi lagi-lagi Elang seperti sebongkah pelepah pisang, tak merespon sama sekali."Lang, kamu sakit?" tanya Ardian khawatir sambil menempelkan punggung tangannya ke kening Elang tetapi segera ditepis Elang."Aku sehat!" jawab Elang sambil memberikan death glare ciri khasnya yang tak pelak membuat Ardian sedikit merinding.
"Mbak Tika, aku lupa!" seru Keyla menepuk pelan keningnya sendiri."Kenapa?""Ada artikel yang harus kuungah ke laman perusahaan, tapi berkasnya masih ada di komputerku di atas," lanjut Keyla panik sesekali melirik jam yang melingkar di tangannya. "Lima menit lagi harusnya sudah tayang. Mbak Tika bisa teruskan liputannya di sini sendirian, kan?"Atika bergidik ngeri mengingat ada Cindy di ruangan yang sama tanpa ada seorang pun yang akan membelanya."Kalau aku saja yang naik ke atas bagaimana?" usul Atika, lagipula kemarin ia pernah melakukan hal yang sama untuk Keyla. "Aku masih belum mengerti apa yang harus kulakukan di studio.""Seriusan? Aku gak enak harus buat Mbak Tika naik turun lantai."Atika berusaha keras untuk tidak mengerlingkan mata sebab kalimat Keyla sangat berbanding terbalik dengan apa yang gadis ini lakukan kemarin saat belum tahu Atika mengenal Daffa. Walau sedikit kesal dengan sikap Keyla yang mudah ditebak, Atika harus menahan diri dan melakukan apapun untuk memin
"Neng, jangan lupa nanti tanggal dua belas kontrakannya dilunasi, ya. Sekalian sama tunggakan dua bulan kemarin!"Atika yang baru saja membuang bungkusan popok kotor sekali pakai ke tong sampah tersentak kaget. "Eh, maaf bukan maksud ibu bikin si Neng kaget!" ujar ibu pemilik rumah petak tempat Atika mengontrak satu tahu terakhir. "Tapi, ibu gak tega kalau datang ke kamar si Neng langsung, takut bangunin adek Dian."Atika tersenyum singkat dan mengangguk paham. "Iya, Bu gak apa-apa. Kebetulan saya lagi agak melamun tadi. Uang kontrakannya akan saya usahakan, ya Bu. Saya minta maaf sekaligus terima kasih, ibu mengijinkan saya tetap tinggal padahal saya bukan penyewa yang baik.""Aduh, si Neng. Jangan bilang gitu, ibu malah tambah gak enak. Neng Tika biar telat bayar kontrakan tapi sering bantu bersihkan rumput-rumput liar, pilah-pilah sampah, bantu kebersihan lingkungan kontrakan ini. Ibu sebetulnya mau gaji Neng untuk itu, tapi tahu sendiri kalau ibu juga punya uang dari mana." Ibu p
“Key, baju nya ganti ah jangan yang itu terus.” Mama mengomentari penampilanku. Sontak aku berhenti di ambang pintu dan melihat penampilanku sendiri di kaca jendela. Tidak ada yang aneh, biasa saja hanya celana bahan berwarna hitam dan kemeja merah bata.“Kenapa diganti, yang ini juga bagus.”Aku berputar-putar di depan mama memperlihatkan penampilanku dari depan lalu ke belakang.“Warnanya sudah kusam, lebih baik yang lain. Terus kamu gak dibedak?”Aku menyentuh wajahku, sedikit berminyak. Aku berlari ke depan cermin mematut bayanganku. Tanpa sengaja tatapanku jatuh pada foto Kim Jae Hee yang kutaruh di samping cermin. Aku mengusap lembut foto itu, foto yang kudapat setelah bersusah payah, berdesak-desakkan dengan ratusan penggemar lainnya.Kuyakini aku sanggup bertahan meski kau tak pernah di sampingku. Waktu yang membuatku bertahan. Aku berhasil menguasai kembali apa yang kumau, sama seperti sebelum aku sadar aku membutuhkan kehadiran mu, aku mampu bertahan sendiri. Kini aku percay
Hari ini, kegilaanku terus berlanjut. Karena semalam Ga Eun dan Hye Na tak sempat bertemu Kim Jae Hee mereka bersikeras agar aku mau kembali mengikuti jadwal Kim Jae Hee. Kali ini aku tidak memakai atribut apa pun yang berbau Kim Jae Hee, mereka kelihatan kecewa tapi aku tak mau mengambil resiko membuat Kim Jae Hee semakin muak padaku. Tapi sungguhkah Kim Jae Hee tidak suka melihatku, ekspresinya sulit dibaca. Aku hanya melihat kesedihan di matanya, mungkin ia sedih melihatku hancur.“kau juga harus menjaga kesehatanmu.” Setidaknya kalimat Kim Jae Hee semalam, membuatku yakin Kim Jae Hee masih mengkhawatirkan keadaanku.“Cha, Kita sudah sampai!” Kata Ga Eun, taksi yang kami tumpangi berhenti di depan sebuah rumah bergaya kontemporer. Setelah membayar ongkos taksi, aku ikut turun menyusul Ga Eun dan Hye Na. “Wah, kita beruntung, belum ada yang datang. Bebas pilih tempat!” Seru Hye Na, ia lalu mengeluarkan tikar tipis dari ranselnya.“Ini dimana?” Tanyaku.“Aish! Benar, kita belum bila
Aku merapikan ikatan rambutku saat hampir mendekati gerombolan fans Kim Jae Hee yang menunggu di depan gedung teater tempat Kim Jae Hee tampil hari ini. Lee Hye Na dan Jang Ga Eun, dua remaja yang baru kukenal tadi berjalan di depanku. Setelah sedikit mencari informasi, dua gadis itu akhirnya tahu jadwal keseluruhan Kim Jae Hee mulai hari ini hingga minggu depan. Dan kami, memutuskan untuk terus mengikuti Kim Jae Hee. Aku sadar aku bertindak terlalu jauh, tapi yang kulakukan kali ini karena hatiku yang mengatakannya. Aku hanya ingin melihat Kim Jae Hee, dan melihat bagaimana Kim Jae Hee saat melihatku. Setidaknya, aku ingin membuktikan bahwa waktu yang sempat kami habiskan cukup berarti untuk dipertahankan. “Onnie, kemari! Kita harus berbaris. Jangan sampai membuat fans lain marah.” Hye Na menarik lenganku dan memosisikanku di tengah di antara ia dan Ga Eun. Ga Eun lalu mengeluarkan kaus bergambar kartun Chibi Kim Jae Hee yang memenuhi seluruh bagian depan kaus dan menyodorkannya pad
“Jika tetap ingin pergi, maka pergilah! Kupastikan ini terakhir kalinya kita bertemu!” Teriak So Hee sebelum ia berlari pergi meninggalkan Kim Jae Hee sendirian di aula sekolah. Kim Jae Hee tak berniat sedikit pun mengejar So Hee. Bukan hanya Kim So Hee yang sedang kesal saat ini, Kim Jae Hee merasa ia yang lebih berhak kesal dibanding So Hee. Ia kesal pada Kim So Hee yang masih bersikap egois padahal usianya sudah menginjak 20. Acara reuni SMA mereka akar masalah pertengkaran mereka, sejak bulan lalu So Hee selalu melonjak kegirangan setiap membicarakan reuni SMA. So Hee bahkan bersedia menjadi sukarelawan agar acara itu bisa berjalan lancar. Sisa waktunya yang tidak digunakan untuk kuliah dihabiskan So Hee mengelilingi hampir seluruh penjuru Seoul, mengkoordinasikan semua pihak yang berhubungan dalam acara itu. Bobot tubuh So Hee sempat turun drastis karenanya, namun Kim Jae Hee tak mampu mencegah So Hee, karena sama sepertinya, So Hee akan semakin membangkang saat dilarang.Sepanj
“Bagaimana kau bisa tahu aku sakit?” Tanya Kim Jae Hee setelah ia selesai makan bubur buatan Keyla. Keyla tidak segera menjawab, ia menaruh mangkuk dan mengambil segelas air lalu menyodorkannya tepat di depan wajah Kim Jae Hee. “Minum.”kata Keyla pelan, ia menunduk menyembunyikan wajahnya yang rasanya sangat panas sejak kejadian beberapa menit yang lalu. Kim Jae Hee mengambil gelas di tangan Keyla, dan ia hampir saja tersedak saat menyadari alasan Keyla yang tiba-tiba pendiam.“Ya! Tak kusangka kau bisa malu.” Kata Kim Jae Hee, dan akhirnya tawanya meledak ketika melihat Keyla semakin menundukan kepala hingga dagunya hampir menyentuh dada.“Diamlah, apa kau tak mengerti ini baru bagiku.”“Benarkah? Jadi sebelumnya kau belum pernah berpacaran? jadi aku yang pertama.”Kim Jae Hee menepuk-nepuk dadanya sendiri, senyum bangga tercetak sangat jelas di wajahnya. “Aish! Tinggi sekali rasa percaya dirimu. Siapa bilang kau yang pertama, aku pernah pacaran sebelumnya!” Kata Keyla sengit, ia l
Kang Dong Jin tidak segera menjawab pertanyaan Keyla, ia menatap Keyla sejenak dengan alis bertaut lalu sedikit berdeham membersihkan tenggorokan.“Itu benar. Kim Jae Hee pernah mendorong seorang siswa dari lantai tiga. Tapi bukan karena siswa itu meminjam bukunya. Kim Jae Hee melakukannya karena ia lelah terus di bully. Semasa SMU Kim Jae Hee berbeda jauh dari Kim Jae Hee yang sekarang. Ia siswa dengan kacamata bulat tebal dengan buku yang selalu menempel di hidungnya. Lalu, anak-anak itu entah kesalahan apa yang dibuat Kim Jae Hee pada mereka, setiap hari Kim Jae Hee –kau tahu apa yang bisa mereka lakukan. Hingga hari itu, saat Kim Jae Hee sendirian di ruang seni di lantai tiga, mereka datang dan merobek buku yang sedang Kim Jae Hee baca. Mereka tidak tahu buku itu pemberian mendiang Kakek Kim Jae Hee. Akhirnya Kim Jae Hee berontak, ia berusaha mengambil kembali bukunya, salah satu siswa itu terus mengolok-olok Kim Jae Hee dan tak sadar ia sudah di ujung tangga. Anak itu jatuh, haru
“Bagaimana penampilanku?” Tanyaku pada Cellia, ia duduk di atas tempat tidurku. Sore ini, aku memintanya datang untuk membantuku berdandan ke pesta Girlband Dreams.“Baik, seperti Keyla biasanya.” Jawab Cellia sambil mengacungkan jempol kanannya, aku mendesah dan duduk di samping Cellia.“Aku merasa tak enak, seperti akan ada hal buruk. Apa mungkin aku salah kostum?” “Bagaimana mungkin, kamu bilang dress code nya casual. Tentu ini baik-baik saja.” Kata Cellia, ia menunjuk kaus putih dan celana jeans yang kupakai. “Ayolah, nyaman dengan dirimu sendiri. Ini resiko yang harus kamu hadapi karena bergaul dengan artis. Menghadiri pesta sudah makanan sehari-hari mereka.” Lanjut Cellia, ia lalu menyeringai jahil. “Apa penyanyi itu sudah menyatakan perasaanya?” Aku terkesiap dengan pertanyaan Cellia, “Apa maksudmu? Perasaan apa?”“Keyla, otakmu mungkin hanya diciptakan untuk membaca apa yang ditulis dalam buku. Baiklah kali ini aku akan berbaik hati menerangkannya, seorang laki-laki terlebi
Aneh sekali, jelas-jelas ia sendiri yang mengajak Keyla datang ke pesta ulang tahun ayahnya. Tapi kenapa hari ini Kim Jae Hee ingin menghindari gadis itu? memang, sejak awal pertemuan mereka Kim Jae Hee memang selalu bersikap dingin pada Keyla sama seperti pada gadis-gadis lain. Namun kali ini, Kim Jae Hee tak mampu mengambil sikapnya yang biasa. Ia seperti ada yang menyiramkan air dingin dalam hatinya saat bersama dengan Keyla. Kim Jae Hee merasa asing dengan rasa itu. Di tangannya, Kim Jae Hee memegang dua gelas cocktail. Minuman yang menjadi alasannya menghindar dari Keyla. Dan kini ia masih berdiri di tempatnya mengambil minuman. Apa yang selanjutnya ia lakukan? Memberikan minuman ini pada Keyla, mengobrol kemudian mengajak Keyla berdansa seperti yang tamu-tamu lain lakukan. Dan Kim Jae Hee yakin, keluarganya sedang mengamati gerak-geriknya.Ada sebuah suara yang berteriak meyakinkannya bahwa itu ide bagus. Apalagi yang dilakukan di pesta selain berdansa? Toh Kim Jae Hee tak meng