"Kamu adalah ahli waris golongan kedua. Karena semua anggota keluarga yang ada dalam golongan pertama telah tiada, secara hukum sekarang kamu adalah ahli waris satu-satunya dari Barata Sukma."
Ardian, salah seorang kepercayaan Barata menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Elang dan melanjutkan, "Amplop ini berisi rincian harta warisan yang akan kamu miliki. Rapat dewan direksi untuk mengukuhkan posisimu akan diadakan besok siang. Rapat itu hanya formalitas semata, karena almarhum ayahmu masih jadi pemegang saham utama tetapi Andini bersikeras menentang kehadiranmu."
"Berikan saja apa yang diminta perempuan tua itu. Aku tidak tertarik masuk ke dalam keluarga itu lagi!" Elang mengembalikan amplop coklat tadi tanpa merasa perlu membukanya.
Ardian tersenyum paham dan mengangguk. "Aku mengerti kamu masih dendam. Tapi, kamu sudah jadi pria dewasa sekarang, berpikirlah lebih rasional. Banyak orang yang menggantungkan hidup di SJ Grup, kamu tentu masih ingat tabiat tantemu, bukan? Tidak mungkin kita membiarkan orang seperti Andini yang mengelola perusahaan sebesar itu."
"Om bisa menunjuk salah satu karyawan paling hebat untuk menggantikan posisiku. Atau Om sendiri saja yang naik."
"Dasar bebal!" Ardian tanpa segan menepuk kepala Elang dengan amplop di tangannya. "Ini masalah hidup dan mati banyak orang, jangan bersikap seperti bocah!"
"Aku juga sama tidak kompetennya dengan Tante Andini. Aku sama sekali tidak pernah bersentuhan dengan manajemen perusahaan dan hal-hal membosankan, yang aku tahu hanya cara membenarkan pipa bocor, genteng pecah atau membetulkan kompor gas!"
"Kamu bisa mempelajarinya nanti, yang terpenting untuk saat ini adalah legitimasi kekuasaan. Semakin lama kita menunda pengangkatanmu, Andini akan akan semakin sewenang-wenang. Masalah kemampuanmu, aku yakin Barata tidak mungkin membiarkanmu pergi dengan kepala kosong sepuluh tahun lalu."
Elang diam tak membalas, ia tetap bersikukuh pada penolakannya. Melihat sikap Elang, Adrian merenggangkan ikatan dasinya dan berkata pasrah,
"Baiklah, aku hanya meminta waktumu selama satu tahun. Beri aku waktu selama satu tahun untuk mencari kandidat terbaik penggantimu, tapi selama satu tahun itu kamu harus mau memimpin perusahaan."
"Kalau aku tetap menolak?"
"Apa kamu sama sekali tidak tergiur dengan harta yang sekarang jadi milikmu?"
"Tidak, aku sudah puas dengan apa yang kumiliki sekarang."
"Dasar bocah!" sungut Adrian kesal.
Walau Elang lahir dan menjadi dewasa jauh dari ayahnya, sifat seenaknya Elang sangat mirip dengan sifat Barata. Adrian menyugar dan beralih duduk di kursi ruang makan. Sepuluh menit lalu, setibanya di rumah ini, Adrian tahu ia datang di waktu yang tidak tepat. Elang baru saja menikah, pemandangan yang sangat kontras dengan tempat yang baru saja Adrian tinggalkan, sebuah prosesi pemakaman empat anggota keluarga sekaligus dalam satu waktu.
"Kamu tahu, Lang. Barata sudah menyiapkan sebuah rumah untukmu dan istrimu tinggali bersama," ucap Adrian pelan, pria itu lalu tersenyum melihat ekspresi terkejut di wajah Elang. "Apa kamu kira Barata melepaskanmu begitu saja seperti membuang seekor kucing ke jalanan? Kami selalu mengawasi tindak-tandukmu, karena itu Barata tahu kamu akan menikah hari ini. Rumah itu adalah hadiah pernikahanmu."
"Rumah itu jauh lebih baik dari rumah ini. Jika kamu setuju, bukan hanya rumah melainkan semua harta milik keluargamu bisa bebas kamu gunakan. Mungkin kamu sudah merasa cukup dengan apa yang kamu punya sekarang, tapi apa kamu bisa membahagiakan istri dan anak-anakmu kelak hanya dengan itu? Bukankah kehidupan keluargamu nanti akan lebih baik dengan sokongan finansial yang kuat? Kamu lebih tahu sendiri bagaimana rasanya hidup dalam keterbatasan."
Elang menggertakkan giginya menahan marah. Elang bukan marah karena ucapan Ardian yang salah atau keterlaluan, justru sebaliknya. Selama hidup bersama Hanum, Elang bersahabat dengan kemiskinan. Elang tidak akan berbohong dengan mengatakan hidupnya menyenangkan, bagaimanapun uang dapat membuat semua hal lebih mudah.
"Pikirkanlah baik-baik, besok aku akan menjemputmu dan mendengar keputusan final darimu," pungkas Ardian. Pria itu tak dapat menahan diri untuk menyunggingkan senyum kemenangan, sekeras kepala apapun Elang, ia masih bocah ingusan yang mudah sekali berubah haluan. Melihat sorot mata Elang yang dalam, nampak jelas kalimat Ardian tadi cukup membekas di benak Elang.
***
"Celine demam? Mungkin efek dari tumbuh gigi. Iya, sudah dikompres? Ganti dengan baju yang longgar, sekarang! Iya, Bunda pulang sebentar lagi!"
Hani segera menutup sambungan telepon, raut panik sangat kentara di wajahnya. Ia harus pulang sekarang karena Celine pasti sedang menunggunya di rumah. Walau telah memberi instruksi yang sangat jelas pada pengasuh Celine, seorang anak tetap menginginkan sosok ibu kandungnya ketika sakit. Tetapi di sisi lain, Hani tidak bisa pergi begitu saja sekarang. Cindy ada di dalam kamar Atika, hal mengerikan bisa saja menimpa Atika sekarang.
"Ya Tuhan, terima kasih kamu datang!" Hani berseru penuh syukur ketika melihat Elang muncul dari tangga.
"Dengar, Lang, aku sahabat dekat Atika, Hani," kata Hani merasa perlu memperkenalkan diri, setidaknya mungkin Elang bisa membantunya kelak, ingat pria ini kaya sekarang. "Aku harus pulang sekarang, anakku tiba-tiba demam. Tapi di dalam Atika sedang bicara dengan Cindy. Entah kamu sudah tahu atau tidak, tapi biasanya pembicaraan mereka selalu berakhir tidak baik. Karena itu, aku mohon kamu berjaga di sini sewaktu-waktu Atika butuh bantuan, ya!"
Elang mengangguk singkat, sama sekali tidak tersenyum ramah seperti yang Hani lakukan.
"Hah, untung ganteng jadi dingin gitu masih termaafkan," bisik Hani seraya melenggang pergi dan berlari cepat menghampiri sepeda motornya di depan rumah.
"Diam!"
Teriakan Cindy dari dalam kamar membuat Elang berlari cepat mendekati pintu kamar Cindy. Tetapi tangannya berhenti meraih pegangan pintu ketika mendengar kalimat yang Cindy ucapkan.
“Terserah kamu anggap apa, aku gak peduli. Aku mau besok pagi kalian sudah berpisah. Kamu bisa pilih besok di rumah ini akan diadakan pesta pernikahanku dengan Elang atau pemakaman Papa.”
Elang mundur perlahan, lebih baik ia tidak berada di dalam. Ternyata topik itu yang sedang Cindy dan Atika bicarakan. Elang tidak mau memperkeruh suasana dan yang lebih penting, Elang tak ingin berdekatan dengan Cindy.
Sejak awal, Elang sudah tahu bahwa perempuan yang dijodohkan ibunya dengan Tante Anyelir adalah Cindy. Hanum mengatakan bahwa usia putri Tante Anyelir tidak berbeda jauh dengannya, sedangkan ketika Tante Anyelir menghubunginya lalu mengirimkan foto Atika. Elang menyadari Tante Anyelir telah menukar posisi calon pengantinnya. Namun Elang bersyukur bahwa yang menjadi istrinya kini adalah Atika, bukan Cindy.
Elang sama sekali tidak membenci Cindy karena pilihannya. Bukan hal aneh jika dulu Cindy menolak perjodohan itu, perempuan manapun akan berpikir berkali-kali jika dijodohkan dengan pria yang tidak jelas masa depannya seperti dirinya. Tetapi, meminta Atika berpisah dengannya dan menginginkan pernikahan dengan Elang berbeda hal, tidak tahu malu bahkan terlalu halus untuk menggambarkan sikap Cindy. Selain itu, menikahi Atika adalah hal selalu Elang impikan. Sampai kapanpun, ia tak akan pernah membiarkan Atika pergi dari hidupnya lagi.
"Ah, kamu ada di sini, Lang." Cindy terkejut melihat Elang berdiri bersandar pada dinding di bordes kamar, nada suara gadis itu teramat lembut sangat berbeda dengan kemarin malam. "Kamu sudah makan siang?Di dekat sini ada resto yang punya steak enak, ke sana, yuk! Kemarin kita belum sempat ngobrol banyak."
Tanpa malu Cindy mengamit lengan Elang namun dengan cepat pria itu menepis pegangan Cindy.
"Aku mau istirahat."
"Kamu!" Cindy tersentak dengan sikap kasar Elang, belum pernah ada pria yang menolaknya sebelum ini. Tapi dengan cepat gadis itu mengendalikan diri, ia kemudian tersenyum manis yang tampak sangat menjijikan di depan Elang.
"Baiklah, kamu pasti masih shock dengan berita keluargamu, ya. Aku minta maaf karena kurang peka. Tapi, lain kali kamu harus mau menerima ajakanku makan bersama, ya!"
Elang merasa tak perlu menjawab ajakan Cindy, pria itu hanya ingin melihat pengantinnya sekarang.
Tanpa suara, Elang membuka dan menutup pintu kamar Atika. Istrinya tengah berbaring memunggunginya. Elang menebak kemungkinan besar Atika sekarang sedang kebingungan. Istrinya itu sejak dulu adalah tipe orang yang lebih suka mengorbankan kepentingan dirinya sendiri demi kebahagiaan orang lain. Istrinya, Elang tak dapat menahan seulas senyum menyadari bahwa Atika kini telah resmi menjadi istrinya.
"Han, akhirnya aku percaya karma itu ada. Aku pernah sengaja menunggu Daffa di kamar hotel satu hari sebelum dia menikah sepuluh tahun lalu. Aku berharap Daffa membatalkan pernikahannya waktu itu. Sekarang, aku kena karma. Cindy memintaku membatalkan pernikahan ini. Kalau tidak, Cindy akan mengatakan perbuatanku itu pada Papa."
"Hani, kenapa diam saja? Jawab, aku harus bagaimana?"
"Apa kamu menghabiskan malam bersama pria itu?"
Elang tak dapat berpikir jernih sekarang, kepalanya terasa panas dan hampir meledak. Belum redam emosi yang Elang rasakan karena kedatangan Ardian tadi, Elang dihadapkan pada kemungkinan Atika yang ingin mengakhiri pernikahan mereka. Elang pernah kehilangan orang-orang yang ia kasihi, berkali-kali. Tapi kali ini, Elang tak akan membiarkan Atika seperti ayah dan ibunya yang 'membuangnya' begitu saja.
"Elang, aku gak tahu kamu ada di sini. Aku, aku bisa jelaskan," kata Atika bodoh, memangnya apa yang akan ia jelaskan pada suaminya sekarang? semakin dijelaskan bukannya malah semakin membongkar aib masa lalunya sendiri. Tetapi demi apapun, Atika sekarang amat ketakutan melihat sosok Elang yang sedang marah. Baru sekali ini, Atika merasa bahwa suaminya bukanlah anak yang lebih muda sebelas tahun darinya.
"Tidak perlu dijelaskan, lebih baik kita buktikan saja langsung," geram Elang sigap menerkam lalu mengungkung Atika membuat gadis itu tidak dapat lari dan berkutik di atas tempat tidur.
“Bangun!” kata Elang tegas, membuat Atika cepat membuka mata. Jantungnya berdetak kencang serasa ditarik paksa keluar, dan Atika tak dapat mengabaikan rasa ngilu di sekujur tubuh, terutama di bagian paling privasinya yang kini berdenyut perih. Atika menahan nafas teringat kembali apa yang menimpanya beberapa saat lalu. Atika dirudap*ksa oleh suamiya sendiri. Meskipun mereka telah sah menjadi suami istri, Elang sama sekali tidak merasa perlu meminta persetujuan Atika saat menghampirinya. Pria itu memperlakukan Atika tak lebih dari seorang perempuan pemuas nafsu belaka. Bahkan, tak ada kasih sayang atau kelembutan dalam setiap sentuhan yang Elang berikan. Atika mengerti, Elang tentu marah mendengar masa lalu Atika. Namun tetap saja tidak menjadi alasan pembenaran untuk perlakuan kasar yang Elang lakukan. Belum genap satu hari Atika menjadi istri Elang, sudah tergambar jelas kehidupan pernikahannya kelak bersama pria ini. “Setelah ini siapkan barang-barang yang perlu kamu bawa. Nanti
Elang meraih ponselnya dan mengangkat panggilan yang baru saja berdering, sementara Atika masih merasa melayang. Kupu-kupu sepertinya beterbangan dengan riang di perutnya. Mulai sekarang Atika harus selalu waspada jika sewaktu-waktu Elang berubah agresif seperti tadi, jangan lupakan berapa usia suaminya sekarang, hormon ‘kelaki-lakian’ Elang tengah berkembang pesat. “Aku tidak bercanda, Om. Kami akan pindah malam ini, bahkan kalau bisa secepatnya,” kata Elang pada ponselnya, pria itu melirik sekilas Atika. “Om tidak perlu tahu detailnya, yang jelas aku ingin segera membawa istriku keluar dari rumah ini. Terlalu banyak pengaruh buruk untuknya di sini.” Atika membeliak tak percaya mendengar ucapan Elang. “Bagus, aku tunggu!” “Apa maksudnya pengaruh buruk? Baru satu hari kamu sudah berani mengejek keluargaku!” serobot Atika begitu Elang tidak lagi bicara dengan ponselnya. “Dasar Naif!” decak Elang tak sabar, pria itu berbalik dan meraih tas ranselnya. “Aku tidak akan berdebat untuk
“Kamu tidak keberatan kita satu kamar, kan?”Atika tahu Elang tidak bertanya, sebaliknya pria itu hanya menegaskan apa keinginannya.“Terserah, aku gak peduli,” jawab Atika masih sambil menaruh pakaian yang ia bawa dari rumah ke dalam lemari yang besarnya hampir memenuhi satu sisi dinding kamar. “Kalau bukan karena alasan sentimental, kamu boleh membuang baju-baju itu. Sepertinya mereka terlalu kontras dengan baju yang disiapkan Om Ardian,” kata Elang saat Atika terdiam menatap isi lemari mereka. Sudah tiga kali Atika terlihat tak nyaman begitu menginjakkan kaki di rumah pemberian ayah Elang. Pertama, ketika Rika, kepala asisten rumah tangga menyambut mereka di halaman tadi. Atika hampir saja terjatuh karena tersandung kakinya sendiri saat Rika hendak membawakan tote bag milik Atika. Kedua, saat salah seorang pelayan yang entah sengaja atau tak sadar mengucapkan kalimat, “Lebih tua, ya.”Semenjak itu, Atika terus melihat ujung sepatunya. Elang bersumpah, setelah ini ia akan mencari
“Benar yang dikatakan orang-orang, percuma susah payah memungut anjing liar, pada akhirnya mereka akan selalu kembali pada kebiasaan aslinya!”Suara cempreng dan melengking menyambut Atika dan Elang di pintu gerbang rumah. Atika terpaksa harus memicingkan mata agar dapat melihat jelas siapa yang berdiri di ambang pintu, karena gemerlap perhiasan yang dikenakan perempuan itu berkolaborasi meriah dengan cahaya lampu gantung dari dalam rumah, membuat Atika seperti sedang melihat ke arah lampu 200 Watt.“Sungguh memalukan! Bagaimana bisa pemilik SJ Grup malah makan di tepi jalan seperti seorang gelandangan? Walau rindu pada kebiasaan lama, tapi berusahalah menahan diri! Jangan buat orang lain malu akan tingkahmu!”“Apa yang Tante lakukan di sini?” tanya Elang tanpa basa-basi, refleks pria itu menarik Atika ke belakang punggungnya.“Cih! Dasar bocah congkak! Baru satu hari jadi pewaris, sudah besar kepala! Kalau bukan atas usulku, namamu tidak mungkin ada di dalam surat warisan itu!”Elang
“Nyonya, biar kami saja yang beberes. Ini tugas kami,” ucap pelayan berambut ikal seraya merebut gagang sapu dari tangan Atika. “Gak apa-apa. Aku gak sengaja memecahkan vas bunga ini, kalian lakukan pekerjaan yang lain saja.” Atika hendak kembali merebut sapu tapi sapu itu tiba-tiba berpindah ke tangan orang lain.“Kami mohon kerja sama Anda, Nyonya. Sudah tugas kami membersihkan rumah ini, kalau Nyonya ingin melakukannya sendiri, itu sama saja artinya Nyonya ingin memecat kami,” kata Rika tegas.Suara kaku kepala asisten rumah tangga itu membuat bulu kuduk Atika meremang. Secara hierarki, Rika adalah orang yang bekerja pada Atika tetapi pembawaan Rika membuat Atika menciut seketika.“Aku memang tidak cocok jadi bos,” batin Atika.“Bersihkan pecahan kacanya, jangan sampai ada yang tersisa!” perintah Rika pada asistennya, lalu menoleh pada Atika.“Nyonya, tadi Pak Elang menitipkan pesan agar Nyonya segera bersiap untuk makan siang bersama di luar dan Pak Elang juga bilang untuk menyal
"Ada apa?" tanya Elang ketika Atika hanya diam tak menjawab. "Kamu tidak suka kita terus tinggal di sini?" Atika menaruh tangannya ke atas pangkuan, sebenarnya sejak hari pernikahan mereka ada pertanyaan yang bercokol di benak Atika, tetapi ia belum mendapatkan kesempatan yang tepat menanyakannya langsung. Sepertinya sekarang waktunya. "Ada satu hal yang ingin aku tahu darimu." "Tanyakan saja, aku suka kamu mulai penasaran tentangku." "Sebenarnya apa...." Baru saja Atika hendak bertanya, ponsel Elang berdering keras menginterupsi perkataan Atika. Tanpa berpikir Elang menekan tombol tolak dan berkata, "Lanjutkan." “Terima saja teleponnya, siapa tahu itu penting,” ujar Atika, sekilas ia melihat nama Ardian di layar ponsel Elang. “Tidak ada yang lebih penting, kita sedang bicara sekarang. Lanjutkan.” “Jantungku, jantungku...aku mohon berhenti berulah!” batin Atika mengutuki jantungnya yang tak berhenti menari sejak memasuki kamar hotel. “Itu, apa gak ada yang menunggu kamu di d
“Bagus, aku tahu kamu ada di sini! kenapa tidak menjawab panggilanku? Oh, tidak maafkan aku!” Ardian berdiri membeku di ambang pintu melihat pemandangan yang seharusnya tak ia lihat sekarang. Begitu pula dengan Atika yang segera bangkit bangun dari kursi menjauhi Elang. Jangan tanyakan seperti apa wajah Atika sekarang, kalau saja Atika bisa berubah menjadi hewan, Atika ingin berubah jadi undur-undur agar bisa bersembunyi di bawah tanah sekarang juga.“Ada apa Om ke sini?” tanya Elang ketus, tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya.“Aku sudah mendapatkan informasi yang kamu cari. Tapi sepertinya kita tidak bisa membicarakannya sekarang.”Atika memahami dengan cepat maksud perkataan Ardian, ia meraih tas tangannya.“Kalian bicara saja di sini, aku akan pulang lebih dulu.”“Tidak, kamu tunggu di sini, Tika. Om Ardian bisa katakan sekarang saja,” kata Elang menahan pergelangan tangan Atika.Ardian menghela nafas panjang, mulai kesal melihat tingkah Elang yang kekanak-kanakan. Sepertiny
"Aku sudah menemukan orang yang kamu cari," ujar Ardian setelah Atika menghilang di balik pintu. Pria itu memperlihatkan ponselnya pada Elang. "Kamu harus mempersiapkan diri, musuhmu ternyata lebih dekat dari yang kamu duga. Dia manajer pengembangan produk yang baru."Elang menelusuri data yang diberikan Ardian. Semakin lama Elang membaca, semakin dalam kerutan di kening pria itu. "Pecat atau pindahkan dia ke luar kota secepatnya," perintah Elang kemudian menaruh ponsel Ardian ke atas meja."Aku tidak bisa menjanjikannya.""Kenapa? Seharusnya itu hal yang mudah, kan.""Mudah kalau Daffa bukan karyawan yang punya banyak prestasi. Bukannya sudah aku cantumkan terobosan apa saja yang pernah Daffa buat? Hampir semua produk kita yang laris di pasaran, buah ide Daffa," jelas Ardian. "Baru dua bulan lalu Daffa dipromosikan jadi manajer pengembangan produk di kantor pusat. Kalau kita memecatnya atau membuat Daffa dimutasi tanpa alasan yang jelas, Serikat pekerja tidak akan diam saja.""Lalu