“SJ Grup? Gila, itu kan perusahaan yang produksi sate instan kesukaan Mas Aris! Mereka juga punya dua ribuan lebih waralaba minimarket. Suami kamu sekarang pewaris tunggalnya, ini bukan durian runtuh tapi sekebon durian runtuh semua!” Hani berjalan hilir mudik di kamar Atika sambil menggeser layar ponselnya, lalu berhenti dan menatap kosong ke arah Atika. “Kamu sekarang orang tajir, Tika!”
Alih-alih membalas ucapan riang Hani, Atika merebut ponsel Hani dan menggulirkan berita tentang perusahaan yang ‘katanya’ sekarang menjadi milik suaminya. Bukan berita tentang berapa besar bisnis dan aset yang dimiliki sang almarhum mertua yang menarik perhatian Atika, melainkan berita tentang kecelakaan pesawat pribadi yang menimpa keluarga Elang.Peristiwa itu terjadi kemarin pagi di atas perairan Belanda. Ayah, Ibu tiri serta dua saudari tiri Elang ada di dalam pesawat itu. Mereka sedang dalam perjalanan berlibur ke luar negeri. Tiba-tiba pesawat hilang kontak dan beberapa jam kemudian, pesawat dinyatakan hilang kendali dan jatuh ke dasar laut. Semua korban telah ditemukan dan dinyatakan tidak terselamatkan.
“Elang pasti sedih sekarang, semua keluarganya meninggal bersamaan,” ucap Atika lirih. “Tapi tadi dia keliatan dingin banget, loh. Kayanya Elang gak begitu deket sama keluarga ayahnya, buktinya gak ada yang ngira ternyata Elang anak dari pemilik SJ Grup, orang hidupnya susah.”“Tapi seenggak dekatnya pun, pasti sedih tiba-tiba jadi sebatang kara. Aku gak bisa bayangin gimana perasaan Elang sekarang.”Hani tersenyum jahil dan mendekati Atika. “Sekarang kan ada kamu istrinya, Tika. Ada kamu, satu-satunya keluarga Elang. Aku memang gak salah berinvestasi jadi sahabat kamu, ya! Kamu mau jadi Rich Aunty-nya anakku, kan?” “Yang kaya itu Elang, bukan aku.” “Bagus kalau kamu sadar diri!”Lagi-lagi Cindy muncul dan masuk ke dalam kamar Atika tanpa permisi. Cindy melipat kedua tangan di dada dan berjalan mendekati Atika. “Ya ampun, Cindy! Bisa gak sih ketuk dulu kalau mau masuk kamar orang? Apalagi sekarang kakak kamu itu udah menikah, tabu hukumnya kamu seenaknya masuk gitu aja! Untung Atika bukan lagi sama Elang!” bentak Hani kesal. “Berisik! Keluar sana, ada yang mau aku omongin sama Atika berdua!” Atika menggangguk pada Hani, meminta sahabatnya itu mengikuti permintaan adik tirinya. Raut muka Cindy sangat kelam, Atika tak ingin ada keributan lain di hari pernikahannya. “Aku ada di luar, kamu teriak aja langsung kalau ada apa-apa,” kata Hani sebelum menutup pintu kamar. “Kamu belum lupa percakapan kita semalam, kan?” tanya Cindy mengintimidasi. “Jodoh Elang sebenarnya itu aku, karena yang membuat janji perjodohan dengan ibunya Elang itu Mami, bukan ibu kamu yang ada di dalam tanah!” “Aku ingat.” “Bagus, kalau begitu sekarang kembalikan Elang.” Atika menengadah menatap heran pada Cindy. “Kembalikan, apa maksudnya?” “Aku ingin kamu dan Elang membatalkan pernikahan kalian segera.” “Kamu sekarang berubah pikiran dan mau menikah dengan Elang setelah tahu dia orang kaya,” tebak Atika tepat sasaran. “Apa alasannya gak penting. Aku cuma mau semua kembali ke posisinya semula, dari sisi manapun aku yang lebih cocok jadi istri Elang. Secara penampilan kami sepadan, aku gak bakal bikin malu Elang ketika memperkenalkan istrinya ke depan publik.” “Tapi, kemarin kamu bilang tidak mau menikah dengan Elang. Pernikahan bukan ajang main-main, bisa kamu buang dan ambil sesukanya.” “Memangnya kenapa? Lagipula pernikahan kalian belum resmi tercatat. Kamu cukup minta Elang menceraikan kamu, atau apapun caranya aku gak peduli, yang jelas aku mau kalian berpisah dan Elang menikah denganku.” “Cindy, kamu gak bisa bertindak seenaknya seperti sekarang.” “Diam!” teriak Cindy, dengan wajah memerah gadis itu berjalan semakin mendekati Atika sehingga kini wajah mereka berdekatan bahkan Atika bisa merasakan nafas Cindy yang berembus di pipinya. “Kamu lihat Papa di bawah, Papa sudah sakit-sakitan. Apa kamu mau aku bongkar kejadian sepuluh tahun lalu saat kamu berusaha membatalkan pernikahan si benalu itu? Kalau Papa sampai tahu, dan kondisinya memburuk kamu mau menanggung akibatnya?” “Kamu mengancamku sekarang?” “Terserah kamu anggap apa, aku gak peduli. Aku mau besok pagi kalian sudah berpisah. Kamu bisa pilih besok di rumah ini akan diadakan pesta pernikahanku dengan Elang atau pemakaman Papa.” “Kamu keterlaluan, kamu anak kandungnya Papa juga!” Cindy tersenyum mengejek. “Papa juga dulu membunuh istrinya demi menikah dengan orang yang ia cintai, jadi jangan salahkan aku kalau memiliki sifat yang sama.” Atika tercengang tak sanggup membalas lagi. Benaknya kini sibuk dengan kalimat yang baru saja Cindy katakan. “Papa gak mungkin, kamu bohong!” “Silakan cari saja kebenarannya sendiri kalau tidak percaya. Tapi untuk sekarang, pikirkan saja bagaimana caranya berpisah dengan Elang dan buat dia jadi suamiku. Aku juga memikirkan kebaikanmu. Berbeda jika menjadi suamiku, orang-orang tidak akan mengasihani Elang karena memiliki istri yang sudah tua.”Setelah merasa maksudnya tersampaikan dengan baik, Cindy menarik pegangan pintu dan menutupnya kencang hingga berdebam. Atika kehilangan tenaga, ancaman Cindy sungguh menyedot semua energi Atika. Perlahan Atika menenggelamkan tubuhnya ke atas tempat tidur, ia berbalik dan berbaring telungkup membelakangi pintu.
Permintaan Cindy tidak masuk akal, seakan-akan menunjukan bahwa pernikahan Atika hanya tentang jual beli semata, padahal lebih daripada itu. Walau pernikahan Atika dan Elang baru sah secara agama dan belum tercatat di mata hukum negara, tetapi baik Atika dan Elang tidak pernah menganggap pernikahan mereka main-main.
Tanggung jawab yang semula dipikul Papa kini telah berganti menjadi milik Elang. Begitu pula sebaliknya, bakti Atika mulai hari ini hanya pada Elang, suaminya. Sebab ijab qabul antara Ayah Atika dan Elang telah diucapkan, atap surga pun bergetar karena perjanjian yang langsung disaksikan oleh Tuhan dan Malaikat.
Tapi, Atika tidak mungkin mengabaikannya begitu saja. Cindy memegang kartu As Atika. Sejarah hitam Atika yang terjadi sepuluh tahun lalu, tidak ada yang tahu kejadian hari itu. Bahkan Hani, yang tahu persis kapan tanggal Atika mendapatkan menstruasi pertamanya pun, tidak tahu peristiwa kelam itu. Hanya Atika, Cindy dan Daffa yang mengetahuinya.
Atika tak mungkin membiarkan Cindy membongkar aib masa lalunya. Kondisi Papa pasti akan jatuh jika tahu Atika pernah melakukan hal gila itu, dan Atika tidak mau hal buruk menimpa Papa terlebih jika ia sendiri yang menjadi penyebabnya.
Suara derak pintu perlahan dibuka menyentak Atika dari renungannya. Atika semakin memejamkan matanya, dan mempertimbangkan apa ini waktu yang tepat untuk menceritakan kisahnya pada Hani? Setidaknya mungkin Hani bisa memberinya solusi atas masalah Atika seperti sebelumnya.
"Han, akhirnya aku percaya karma itu ada. Aku pernah sengaja menunggu Daffa di kamar hotel satu hari sebelum dia menikah sepuluh tahun lalu. Aku berharap Daffa membatalkan pernikahannya waktu itu. Sekarang, aku kena karma. Cindy memintaku membatalkan pernikahan ini. Kalau tidak, Cindy akan mengatakan perbuatanku itu pada Papa."
Hening tak ada sahutan. Alis Atika berkerut.
"Hani, kenapa diam saja? Jawab, aku harus bagaimana?"
Atika cepat berbalik dan jantungnya serasa terjun ke perut. Bukan Hani yang ada di dalam kamarnya, melainkan Elang. Jika tatapan bisa membunuh, Atika yakin ia sudah mati menjadi serpihan kecil karena tatapan tajam mata Elang. Wajah Elang yang semula bersinar terang kini hanya mengeluarkan aura kegelapan. Tidak, sepertinya Atika baru saja menuliskan sendiri tanggal kematiannya.
"Apa kamu menghabiskan malam bersama pria itu?"
"Kamu adalah ahli waris golongan kedua. Karena semua anggota keluarga yang ada dalam golongan pertama telah tiada, secara hukum sekarang kamu adalah ahli waris satu-satunya dari Barata Sukma."Ardian, salah seorang kepercayaan Barata menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Elang dan melanjutkan, "Amplop ini berisi rincian harta warisan yang akan kamu miliki. Rapat dewan direksi untuk mengukuhkan posisimu akan diadakan besok siang. Rapat itu hanya formalitas semata, karena almarhum ayahmu masih jadi pemegang saham utama tetapi Andini bersikeras menentang kehadiranmu.""Berikan saja apa yang diminta perempuan tua itu. Aku tidak tertarik masuk ke dalam keluarga itu lagi!" Elang mengembalikan amplop coklat tadi tanpa merasa perlu membukanya.Ardian tersenyum paham dan mengangguk. "Aku mengerti kamu masih dendam. Tapi, kamu sudah jadi pria dewasa sekarang, berpikirlah lebih rasional. Banyak orang yang menggantungkan hidup di SJ Grup, kamu tentu masih ingat tabiat tantemu, bukan? Tidak mung
“Bangun!” kata Elang tegas, membuat Atika cepat membuka mata. Jantungnya berdetak kencang serasa ditarik paksa keluar, dan Atika tak dapat mengabaikan rasa ngilu di sekujur tubuh, terutama di bagian paling privasinya yang kini berdenyut perih. Atika menahan nafas teringat kembali apa yang menimpanya beberapa saat lalu. Atika dirudap*ksa oleh suamiya sendiri. Meskipun mereka telah sah menjadi suami istri, Elang sama sekali tidak merasa perlu meminta persetujuan Atika saat menghampirinya. Pria itu memperlakukan Atika tak lebih dari seorang perempuan pemuas nafsu belaka. Bahkan, tak ada kasih sayang atau kelembutan dalam setiap sentuhan yang Elang berikan. Atika mengerti, Elang tentu marah mendengar masa lalu Atika. Namun tetap saja tidak menjadi alasan pembenaran untuk perlakuan kasar yang Elang lakukan. Belum genap satu hari Atika menjadi istri Elang, sudah tergambar jelas kehidupan pernikahannya kelak bersama pria ini. “Setelah ini siapkan barang-barang yang perlu kamu bawa. Nanti
Elang meraih ponselnya dan mengangkat panggilan yang baru saja berdering, sementara Atika masih merasa melayang. Kupu-kupu sepertinya beterbangan dengan riang di perutnya. Mulai sekarang Atika harus selalu waspada jika sewaktu-waktu Elang berubah agresif seperti tadi, jangan lupakan berapa usia suaminya sekarang, hormon ‘kelaki-lakian’ Elang tengah berkembang pesat. “Aku tidak bercanda, Om. Kami akan pindah malam ini, bahkan kalau bisa secepatnya,” kata Elang pada ponselnya, pria itu melirik sekilas Atika. “Om tidak perlu tahu detailnya, yang jelas aku ingin segera membawa istriku keluar dari rumah ini. Terlalu banyak pengaruh buruk untuknya di sini.” Atika membeliak tak percaya mendengar ucapan Elang. “Bagus, aku tunggu!” “Apa maksudnya pengaruh buruk? Baru satu hari kamu sudah berani mengejek keluargaku!” serobot Atika begitu Elang tidak lagi bicara dengan ponselnya. “Dasar Naif!” decak Elang tak sabar, pria itu berbalik dan meraih tas ranselnya. “Aku tidak akan berdebat untuk
“Kamu tidak keberatan kita satu kamar, kan?”Atika tahu Elang tidak bertanya, sebaliknya pria itu hanya menegaskan apa keinginannya.“Terserah, aku gak peduli,” jawab Atika masih sambil menaruh pakaian yang ia bawa dari rumah ke dalam lemari yang besarnya hampir memenuhi satu sisi dinding kamar. “Kalau bukan karena alasan sentimental, kamu boleh membuang baju-baju itu. Sepertinya mereka terlalu kontras dengan baju yang disiapkan Om Ardian,” kata Elang saat Atika terdiam menatap isi lemari mereka. Sudah tiga kali Atika terlihat tak nyaman begitu menginjakkan kaki di rumah pemberian ayah Elang. Pertama, ketika Rika, kepala asisten rumah tangga menyambut mereka di halaman tadi. Atika hampir saja terjatuh karena tersandung kakinya sendiri saat Rika hendak membawakan tote bag milik Atika. Kedua, saat salah seorang pelayan yang entah sengaja atau tak sadar mengucapkan kalimat, “Lebih tua, ya.”Semenjak itu, Atika terus melihat ujung sepatunya. Elang bersumpah, setelah ini ia akan mencari
“Benar yang dikatakan orang-orang, percuma susah payah memungut anjing liar, pada akhirnya mereka akan selalu kembali pada kebiasaan aslinya!”Suara cempreng dan melengking menyambut Atika dan Elang di pintu gerbang rumah. Atika terpaksa harus memicingkan mata agar dapat melihat jelas siapa yang berdiri di ambang pintu, karena gemerlap perhiasan yang dikenakan perempuan itu berkolaborasi meriah dengan cahaya lampu gantung dari dalam rumah, membuat Atika seperti sedang melihat ke arah lampu 200 Watt.“Sungguh memalukan! Bagaimana bisa pemilik SJ Grup malah makan di tepi jalan seperti seorang gelandangan? Walau rindu pada kebiasaan lama, tapi berusahalah menahan diri! Jangan buat orang lain malu akan tingkahmu!”“Apa yang Tante lakukan di sini?” tanya Elang tanpa basa-basi, refleks pria itu menarik Atika ke belakang punggungnya.“Cih! Dasar bocah congkak! Baru satu hari jadi pewaris, sudah besar kepala! Kalau bukan atas usulku, namamu tidak mungkin ada di dalam surat warisan itu!”Elang
“Nyonya, biar kami saja yang beberes. Ini tugas kami,” ucap pelayan berambut ikal seraya merebut gagang sapu dari tangan Atika. “Gak apa-apa. Aku gak sengaja memecahkan vas bunga ini, kalian lakukan pekerjaan yang lain saja.” Atika hendak kembali merebut sapu tapi sapu itu tiba-tiba berpindah ke tangan orang lain.“Kami mohon kerja sama Anda, Nyonya. Sudah tugas kami membersihkan rumah ini, kalau Nyonya ingin melakukannya sendiri, itu sama saja artinya Nyonya ingin memecat kami,” kata Rika tegas.Suara kaku kepala asisten rumah tangga itu membuat bulu kuduk Atika meremang. Secara hierarki, Rika adalah orang yang bekerja pada Atika tetapi pembawaan Rika membuat Atika menciut seketika.“Aku memang tidak cocok jadi bos,” batin Atika.“Bersihkan pecahan kacanya, jangan sampai ada yang tersisa!” perintah Rika pada asistennya, lalu menoleh pada Atika.“Nyonya, tadi Pak Elang menitipkan pesan agar Nyonya segera bersiap untuk makan siang bersama di luar dan Pak Elang juga bilang untuk menyal
"Ada apa?" tanya Elang ketika Atika hanya diam tak menjawab. "Kamu tidak suka kita terus tinggal di sini?" Atika menaruh tangannya ke atas pangkuan, sebenarnya sejak hari pernikahan mereka ada pertanyaan yang bercokol di benak Atika, tetapi ia belum mendapatkan kesempatan yang tepat menanyakannya langsung. Sepertinya sekarang waktunya. "Ada satu hal yang ingin aku tahu darimu." "Tanyakan saja, aku suka kamu mulai penasaran tentangku." "Sebenarnya apa...." Baru saja Atika hendak bertanya, ponsel Elang berdering keras menginterupsi perkataan Atika. Tanpa berpikir Elang menekan tombol tolak dan berkata, "Lanjutkan." “Terima saja teleponnya, siapa tahu itu penting,” ujar Atika, sekilas ia melihat nama Ardian di layar ponsel Elang. “Tidak ada yang lebih penting, kita sedang bicara sekarang. Lanjutkan.” “Jantungku, jantungku...aku mohon berhenti berulah!” batin Atika mengutuki jantungnya yang tak berhenti menari sejak memasuki kamar hotel. “Itu, apa gak ada yang menunggu kamu di d
“Bagus, aku tahu kamu ada di sini! kenapa tidak menjawab panggilanku? Oh, tidak maafkan aku!” Ardian berdiri membeku di ambang pintu melihat pemandangan yang seharusnya tak ia lihat sekarang. Begitu pula dengan Atika yang segera bangkit bangun dari kursi menjauhi Elang. Jangan tanyakan seperti apa wajah Atika sekarang, kalau saja Atika bisa berubah menjadi hewan, Atika ingin berubah jadi undur-undur agar bisa bersembunyi di bawah tanah sekarang juga.“Ada apa Om ke sini?” tanya Elang ketus, tidak berusaha menyembunyikan kekesalannya.“Aku sudah mendapatkan informasi yang kamu cari. Tapi sepertinya kita tidak bisa membicarakannya sekarang.”Atika memahami dengan cepat maksud perkataan Ardian, ia meraih tas tangannya.“Kalian bicara saja di sini, aku akan pulang lebih dulu.”“Tidak, kamu tunggu di sini, Tika. Om Ardian bisa katakan sekarang saja,” kata Elang menahan pergelangan tangan Atika.Ardian menghela nafas panjang, mulai kesal melihat tingkah Elang yang kekanak-kanakan. Sepertiny