"Atika, Papa akan menikahkanmu dengan pria pilihan Papa dan Mami. Sekarang dia dalam perjalanan ke sini untuk melamarmu."
Niat hati ingin menyapa ayahnya yang terbaring lemah karena stroke yang melanda tubuhnya, Atika justru dikejutkan dengan ucapan yang tak pernah disangka olehnya.
Mencoba meredam rasa terkejutnya, Atika menghampiri ayahnya, dan duduk di sampingnya. Tangan wanita itu sigap menyentuh tangan sang ayah, dan memijatnya dengan halus.
"Pa, Tika tahu, kalau Papa kepikiran sama umur Tika yang udah gak muda lagi, tapi, ini terlalu cepat dan tiba-tiba. Tika perlu mengenal pria itu lebih dulu, Pa." ucap Tika, menatap sosok ayahnya dengan sendu.
"Jangan khawatir, pria itu orang baik-baik. Mami dan ibunya dulu sahabat dekat, jadi kamu gak perlu khawatir dengan asal-usul keluarganya," kata ayahnya berusaha menenangkan.
Tetapi yang terjadi sebaliknya. Atika justru semakin tak tenang mengetahui bahwa calon suami pilihan ayahnya adalah anak dari sahabat Mami Anyelir.
Atika pernah membayangkan bahwa pernikahan adalah salah satu pintu gerbang kebebasannya dari neraka yang dibuat Mami Anyelir dan Cindy, ibu dan adik tirinya. Karena itu pulalah dulu Atika mengerahkan seluruh upaya untuk memperjuangkan hubungannya dengan Daffa, mantannya. Tetapi saat Daffa mengecewakannya, Atika tak pernah berani berkhayal lagi tentang pernikahan.
Mendengar calon suaminya kini adalah orangnya Mami Anyelir, Atika sudah dapat membayangkan ia hanya akan keluar dari mulut harimau untuk kemudian masuk ke dalam lubang buaya.
“Pa, Tika masih ingin merawat Papa sampai sembuh dulu, baru setelah itu Atika berani memikirkan masalah pernikahan,” kilah Atika.
“Papa sudah empat tahun melakukan segalanya di atas tempat tidur, mau tunggu berapa lama lagi? Keburu tambah banyak usiamu, Nak.”
Belum sempat Atika memikirkan bagaimana caranya untuk menolak atau menunda rencana ayahnya dan Mami Anyelir, pintu kamar tiba-tiba terbuka memperlihatkan Mami Anyelir dengan wajah masamnya.
"Elang sudah datang, dia menunggu kamu dan Papa di ruang tamu."
***
"Duduk, Lang. Jangan berdiri di depan pintu gitu, norak!" ucap Mami Anyelir tanpa perasaan.
"Iya, Bulik." "Jangan panggil Bulik! Dari dulu aku gak suka panggilan yang ibumu kasih, kami cuma temenan tok. Bukan saudara. Panggil Bu Anyelir saja!" "Nggeh, Bu." Atika menonton adegan tadi dari celah pembatas ruang tamu dan ruang keluarga. Demi apapun, Atika tidak akan pernah siap menikah dengan pria bernama Elang Sukma itu. Elang memang tampan. Tidak, kata yang tepat adalah teramat sangat tampan. Walau hanya mengenakan kaos putih polos yang dipadukan dengan jeans belel, serta tas ransel yang diselempang asal tak memudarkan ketampanan pria yang detik ini masih berdiri mematung di ambang pintu ruang tamu.Tetapi ada dua hal besar yang menghalangi Atika untuk menerima perjodohan ini. Pertama, jelas Atika belum mengenal bagaimana karakter Elang, Atika tak mau pernikahannya malah menjadi ajang perjudian hidup dan mati. Kedua, Elang tampaknya berusia jauh lebih muda dibanding Atika. Kemungkinan besar Elang masih berada di usia pertengahan dua puluh tahun. Atika tak ingin mengulang kisah cinta yang sama, dimana Atika hanya menjadi perpanjangan sosok ibu bagi pria itu. "Mi, bawa Elang ke kamar Papa saja!" teriakan ayahnya menghentak kesadaran Atika untuk beringsut menuju dapur, membuatkan minuman bagi tamunya, alasan yang Atika buat agar tak perlu segera menemui Elang. "Ini Atika, putri sulung Om Burhan, Lang," kata ayahnya ketika Atika selesai menaruh secangkir teh hangat di atas meja lampu di samping tempat tidur. "Iya, Om. Saya sudah lihat fotonya yang dikirim Bu Anyelir minggu lalu." Atika diam membisu, tetap menatap ujung jari kakinya tak berani mengangkat wajah. Namun, Atika dapat merasakan tatapan intens Elang untuknya. Atika membenci wajahnya yang memerah malu, ia juga mengutuk detak jantungnya yang tiba-tiba bertalu kencang. "Ingat, Tika! Elang masih bocah! Meskipun Papa mengatakan pria ini calon suamimu, tetap saja Elang seorang anak kecil!" bisik Atika dalam hati.Atika berulang kali mengingatkan dirinya sendiri untuk tak lupa diri hanya karena terpesona ketampanan Elang. "Tika! Baju biru gue di mana? Kan tadi pagi udah gue suruh Lo ambil dari laundry!" Cindy, adik tirinya yang telah terbiasa menyuruh-nyuruhnya, tiba-tiba muncul sambil berteriak-teriak seperti ibu hamil yang sedang kontraksi, tetapi mulutnya berhenti berbunyi ketika menangkap sosok tampan di kamar ayahnya itu. "Sial!" umpat Cindy, perempuan itu sontak berubah anggun dan merapikan rambutnya yang seperti sarang burung karena baru bangun tidur. "Hai tampan, aku Cindy, selebgram dan BA klinBeee. Kamu siapa?" Mami Anyelir segera menepis uluran tangan Cindy dan untuk pertama kalinya membeliak tajam pada putrinya itu. "Dia Elang, kamu gak usah ikut campur, karena dia udah dijodohin sama Atika!" Entah kenapa wajah Cindy tiba-tiba berubah, ekspresi bersahabat di wajahnya pun hilang seketika digantikan tatapan dingin, sama persis dengan tatapan yang Mami Anyelir berikan untuk Elang. "Ah, kalau gitu lebih baik aku gak di sini. Tika, setelah ini bawa baju biru gue ke kamar. Awas kalo lupa!" ancam Cindy lalu melenggang pergi keluar dari kamar Papa. "Maafkan kelakuan anak bungsu Om, dia memang kekanak-kanakkan," ujar Papa selepas Cindy menghilang. "Iya, Om. Saya mengerti." "Kamu pasti lelah, ya. Perjalanan dari Banyuwangi ke Bandung bukan main-main. Tapi Om minta maaf, bukannya membiarkanmu istirahat dulu, malah memintamu langsung datang." kata ayahnya menarik napas dalam dan menghembuskannya perlahan, pria itu lalu menepuk ruang kosong di samping tempat tidurnya meminta Elang untuk duduk di sana, dan berkata, "Om ingin segera melihat kalian berdua sah jadi suami istri. Om ingin ada yang bisa menjaga Atika sebelum Om pergi untuk selama-lamanya. Om harap, kamu gak keberatan, ya Lang.""Tidak Om, saya sama sekali tidak keberatan. Keinginan Om sejalan dengan keinginan almarhum ibu, yang ingin menepatinya janjinya dulu dengan Bu Anyelir." "Syukurlah. Untuk berkas-berkasnya sudah kamu siapkan?""Sudah Om. Semua sudah selesai, tadi siang saya juga dapat kabar berkas Atika sudah hampir selesai."Atika akhirnya mengangkat kepala dan memandang heran pada Elang, ia sudah membuka mulutnya hendak menanyakan berkas apa yang pria itu maksud? Tetapi ayahnya sigap mengangkat tangan meminta Atika tetap diam. "Bagus kalau begitu. Sesuai pembicaraan kita sebelumnya, besok kita laksanakan akadnya dulu saja, ya. Resepsinya kita adakan setelah semua urusan pemberkasan selesai. Malam ini, kamu tidur di kamar sebelah, itu kamar tamu. Pasti kamu sudah sangat ingin beristirahat, kan. " "Tunggu, berapa usia Elang?" tanya Atika tiba-tiba, ketika Elang sudah berdiri dan bersiap meninggalkan kamar Papa. Diantara banyak pertanyaan entah kenapa hanya pertanyaan tentang usia yang meluncur keluar dari mulut Atika. "Apa pentingnya usia Elang sekarang, Tika? Berapapun usianya, yang terpenting Elang pria baik-baik dan bertanggung jawab, buktinya ia datang sesuai janji. Asal-usulnya juga sudah jelas, Elang putra dari sahabat Mami sejak kecil. Tidak ada yang perlu ditanyakan lagi!" hardik Mami Anyelir kesal, lalu perempuan itu melanjutkan dalam bisikan tapi cukup jelas terdengar di telinga Atika, "Harusnya kamu bersyukur, masih ada yang mau menikahi perawan tua seperti kamu. Lha kok masih pilah-pilih!" "Saya tahun ini berusia dua puluh enam tahun, Atika," ujar Elang, masih dengan tatapan mengunci Atika."Dua puluh enam?" Atika membeo dan mulai menghitung dalam hati, selisih usia mereka sebelas tahun! Bukan jumlah yang main-main. Itu artinya ketika Atika mendapatkan menstruasi pertamanya, bocah di depannya ini baru lahir, dan saat Atika masuk universitas, Elang masih asyik bernyanyi sambil bermain di taman kanak-kanak. Seketika bulu kuduk Atika meremang, membayangkan pria yang sebelas tahun lebih muda ini akan menjadi imam hidupnya kelak. "Saya tahu, perbedaan usia kita pasti mengejutkan buat Atika. Tetapi, umur hanyalah angka. Sudah sejak lama saya tahu kita akan berjodoh, karena itu saya sudah mempersiapkan diri untuk menjadi imam yang baik untuk Atika." Elang menaruh tas ranselnya di lantai lalu merogoh sesuatu dari dalamnya. Sebuah kotak berlapis kain beludru berwarna merah maroon. Dengan cepat Elang berlutut dan mengangsurkan kotak yang telah terbuka ke hadapan Atika. "Atika, ijinkan saya meminangmu dengan sebuah cincin sederhana ini. Malam ini, di depan Om Burhan dan Bu Anyelir, saya memintamu untuk menjadi istri dan ibu dari anak-anak kita kelak. Kehidupan pernikahan kita kelak mungkin tidak selamanya indah dan menyenangkan, tapi saya berjanji tidak akan pernah membiarkanmu, Atika berjuang sendirian." Nafas Atika tercekat, tak pernah sekalipun perempuan itu bermimpi akan mengalami adegan klise ala roman picisan seperti ini. Apalagi, dilakukan oleh pria muda yang baru sekali ini ditemuinya."Seneng banget ya, yang mau nikah. Tapi gue baru inget, Mami dulu pernah cerita kalo Tante Hanum sama anaknya itu diusir sama keluarga besar mereka soalnya udah bikin aib besar. Jadi ati-ati aja, siapa tahu Elang sebenarnya residivis."Malam itu, jarum jam sudah menunjuk ke angka tiga, tetapi Atika belum bisa memejamkan mata. Kotak merah maroon mungil di atas meja riasnya berubah seukuran kulkas dua pintu di mata Atika. Tetapi karena ocehan Cindy begitu Atika keluar dari kamar Papa, Atika memutuskan menaruh cincin bermata ruby dari Elang ke dalam kotaknya lagi. Belum lagi bayangan Elang yang berlutut ala drama telenovela jadul tak juga menghilang dari pelupuk matanya. Kenyataan bahwa beberapa jam lagi Atika akan menjadi istri seseorang, membuatnya berguling-guling resah dan menelepon Hani, sahabatnya. "Hah? Tiba-tiba nikah? Sama orangnya Tante Anyelir!? Gila kamu! Pokoknya, aku gak setuju kamu menikah dengan orangnya tante. Lihat saja besok, aku gak akan diam saja. Besok aku akan bu
“SJ Grup? Gila, itu kan perusahaan yang produksi sate instan kesukaan Mas Aris! Mereka juga punya dua ribuan lebih waralaba minimarket. Suami kamu sekarang pewaris tunggalnya, ini bukan durian runtuh tapi sekebon durian runtuh semua!” Hani berjalan hilir mudik di kamar Atika sambil menggeser layar ponselnya, lalu berhenti dan menatap kosong ke arah Atika. “Kamu sekarang orang tajir, Tika!”Alih-alih membalas ucapan riang Hani, Atika merebut ponsel Hani dan menggulirkan berita tentang perusahaan yang ‘katanya’ sekarang menjadi milik suaminya. Bukan berita tentang berapa besar bisnis dan aset yang dimiliki sang almarhum mertua yang menarik perhatian Atika, melainkan berita tentang kecelakaan pesawat pribadi yang menimpa keluarga Elang. Peristiwa itu terjadi kemarin pagi di atas perairan Belanda. Ayah, Ibu tiri serta dua saudari tiri Elang ada di dalam pesawat itu. Mereka sedang dalam perjalanan berlibur ke luar negeri. Tiba-tiba pesawat hilang kontak dan beberapa jam kemudian, pesawat
"Kamu adalah ahli waris golongan kedua. Karena semua anggota keluarga yang ada dalam golongan pertama telah tiada, secara hukum sekarang kamu adalah ahli waris satu-satunya dari Barata Sukma."Ardian, salah seorang kepercayaan Barata menyerahkan sebuah amplop coklat kepada Elang dan melanjutkan, "Amplop ini berisi rincian harta warisan yang akan kamu miliki. Rapat dewan direksi untuk mengukuhkan posisimu akan diadakan besok siang. Rapat itu hanya formalitas semata, karena almarhum ayahmu masih jadi pemegang saham utama tetapi Andini bersikeras menentang kehadiranmu.""Berikan saja apa yang diminta perempuan tua itu. Aku tidak tertarik masuk ke dalam keluarga itu lagi!" Elang mengembalikan amplop coklat tadi tanpa merasa perlu membukanya.Ardian tersenyum paham dan mengangguk. "Aku mengerti kamu masih dendam. Tapi, kamu sudah jadi pria dewasa sekarang, berpikirlah lebih rasional. Banyak orang yang menggantungkan hidup di SJ Grup, kamu tentu masih ingat tabiat tantemu, bukan? Tidak mung
“Bangun!” kata Elang tegas, membuat Atika cepat membuka mata. Jantungnya berdetak kencang serasa ditarik paksa keluar, dan Atika tak dapat mengabaikan rasa ngilu di sekujur tubuh, terutama di bagian paling privasinya yang kini berdenyut perih. Atika menahan nafas teringat kembali apa yang menimpanya beberapa saat lalu. Atika dirudap*ksa oleh suamiya sendiri. Meskipun mereka telah sah menjadi suami istri, Elang sama sekali tidak merasa perlu meminta persetujuan Atika saat menghampirinya. Pria itu memperlakukan Atika tak lebih dari seorang perempuan pemuas nafsu belaka. Bahkan, tak ada kasih sayang atau kelembutan dalam setiap sentuhan yang Elang berikan. Atika mengerti, Elang tentu marah mendengar masa lalu Atika. Namun tetap saja tidak menjadi alasan pembenaran untuk perlakuan kasar yang Elang lakukan. Belum genap satu hari Atika menjadi istri Elang, sudah tergambar jelas kehidupan pernikahannya kelak bersama pria ini. “Setelah ini siapkan barang-barang yang perlu kamu bawa. Nanti
Elang meraih ponselnya dan mengangkat panggilan yang baru saja berdering, sementara Atika masih merasa melayang. Kupu-kupu sepertinya beterbangan dengan riang di perutnya. Mulai sekarang Atika harus selalu waspada jika sewaktu-waktu Elang berubah agresif seperti tadi, jangan lupakan berapa usia suaminya sekarang, hormon ‘kelaki-lakian’ Elang tengah berkembang pesat. “Aku tidak bercanda, Om. Kami akan pindah malam ini, bahkan kalau bisa secepatnya,” kata Elang pada ponselnya, pria itu melirik sekilas Atika. “Om tidak perlu tahu detailnya, yang jelas aku ingin segera membawa istriku keluar dari rumah ini. Terlalu banyak pengaruh buruk untuknya di sini.” Atika membeliak tak percaya mendengar ucapan Elang. “Bagus, aku tunggu!” “Apa maksudnya pengaruh buruk? Baru satu hari kamu sudah berani mengejek keluargaku!” serobot Atika begitu Elang tidak lagi bicara dengan ponselnya. “Dasar Naif!” decak Elang tak sabar, pria itu berbalik dan meraih tas ranselnya. “Aku tidak akan berdebat untuk
“Kamu tidak keberatan kita satu kamar, kan?”Atika tahu Elang tidak bertanya, sebaliknya pria itu hanya menegaskan apa keinginannya.“Terserah, aku gak peduli,” jawab Atika masih sambil menaruh pakaian yang ia bawa dari rumah ke dalam lemari yang besarnya hampir memenuhi satu sisi dinding kamar. “Kalau bukan karena alasan sentimental, kamu boleh membuang baju-baju itu. Sepertinya mereka terlalu kontras dengan baju yang disiapkan Om Ardian,” kata Elang saat Atika terdiam menatap isi lemari mereka. Sudah tiga kali Atika terlihat tak nyaman begitu menginjakkan kaki di rumah pemberian ayah Elang. Pertama, ketika Rika, kepala asisten rumah tangga menyambut mereka di halaman tadi. Atika hampir saja terjatuh karena tersandung kakinya sendiri saat Rika hendak membawakan tote bag milik Atika. Kedua, saat salah seorang pelayan yang entah sengaja atau tak sadar mengucapkan kalimat, “Lebih tua, ya.”Semenjak itu, Atika terus melihat ujung sepatunya. Elang bersumpah, setelah ini ia akan mencari
“Benar yang dikatakan orang-orang, percuma susah payah memungut anjing liar, pada akhirnya mereka akan selalu kembali pada kebiasaan aslinya!”Suara cempreng dan melengking menyambut Atika dan Elang di pintu gerbang rumah. Atika terpaksa harus memicingkan mata agar dapat melihat jelas siapa yang berdiri di ambang pintu, karena gemerlap perhiasan yang dikenakan perempuan itu berkolaborasi meriah dengan cahaya lampu gantung dari dalam rumah, membuat Atika seperti sedang melihat ke arah lampu 200 Watt.“Sungguh memalukan! Bagaimana bisa pemilik SJ Grup malah makan di tepi jalan seperti seorang gelandangan? Walau rindu pada kebiasaan lama, tapi berusahalah menahan diri! Jangan buat orang lain malu akan tingkahmu!”“Apa yang Tante lakukan di sini?” tanya Elang tanpa basa-basi, refleks pria itu menarik Atika ke belakang punggungnya.“Cih! Dasar bocah congkak! Baru satu hari jadi pewaris, sudah besar kepala! Kalau bukan atas usulku, namamu tidak mungkin ada di dalam surat warisan itu!”Elang
“Nyonya, biar kami saja yang beberes. Ini tugas kami,” ucap pelayan berambut ikal seraya merebut gagang sapu dari tangan Atika. “Gak apa-apa. Aku gak sengaja memecahkan vas bunga ini, kalian lakukan pekerjaan yang lain saja.” Atika hendak kembali merebut sapu tapi sapu itu tiba-tiba berpindah ke tangan orang lain.“Kami mohon kerja sama Anda, Nyonya. Sudah tugas kami membersihkan rumah ini, kalau Nyonya ingin melakukannya sendiri, itu sama saja artinya Nyonya ingin memecat kami,” kata Rika tegas.Suara kaku kepala asisten rumah tangga itu membuat bulu kuduk Atika meremang. Secara hierarki, Rika adalah orang yang bekerja pada Atika tetapi pembawaan Rika membuat Atika menciut seketika.“Aku memang tidak cocok jadi bos,” batin Atika.“Bersihkan pecahan kacanya, jangan sampai ada yang tersisa!” perintah Rika pada asistennya, lalu menoleh pada Atika.“Nyonya, tadi Pak Elang menitipkan pesan agar Nyonya segera bersiap untuk makan siang bersama di luar dan Pak Elang juga bilang untuk menyal