“Apa kalian gila, hah?” Aku menjerit histeris sampai bangkit dari dudukku. Kutatap mereka dengan sangat tajam.
Membenci keadaan, mengapa aku harus dilahirkan dari rahim seorang wanita yang tega menjual putri sulungnya demi putri bungsu kesayangannya.
Aku mereka tidak dihargai, bahkan oleh ibu kandungku sendiri.
“Jangan berani-beraninya membantah, Ibu, ya Ria?” Ibu berdiri. Tatapannya lebih tajam, melotot dan menusuk tepat ke jantungku. Aku seakan kehilangan kekuatanku bahkan untuk berdiri tegap, melawan kehendak Ibu yang selalu penuh kuasa atas hidupku.
“Sejak dulu kau memang nggak pernah menjadi anak yang berguna buat Ibu. Kamu selalu memalukan Ibu.”
“Maksud Ibu?”
“Kau jelek! Lihat wajahmu, nggak secantik adikmu. Otakmu juga nggak secemerlang Lia. Kau bahkan cuma lulusan SMA. Itupun nilaimu pas-pasan.”
Aku menarik napas dalam. “Memangnya salahku kalau wajahku nggak secantik Lia, hah? Nilaiku juga pas-pasan karena Ibu memberiku segudanh pekerjaan rumah yang nggak pernah habisnya. Di saat aku mau belajar, Ibu menyuruhku mencuci dan menyetrika baju. Bahkan saat aku mau minta kuliah, Ibu juga memintaku membantu Bapak jaga toko.”
“Jangan menyalahkanku, Ria. Sejak dulu memang kau selalu membuat malu.”
“Iya, aku emang anak nggak berguna. Puas?” Aku berteriak untuk pertama kalinya melawan Ibu.
“KARENA ITU BUATLAH DIRIMU BERGUNA DENGAN HAMIL ANAK ADIKMU DAN SUAMINYA!” Suara ibu tak kalah tinggi dari suaraku. Kami saling berlomba meninggikan suara. Entah siapa pemenangnya, tapi aku merasa tak adil atas perlakuan Ibu.
“AKU MENOLAKNYA!” Suaraku tak kalah tinggi melengking dari suara ibu.
Tamparan keras mendarat di pipiku. Airmata meleleh. Aku memegangi bagian wajahku yang terasa peruh dan menyakitkan. Namun tidak semenyakitkan luka di hatiku yang mungkin tak berdarah, tapi sunggu melukai.
“Kau lihat kakakmu, dia memang selalu bikin ibu sakit jantung oleh kelakuannya.” Ibu mengelus dadanya. Berpura-pura mendapat serangan jantung. Wanita paruh baya yang melahirkanku melayang dan terjatuh ke atas sofa sambil memegangi dadanya. Tubuhnya bergetar, matanya membelalak.
“Ibu?” Lia berteriak panik. Dengan sigap dia memeluk ibunya yang juga ibuku. Aku hanya bergeming di tempatku berpijak. “Teteh, tolong Ibu.” Lia menyadarkanku dari lamunanku. “Tolong panggil ambulans, CEPAT!”
Dengan sigap aku menelepon layanan darurat.
Tak berselang lama, ambulans klinik datang dan membawa ibu ke unit gawat darurat rumah sakit terdekat.
***
“Bagaimana kondisi Ibu kami, Dok?” Lia dan aku menghampiri seorang dokter yang baru muncul dari bilik ruang IGD.
Petugas medis itu membuka masker di wajahnya, “Syukurlah Ibu kalian masih bisa diselamatkan. Jadi kondisinya sekarang mulai stabil. Serangan jantung yang dia alami tidak begitu membahayakan dirinya.”
Haruskah aku mengucap syukur seperti yang diucapkan adikku atas selamatnya Ibu dari serangan jantung yang mungkin bisa membahayakan nyawanya.
“Teh?” Lia menyadarkanku dari lamunan gilaku. Sulit bagiku mengucap syukur atas kondisi ibuku yang membaik.
Hatiku terlanjur terluka oleh perlakuan Ibu. Sehingga, aku bahkan tak peduli jika Ibu berpindah ke alam lain.
“Teteh baik-baik aja, ‘kan?” Lia terlihat mengkhawatirkan kondisiku. Dia memang lembut dan baik hati sejak dulu, membuatku iri oleh hidupnya yang selalu mulus, seakan Tuhan enggan memberinya cobaan sedikit pun.
“Ayo kita lihat kondisi Ibu!” ajak Lia.
Aku meragu sejenak, enggan untuk masuk ke ruang perawatan. Tapi Lia menarik tanganku. Aku terpaksa mengikutinya.
“Ibu?” Lia menangis sambil memeluk ibu yang berbaring lemah di atas brankar rumah sakit. “Hiks, jangan tinggalin Lia, Bu.” Isakan tangis Lia menggema di penjuru udara.
“Sudah, sudah, nggak usah nangis. Jelek tau. Ibu nggak suka lihat kamu nangis!” Ibu menepuk punggung adikku, suaranya terdengar lembut dan penuh rasa keibuan—berusaha menenangkan tangisan putri kesayangannya.
“Ngapain kamu di sini?” Saat melihatku, ibu berkata sinis. Seolah ia memang tidak mengharapkan kehadiranku. "Kamu senang, 'kan! Lihat ibu sekarat kayak gini."
“Ibu, nggak boleh gitu. Teh Ria juga khawatir sama kondisi Ibu.”
“Tapi, dia yang udah bikin Ibu kolaps, Li. Malas ibu lihat mukanya. Nyebelin!”
“Istigfar, Bu. Mau gimana pun, dia juga anak Ibu.” Lia begitu lembut menenangkan emosi ibu saat melihatku.
“Teh, kita di luar aja yuk. Ibu mungkin mau istirahat.” Lia menggandengku. Membawaku ke kursi tunggu rumah sakit. Kami duduk di sana. Menghela napas dalam.
“Maafin Ibu dan aku, ya Teh?” Lia tiba-tiba meminta maaf.
Aku menoleh ke arahnya. Alisku melengkung dalam, tak mengerti alasan mengapa adikku harus meminta maaf padaku.
“Ibu hanya ingin menyelamatkan pernikahanku dan Mas Ferry.”
“Maksud kamu?” Aku semakin tak mengerti ucapannya.
“Lia?” Kami menoleh ke arah suara seseorang memanggil nama adikku. Dari kejauhan kami melihat sosok yang kukenal sangat baik. Lelaki itu berlari di sepanjang lorong. Wajahnya terlihat khawatir.
Di belakangnya, seorang wanita berpakaian elegan mengikutinya dengan langkah anggun. Sebuah kipas tangan, bergerak di depan wajahnya. Mengibaskan poni yang melengkung sempurna di dahinya.
“Mas Ferry?” Lia berdiri menyambut kedatangan suaminya. Aku hanya menundukkan pandanganku darinya. Takut pesonanya semakin melenakan diriku.
“Ada apa? Katanya kau di rumah sakit? Tapi kenapa jauh sekali?” Ferry terlihat cemas. Dia memegangi wajah adikku Lia. Sungguh lelaki itu masih luar biasa, tak heran mengapa aku begitu memujanya dulu.
“Ibu sakit, Mas. Kayaknya kena serangan jantung.”
“Ibumu sakit lagi, hah? Kayaknya emang keluargamu itu keluarga penyakitan. Pantas aja anaknya nggak bisa hamil-hamil.” Suara sengit dan sinis terdengar dari perempuan berkebaya dengan penampilan elegan.
“Ibu!” Ferry menegur ibunya. Ia merasa wanita itu sudah cukup keterlaluan.
Sayangnya bukannya diam, wanita itu semakin sengit menyindir adikku Lia.
“Yah, emang kenyataannya begitu. Buktinya sudah lima tahun kalian menikah, tapi kalian bahkan nggak berhasil punya anak. Lagipula ngapain kamu bertahan sama istri mandul macam istrimu!”
Kupikir ibuku adalah wajah bermulut pedas yang pernah aku temui, ternyata aku salah. Ucapan wanita itu lebih mengiris tajam dibandingkan ucapan ibuku.
Wajah Lia memucat mendapati sindiran pedas dari wanita yang menjadi ibu mertuanya. Aku pun iba padanya.
“Udah Fer, ceraikan dia. Anaknya aja udah nyusahin. Ditambah lagi ibunya nyusahin. Emang dasar keluarga nyusahin,” celetuk wanita itu, seakan tak puas melukai hati adikku,
“Nyonya, tolong jaga ucapan Anda!” Aku angkat bicara, melawan ucapan wanita yang melahirkan adik iparku itu.
“Ini lagi. Anak yang nggak berguna mulai berani ngelawan.” Wanita itu berkata sambil mengibaskan kipasnya di wajahnya. Sikapnya begitu arogan.
“Apa mau Nyonya?” Aku berani menantangnya demi membela adikku.
“Tentu saja. Melepaskan putraku dari keluarga nggak berguna seperti keluarga kalian!”
“Maksudnya?”
“Ya tentu saja. Adikmu mandul. Ibumu penyakitan. Sekarang kamu yang kurang ajar berani melawanku.”
“Kau ingin keturunan, ‘kan?”
Matanya melirik sekilas ke arahku, “Memangnya bisa, hah? Bahkan adikmu mandul. Kau tahu itu ‘kan?”
“Aku akan menggantikannya menganduny cucumu!” kataku mengejutkan semua orang termasuk diriku. Senekad itu aku demi melawan wanita arogan dan angkuh itu. Akan kubuktikan kalau aku akan berhasil melahirkan anak untuk putranya.
“Teteh?” Lia berusaha menyadarkanku. Sayangnya tekadku sudah bulat. Aku harus membuktikan pada wanita itu kalau keluargaku bukan keluarga rendahan seperti yang dia katakan.
***
Aku meminta dilangsungkan pernikahan siri antara aku dan adik iparku sebelum aku mengandung anak mereka dalam rahimku. Alasannya amatlah sederhana, “Aku nggak mau anakku nanti lahir di luar pernikahan sah. Dia harus dilahirkan di bawah pernikahan.”Aku bersikeras dengan pemikiranku, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang berani menolak permintaanku.Ibu dan Lia terpaksa menyetujuinya. Demi keberlangsungan pernikahan Lia dan Ferry. Lagipula aku juga tak ingin anak mereka lahir di luar pernikahan, jadi aku rela menikahi adik iparku sendiri demi adikku. Meminjamkan rahimku untuk melahirkan anak mereka.Saat mereka hendak mengutarakan niat mereka pada Ferry, lelaki itu menatapku bingung. Aku hanya mengalihkan pandanganku darinya. Berharap dia tak menyadari siapa diriku.“Kalian memaksaku menikahi Ria?” Aku mendengar nada keberatan tersirat dari ucapan Ferry. Dia melirik sinis ke arahku. Terlihat jelas sorot mata kebenciannya padaku. “Ini demi anak kita, Mas. Kau ‘kan tahu kalau aku
“Selamat pagi, Teh.” Sapaan hangat terdengar dari adikku Lia saat aku baru keluar kamar menuju area dapur untuk mengambil segelas air.“Tumben Teteh jam segini baru bangun?” tanyanya lagi. Senyumnya begitu ceria dan lebar, membuatku iri saja melihat kebahagiaan yang terpancar darinya.“Teteh lagi halangan, jadi nggak perlu bangun buat solat.”“Oh gitu.”“Kau sendiri gimana?” Aku menyesali pertanyaanku, karena kulihat tetesan air di rambut adikku, Lia. Sepertinya semalam mereka habis bercinta, di malam pernikahanku. Entah mengapa hatiku terpilin melihat wajah sumringah Lia dan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.“Aku lapar,” ujarnya sambil menyantap roti isi coklat favoritnya. “Teteh mau?” Dia menawarkan membuatkanku sarapan.“Nggak usah. Teteh nggak biasa sarapan roti. Biasanya di sini ada yang jual nasi uduk nggak?” Aku adalah orang Indonesia yang tidak akan merasa kenyang sebelum menyantap seporsi nasi.“Ada kok Teh, di warung Mbok Iyem. Teteh lurus aja nanti di ujung jalan ada ya
Kisah tentang istri tak dianggap memang nyata adanya. Dialah diriku. Aku tak pernah menyangka takdir hidupku akan semenyedihkan ini.Menikah di usia yang sudah menginjak kepala tiga, hanya demi memberikan momongan untuk adikku dan suaminya yang menikah selama lima tahun tapi Allah belum memberi mereka keturunan.Ikhtiar mereka mendapatkan momongan harus mengikut sertakan diriku. Bodohnya aku yang menerima permohonan mereka hanya demi emosi sesaat.Dan sekarang aku harus menjalani kehidupan pernikahanku yang jauh dari kata SaMaWa (Sakinah Mawaddah Warahmah).Apa itu sakinah? Hanya mimpi yang takkan mungkin pernah terwujud. Jangan tanya Mawaddah, hanya sebuah angan-angan semu, apalahi warahmah. Bahwa suamiku jijik setiap kali dia berdekatan denganku.Fakta bahwa aku hanyalah istri boneka dari pernikahan siri. Mungkin sah secara agama, tapi tidak di sisi hukum negara.Menyedihkan?Ya sangat, tapi itu sudah jadi jalan hidupku.“Lia? Apa kau lihat kemejaku?” Suara Ferry terdengar dari kej
“Kau sudah makan?” Ferry bertanya pada Lia adikku. Sepulangnya bekerja, hanya istrinya yang dia khawatirkan. Dia bahkan tak peduli denganku, meski kini statusku telah berganti menjadi istri sirinya. Seharusnya dia basa-basi juga menanyaiku.“Sudah,” jawab Lia, asyik mengunyah cemilannya.Ferry lantas berjalan melewati kami menuju dapur. “Apa nggak ada makanan?” tanyanya dari arah dapur.“Nggak ada. Tadi Teteh yang masak.” Adikku menjawab cuek. Dia masih asyik dengan tontonannya. Tak peduli dengan suaminya yang baru pulang kerja. Bahkan adikku sama sekali tidak menyambut kedatangannya.“Terus, nggak ada makanan buat aku?”“Kau goreng telur aja sendiri. Bisa ‘kan?” Aku mendengar nada menggerutu dari arah dapur. Tak berselang lama, Ferry akhirnya keluar. Mungkin untuk membeli makanan dirinya sendiri.“Li, kau nggak bilang kalau Ferry nggak ada makanan,” gumamku merasa iba karena suamiku tidak mendapatkan makanan sepulang kerja.“Biarin aja, Teh. Biasanya juga nyiapin makanan sendiri. Noh
“Lionel, apa yang kau lakukan di sini?” Lia terkejut melihat kemunculannya di depan rumahnya bersamanya. Lelaki penolongku tercekat, melemparkan pandangan secara bergantian kepada kami berdua. “Lia?” Ekspresi Lionel sama kagetnya dengan ekspresi yang diperlihatkan oleh adikku. “Kau mengenal adikku?” Kulontarkan tanya padanya. “Dia adikmu?” Lionel tercekat mengetahui fakta tersebut. Kulihat dia kesulitan menelan salivanya, menghadapi kenyataan yang jelas menampar dirinya. Ferry berdiri di depan pintu, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, ekspresinya menegang. Aku melihat api kecemburuan membakar dari sorot matanya yang membara. “Lia, masuk!” perintahnya. Suaranya terdengar sangat dingin dan tak terbantahkan. “Ta-tapi, Mas ... “ Lia hendak membantah, namun Ferry menarik adikku dengan kasar, masuk ke dalam rumah. Wajah Ferry memerah menahan gejolak amarah tanpa sebab pasti. Entah mengapa dia terlihat membenci situasi yang terjadi diantara aku dan penolongku. “Kau juga, masuklah!
Cerita 8 - Menjaga JarakPagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.“Kenapa?”“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”
Cerita 9 - Kepedulian FerryBiasanya aku menjelma jadi makhluk tak kasat mata yang tinggal di rumah adikku. Sudah hampir seminggu aku tinggal disini, tapi aku berusaha untuk tidak begitu nampak di hadapan mereka. Aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tak merasa terusik oleh kehadiranku.Aku hanya ingin mengganggu keharmonisan rumah tangga adikku sendiri, meski status baruku menimbulkan polemik tak berujung.Mereka beraktivitas seperti biasa, seolah-olah aku tak bersama mereka. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Aku buru-buru mengambil hijabku, membuka pintu perlahan.Kulihat Ferry, adik ipar sekaligus suamiku berdiri dibalik pintu. Tinggi menjulang beberapa senti dari tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh delapan.Dibandingkan Lia adikku yang tinggi semampai, aku termasuk ukuran wanita mungil. Meski begitu beberapa bagian kewanitaanku tumbuh sempurna. Kusembunyika
Cerita 10 - Lionel “Karena kau menutupi kecantikanmu, Ria.” Ucapan yang kudengar seperti sambaran petir di siang hari saat cuaca terik. Tentu saja sangat mengejutkanku. “Ja-jangan bercanda!” “Ria?” Suara familiar itu mengejutkan kami berdua. Di hadapan kami, Lionel muncul dengan tunggangan matik keren miliknya. “Ah, benar. Kau Ria. Apa yang kau lakukan di sini?” Sepertinya Lionel tidak menyadari kehadiran Ferry yang duduk di sebelahku. “Pergilah!” Ferry mengusirnya. Raut wajahnya terlihat menggambarkan ketidak sukaannya pada lelaki penyelamatku. “Lionel?” Aku berdiri, menyambut kehadirannya dengan wajah sumringah. Jelas, aku begitu semangat menghampirinya. “Kemarin terimakasih ya? Sudah mengirimkan Ibu Sri buat memijat seluruh badanku.” “Oh, iya. Aku lupa bilang padamu. Soalnya aku nggak punya nomor teleponmu.” “Pokoknya terimakasih
Waktu berjalan lambat, meski perputaran bumi berlangsung begitu cepat. Sehari, dua puluh empat jam waktu yang manusia miliki sebagai perjanjian di dunia ini. Meski waktu terus berputar, menggilas semua makhluk yang terlena olehnya, tapi tidak dengan diriku dan cintaku yang tumbuh semakin besar tanpa seizinkku. Aku ingin membunuhnya, sebentuk perasaan yang kian melumatkanku. Sayangnya dia seperti memiliki nyawa sendiri diluar kendaliku. Tolong aku, tolong jiwaku yang makin sekarat oleh pupusnya harapan. Di atas nisan bertuliskan nama cinta untuk FA. Aku mungkin telah mati. *** Kata demi kata, terangkai menjadi bait puisi yang indah sekaligus menyakitkan. Ungkapan perasaan yang aku milik tak mudah hilang begitu saja, meski waktu terus menggerusnya. “Aaarrrggghhh ... “ aku menjerit frustrasi saat hendak melanjutkan kembali puisiku. Emosi menguasai, mengingat bahwa perasaanku telah tersampaikan
Aku menatapmu, di bawah jejak bayang mentari yang bersinar kuning—menghangatkan. Senyummu merekah laksana bunga di tengah musim semi. Sayangnya, bukan milikku, bukan untukku. Tidak apa-apa, kau menolak melihatku. Sebentuk makhluk tak kasat mata yang diam-diam memupuk benih cinta di hati. Mungkin nanti, kau akan sadari, kalau makhluk ini akan mati, tanpa sinar hangatmu. ~R~***Selesai mengetikkan kata-kata untuk tulisan novel romantisku, aku menghela napas lega, seakan beban yang bergelayut di punggungku terlepas. Aku merdeka. Kulirik ke arah jarum jam yang berdetak di dinding. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku sampai melupakan berapa lama kuhabiskan untuk menulis kisahku. Bergerak dari kursi kerjaku, aku menuju dapur, hendak membuat secangkir coklat hangat, minuman favoritku. “Kopi?” Di ujung ruang makan yang terhubung dengan dapur bersih, kulihat Ferry tengah asyik menatapku dari kejauhan. Mengangk
Cerita 14 - R dan F.A.Aku mengepak semua pakaianku yang hanya berisi beberapa gamis sederhana, kerudung, dan perlengkapan mandiku. Tak lupa kemasukan pula laptop dan gawaiku yang satunya, yang khusus kugunakan untuk berkomunikasi dengan editor serta pada penulis lainnya."Mau kemana?" tanya Ferry curiga saat aku menentang tas hitam besar menuju area gerbang. "Jangan bilang kau mau pergi, Ria!" Aku mendengar suaranya bergetar oleh emosi yang entah datang dari mana?.Ferry menghampiriku lalu mengambil tas berisi pakaianku, juga kunci motor. Terpaksa aku kembali ke dalam rumah untuk merebutnya. Sayang, dia menaruh semua barang pribadi milikku di kamarnya.Tentu saja aku tak berani masuk, walau Ferry membuka pintu kamarnya lebar-lebar.“Masuklah jika kau mau mengambil tas dan kunci motormu.” Dia mempersilakanku, tapi aku menahan diri. Sambil mendengus, aku berbalik menuju kamar. Ha
Cerita 13 - Hanya Kami Berdua “Aku menuntut hakku sebagai suami.” Ferry mengulangi kata-katanya. Kewaspadaanku meningkat. Kututup area bagian dadaku dari pandangannya yang berkabut gairah. “Jangan main-main, Ferry!” seruku memperingatkan dirinya. Ferry terkekeh lebar, jelas menikmati permainan ini. “Tolong lepaskan aku!” pintaku memohon padanya. Aku tak ingin merusak kehidupan serta hubunganku dengan adikku sendiri. Merayu Ferry sama sekali tidak tercatat dalam kamusku. “Mengapa kau menolaknya, Ria?” “Karena kita bukanlah suami istri sebagaimana mestinya. Aku hanya menjalani tugasku, mengandung benih kalian. Setelah itu aku akan pergi.” “Bagaimana dengan perasaanmu?” Ferry mengelus pipiku, lembut. Mengirimkan getar ke seluruh tubuhk
Cerita 12 - Ancaman[Keluarlah, makan bersama kami]Pesan dari suamiku muncul di notifikasi layar. Tentu saja aku mengabaikannya. Kumatikan layar ponsel, kemudian pesan itu kembali muncul.[Apa aku perlu ke kamar sekarang?]Lelaki itu mulai mengancam. Aku menimbang-nimbang hal yang seharusnya kulakukan. Haruskah aku keluar dan bergabung makan malam bersama mereka? Atau justru tetap di kamarku, makan sendirian seperti biasa.Aku terpaksa berdiri, memaksa kakiku melangkah keluar dari area kamarku. Dengan langkah gontai, aku menuju ruang makan. Lia terkejut melihat kemunculanku. “Teteh? Tumben Teteh keluar?”Sejak dulu dia selalu tahu, aku gemar menyendiri. Meski begitu dia sangat menghargai privasiku.“Boleh aku makan bareng?” Aku melirik ke arah Ferry yang tersenyum kecil penuh arti. Aku seperti boneka yang sedang dimainkan. Terpaksa melakukan sesuatu diluar kehendakku.“Tentu saja boleh, Teh.” Lia men
Cerita 11 - Ciuman Pertama Setelah peristiwa ke bengkel kemarin, aku terus menutup diri di kamar. Menolak keluar kecuali ada hal darurat. Kubuat kamarku senyaman mungkin untuk kutinggali selama dua puluh empat jam penuh. Kamar berukuran 3x4 meter persegi itu menjelma menjadi rumah bagiku. Di mana aku menyiapkan makanan, mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel bestseller yang menghasilkan ribuan dollar per bulannya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui pekerjaanku, bahkan keluargaku. Mereka hanya menganggapku seorang pengangguran tak berguna. Walau aku tidak pernah merengek meminta bantuan mereka. Di antara kami berdua, aku dan Lia, hanya Lia yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku terpaksa bekerja di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak lagi ditanggung orang tuaku.
Cerita 10 - Lionel “Karena kau menutupi kecantikanmu, Ria.” Ucapan yang kudengar seperti sambaran petir di siang hari saat cuaca terik. Tentu saja sangat mengejutkanku. “Ja-jangan bercanda!” “Ria?” Suara familiar itu mengejutkan kami berdua. Di hadapan kami, Lionel muncul dengan tunggangan matik keren miliknya. “Ah, benar. Kau Ria. Apa yang kau lakukan di sini?” Sepertinya Lionel tidak menyadari kehadiran Ferry yang duduk di sebelahku. “Pergilah!” Ferry mengusirnya. Raut wajahnya terlihat menggambarkan ketidak sukaannya pada lelaki penyelamatku. “Lionel?” Aku berdiri, menyambut kehadirannya dengan wajah sumringah. Jelas, aku begitu semangat menghampirinya. “Kemarin terimakasih ya? Sudah mengirimkan Ibu Sri buat memijat seluruh badanku.” “Oh, iya. Aku lupa bilang padamu. Soalnya aku nggak punya nomor teleponmu.” “Pokoknya terimakasih
Cerita 9 - Kepedulian FerryBiasanya aku menjelma jadi makhluk tak kasat mata yang tinggal di rumah adikku. Sudah hampir seminggu aku tinggal disini, tapi aku berusaha untuk tidak begitu nampak di hadapan mereka. Aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tak merasa terusik oleh kehadiranku.Aku hanya ingin mengganggu keharmonisan rumah tangga adikku sendiri, meski status baruku menimbulkan polemik tak berujung.Mereka beraktivitas seperti biasa, seolah-olah aku tak bersama mereka. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Aku buru-buru mengambil hijabku, membuka pintu perlahan.Kulihat Ferry, adik ipar sekaligus suamiku berdiri dibalik pintu. Tinggi menjulang beberapa senti dari tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh delapan.Dibandingkan Lia adikku yang tinggi semampai, aku termasuk ukuran wanita mungil. Meski begitu beberapa bagian kewanitaanku tumbuh sempurna. Kusembunyika
Cerita 8 - Menjaga JarakPagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.“Kenapa?”“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”