“Selamat pagi, Teh.” Sapaan hangat terdengar dari adikku Lia saat aku baru keluar kamar menuju area dapur untuk mengambil segelas air.
“Tumben Teteh jam segini baru bangun?” tanyanya lagi. Senyumnya begitu ceria dan lebar, membuatku iri saja melihat kebahagiaan yang terpancar darinya.
“Teteh lagi halangan, jadi nggak perlu bangun buat solat.”
“Oh gitu.”
“Kau sendiri gimana?” Aku menyesali pertanyaanku, karena kulihat tetesan air di rambut adikku, Lia. Sepertinya semalam mereka habis bercinta, di malam pernikahanku. Entah mengapa hatiku terpilin melihat wajah sumringah Lia dan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.
“Aku lapar,” ujarnya sambil menyantap roti isi coklat favoritnya. “Teteh mau?” Dia menawarkan membuatkanku sarapan.
“Nggak usah. Teteh nggak biasa sarapan roti. Biasanya di sini ada yang jual nasi uduk nggak?” Aku adalah orang Indonesia yang tidak akan merasa kenyang sebelum menyantap seporsi nasi.
“Ada kok Teh, di warung Mbok Iyem. Teteh lurus aja nanti di ujung jalan ada yang jual nasi uduk. Mau aku antar?"
"Eh, nggak usah. Dekat 'kan?" tanyaku memastikan. Jadi aku tidak perlu mengeluarkan motor kesayanganku.
"Dekat kok, Teh. Jalan kaki lima menit juga sampai."
Sesuai petunjuk yang diberikan Lia adikku, aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju warung nasi uduk Mbok Iyem. Seperti rumah perkampungan lainnya, banyak ibu-ibu berkumpul di warung tersebut. Tengah asyik menyantap sarapan mereka yang hanya terdiri dari beberapa gorengan dan lontong.
“Eh, kayaknya saya baru lihat wajah si Teteh, deh,” sahut wanita bertubuh besar yang sibuk melayani pesananku.
Aku menduga wanita itu adalah Mbok Iyem, sang pemilik warung. “Eh, iya, Buk. Saya baru pindah ke sini kemarin.”
“Oalah, istri baru Mas Ferry, ya?”
Aku tertegun, dari mana mereka tahu soal itu. “Kok kayak kaget gitu. Jangan heran, di kampung ini ayam tetangga mati aja kita sekampung pada tau,” celetuk salah satu ibu yang tengah sibuk bergosip ria.
Padahal baru kemarin sore aku melangsungkan pernikahan, paginya seluruh ibu-ibu di kampung tahu berita mengejutkan tersebut.
“Tapi, sayang ya? Padahal sudah berjilbab, cuma kelakuannya itu lho, minus.” Tanpa sengaja aku mendengar gosip yang sedang mereka bicarakan tentang diriku.
“Emangnya kenapa, Bun?” komentar ibu lainnya. Aku tak begitu jelas ibu yang sama yang berbicara, karena aku hanya memasang telingaku tanpa melirik ke arah mereka sedikit pun.
“Dia itu, kakak kandung yang tega nikung adeknya sendiri, lho.” Bisik-bisik mereka terdengar jelas olehku. Entah mereka sengaja, atau tidak menyadari kalau aku bisa mendengar obrolan mereka yang menggosipkan aku. Padahal jelas, aku berada di dekat mereka, seakan mereka tak peduli kalau aku mendengarnya atau tidak.
Astagfirullah aku hanya bisa membatin mendengar mereka membicarakan diriku dengan sangat jelas.
“Ih, malu-maluin,” timpal ibu lainnya.
Mbok Iyem hanya melirik iba ke diriku. Aku tersenyum getir ke arahnya. “Jadi berapa, totalnya?” Aku mengeluarkan dompet dari saku baju gamis untuk membayar nasi uduk pesananku.
“Tujuh ribu, Teh.” Kukeluarkan selembar yang seratus ribu. “Aduh, kayaknya Mbok nggak ada kembalian, deh. Di bawa aja dulu.”
“Jangan Mbok, nanti dia kabur lagi. Terus nggak bayar. Kayak adeknya noh. Utang dimana-mana. Ngaku jadi selebritis. Eh fotomodel. Eh, apa tuh namanya," gumam salah seorang ibu berambut nyaris memutih. Meski usianya sudah hampir separuh baya, tapi tak menyurutkan semangatnya bergosip dengan para ibu lainnya.
"Selebgram," timpal ibu lainnya.
"Selebram abal-abal kali," celetuk yang lain.Mbok seakan mengerti isi hatiku. Dia terpaksa mengambil uangku dan berjalan masuk ke dalam rumah.
“Enak, Neng? Ngerebut laki adek sendiri?” tanya ibu yang tak kukenal itu. Aku tak bergeming. Kukatupkan mulutku rapat-rapat, enggan menjawab pertanyaannya yang tak berguna.
Aku tak mengira lingkungan tempat adikku tinggal sama sekali tidak kondusif. Lagipula, aku heran, darimana mereka tahu berita soal pernikahan siriku. Padahal jelas kemarin aku tidak mengundang siapa pun selain kerabat dan pak RT. Mungkinkah pria itu yang membongkar berita pernikahan siriku?
“Eh, kita kudu ati-ati. Jangan sampai laki kita juga kena jampe-jampe darinya.” Ibu lainnya mulai memprovokasi.
“Dih, amit-amit. Kayak cakep aja. Muka pas-pasan. Heran aja tuh si Ferry bisa kepincut sama kakak istrinya sendiri."
“Tapi, laki sekarang ‘kan nggak perlu cakep. Yang penting goyangan asoyy!” celetuk ibu lainnya, membuat wajahku memerah seketika.
“Ah, ibu bisa aja.” Ibu lainnya merespon hingga terdengar suara tawa menghina mereka yang membahana keras di sekeliling.
Telingaku panas mendengar ocehan mereka yang merusak indera pendengaranku. Aku berharap Mbok segera muncul dan aku bisa langsung pulang tanpa perlu mendengar gosip mereka.
Tak berselang lama Mbok muncul membawa uang kembalian. “Ini, Teh. Kembaliannya.” Mbok menyerahkan uang yang sudah terlipat berantakan.
Tanpa sempat menghitungnya aku lari meluncur pergi, kembali ke rumah adikku.
“Neng, selamat ya? Jadi istri siri!” teriak salah seorang Ibu tanpa tahu malu, sengaja membuatku risih mendengarnya.
“Bahaya nih kalo kampung kita sekarang ada pelakor,” timpal ibu lainnya.
Aku hanya bisa menulikan pendengaranku. Menahan diri agar tidak terpancing oleh mereka.
***
“Kenapa Teh?” Lia menghampiriku, bingung melihat wajahku yang pucat dan jantungku yang berdebar kencang.
“Ah, nggak pa-pa kok,” sergahku. Malas menceritakan hal yang baru saja aku alami bersama ibu-ibu di perkampungan ini.
“Udah beli nasi uduknya?” tanyanya lagi.
“Eh, iya udah.” Aku buru-buru ke kamar. Kuputuskan menyantap sarapanku di dalam kamar saja, alih-alih harus semeja dengan adik dan iparku yang kini menjadi suamiku.
“Eh, Teh.”
“Ng, apa?” Aku menghentikan langkahku sejenak sebelum memasuki kamar.
“Kayaknya Teteh harus sabar deh, soalnya tadi aku nggak sengaja dengar kalau ibu-ibu di kampung mulai gosipin Teteh.”
“Iya, gak pa-pa.” Aku tak mau ambil pusing.
“Tapi Teteh beneran nggak pa-pa? Soalnya Teteh dibilang pelakor sama mereka.” Aku tak sempat berpikir, dari mana Lia tahu gosip tersebut. Mungkinkah Lia juga mendengarnya sendiri tentang diriku?
“Teteh gak pa-pa kok. Lagian Teteh mana pernah peduli omongan mereka. Toh kita lebih tahu niat hati Teteh yang sebenarnya. Kau nggak usah cemas lagi ya?” Aku berusaha menghiburnya. Takut jika gosip tersebut membuat kehidupan adikku terpengaruh, apalagi dia seorang selebgram dengan follower luar biasa yang mungkin mempengaruhi pekerjaannya.
Seharusnya aku yang perlu dihibur bukannya malah menghibur. Terkadang aku membenci diriku yang terlalu sayang pada adikku sampai aku tidak memedulikan perasaan dan hidupku sendiri. Aku terlalu banyak berkorban untuknya.
Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Setidaknya aku hanya tinggal fokus dengan kehamilan anak mereka. Setelah itu, tinggal menata kembali hidupku yang telah hancur.
***
Kisah tentang istri tak dianggap memang nyata adanya. Dialah diriku. Aku tak pernah menyangka takdir hidupku akan semenyedihkan ini.Menikah di usia yang sudah menginjak kepala tiga, hanya demi memberikan momongan untuk adikku dan suaminya yang menikah selama lima tahun tapi Allah belum memberi mereka keturunan.Ikhtiar mereka mendapatkan momongan harus mengikut sertakan diriku. Bodohnya aku yang menerima permohonan mereka hanya demi emosi sesaat.Dan sekarang aku harus menjalani kehidupan pernikahanku yang jauh dari kata SaMaWa (Sakinah Mawaddah Warahmah).Apa itu sakinah? Hanya mimpi yang takkan mungkin pernah terwujud. Jangan tanya Mawaddah, hanya sebuah angan-angan semu, apalahi warahmah. Bahwa suamiku jijik setiap kali dia berdekatan denganku.Fakta bahwa aku hanyalah istri boneka dari pernikahan siri. Mungkin sah secara agama, tapi tidak di sisi hukum negara.Menyedihkan?Ya sangat, tapi itu sudah jadi jalan hidupku.“Lia? Apa kau lihat kemejaku?” Suara Ferry terdengar dari kej
“Kau sudah makan?” Ferry bertanya pada Lia adikku. Sepulangnya bekerja, hanya istrinya yang dia khawatirkan. Dia bahkan tak peduli denganku, meski kini statusku telah berganti menjadi istri sirinya. Seharusnya dia basa-basi juga menanyaiku.“Sudah,” jawab Lia, asyik mengunyah cemilannya.Ferry lantas berjalan melewati kami menuju dapur. “Apa nggak ada makanan?” tanyanya dari arah dapur.“Nggak ada. Tadi Teteh yang masak.” Adikku menjawab cuek. Dia masih asyik dengan tontonannya. Tak peduli dengan suaminya yang baru pulang kerja. Bahkan adikku sama sekali tidak menyambut kedatangannya.“Terus, nggak ada makanan buat aku?”“Kau goreng telur aja sendiri. Bisa ‘kan?” Aku mendengar nada menggerutu dari arah dapur. Tak berselang lama, Ferry akhirnya keluar. Mungkin untuk membeli makanan dirinya sendiri.“Li, kau nggak bilang kalau Ferry nggak ada makanan,” gumamku merasa iba karena suamiku tidak mendapatkan makanan sepulang kerja.“Biarin aja, Teh. Biasanya juga nyiapin makanan sendiri. Noh
“Lionel, apa yang kau lakukan di sini?” Lia terkejut melihat kemunculannya di depan rumahnya bersamanya. Lelaki penolongku tercekat, melemparkan pandangan secara bergantian kepada kami berdua. “Lia?” Ekspresi Lionel sama kagetnya dengan ekspresi yang diperlihatkan oleh adikku. “Kau mengenal adikku?” Kulontarkan tanya padanya. “Dia adikmu?” Lionel tercekat mengetahui fakta tersebut. Kulihat dia kesulitan menelan salivanya, menghadapi kenyataan yang jelas menampar dirinya. Ferry berdiri di depan pintu, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, ekspresinya menegang. Aku melihat api kecemburuan membakar dari sorot matanya yang membara. “Lia, masuk!” perintahnya. Suaranya terdengar sangat dingin dan tak terbantahkan. “Ta-tapi, Mas ... “ Lia hendak membantah, namun Ferry menarik adikku dengan kasar, masuk ke dalam rumah. Wajah Ferry memerah menahan gejolak amarah tanpa sebab pasti. Entah mengapa dia terlihat membenci situasi yang terjadi diantara aku dan penolongku. “Kau juga, masuklah!
Cerita 8 - Menjaga JarakPagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.“Kenapa?”“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”
Cerita 9 - Kepedulian FerryBiasanya aku menjelma jadi makhluk tak kasat mata yang tinggal di rumah adikku. Sudah hampir seminggu aku tinggal disini, tapi aku berusaha untuk tidak begitu nampak di hadapan mereka. Aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tak merasa terusik oleh kehadiranku.Aku hanya ingin mengganggu keharmonisan rumah tangga adikku sendiri, meski status baruku menimbulkan polemik tak berujung.Mereka beraktivitas seperti biasa, seolah-olah aku tak bersama mereka. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Aku buru-buru mengambil hijabku, membuka pintu perlahan.Kulihat Ferry, adik ipar sekaligus suamiku berdiri dibalik pintu. Tinggi menjulang beberapa senti dari tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh delapan.Dibandingkan Lia adikku yang tinggi semampai, aku termasuk ukuran wanita mungil. Meski begitu beberapa bagian kewanitaanku tumbuh sempurna. Kusembunyika
Cerita 10 - Lionel “Karena kau menutupi kecantikanmu, Ria.” Ucapan yang kudengar seperti sambaran petir di siang hari saat cuaca terik. Tentu saja sangat mengejutkanku. “Ja-jangan bercanda!” “Ria?” Suara familiar itu mengejutkan kami berdua. Di hadapan kami, Lionel muncul dengan tunggangan matik keren miliknya. “Ah, benar. Kau Ria. Apa yang kau lakukan di sini?” Sepertinya Lionel tidak menyadari kehadiran Ferry yang duduk di sebelahku. “Pergilah!” Ferry mengusirnya. Raut wajahnya terlihat menggambarkan ketidak sukaannya pada lelaki penyelamatku. “Lionel?” Aku berdiri, menyambut kehadirannya dengan wajah sumringah. Jelas, aku begitu semangat menghampirinya. “Kemarin terimakasih ya? Sudah mengirimkan Ibu Sri buat memijat seluruh badanku.” “Oh, iya. Aku lupa bilang padamu. Soalnya aku nggak punya nomor teleponmu.” “Pokoknya terimakasih
Cerita 11 - Ciuman Pertama Setelah peristiwa ke bengkel kemarin, aku terus menutup diri di kamar. Menolak keluar kecuali ada hal darurat. Kubuat kamarku senyaman mungkin untuk kutinggali selama dua puluh empat jam penuh. Kamar berukuran 3x4 meter persegi itu menjelma menjadi rumah bagiku. Di mana aku menyiapkan makanan, mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel bestseller yang menghasilkan ribuan dollar per bulannya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui pekerjaanku, bahkan keluargaku. Mereka hanya menganggapku seorang pengangguran tak berguna. Walau aku tidak pernah merengek meminta bantuan mereka. Di antara kami berdua, aku dan Lia, hanya Lia yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku terpaksa bekerja di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak lagi ditanggung orang tuaku.
Cerita 12 - Ancaman[Keluarlah, makan bersama kami]Pesan dari suamiku muncul di notifikasi layar. Tentu saja aku mengabaikannya. Kumatikan layar ponsel, kemudian pesan itu kembali muncul.[Apa aku perlu ke kamar sekarang?]Lelaki itu mulai mengancam. Aku menimbang-nimbang hal yang seharusnya kulakukan. Haruskah aku keluar dan bergabung makan malam bersama mereka? Atau justru tetap di kamarku, makan sendirian seperti biasa.Aku terpaksa berdiri, memaksa kakiku melangkah keluar dari area kamarku. Dengan langkah gontai, aku menuju ruang makan. Lia terkejut melihat kemunculanku. “Teteh? Tumben Teteh keluar?”Sejak dulu dia selalu tahu, aku gemar menyendiri. Meski begitu dia sangat menghargai privasiku.“Boleh aku makan bareng?” Aku melirik ke arah Ferry yang tersenyum kecil penuh arti. Aku seperti boneka yang sedang dimainkan. Terpaksa melakukan sesuatu diluar kehendakku.“Tentu saja boleh, Teh.” Lia men