Beranda / Pernikahan / Suamiku, Adik Iparku / Cerita 4 - Gosip Para Ibu Di Kampung

Share

Cerita 4 - Gosip Para Ibu Di Kampung

“Selamat pagi, Teh.” Sapaan hangat terdengar dari adikku Lia saat aku baru keluar kamar menuju area dapur untuk mengambil segelas air.

“Tumben Teteh jam segini baru bangun?” tanyanya lagi. Senyumnya begitu ceria dan lebar, membuatku iri saja melihat kebahagiaan yang terpancar darinya.

“Teteh lagi halangan, jadi nggak perlu bangun buat solat.”

“Oh gitu.”

“Kau sendiri gimana?” Aku menyesali pertanyaanku, karena kulihat tetesan air di rambut adikku, Lia. Sepertinya semalam mereka habis bercinta, di malam pernikahanku. Entah mengapa hatiku terpilin melihat wajah sumringah Lia dan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.

“Aku lapar,” ujarnya sambil menyantap roti isi coklat favoritnya. “Teteh mau?” Dia menawarkan membuatkanku sarapan.

“Nggak usah. Teteh nggak biasa sarapan roti. Biasanya di sini ada yang jual nasi uduk nggak?” Aku adalah orang Indonesia yang tidak akan merasa kenyang sebelum menyantap seporsi nasi.

“Ada kok Teh, di warung Mbok Iyem. Teteh lurus aja nanti di ujung jalan ada yang jual nasi uduk. Mau aku antar?"

"Eh, nggak usah. Dekat 'kan?" tanyaku memastikan. Jadi aku tidak perlu mengeluarkan motor kesayanganku. 

"Dekat kok, Teh. Jalan kaki lima menit juga sampai."

Sesuai petunjuk yang diberikan Lia adikku, aku berjalan menyusuri jalan setapak menuju warung nasi uduk Mbok Iyem. Seperti rumah perkampungan lainnya, banyak ibu-ibu berkumpul di warung tersebut. Tengah asyik menyantap sarapan mereka yang hanya terdiri dari beberapa gorengan dan lontong.

“Eh, kayaknya saya baru lihat wajah si Teteh, deh,” sahut wanita bertubuh besar yang sibuk melayani pesananku.

Aku menduga wanita itu adalah Mbok Iyem, sang pemilik warung. “Eh, iya, Buk. Saya baru pindah ke sini kemarin.”

“Oalah, istri baru Mas Ferry, ya?”

Aku tertegun, dari mana mereka tahu soal itu. “Kok kayak kaget gitu. Jangan heran, di kampung ini ayam tetangga mati aja kita sekampung pada tau,” celetuk salah satu ibu yang tengah sibuk bergosip ria.

Padahal baru kemarin sore aku melangsungkan pernikahan, paginya seluruh ibu-ibu di kampung tahu berita mengejutkan tersebut.

“Tapi, sayang ya? Padahal sudah berjilbab, cuma kelakuannya itu lho, minus.” Tanpa sengaja aku mendengar gosip yang sedang mereka bicarakan tentang diriku.

“Emangnya kenapa, Bun?” komentar ibu lainnya. Aku tak begitu jelas ibu yang sama yang berbicara, karena aku hanya memasang telingaku tanpa melirik ke arah mereka sedikit pun.

“Dia itu, kakak kandung yang tega nikung adeknya sendiri, lho.” Bisik-bisik mereka terdengar jelas olehku. Entah mereka sengaja, atau tidak menyadari kalau aku bisa mendengar obrolan mereka yang menggosipkan aku. Padahal jelas, aku berada di dekat mereka, seakan mereka tak peduli kalau aku mendengarnya atau tidak. 

Astagfirullah aku hanya bisa membatin mendengar mereka membicarakan diriku dengan sangat jelas.

“Ih, malu-maluin,” timpal ibu lainnya.

Mbok Iyem hanya melirik iba ke diriku. Aku tersenyum getir ke arahnya. “Jadi berapa, totalnya?” Aku mengeluarkan dompet dari saku baju gamis untuk membayar nasi uduk pesananku.

“Tujuh ribu, Teh.” Kukeluarkan selembar yang seratus ribu. “Aduh, kayaknya Mbok nggak ada kembalian, deh. Di bawa aja dulu.”

“Jangan Mbok, nanti dia kabur lagi. Terus nggak bayar. Kayak adeknya noh. Utang dimana-mana. Ngaku jadi selebritis. Eh fotomodel. Eh, apa tuh namanya," gumam salah seorang ibu berambut nyaris memutih. Meski usianya sudah hampir separuh baya, tapi tak menyurutkan semangatnya bergosip dengan para ibu lainnya. 

"Selebgram," timpal ibu lainnya. 

"Selebram abal-abal kali," celetuk yang lain. 

Mbok seakan mengerti isi hatiku. Dia terpaksa mengambil uangku dan berjalan masuk ke dalam rumah.

“Enak, Neng? Ngerebut laki adek sendiri?” tanya ibu yang tak kukenal itu. Aku tak bergeming. Kukatupkan mulutku rapat-rapat, enggan menjawab pertanyaannya yang tak berguna.

Aku tak mengira lingkungan tempat adikku tinggal sama sekali tidak kondusif. Lagipula, aku heran, darimana mereka tahu berita soal pernikahan siriku. Padahal jelas kemarin aku tidak mengundang siapa pun selain kerabat dan pak RT. Mungkinkah pria itu yang membongkar berita pernikahan siriku?

“Eh, kita kudu ati-ati. Jangan sampai laki kita juga kena jampe-jampe darinya.” Ibu lainnya mulai memprovokasi.

“Dih, amit-amit. Kayak cakep aja. Muka pas-pasan. Heran aja tuh si Ferry bisa kepincut sama kakak istrinya sendiri."

“Tapi, laki sekarang ‘kan nggak perlu cakep. Yang penting goyangan asoyy!” celetuk ibu lainnya, membuat wajahku memerah seketika.

“Ah, ibu bisa aja.” Ibu lainnya merespon hingga terdengar suara tawa menghina mereka yang membahana keras di sekeliling.

Telingaku panas mendengar ocehan mereka yang merusak indera pendengaranku. Aku berharap Mbok segera muncul dan aku bisa langsung pulang tanpa perlu mendengar gosip mereka.

Tak berselang lama Mbok muncul membawa uang kembalian. “Ini, Teh. Kembaliannya.” Mbok menyerahkan uang yang sudah terlipat berantakan.

Tanpa sempat menghitungnya aku lari meluncur pergi, kembali ke rumah adikku.

“Neng, selamat ya? Jadi istri siri!” teriak salah seorang Ibu tanpa tahu malu, sengaja membuatku risih mendengarnya.

“Bahaya nih kalo kampung kita sekarang ada pelakor,” timpal ibu lainnya.

Aku hanya bisa menulikan pendengaranku. Menahan diri agar tidak terpancing oleh mereka.

***

“Kenapa Teh?” Lia menghampiriku, bingung melihat wajahku yang pucat dan jantungku yang berdebar kencang.

“Ah, nggak pa-pa kok,” sergahku. Malas menceritakan hal yang baru saja aku alami bersama ibu-ibu di perkampungan ini.

“Udah beli nasi uduknya?” tanyanya lagi.

“Eh, iya udah.” Aku buru-buru ke kamar. Kuputuskan menyantap sarapanku di dalam kamar saja, alih-alih harus semeja dengan adik dan iparku yang kini menjadi suamiku.

“Eh, Teh.”

“Ng, apa?” Aku menghentikan langkahku sejenak sebelum memasuki kamar.

“Kayaknya Teteh harus sabar deh, soalnya tadi aku nggak sengaja dengar kalau ibu-ibu di kampung mulai gosipin Teteh.”

“Iya, gak pa-pa.” Aku tak mau ambil pusing.

“Tapi Teteh beneran nggak pa-pa? Soalnya Teteh dibilang pelakor sama mereka.” Aku tak sempat berpikir, dari mana Lia tahu gosip tersebut. Mungkinkah Lia juga mendengarnya sendiri tentang diriku?

“Teteh gak pa-pa kok. Lagian Teteh mana pernah peduli omongan mereka. Toh kita lebih tahu niat hati Teteh yang sebenarnya. Kau nggak usah cemas lagi ya?” Aku berusaha menghiburnya. Takut jika gosip tersebut membuat kehidupan adikku terpengaruh, apalagi dia seorang selebgram dengan follower luar biasa yang mungkin mempengaruhi pekerjaannya.

Seharusnya aku yang perlu dihibur bukannya malah menghibur. Terkadang aku membenci diriku yang terlalu sayang pada adikku sampai aku tidak memedulikan perasaan dan hidupku sendiri. Aku terlalu banyak berkorban untuknya.

Tapi mau bagaimana lagi? Nasi sudah menjadi bubur. Setidaknya aku hanya tinggal fokus dengan kehamilan anak mereka. Setelah itu, tinggal menata kembali hidupku yang telah hancur.

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status