Home / Pernikahan / Suamiku, Adik Iparku / Cerita 7 - Istri Tak Dianggap

Share

Cerita 7 - Istri Tak Dianggap

“Lionel, apa yang kau lakukan di sini?” Lia terkejut melihat kemunculannya di depan rumahnya bersamanya.

Lelaki penolongku tercekat, melemparkan pandangan secara bergantian kepada kami berdua.

“Lia?” Ekspresi Lionel sama kagetnya dengan ekspresi yang diperlihatkan oleh adikku.

“Kau mengenal adikku?” Kulontarkan tanya padanya.

“Dia adikmu?” Lionel tercekat mengetahui fakta tersebut. Kulihat dia kesulitan menelan salivanya, menghadapi kenyataan yang jelas menampar dirinya.

Ferry berdiri di depan pintu, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, ekspresinya menegang. Aku melihat api kecemburuan membakar dari sorot matanya yang membara.

“Lia, masuk!” perintahnya. Suaranya terdengar sangat dingin dan tak terbantahkan.

“Ta-tapi, Mas ... “ Lia hendak membantah, namun Ferry menarik adikku dengan kasar, masuk ke dalam rumah.

Wajah Ferry memerah menahan gejolak amarah tanpa sebab pasti. Entah mengapa dia terlihat membenci situasi yang terjadi diantara aku dan penolongku.

“Kau juga, masuklah!” Kali ini perintah itu untukku. Aku tercekat. Untuk pertama kalinya kami saling berinteraksi.

“Eh, aku ... “

“Masuklah, temani Lia. Sepertinya dia syok tadi. Dia terus mengkhawatirkanmu, padahal kulihat kau baik-baik saja. Ya ‘kan?”

“Jadi, kau melihat kecelakaan itu juga tadi?” Lionel menimpali perbincangan kita.

“Bukan urusanmu!” Suara Ferry terdengar dingin. Terlihat jelas kebencian memancar dari lelaki itu.

“Maafkan sikapnya, ya?” Kuwakilkan permintaan maafku pada Lionel yang telah membantuku, tapi dia justru mendapatkan penolakan dari Ferry dan Lia. Aku memasang wajah masam pada Ferry, suamiku. Kesal atas sikapnya yang dingin dan tidak sopan menurutku.

“Ah, nggak pa-pa kok. Kalau gitu, aku pamit dulu ya?”

“Terimakasih banyak atas bantuanmu.” Aku bingung bagaimana harus memanggilnya. Dia belum memperkenalkan dirinya padaku meski aku sudah mengetahui namanya.

“Namaku Lionel. Panggil saja aku Lio.”

“Lionel.” Aku harus mengingatnya, “Namaku Saveria. Kau boleh memanggilku Ria.”

“Ria dan Lia?” Lionel bertanya-tanya. Aku tersenyum lembut padanya.

“Lia adikku. Dan dia ... “

Aku hendak melanjutkan bicara untuk memperkenalkan dirinya pada Lionel. Sayangnya, Ferry memotong ucapanku, "Aku suaminya Lia. Juga suami Ria.” Aku terheran-heran mendengar Ferry mengakui pernikahan siriku.

Seharusnya pernikahan kami menjadi rahasia, tapi berkat mulut ember Ferry, Lionel akhirnya mengetahui statusku yang sudah menikah.

Wajah kaget Lionel membuatku merasa bersalah. “Ng, aku ... “ Aku kehilangan kata-kata. Situasi ini membuatku canggung. Karena bukankah pernikahan ini hanyalah pernikahan siri biasa yang tidak melibatkan ikatan, tapi mengapa Ferry mengklaim bahwa diriku adalah istrinya. Padahal aku hanyalah istri yang tak dianggap.

Lionel terkekeh, “Apa itu artinya kalau kau menunjukkan ketidak mampuanmu mengurus satu wanita saja, hah?”

“Bukan urusanmu!"

Ferry menarikku menjauh dari Lionel. Aku melepaskan pegangannya yang erat. Menjaga jarak darinya. Kulambaikan tanganku ke arah Lionel.

“Terimakasih atas bantuanmu,” teriakku padanya.

Lionel membalas lambaianku, singkat sebelum sosoknya menghilang dari balik pagar. “Jangan lupa pijat sama tukang urut dan bawa motornya ke bengkel!” teriak Lionel sebelum pintu tertutup.

Ferry sengaja membanting pintu dengan keras. Suaranya memekakkan telinga. Kemarahan tergambar jelas di wajahnya, aku berjalan ke kamar, mengacuhkan dirinya.

“Ria,” panggilnya saat aku hendak berbalik pergi ke kamarku.

“Ya?” Berpaling aku menghadapnya, tanpa rasa bersalah.

“Seharusnya kau meminta izinku jika ingin pergi, hah?” Suara berat Ferry menyimpan peringatan.

Aku terbelalak, sejak kapan aku harus meminta izinnya setiap kali ingin berpergian. Kutatap dirinya dengan ekspresi kaget.

“Kau istriku. Jadi mau nggak mau, suka atau nggak, kau berada di bawah perlindunganku!”

Mulutku terbuka lebar, sejak kapan dia mengakui status pernikahan siri kami? Sedangkan tadi dia sama sekali tak peduli. Bahkan posisiku jatuh lebih menyedihkan dibandingkan posisi Lia, adikku yang hanya terkilir sedikit.

Sebelum motor kami terjungkal, aku sudah memastikan supaya kondisi adikku baik-baik saja, meski aku yang harus terjerembab jatuh. Tersungkur di saluran air kotor dan menjijikkan.

Ferry tahu kondisiku, tapi apakah dia peduli?

Jawabnya jelas sekali, TIDAK! Dia hanya memedulikan Lia. Mengajak istrinya itu pulang, tanpa sedikit pun bertanya bagaimana kondisiku kala itu.

Aku dibiarkan begitu saja, sedangkan keduanya pulang mengendarai motor Ferry tanpa rasa bersalah.

Sekarang dia terlihat tidak menyukaiku. Aku merasa kebencian berputar disekeliling kami. Semua itu berasal dari tatapan Ferry yang tajam dan juga dingin, memandang kami berdua.

Aku tak mengerti alasannya?

Padahal Lionel telah menolongku, namun fakta tersebut sangat dibenci oleh olehnya. Entah mengapa?

“Aku memang istrimu, Ferry. Tapi itu bukan berarti kau bisa mengatur hidupku!” Aku membalas kata-katanya.

Ferry terkejut oleh keberanianku melawannya.

“Aku di sini hanya ingin menolong kalian memiliki anak, jadi jangan harap apapun!”

“Aku tahu apa alasanmu memaksaku menikahimu. Berpura-pura kau peduli pada kami, padahal kau hanya mementingkan dirimu. Aku heran apa yang kau ucapkan pada Lia, sehingga dia menerima pernikahan ini.”

Sejenak aku hanya diam. Merespon ucapannya bukanlah jalan yang tepat untuk situasiku saat ini.

“Sejak dulu, kau menyukaiku, ‘kan?”

Tersentak. Kuatur napasku dengan tenang, tak ingin menunjukkan betapa bergemuruhnya perasaan di dadaku.

Jadi selama ini, Ferry mengetahui isi hatiku dan sengaja bersikap sedingin itu. Lagipula apa yang kuharapkan dari pernikahan yang sangat merugikan diriku.

Bodohnya aku yang harus berkorban untuk keduanya. Aku membenci diriku dan kepedulianku.

“Benar, ‘kan? Kalau kau menyukaiku.” Lelaki berstatus suamiku membuka mulutnya lagi. Menembakkan pertanyaan yang sulit aku elak. Situasi ini begitu canggung untukku, tapi Ferry terus mendesak. Seakan-akan dia memang sengaja melakukannya untuk melukaiku.

“Kau menikahiku karena ingin merebut hatiku dan menghancurkan pernikahanku dengan Lia, ‘kan?”

Seperti ada sengatan listrik super menyetrum aliran darahku. Seketika aku membeku.

Lelaki berengsek. Aku membenci fakta mengapa aku menyukainya dulu. Seharusnya aku terima takdir saja kalau memang laki-laki itu tak layak kucintai.

Nasi sudah menjadi bubur, penyesalan yang tak berguna bagiku. Percuma aku meratap nasib. Luka di hatiku semakin terbuka lebar. Sakit, tapi tak berdarah.

Sekarang waktunya menyembuhkan kekecewaan serta rasa sakit ini.

Aku sangat membenci diriku sendiri. Kenyataan, mengapa aku begitu mencintai lelaki itu membuatku menyesalinya.

“Tenang saja, Ferry. Aku memang menyukaimu dulu, tapi itu tak mengubah fakta kalau kau suamiku. Lagipula kita tidak perlu berhubungan. Hanya butuh proses inseminasi kalian berdua. Menyimpannya di rahimku. Setelah itu aku akan pergi di kehidupan kalian. Terserah apa pikiranmu tentangku, tapi yang pasti, rasa sukaku terhadapmu tidak sebesar itu. Jadi jangan percaya diri kalau aku melakukan ini demi kamu," kataku menegaskan.

“Tentu saja aku bersyukur kalau kau sudah mengubur perasaanmu itu, Ria. Karena sampai kapan pun aku takkan pernah menganggapmu sebagau istriku, apalagi jatuh cinta padamu.”

Ucapan Ferry seperti belati tajam, menghujam dada dengan sangat kuat.

Mematikan.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status