Home / Pernikahan / Suamiku, Adik Iparku / Cerita 8 - Menjaga Jarak

Share

Cerita 8 - Menjaga Jarak

Cerita 8 - Menjaga Jarak

Pagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.

“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.

“Kenapa?”

“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.

Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.

Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.

“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.

“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”

Kurang dari seminggu aku tinggal di kediaman adikku dan suaminya. Aku tak pernah mengenal siapa pun, bahkan sahabat. Aku tidak memilikinya satu pun.

Aku terlalu menutup diri terhadap dunia luar. Merasa nyaman dengan kesendirian yang menjelma menjadi sahabat terbaikku.

Dibandingkan Lia yang ramah dan supel, aku terkenal canggung dan menyebalkan. Sikapku dingin, padahal aku adalah orang yang paling peduli di keluargaku.

Sedangkan Lia, dia terlalu egois yang terbiasa mementingkan dirinya. Seperti situasi yang kuhadapi saat ini. Sekali lagi aku harus berkorban untuk kebahagiaannya.

Dia tidak ingin hamil, karena takut merusak tubuhnya, sedangkan ibu mertuanya menuntutnya segera memiliki anak, kalau tidak mereka akan bercerai.

Pernikahan Lia yang di ujung tanduk, harus mengikut-sertakan aku di kehidupan mereka. Harusnya aku menolak permintaan ibuku dan Lia.

Tapi lagi-lagi, aku menyalahkan rasa sayangku yang berlebih terhadap mereka. Walau saat ini aku merasa dunia tidak adil padaku.

Aku menyeret langkah menuju ruang tamu. Seorang wanita paruh baya, mengenakan baju tradisional khas jawa duduk di sofa.

“Maaf, Ibu siapa ya?” tanyaku yang memang tak mengenalinya.

“Neng Ria?” Anehnya, dia mengenaliku. “Saya Ibu Sri, tukang pijat.”

“Tukang pijat? Tapi saya nggak manggil tukang pijat, Bu!” Aku terheran-heran, karena memang tidak memesan jasa pijat.

“Mas Lio yang manggil saya buat mijat, Neng.“

“Lio?” Lia terperangah. “Lionel maksud Ibu?”

“Eh, Neng kenal sama Mas Lio?” Ibu Sri bertanya pada adikku.

Lia terlihat bingung menjawabnya.

“Dimana Ibu bisa pijit, Neng? Soalnya kalo pijit teh kudu buka baju."

Masih dalam keterkejutan, aku terpaksa menerima bantuan dari Lionel yang sudah susah payah memanggil tukang pijat untukku.

“Ayo, ikut ke kamar, Bu.”

Aku mengajak ibu Sri, tukang pijat panggilan ke dalam kamar. Dari sudut mataku sebelum menutup pintu, Ferry menyelidiki kami. Aku mengabaikan rasa ingin tahunya. “Masuk, Bu.”

Ibu Sri bersikap sopan sebelum memasuki kamar. “Wah, kamarnya rapi sekali, Neng.” Dia memuji kondisi kamar yang selalu rapi, bersih, dan juga wangi. Tempat ini adalah istanaku. Di mana aku menjalani kehidupan introvertku saat tinggal di rumah adikku.

“Buka bajunya, Neng.”

“Eh, buka baju?” Aku merasa canggung karena ini pertama kalinya aku harus menanggalkan semua pakaianku. Membuka hijabku di depan orang lain kecuali keluargaku, aku pun tak pernah melakukannya.

“Apa nggak bisa dipijatnya pakai kaos saja, Bu?”

“Ibu harus memijat tubuh Neng, atuh. Kalau pakai baju, gimana ibu memijatnya? Lagipula kalau dipijat ‘kan pakai minyak.”

“Oh gitu ya?” Jujur, aku keberatan jika harus melepaskan semua pakaianku.

“Pakai sarung atau kain aja Neng kalau Neng merasa nggak nyaman.”

Terpaksa aku menurutinya. Kutanggalkan pakaianku satu per satu, dimulai dari membuka hijab yang biasa menutupi mahkota rambutku.

Sesuai instruksi darinya aku merebahkan diriku di atas ranjang, hanya mengenakan kain selimut tipis.

Aku menikmati setiap sentuhan dan pijatan Ibu Sri. Hingga tanpa kuduga, Ferry masuk ke dalam kamar. Seketika aku terbangun, mataku terbelalak melihatnya mematung.

Tubuhku terekspos olehnya. Ferry tergeragap kemolekan tubuhku yang polos tak berbusana.

“Si Kasep ngapain sih masuk-masuk!” Ibu Sri mengusirnya, tapi Ferry bersiteguh.

"Kenapa harus mengomeliku, Bu? Aku ini suaminya.”

“Eh, maaf. Ibu pikir kamu orang lain.”

Aku tak menyangkal ucapan Ferry, karena memang itu kenyataannya. Kututupi tubuh polosku dengan selimut, wajahku memerah oleh tatapannya yang penuh gairah.

Jantungku berdegup amat kencang. Mengapa Ferry tak kunjung pergi dari kamarku, alih-alih merasa canggung, sikap Ferry terlihat tenang seolah tak terpengaruh oleh kondisiku yang memalukan.

“Ada apa?” tanyaku, tak berani menatapnya.

“Aku mau menawarkan minuman untuk kalian.”

‘Sejak kapan dia peduli padaku?’ pekikku dalam hati. Malas untuk berdebat. “Nggak usah. Biar nanti aku yang menyiapkan minuman untuknya.” Aku menolak tawaran darinya.

Selama ini aku berusaha menjaga jarak dari Ferry dan adikku. Meski statusnya adalah istri sirinya, tapi aku menetapkan batasan. Toh, sejak awal aku memang istri yang tak dianggap, lalu mengapa sekarang sikapnya berubah. Membuatku semakin tak mengerti olehnya.

***

Selama dua jam aku menikmati pijatan Ibu Sri yang membuat tubuhku sedikit rileks. Ini pertama kalinya aku dipijat dan rasanya sangat jauh berbeda. Meski ada beberapa bagian yang terasa sakit saat disentuh, selebihnya aku menikmatinya.

“Kalau sakit, itu tandanya ada pembengkakan, Neng. Lagipula kan kemarin Neng habis jatuh dari motor. Pasti rasanya emang sedikit nggak nyaman, tapi lama-lama bakalan enak kok.” Aku memercayainya karena setelah dipijat tubuhku mulai merasa sedikit lebih ringan.

Aku mengantar Ibu Sri hingga ke pintu gerbang. Memberinya uang yang langsung ditolaknya, karena dia bilang, jasa pijatnya sudah dibayar dimuka.

“Apa Lionel yang membayarnya?” Penasaran aku bertanya padanya.

“Iya. Mas Lio sudah ngasih Ibu uang. Jadi Ibu nggak enak terima bayaran lagi dari Neng.”

“Kalau gitu, ini buat ongkos Ibu dan buat makan siang nanti di jalan.”

“Beneran, Neng?” Ibu Sri sangat senang menerima amplop berisi uang pemberianku. “Alhamdulillah kalo gitu. Ibu pamit dulu ya, Neng. Moga cepat sembuh.”

“Iya, makasih banyak, Bu.”

Ferry muncul dari dalam rumah menghampiriku di gerbang depan. “Kamu sudah pakai kerudung lagi?” tanyanya membuatku bingung. Lho memang sejak awal aku selalu mengenakan kerudung di depannya.

“Emangnya kenapa?”

“Nggak usah pakai kerudung di rumah. Nanti gerah.”

Gerah atau tidak, toh itu bukan urusannya. Mengapa dia harus usil mengomentari pakaianku. Aku acuh tak acuh padanya, meluncur pergi menuju kamarku.

“Ria,” dia menahan lenganku, langkahku seketika terhenti. Dengan sigap aku melepaskan cengkeramannya, menjaga jarak.

“Ada apa?”

"Lepaskan saja kerudungmu saat di rumah. Toh aku sudah bukan orang lain bagimu. Aku sudah resmi menjadi suamimu.”

Apa maksudnya itu? Aku bertanya-tanya. Sulit bagiku memahami maksud terselubung yang tersirat dari kata-katanya. Tentu saja aku harus memakai kerudungku, menutupi pandangan Ferry atas tubuhku.

***

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status