Beranda / Pernikahan / Suamiku, Adik Iparku / Cerita 8 - Menjaga Jarak

Share

Cerita 8 - Menjaga Jarak

Penulis: Mentari Putri
last update Terakhir Diperbarui: 2024-10-30 10:00:03

Cerita 8 - Menjaga Jarak

Pagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.

“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.

“Kenapa?”

“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.

Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.

Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.

“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.

“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”

Kurang dari seminggu aku tinggal di kediaman adikku dan suaminya. Aku tak pernah mengenal siapa pun, bahkan sahabat. Aku tidak memilikinya satu pun.

Aku terlalu menutup diri terhadap dunia luar. Merasa nyaman dengan kesendirian yang menjelma menjadi sahabat terbaikku.

Dibandingkan Lia yang ramah dan supel, aku terkenal canggung dan menyebalkan. Sikapku dingin, padahal aku adalah orang yang paling peduli di keluargaku.

Sedangkan Lia, dia terlalu egois yang terbiasa mementingkan dirinya. Seperti situasi yang kuhadapi saat ini. Sekali lagi aku harus berkorban untuk kebahagiaannya.

Dia tidak ingin hamil, karena takut merusak tubuhnya, sedangkan ibu mertuanya menuntutnya segera memiliki anak, kalau tidak mereka akan bercerai.

Pernikahan Lia yang di ujung tanduk, harus mengikut-sertakan aku di kehidupan mereka. Harusnya aku menolak permintaan ibuku dan Lia.

Tapi lagi-lagi, aku menyalahkan rasa sayangku yang berlebih terhadap mereka. Walau saat ini aku merasa dunia tidak adil padaku.

Aku menyeret langkah menuju ruang tamu. Seorang wanita paruh baya, mengenakan baju tradisional khas jawa duduk di sofa.

“Maaf, Ibu siapa ya?” tanyaku yang memang tak mengenalinya.

“Neng Ria?” Anehnya, dia mengenaliku. “Saya Ibu Sri, tukang pijat.”

“Tukang pijat? Tapi saya nggak manggil tukang pijat, Bu!” Aku terheran-heran, karena memang tidak memesan jasa pijat.

“Mas Lio yang manggil saya buat mijat, Neng.“

“Lio?” Lia terperangah. “Lionel maksud Ibu?”

“Eh, Neng kenal sama Mas Lio?” Ibu Sri bertanya pada adikku.

Lia terlihat bingung menjawabnya.

“Dimana Ibu bisa pijit, Neng? Soalnya kalo pijit teh kudu buka baju."

Masih dalam keterkejutan, aku terpaksa menerima bantuan dari Lionel yang sudah susah payah memanggil tukang pijat untukku.

“Ayo, ikut ke kamar, Bu.”

Aku mengajak ibu Sri, tukang pijat panggilan ke dalam kamar. Dari sudut mataku sebelum menutup pintu, Ferry menyelidiki kami. Aku mengabaikan rasa ingin tahunya. “Masuk, Bu.”

Ibu Sri bersikap sopan sebelum memasuki kamar. “Wah, kamarnya rapi sekali, Neng.” Dia memuji kondisi kamar yang selalu rapi, bersih, dan juga wangi. Tempat ini adalah istanaku. Di mana aku menjalani kehidupan introvertku saat tinggal di rumah adikku.

“Buka bajunya, Neng.”

“Eh, buka baju?” Aku merasa canggung karena ini pertama kalinya aku harus menanggalkan semua pakaianku. Membuka hijabku di depan orang lain kecuali keluargaku, aku pun tak pernah melakukannya.

“Apa nggak bisa dipijatnya pakai kaos saja, Bu?”

“Ibu harus memijat tubuh Neng, atuh. Kalau pakai baju, gimana ibu memijatnya? Lagipula kalau dipijat ‘kan pakai minyak.”

“Oh gitu ya?” Jujur, aku keberatan jika harus melepaskan semua pakaianku.

“Pakai sarung atau kain aja Neng kalau Neng merasa nggak nyaman.”

Terpaksa aku menurutinya. Kutanggalkan pakaianku satu per satu, dimulai dari membuka hijab yang biasa menutupi mahkota rambutku.

Sesuai instruksi darinya aku merebahkan diriku di atas ranjang, hanya mengenakan kain selimut tipis.

Aku menikmati setiap sentuhan dan pijatan Ibu Sri. Hingga tanpa kuduga, Ferry masuk ke dalam kamar. Seketika aku terbangun, mataku terbelalak melihatnya mematung.

Tubuhku terekspos olehnya. Ferry tergeragap kemolekan tubuhku yang polos tak berbusana.

“Si Kasep ngapain sih masuk-masuk!” Ibu Sri mengusirnya, tapi Ferry bersiteguh.

"Kenapa harus mengomeliku, Bu? Aku ini suaminya.”

“Eh, maaf. Ibu pikir kamu orang lain.”

Aku tak menyangkal ucapan Ferry, karena memang itu kenyataannya. Kututupi tubuh polosku dengan selimut, wajahku memerah oleh tatapannya yang penuh gairah.

Jantungku berdegup amat kencang. Mengapa Ferry tak kunjung pergi dari kamarku, alih-alih merasa canggung, sikap Ferry terlihat tenang seolah tak terpengaruh oleh kondisiku yang memalukan.

“Ada apa?” tanyaku, tak berani menatapnya.

“Aku mau menawarkan minuman untuk kalian.”

‘Sejak kapan dia peduli padaku?’ pekikku dalam hati. Malas untuk berdebat. “Nggak usah. Biar nanti aku yang menyiapkan minuman untuknya.” Aku menolak tawaran darinya.

Selama ini aku berusaha menjaga jarak dari Ferry dan adikku. Meski statusnya adalah istri sirinya, tapi aku menetapkan batasan. Toh, sejak awal aku memang istri yang tak dianggap, lalu mengapa sekarang sikapnya berubah. Membuatku semakin tak mengerti olehnya.

***

Selama dua jam aku menikmati pijatan Ibu Sri yang membuat tubuhku sedikit rileks. Ini pertama kalinya aku dipijat dan rasanya sangat jauh berbeda. Meski ada beberapa bagian yang terasa sakit saat disentuh, selebihnya aku menikmatinya.

“Kalau sakit, itu tandanya ada pembengkakan, Neng. Lagipula kan kemarin Neng habis jatuh dari motor. Pasti rasanya emang sedikit nggak nyaman, tapi lama-lama bakalan enak kok.” Aku memercayainya karena setelah dipijat tubuhku mulai merasa sedikit lebih ringan.

Aku mengantar Ibu Sri hingga ke pintu gerbang. Memberinya uang yang langsung ditolaknya, karena dia bilang, jasa pijatnya sudah dibayar dimuka.

“Apa Lionel yang membayarnya?” Penasaran aku bertanya padanya.

“Iya. Mas Lio sudah ngasih Ibu uang. Jadi Ibu nggak enak terima bayaran lagi dari Neng.”

“Kalau gitu, ini buat ongkos Ibu dan buat makan siang nanti di jalan.”

“Beneran, Neng?” Ibu Sri sangat senang menerima amplop berisi uang pemberianku. “Alhamdulillah kalo gitu. Ibu pamit dulu ya, Neng. Moga cepat sembuh.”

“Iya, makasih banyak, Bu.”

Ferry muncul dari dalam rumah menghampiriku di gerbang depan. “Kamu sudah pakai kerudung lagi?” tanyanya membuatku bingung. Lho memang sejak awal aku selalu mengenakan kerudung di depannya.

“Emangnya kenapa?”

“Nggak usah pakai kerudung di rumah. Nanti gerah.”

Gerah atau tidak, toh itu bukan urusannya. Mengapa dia harus usil mengomentari pakaianku. Aku acuh tak acuh padanya, meluncur pergi menuju kamarku.

“Ria,” dia menahan lenganku, langkahku seketika terhenti. Dengan sigap aku melepaskan cengkeramannya, menjaga jarak.

“Ada apa?”

"Lepaskan saja kerudungmu saat di rumah. Toh aku sudah bukan orang lain bagimu. Aku sudah resmi menjadi suamimu.”

Apa maksudnya itu? Aku bertanya-tanya. Sulit bagiku memahami maksud terselubung yang tersirat dari kata-katanya. Tentu saja aku harus memakai kerudungku, menutupi pandangan Ferry atas tubuhku.

***

Bab terkait

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 9 - Kepedulian Ferry

    Cerita 9 - Kepedulian FerryBiasanya aku menjelma jadi makhluk tak kasat mata yang tinggal di rumah adikku. Sudah hampir seminggu aku tinggal disini, tapi aku berusaha untuk tidak begitu nampak di hadapan mereka. Aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tak merasa terusik oleh kehadiranku.Aku hanya ingin mengganggu keharmonisan rumah tangga adikku sendiri, meski status baruku menimbulkan polemik tak berujung.Mereka beraktivitas seperti biasa, seolah-olah aku tak bersama mereka. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Aku buru-buru mengambil hijabku, membuka pintu perlahan.Kulihat Ferry, adik ipar sekaligus suamiku berdiri dibalik pintu. Tinggi menjulang beberapa senti dari tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh delapan.Dibandingkan Lia adikku yang tinggi semampai, aku termasuk ukuran wanita mungil. Meski begitu beberapa bagian kewanitaanku tumbuh sempurna. Kusembunyika

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 10 - Lionel

    Cerita 10 - Lionel “Karena kau menutupi kecantikanmu, Ria.” Ucapan yang kudengar seperti sambaran petir di siang hari saat cuaca terik. Tentu saja sangat mengejutkanku. “Ja-jangan bercanda!” “Ria?” Suara familiar itu mengejutkan kami berdua. Di hadapan kami, Lionel muncul dengan tunggangan matik keren miliknya. “Ah, benar. Kau Ria. Apa yang kau lakukan di sini?” Sepertinya Lionel tidak menyadari kehadiran Ferry yang duduk di sebelahku. “Pergilah!” Ferry mengusirnya. Raut wajahnya terlihat menggambarkan ketidak sukaannya pada lelaki penyelamatku. “Lionel?” Aku berdiri, menyambut kehadirannya dengan wajah sumringah. Jelas, aku begitu semangat menghampirinya. “Kemarin terimakasih ya? Sudah mengirimkan Ibu Sri buat memijat seluruh badanku.” “Oh, iya. Aku lupa bilang padamu. Soalnya aku nggak punya nomor teleponmu.” “Pokoknya terimakasih

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 11 - Ciuman Pertama

    Cerita 11 - Ciuman Pertama Setelah peristiwa ke bengkel kemarin, aku terus menutup diri di kamar. Menolak keluar kecuali ada hal darurat. Kubuat kamarku senyaman mungkin untuk kutinggali selama dua puluh empat jam penuh. Kamar berukuran 3x4 meter persegi itu menjelma menjadi rumah bagiku. Di mana aku menyiapkan makanan, mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel bestseller yang menghasilkan ribuan dollar per bulannya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui pekerjaanku, bahkan keluargaku. Mereka hanya menganggapku seorang pengangguran tak berguna. Walau aku tidak pernah merengek meminta bantuan mereka. Di antara kami berdua, aku dan Lia, hanya Lia yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku terpaksa bekerja di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak lagi ditanggung orang tuaku.

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 12 - Ancaman

    Cerita 12 - Ancaman[Keluarlah, makan bersama kami]Pesan dari suamiku muncul di notifikasi layar. Tentu saja aku mengabaikannya. Kumatikan layar ponsel, kemudian pesan itu kembali muncul.[Apa aku perlu ke kamar sekarang?]Lelaki itu mulai mengancam. Aku menimbang-nimbang hal yang seharusnya kulakukan. Haruskah aku keluar dan bergabung makan malam bersama mereka? Atau justru tetap di kamarku, makan sendirian seperti biasa.Aku terpaksa berdiri, memaksa kakiku melangkah keluar dari area kamarku. Dengan langkah gontai, aku menuju ruang makan. Lia terkejut melihat kemunculanku. “Teteh? Tumben Teteh keluar?”Sejak dulu dia selalu tahu, aku gemar menyendiri. Meski begitu dia sangat menghargai privasiku.“Boleh aku makan bareng?” Aku melirik ke arah Ferry yang tersenyum kecil penuh arti. Aku seperti boneka yang sedang dimainkan. Terpaksa melakukan sesuatu diluar kehendakku.“Tentu saja boleh, Teh.” Lia men

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 13 - Hanya Kami Berdua

    Cerita 13 - Hanya Kami Berdua “Aku menuntut hakku sebagai suami.” Ferry mengulangi kata-katanya. Kewaspadaanku meningkat. Kututup area bagian dadaku dari pandangannya yang berkabut gairah. “Jangan main-main, Ferry!” seruku memperingatkan dirinya. Ferry terkekeh lebar, jelas menikmati permainan ini. “Tolong lepaskan aku!” pintaku memohon padanya. Aku tak ingin merusak kehidupan serta hubunganku dengan adikku sendiri. Merayu Ferry sama sekali tidak tercatat dalam kamusku. “Mengapa kau menolaknya, Ria?” “Karena kita bukanlah suami istri sebagaimana mestinya. Aku hanya menjalani tugasku, mengandung benih kalian. Setelah itu aku akan pergi.” “Bagaimana dengan perasaanmu?” Ferry mengelus pipiku, lembut. Mengirimkan getar ke seluruh tubuhk

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 14 - R dan F.A.

    Cerita 14 - R dan F.A.Aku mengepak semua pakaianku yang hanya berisi beberapa gamis sederhana, kerudung, dan perlengkapan mandiku. Tak lupa kemasukan pula laptop dan gawaiku yang satunya, yang khusus kugunakan untuk berkomunikasi dengan editor serta pada penulis lainnya."Mau kemana?" tanya Ferry curiga saat aku menentang tas hitam besar menuju area gerbang. "Jangan bilang kau mau pergi, Ria!" Aku mendengar suaranya bergetar oleh emosi yang entah datang dari mana?.Ferry menghampiriku lalu mengambil tas berisi pakaianku, juga kunci motor. Terpaksa aku kembali ke dalam rumah untuk merebutnya. Sayang, dia menaruh semua barang pribadi milikku di kamarnya.Tentu saja aku tak berani masuk, walau Ferry membuka pintu kamarnya lebar-lebar.“Masuklah jika kau mau mengambil tas dan kunci motormu.” Dia mempersilakanku, tapi aku menahan diri. Sambil mendengus, aku berbalik menuju kamar. Ha

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 15 - Cinta R untuk FA

    Aku menatapmu, di bawah jejak bayang mentari yang bersinar kuning—menghangatkan. Senyummu merekah laksana bunga di tengah musim semi. Sayangnya, bukan milikku, bukan untukku. Tidak apa-apa, kau menolak melihatku. Sebentuk makhluk tak kasat mata yang diam-diam memupuk benih cinta di hati. Mungkin nanti, kau akan sadari, kalau makhluk ini akan mati, tanpa sinar hangatmu. ~R~***Selesai mengetikkan kata-kata untuk tulisan novel romantisku, aku menghela napas lega, seakan beban yang bergelayut di punggungku terlepas. Aku merdeka. Kulirik ke arah jarum jam yang berdetak di dinding. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku sampai melupakan berapa lama kuhabiskan untuk menulis kisahku. Bergerak dari kursi kerjaku, aku menuju dapur, hendak membuat secangkir coklat hangat, minuman favoritku. “Kopi?” Di ujung ruang makan yang terhubung dengan dapur bersih, kulihat Ferry tengah asyik menatapku dari kejauhan. Mengangk

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 16 - Puisi Untuk Seseorang

    Waktu berjalan lambat, meski perputaran bumi berlangsung begitu cepat. Sehari, dua puluh empat jam waktu yang manusia miliki sebagai perjanjian di dunia ini. Meski waktu terus berputar, menggilas semua makhluk yang terlena olehnya, tapi tidak dengan diriku dan cintaku yang tumbuh semakin besar tanpa seizinkku. Aku ingin membunuhnya, sebentuk perasaan yang kian melumatkanku. Sayangnya dia seperti memiliki nyawa sendiri diluar kendaliku. Tolong aku, tolong jiwaku yang makin sekarat oleh pupusnya harapan. Di atas nisan bertuliskan nama cinta untuk FA. Aku mungkin telah mati. *** Kata demi kata, terangkai menjadi bait puisi yang indah sekaligus menyakitkan. Ungkapan perasaan yang aku milik tak mudah hilang begitu saja, meski waktu terus menggerusnya. “Aaarrrggghhh ... “ aku menjerit frustrasi saat hendak melanjutkan kembali puisiku. Emosi menguasai, mengingat bahwa perasaanku telah tersampaikan

Bab terbaru

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 16 - Puisi Untuk Seseorang

    Waktu berjalan lambat, meski perputaran bumi berlangsung begitu cepat. Sehari, dua puluh empat jam waktu yang manusia miliki sebagai perjanjian di dunia ini. Meski waktu terus berputar, menggilas semua makhluk yang terlena olehnya, tapi tidak dengan diriku dan cintaku yang tumbuh semakin besar tanpa seizinkku. Aku ingin membunuhnya, sebentuk perasaan yang kian melumatkanku. Sayangnya dia seperti memiliki nyawa sendiri diluar kendaliku. Tolong aku, tolong jiwaku yang makin sekarat oleh pupusnya harapan. Di atas nisan bertuliskan nama cinta untuk FA. Aku mungkin telah mati. *** Kata demi kata, terangkai menjadi bait puisi yang indah sekaligus menyakitkan. Ungkapan perasaan yang aku milik tak mudah hilang begitu saja, meski waktu terus menggerusnya. “Aaarrrggghhh ... “ aku menjerit frustrasi saat hendak melanjutkan kembali puisiku. Emosi menguasai, mengingat bahwa perasaanku telah tersampaikan

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 15 - Cinta R untuk FA

    Aku menatapmu, di bawah jejak bayang mentari yang bersinar kuning—menghangatkan. Senyummu merekah laksana bunga di tengah musim semi. Sayangnya, bukan milikku, bukan untukku. Tidak apa-apa, kau menolak melihatku. Sebentuk makhluk tak kasat mata yang diam-diam memupuk benih cinta di hati. Mungkin nanti, kau akan sadari, kalau makhluk ini akan mati, tanpa sinar hangatmu. ~R~***Selesai mengetikkan kata-kata untuk tulisan novel romantisku, aku menghela napas lega, seakan beban yang bergelayut di punggungku terlepas. Aku merdeka. Kulirik ke arah jarum jam yang berdetak di dinding. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku sampai melupakan berapa lama kuhabiskan untuk menulis kisahku. Bergerak dari kursi kerjaku, aku menuju dapur, hendak membuat secangkir coklat hangat, minuman favoritku. “Kopi?” Di ujung ruang makan yang terhubung dengan dapur bersih, kulihat Ferry tengah asyik menatapku dari kejauhan. Mengangk

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 14 - R dan F.A.

    Cerita 14 - R dan F.A.Aku mengepak semua pakaianku yang hanya berisi beberapa gamis sederhana, kerudung, dan perlengkapan mandiku. Tak lupa kemasukan pula laptop dan gawaiku yang satunya, yang khusus kugunakan untuk berkomunikasi dengan editor serta pada penulis lainnya."Mau kemana?" tanya Ferry curiga saat aku menentang tas hitam besar menuju area gerbang. "Jangan bilang kau mau pergi, Ria!" Aku mendengar suaranya bergetar oleh emosi yang entah datang dari mana?.Ferry menghampiriku lalu mengambil tas berisi pakaianku, juga kunci motor. Terpaksa aku kembali ke dalam rumah untuk merebutnya. Sayang, dia menaruh semua barang pribadi milikku di kamarnya.Tentu saja aku tak berani masuk, walau Ferry membuka pintu kamarnya lebar-lebar.“Masuklah jika kau mau mengambil tas dan kunci motormu.” Dia mempersilakanku, tapi aku menahan diri. Sambil mendengus, aku berbalik menuju kamar. Ha

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 13 - Hanya Kami Berdua

    Cerita 13 - Hanya Kami Berdua “Aku menuntut hakku sebagai suami.” Ferry mengulangi kata-katanya. Kewaspadaanku meningkat. Kututup area bagian dadaku dari pandangannya yang berkabut gairah. “Jangan main-main, Ferry!” seruku memperingatkan dirinya. Ferry terkekeh lebar, jelas menikmati permainan ini. “Tolong lepaskan aku!” pintaku memohon padanya. Aku tak ingin merusak kehidupan serta hubunganku dengan adikku sendiri. Merayu Ferry sama sekali tidak tercatat dalam kamusku. “Mengapa kau menolaknya, Ria?” “Karena kita bukanlah suami istri sebagaimana mestinya. Aku hanya menjalani tugasku, mengandung benih kalian. Setelah itu aku akan pergi.” “Bagaimana dengan perasaanmu?” Ferry mengelus pipiku, lembut. Mengirimkan getar ke seluruh tubuhk

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 12 - Ancaman

    Cerita 12 - Ancaman[Keluarlah, makan bersama kami]Pesan dari suamiku muncul di notifikasi layar. Tentu saja aku mengabaikannya. Kumatikan layar ponsel, kemudian pesan itu kembali muncul.[Apa aku perlu ke kamar sekarang?]Lelaki itu mulai mengancam. Aku menimbang-nimbang hal yang seharusnya kulakukan. Haruskah aku keluar dan bergabung makan malam bersama mereka? Atau justru tetap di kamarku, makan sendirian seperti biasa.Aku terpaksa berdiri, memaksa kakiku melangkah keluar dari area kamarku. Dengan langkah gontai, aku menuju ruang makan. Lia terkejut melihat kemunculanku. “Teteh? Tumben Teteh keluar?”Sejak dulu dia selalu tahu, aku gemar menyendiri. Meski begitu dia sangat menghargai privasiku.“Boleh aku makan bareng?” Aku melirik ke arah Ferry yang tersenyum kecil penuh arti. Aku seperti boneka yang sedang dimainkan. Terpaksa melakukan sesuatu diluar kehendakku.“Tentu saja boleh, Teh.” Lia men

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 11 - Ciuman Pertama

    Cerita 11 - Ciuman Pertama Setelah peristiwa ke bengkel kemarin, aku terus menutup diri di kamar. Menolak keluar kecuali ada hal darurat. Kubuat kamarku senyaman mungkin untuk kutinggali selama dua puluh empat jam penuh. Kamar berukuran 3x4 meter persegi itu menjelma menjadi rumah bagiku. Di mana aku menyiapkan makanan, mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel bestseller yang menghasilkan ribuan dollar per bulannya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui pekerjaanku, bahkan keluargaku. Mereka hanya menganggapku seorang pengangguran tak berguna. Walau aku tidak pernah merengek meminta bantuan mereka. Di antara kami berdua, aku dan Lia, hanya Lia yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku terpaksa bekerja di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak lagi ditanggung orang tuaku.

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 10 - Lionel

    Cerita 10 - Lionel “Karena kau menutupi kecantikanmu, Ria.” Ucapan yang kudengar seperti sambaran petir di siang hari saat cuaca terik. Tentu saja sangat mengejutkanku. “Ja-jangan bercanda!” “Ria?” Suara familiar itu mengejutkan kami berdua. Di hadapan kami, Lionel muncul dengan tunggangan matik keren miliknya. “Ah, benar. Kau Ria. Apa yang kau lakukan di sini?” Sepertinya Lionel tidak menyadari kehadiran Ferry yang duduk di sebelahku. “Pergilah!” Ferry mengusirnya. Raut wajahnya terlihat menggambarkan ketidak sukaannya pada lelaki penyelamatku. “Lionel?” Aku berdiri, menyambut kehadirannya dengan wajah sumringah. Jelas, aku begitu semangat menghampirinya. “Kemarin terimakasih ya? Sudah mengirimkan Ibu Sri buat memijat seluruh badanku.” “Oh, iya. Aku lupa bilang padamu. Soalnya aku nggak punya nomor teleponmu.” “Pokoknya terimakasih

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 9 - Kepedulian Ferry

    Cerita 9 - Kepedulian FerryBiasanya aku menjelma jadi makhluk tak kasat mata yang tinggal di rumah adikku. Sudah hampir seminggu aku tinggal disini, tapi aku berusaha untuk tidak begitu nampak di hadapan mereka. Aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tak merasa terusik oleh kehadiranku.Aku hanya ingin mengganggu keharmonisan rumah tangga adikku sendiri, meski status baruku menimbulkan polemik tak berujung.Mereka beraktivitas seperti biasa, seolah-olah aku tak bersama mereka. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Aku buru-buru mengambil hijabku, membuka pintu perlahan.Kulihat Ferry, adik ipar sekaligus suamiku berdiri dibalik pintu. Tinggi menjulang beberapa senti dari tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh delapan.Dibandingkan Lia adikku yang tinggi semampai, aku termasuk ukuran wanita mungil. Meski begitu beberapa bagian kewanitaanku tumbuh sempurna. Kusembunyika

  • Suamiku, Adik Iparku   Cerita 8 - Menjaga Jarak

    Cerita 8 - Menjaga JarakPagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.“Kenapa?”“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”

DMCA.com Protection Status