Cerita 13 - Hanya Kami Berdua “Aku menuntut hakku sebagai suami.” Ferry mengulangi kata-katanya. Kewaspadaanku meningkat. Kututup area bagian dadaku dari pandangannya yang berkabut gairah. “Jangan main-main, Ferry!” seruku memperingatkan dirinya. Ferry terkekeh lebar, jelas menikmati permainan ini. “Tolong lepaskan aku!” pintaku memohon padanya. Aku tak ingin merusak kehidupan serta hubunganku dengan adikku sendiri. Merayu Ferry sama sekali tidak tercatat dalam kamusku. “Mengapa kau menolaknya, Ria?” “Karena kita bukanlah suami istri sebagaimana mestinya. Aku hanya menjalani tugasku, mengandung benih kalian. Setelah itu aku akan pergi.” “Bagaimana dengan perasaanmu?” Ferry mengelus pipiku, lembut. Mengirimkan getar ke seluruh tubuhk
Cerita 14 - R dan F.A.Aku mengepak semua pakaianku yang hanya berisi beberapa gamis sederhana, kerudung, dan perlengkapan mandiku. Tak lupa kemasukan pula laptop dan gawaiku yang satunya, yang khusus kugunakan untuk berkomunikasi dengan editor serta pada penulis lainnya."Mau kemana?" tanya Ferry curiga saat aku menentang tas hitam besar menuju area gerbang. "Jangan bilang kau mau pergi, Ria!" Aku mendengar suaranya bergetar oleh emosi yang entah datang dari mana?.Ferry menghampiriku lalu mengambil tas berisi pakaianku, juga kunci motor. Terpaksa aku kembali ke dalam rumah untuk merebutnya. Sayang, dia menaruh semua barang pribadi milikku di kamarnya.Tentu saja aku tak berani masuk, walau Ferry membuka pintu kamarnya lebar-lebar.“Masuklah jika kau mau mengambil tas dan kunci motormu.” Dia mempersilakanku, tapi aku menahan diri. Sambil mendengus, aku berbalik menuju kamar. Ha
Aku menatapmu, di bawah jejak bayang mentari yang bersinar kuning—menghangatkan. Senyummu merekah laksana bunga di tengah musim semi. Sayangnya, bukan milikku, bukan untukku. Tidak apa-apa, kau menolak melihatku. Sebentuk makhluk tak kasat mata yang diam-diam memupuk benih cinta di hati. Mungkin nanti, kau akan sadari, kalau makhluk ini akan mati, tanpa sinar hangatmu. ~R~***Selesai mengetikkan kata-kata untuk tulisan novel romantisku, aku menghela napas lega, seakan beban yang bergelayut di punggungku terlepas. Aku merdeka. Kulirik ke arah jarum jam yang berdetak di dinding. Sudah pukul setengah sepuluh malam. Aku sampai melupakan berapa lama kuhabiskan untuk menulis kisahku. Bergerak dari kursi kerjaku, aku menuju dapur, hendak membuat secangkir coklat hangat, minuman favoritku. “Kopi?” Di ujung ruang makan yang terhubung dengan dapur bersih, kulihat Ferry tengah asyik menatapku dari kejauhan. Mengangk
Waktu berjalan lambat, meski perputaran bumi berlangsung begitu cepat. Sehari, dua puluh empat jam waktu yang manusia miliki sebagai perjanjian di dunia ini. Meski waktu terus berputar, menggilas semua makhluk yang terlena olehnya, tapi tidak dengan diriku dan cintaku yang tumbuh semakin besar tanpa seizinkku. Aku ingin membunuhnya, sebentuk perasaan yang kian melumatkanku. Sayangnya dia seperti memiliki nyawa sendiri diluar kendaliku. Tolong aku, tolong jiwaku yang makin sekarat oleh pupusnya harapan. Di atas nisan bertuliskan nama cinta untuk FA. Aku mungkin telah mati. *** Kata demi kata, terangkai menjadi bait puisi yang indah sekaligus menyakitkan. Ungkapan perasaan yang aku milik tak mudah hilang begitu saja, meski waktu terus menggerusnya. “Aaarrrggghhh ... “ aku menjerit frustrasi saat hendak melanjutkan kembali puisiku. Emosi menguasai, mengingat bahwa perasaanku telah tersampaikan
Suara ketukan pelan terdengar di depan pintu rumahku yang mungil dan sederhana. Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan semakin tak sabar. Setelah mematikan kompor, aku bergegas menuju pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya aku saat kutemukan sosok Ibu dan adikku berdiri di sana, menungguku datang.“Ibu? Lia?” Antara kaget dan sedikit tidak percaya, aku benar-benar terkejut melihat kemunculan mereka setelah tiga tahun lamanya aku mengasingkan diri, menjauh dari mereka yang kerap meracuni hati dan hidupku yang damai.“Kamu, nggak mau nyuruh Ibu masuk, Ri?” celetuk Ibu, ketus seperti biasa.Sejak dulu aku mengenal Ibu memang selalu ketus denganku. Beda sekali sikapnya dengan adikku Lia. Dia selalu lembut dan penuh kasih, tapi tidak denganku. Terkadang, aku merasa seperti anak kandung yang ditirikan olehnya. Tak heran jika aku selalu berpikir kalau aku ternyata memang anak tiri, tapi fakta bahwa aku adalah anak mereka tak terbantahkan lagi.“Tumben, Ibu datang?”“Emangny
“Apa kalian gila, hah?” Aku menjerit histeris sampai bangkit dari dudukku. Kutatap mereka dengan sangat tajam.Membenci keadaan, mengapa aku harus dilahirkan dari rahim seorang wanita yang tega menjual putri sulungnya demi putri bungsu kesayangannya.Aku mereka tidak dihargai, bahkan oleh ibu kandungku sendiri.“Jangan berani-beraninya membantah, Ibu, ya Ria?” Ibu berdiri. Tatapannya lebih tajam, melotot dan menusuk tepat ke jantungku. Aku seakan kehilangan kekuatanku bahkan untuk berdiri tegap, melawan kehendak Ibu yang selalu penuh kuasa atas hidupku.“Sejak dulu kau memang nggak pernah menjadi anak yang berguna buat Ibu. Kamu selalu memalukan Ibu.”“Maksud Ibu?”“Kau jelek! Lihat wajahmu, nggak secantik adikmu. Otakmu juga nggak secemerlang Lia. Kau bahkan cuma lulusan SMA. Itupun nilaimu pas-pasan.”Aku menarik napas dalam. “Memangnya salahku kalau wajahku nggak secantik Lia, hah? Nilaiku juga pas-pasan karena Ibu memberiku segudanh pekerjaan rumah yang nggak pernah habisnya. Di s
Aku meminta dilangsungkan pernikahan siri antara aku dan adik iparku sebelum aku mengandung anak mereka dalam rahimku. Alasannya amatlah sederhana, “Aku nggak mau anakku nanti lahir di luar pernikahan sah. Dia harus dilahirkan di bawah pernikahan.”Aku bersikeras dengan pemikiranku, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang berani menolak permintaanku.Ibu dan Lia terpaksa menyetujuinya. Demi keberlangsungan pernikahan Lia dan Ferry. Lagipula aku juga tak ingin anak mereka lahir di luar pernikahan, jadi aku rela menikahi adik iparku sendiri demi adikku. Meminjamkan rahimku untuk melahirkan anak mereka.Saat mereka hendak mengutarakan niat mereka pada Ferry, lelaki itu menatapku bingung. Aku hanya mengalihkan pandanganku darinya. Berharap dia tak menyadari siapa diriku.“Kalian memaksaku menikahi Ria?” Aku mendengar nada keberatan tersirat dari ucapan Ferry. Dia melirik sinis ke arahku. Terlihat jelas sorot mata kebenciannya padaku. “Ini demi anak kita, Mas. Kau ‘kan tahu kalau aku
“Selamat pagi, Teh.” Sapaan hangat terdengar dari adikku Lia saat aku baru keluar kamar menuju area dapur untuk mengambil segelas air.“Tumben Teteh jam segini baru bangun?” tanyanya lagi. Senyumnya begitu ceria dan lebar, membuatku iri saja melihat kebahagiaan yang terpancar darinya.“Teteh lagi halangan, jadi nggak perlu bangun buat solat.”“Oh gitu.”“Kau sendiri gimana?” Aku menyesali pertanyaanku, karena kulihat tetesan air di rambut adikku, Lia. Sepertinya semalam mereka habis bercinta, di malam pernikahanku. Entah mengapa hatiku terpilin melihat wajah sumringah Lia dan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.“Aku lapar,” ujarnya sambil menyantap roti isi coklat favoritnya. “Teteh mau?” Dia menawarkan membuatkanku sarapan.“Nggak usah. Teteh nggak biasa sarapan roti. Biasanya di sini ada yang jual nasi uduk nggak?” Aku adalah orang Indonesia yang tidak akan merasa kenyang sebelum menyantap seporsi nasi.“Ada kok Teh, di warung Mbok Iyem. Teteh lurus aja nanti di ujung jalan ada ya