Beranda / Pernikahan / Suamiku, Adik Iparku / Cerita 1 - Ide Gila

Share

Suamiku, Adik Iparku
Suamiku, Adik Iparku
Penulis: Mentari Putri

Cerita 1 - Ide Gila

Suara ketukan pelan terdengar di depan pintu rumahku yang mungil dan sederhana. 

Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan semakin tak sabar. Setelah mematikan kompor, aku bergegas menuju pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya aku saat kutemukan sosok Ibu dan adikku berdiri di sana, menungguku datang.

“Ibu? Lia?” Antara kaget dan sedikit tidak percaya, aku benar-benar terkejut melihat kemunculan mereka setelah tiga tahun lamanya aku mengasingkan diri, menjauh dari mereka yang kerap meracuni hati dan hidupku yang damai.

“Kamu, nggak mau nyuruh Ibu masuk, Ri?” celetuk Ibu, ketus seperti biasa.

Sejak dulu aku mengenal Ibu memang selalu ketus denganku. Beda sekali sikapnya dengan adikku Lia. Dia selalu lembut dan penuh kasih, tapi tidak denganku. Terkadang, aku merasa seperti anak kandung yang ditirikan olehnya. Tak heran jika aku selalu berpikir kalau aku ternyata memang anak tiri, tapi fakta bahwa aku adalah anak mereka tak terbantahkan lagi.

“Tumben, Ibu datang?”

“Emangnya Ibu nggak boleh datang, hah?” tukas Ibu masih ketus. Wajahnya cemberut, Lia menepuk lengannya pelan, mengisyaratkan agar mengubah sikapnya yang dingin terhadapku. Ibu mengubah ekspresi wajahnya, sedikit mengurangi kesinisannya. 

“Maaf, ya Teh Ri. Ibu sedikit nggak enak badan hari ini.” Lia angkat bicara, mewakili Ibu meminta maaf atas sikapnya yang dingin.

Aku tersenyum getir, seharusnya Lia memang tak perlu meminta maaf atas kelakuan Ibu yang terkadang menyakiti hatiku secara tak langsung. Seperti bayi yang mendapat imunisasi lengkap, aku sudah kebal menerima sikap ketus dan sinis yang kerap kali ibu tunjukkan padaku.

“Oh iya, ngomong-ngomong di rumah ini nggak ada kulkas apa?”

Alisku berkerut dalam, sedikit tak mengerti maksud ucapan Ibu yang menyimpan banyak isyarat. Seperti memecahkan teka-teki yang sulit, aku harus membaca isi pikirannya yang rumit.

“Ibu!” tegur Lia, wajahnya memerah menahan malu.

“Begini Teh,” Lia adikku coba angkat bicara, tapi Ibu memotong ucapannya.

Sontak perhatian kami teralihkan padanya, “Ibu haus, Ri. Masa iya kamu nggak ada inisiatif ngasih Ibu minum, atau apa kek, namanya juga Ibu udah capek-capek ke sini. Rumah kamu itu jauh lho, Ri. Mana udik lagi tempatnya. Kampungan gitu.”

“Ah, iya, Bu.” Aku bergegas pergi ke dapur, tanpa sempat menyembuhkan telingaku akibat ucapannya yang sinis dan menyakitkan.

Aku memang sengaja pindah jauh dari rumah, mengungsi di tempat yang jauh dari keramaian demi secuil kedamaian yang aku butuhkan. Luka di masa laluku. Belumlah sembuh, tapi keluargaku tiba-tiba muncul lagi membawa luka baru untukku.

Sebagai anak yang berbakti aku tak pandai melawan. Hanya pasrah pada keadaan dan menerima apa yang telah mereka gariskan untukku meski harus berdarah dan menyimpan luka. Aku harus kuat sebagai putri pertama di keluarga ini dan juga sebagai kakak tertua bagi Lia, adikku yang malang.

Dengan sigap aku menyeduhkan teh melati favorit Ibu. Dua cangkir kusiapkan, menatanya apik di atas nampan.

“Silakan, Bu.” Aku menaruh cangkir tersebut sangat hati-hati. Berusaha untuk tidak bersikap ceroboh yang bisa membuat Ibu murka.

Ibu menampikkan pandangannya dariku, berusaha enggan melihatku. Seakan jijik padaku, entah apa alasannya.

“Diminum dulu, Li, Bu,” kataku sambil tersenyum gugup.

Ibu mengambil cangkir, menyeruputnya sekilas. “Cuih, manis banget! Kau mau ngebunuh Ibu, Ri?” Ibu membanting cangkirnya, kesal.

“Ibu!” Lia menegur ibunya yang juga ibuku. Tapi sepertinya Ibu lebih mendengarkan teguran Lia, adikku dibandingkan aku.

Memang selama ini aku tak pernah menjadi anak yang dianggap. Aku seperti hantu, hidup di sekeliling mereka, tapi tak kasat mata. Aku selalu bisa menjadi makhluk gaib di pandangan mereka.

“Ibu mau tukar minumannya?”

“Kalo gitu, Ibu mau air putih aja!” gumam Ibu pada Lia.

Lia berdiri, “Biar aku saja, Teh.” Dia berinisiatif mengambil minuman untuk Ibu.  Aku membiarkannya ke dapur.

Wajah Ibu yang masam berubah kecut, bibirnua mencibir, “Gimana mau dapat suami. Bikin minuman aja nggak becus!” Sering sekali aku mendapat cibiran darinya. Hatiku sudah kebal dari mulutnya yang tajam.

“Sini, Lia. Cepat bawa minum. Ibu udah mau mati kehausan.”

“Iya, Bu. Sebentar Lia ambil minuman dulu buat Ibu.”

“Tuh, liat, tuh, adik kamu. Mana geulis, manis, cekatan, dan ngertiin Ibu. Kamu?”

“Maksud Ibu apa sih datang ke sini cuma buat banding-bandingin aku sama Lia?” Aku sangat tersinggung oleh ucapan Ibu. “Sejak dulu Ibu emang selalu ngebangga-banggain Lia. Aku mah cuma sampah di mata Ibu!” ujarku sengit.

Lia muncul dari arah dapur, membawa secangkir teh buatannya. “Ibu,” adikku menegurnya.

Ibu mengatupkan mulutnya rapat, “Ma-af, Lia. Ibu tadi keceplosan.” Nada suara ibu melembut. Aku nyaris meneteskan airmata melihat perubahan sifatnya.

Seperti biasa, Ibu hanya akan mendengarkan ucapan Lia. Sejak dulu, memang ibu selalu memperlakukan kami berbeda.

Karena itulah aku mengalah dan memilih pergi dari rumah karena tak kuat menghadapi kebencian ibu padaku yang tanpa alasan.

“Sebenarnya apa sih maksud kedatangan kalian?” tanyaku semakin tak sabar. Gerah dengan kehadiran mereka yang memanaskan hati dan pikiranku.

“Begini, Teh. Ada hal yang harus Lia bicarakan ke Teteh.” Setelah menyerahkan cangkir minuman, Lia lantas duduk di sofa, tepat di sebelah ibu.

Aku menyadari kegelisahan yang ditunjukkan Lia tanpa sengaja. Kegugupannya menyalakan alarm peringatan di kepalaku.

“Soal apa?” Sudah kuduga pasti ada sesuatu yang membuat mereka mendatangiku. Satu hal yang amat kubenci jika mereka sampai terpaksa datang.

“Udah, Lia. Nggak usah basa-basi. Malas Ibu.” Ibu memotong ucapan adikku yang baru akan membuka mulutnya. “Ria, kamu harus memberikan rahim untuk adikmu Lia.”

“Apa!?!” Aku tercekat, kehilangan kata-kata. Seketika aku mendadak tuli mendengar ucapan ibuku yang begitu menyakitkan hati. “A-apa maksudnya itu?” Suaraku bergetar, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. “Mem-berikan rahimku?” Aku tercekat sampai nyaris tak mampu berbicara.

“Ah, begini, Teh.” Lia berusaha mencairkan suasana yang seketika menegang. Suhu udara seakan memanas. Aku bahkan nyaris kekurangan suplai oksigen kalau saja kipas angin di ruang tamuku mendadak berhenti berputar.

“Sudah lima tahun Lia menikah, tapi dia belum juga mendapat keturunan. Jadi daripada mereka berpisah karena keluarga Ferry meminta keturunan. Ibu pikir bagaimana kalau kau yang hamil anak mereka?”

“A-pa?” Aku kehabisan kata-kata mendengar ucapan Ibu yang tidak masuk akal. Bahkan aku berharap telingaku tuli seketika sehingga tidak harus mendengar kata-kata yang terdengar sangat melukai harga diriku.

Sungguh teganya ibu dan adikku mengorbankan perasaanku. Apakah mereka tidak memedulikanku?

***

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status