Suara ketukan pelan terdengar di depan pintu rumahku yang mungil dan sederhana.
Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan semakin tak sabar. Setelah mematikan kompor, aku bergegas menuju pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya aku saat kutemukan sosok Ibu dan adikku berdiri di sana, menungguku datang.
“Ibu? Lia?” Antara kaget dan sedikit tidak percaya, aku benar-benar terkejut melihat kemunculan mereka setelah tiga tahun lamanya aku mengasingkan diri, menjauh dari mereka yang kerap meracuni hati dan hidupku yang damai.
“Kamu, nggak mau nyuruh Ibu masuk, Ri?” celetuk Ibu, ketus seperti biasa.
Sejak dulu aku mengenal Ibu memang selalu ketus denganku. Beda sekali sikapnya dengan adikku Lia. Dia selalu lembut dan penuh kasih, tapi tidak denganku. Terkadang, aku merasa seperti anak kandung yang ditirikan olehnya. Tak heran jika aku selalu berpikir kalau aku ternyata memang anak tiri, tapi fakta bahwa aku adalah anak mereka tak terbantahkan lagi.
“Tumben, Ibu datang?”
“Emangnya Ibu nggak boleh datang, hah?” tukas Ibu masih ketus. Wajahnya cemberut, Lia menepuk lengannya pelan, mengisyaratkan agar mengubah sikapnya yang dingin terhadapku. Ibu mengubah ekspresi wajahnya, sedikit mengurangi kesinisannya.
“Maaf, ya Teh Ri. Ibu sedikit nggak enak badan hari ini.” Lia angkat bicara, mewakili Ibu meminta maaf atas sikapnya yang dingin.
Aku tersenyum getir, seharusnya Lia memang tak perlu meminta maaf atas kelakuan Ibu yang terkadang menyakiti hatiku secara tak langsung. Seperti bayi yang mendapat imunisasi lengkap, aku sudah kebal menerima sikap ketus dan sinis yang kerap kali ibu tunjukkan padaku.
“Oh iya, ngomong-ngomong di rumah ini nggak ada kulkas apa?”
Alisku berkerut dalam, sedikit tak mengerti maksud ucapan Ibu yang menyimpan banyak isyarat. Seperti memecahkan teka-teki yang sulit, aku harus membaca isi pikirannya yang rumit.
“Ibu!” tegur Lia, wajahnya memerah menahan malu.
“Begini Teh,” Lia adikku coba angkat bicara, tapi Ibu memotong ucapannya.
Sontak perhatian kami teralihkan padanya, “Ibu haus, Ri. Masa iya kamu nggak ada inisiatif ngasih Ibu minum, atau apa kek, namanya juga Ibu udah capek-capek ke sini. Rumah kamu itu jauh lho, Ri. Mana udik lagi tempatnya. Kampungan gitu.”
“Ah, iya, Bu.” Aku bergegas pergi ke dapur, tanpa sempat menyembuhkan telingaku akibat ucapannya yang sinis dan menyakitkan.
Aku memang sengaja pindah jauh dari rumah, mengungsi di tempat yang jauh dari keramaian demi secuil kedamaian yang aku butuhkan. Luka di masa laluku. Belumlah sembuh, tapi keluargaku tiba-tiba muncul lagi membawa luka baru untukku.
Sebagai anak yang berbakti aku tak pandai melawan. Hanya pasrah pada keadaan dan menerima apa yang telah mereka gariskan untukku meski harus berdarah dan menyimpan luka. Aku harus kuat sebagai putri pertama di keluarga ini dan juga sebagai kakak tertua bagi Lia, adikku yang malang.
Dengan sigap aku menyeduhkan teh melati favorit Ibu. Dua cangkir kusiapkan, menatanya apik di atas nampan.
“Silakan, Bu.” Aku menaruh cangkir tersebut sangat hati-hati. Berusaha untuk tidak bersikap ceroboh yang bisa membuat Ibu murka.
Ibu menampikkan pandangannya dariku, berusaha enggan melihatku. Seakan jijik padaku, entah apa alasannya.
“Diminum dulu, Li, Bu,” kataku sambil tersenyum gugup.
Ibu mengambil cangkir, menyeruputnya sekilas. “Cuih, manis banget! Kau mau ngebunuh Ibu, Ri?” Ibu membanting cangkirnya, kesal.
“Ibu!” Lia menegur ibunya yang juga ibuku. Tapi sepertinya Ibu lebih mendengarkan teguran Lia, adikku dibandingkan aku.
Memang selama ini aku tak pernah menjadi anak yang dianggap. Aku seperti hantu, hidup di sekeliling mereka, tapi tak kasat mata. Aku selalu bisa menjadi makhluk gaib di pandangan mereka.
“Ibu mau tukar minumannya?”
“Kalo gitu, Ibu mau air putih aja!” gumam Ibu pada Lia.
Lia berdiri, “Biar aku saja, Teh.” Dia berinisiatif mengambil minuman untuk Ibu. Aku membiarkannya ke dapur.
Wajah Ibu yang masam berubah kecut, bibirnua mencibir, “Gimana mau dapat suami. Bikin minuman aja nggak becus!” Sering sekali aku mendapat cibiran darinya. Hatiku sudah kebal dari mulutnya yang tajam.
“Sini, Lia. Cepat bawa minum. Ibu udah mau mati kehausan.”
“Iya, Bu. Sebentar Lia ambil minuman dulu buat Ibu.”
“Tuh, liat, tuh, adik kamu. Mana geulis, manis, cekatan, dan ngertiin Ibu. Kamu?”
“Maksud Ibu apa sih datang ke sini cuma buat banding-bandingin aku sama Lia?” Aku sangat tersinggung oleh ucapan Ibu. “Sejak dulu Ibu emang selalu ngebangga-banggain Lia. Aku mah cuma sampah di mata Ibu!” ujarku sengit.
Lia muncul dari arah dapur, membawa secangkir teh buatannya. “Ibu,” adikku menegurnya.
Ibu mengatupkan mulutnya rapat, “Ma-af, Lia. Ibu tadi keceplosan.” Nada suara ibu melembut. Aku nyaris meneteskan airmata melihat perubahan sifatnya.
Seperti biasa, Ibu hanya akan mendengarkan ucapan Lia. Sejak dulu, memang ibu selalu memperlakukan kami berbeda.
Karena itulah aku mengalah dan memilih pergi dari rumah karena tak kuat menghadapi kebencian ibu padaku yang tanpa alasan.
“Sebenarnya apa sih maksud kedatangan kalian?” tanyaku semakin tak sabar. Gerah dengan kehadiran mereka yang memanaskan hati dan pikiranku.
“Begini, Teh. Ada hal yang harus Lia bicarakan ke Teteh.” Setelah menyerahkan cangkir minuman, Lia lantas duduk di sofa, tepat di sebelah ibu.
Aku menyadari kegelisahan yang ditunjukkan Lia tanpa sengaja. Kegugupannya menyalakan alarm peringatan di kepalaku.
“Soal apa?” Sudah kuduga pasti ada sesuatu yang membuat mereka mendatangiku. Satu hal yang amat kubenci jika mereka sampai terpaksa datang.
“Udah, Lia. Nggak usah basa-basi. Malas Ibu.” Ibu memotong ucapan adikku yang baru akan membuka mulutnya. “Ria, kamu harus memberikan rahim untuk adikmu Lia.”
“Apa!?!” Aku tercekat, kehilangan kata-kata. Seketika aku mendadak tuli mendengar ucapan ibuku yang begitu menyakitkan hati. “A-apa maksudnya itu?” Suaraku bergetar, berusaha mencerna apa yang baru saja kudengar. “Mem-berikan rahimku?” Aku tercekat sampai nyaris tak mampu berbicara.
“Ah, begini, Teh.” Lia berusaha mencairkan suasana yang seketika menegang. Suhu udara seakan memanas. Aku bahkan nyaris kekurangan suplai oksigen kalau saja kipas angin di ruang tamuku mendadak berhenti berputar.
“Sudah lima tahun Lia menikah, tapi dia belum juga mendapat keturunan. Jadi daripada mereka berpisah karena keluarga Ferry meminta keturunan. Ibu pikir bagaimana kalau kau yang hamil anak mereka?”
“A-pa?” Aku kehabisan kata-kata mendengar ucapan Ibu yang tidak masuk akal. Bahkan aku berharap telingaku tuli seketika sehingga tidak harus mendengar kata-kata yang terdengar sangat melukai harga diriku.
Sungguh teganya ibu dan adikku mengorbankan perasaanku. Apakah mereka tidak memedulikanku?
***
“Apa kalian gila, hah?” Aku menjerit histeris sampai bangkit dari dudukku. Kutatap mereka dengan sangat tajam.Membenci keadaan, mengapa aku harus dilahirkan dari rahim seorang wanita yang tega menjual putri sulungnya demi putri bungsu kesayangannya.Aku mereka tidak dihargai, bahkan oleh ibu kandungku sendiri.“Jangan berani-beraninya membantah, Ibu, ya Ria?” Ibu berdiri. Tatapannya lebih tajam, melotot dan menusuk tepat ke jantungku. Aku seakan kehilangan kekuatanku bahkan untuk berdiri tegap, melawan kehendak Ibu yang selalu penuh kuasa atas hidupku.“Sejak dulu kau memang nggak pernah menjadi anak yang berguna buat Ibu. Kamu selalu memalukan Ibu.”“Maksud Ibu?”“Kau jelek! Lihat wajahmu, nggak secantik adikmu. Otakmu juga nggak secemerlang Lia. Kau bahkan cuma lulusan SMA. Itupun nilaimu pas-pasan.”Aku menarik napas dalam. “Memangnya salahku kalau wajahku nggak secantik Lia, hah? Nilaiku juga pas-pasan karena Ibu memberiku segudanh pekerjaan rumah yang nggak pernah habisnya. Di s
Aku meminta dilangsungkan pernikahan siri antara aku dan adik iparku sebelum aku mengandung anak mereka dalam rahimku. Alasannya amatlah sederhana, “Aku nggak mau anakku nanti lahir di luar pernikahan sah. Dia harus dilahirkan di bawah pernikahan.”Aku bersikeras dengan pemikiranku, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang berani menolak permintaanku.Ibu dan Lia terpaksa menyetujuinya. Demi keberlangsungan pernikahan Lia dan Ferry. Lagipula aku juga tak ingin anak mereka lahir di luar pernikahan, jadi aku rela menikahi adik iparku sendiri demi adikku. Meminjamkan rahimku untuk melahirkan anak mereka.Saat mereka hendak mengutarakan niat mereka pada Ferry, lelaki itu menatapku bingung. Aku hanya mengalihkan pandanganku darinya. Berharap dia tak menyadari siapa diriku.“Kalian memaksaku menikahi Ria?” Aku mendengar nada keberatan tersirat dari ucapan Ferry. Dia melirik sinis ke arahku. Terlihat jelas sorot mata kebenciannya padaku. “Ini demi anak kita, Mas. Kau ‘kan tahu kalau aku
“Selamat pagi, Teh.” Sapaan hangat terdengar dari adikku Lia saat aku baru keluar kamar menuju area dapur untuk mengambil segelas air.“Tumben Teteh jam segini baru bangun?” tanyanya lagi. Senyumnya begitu ceria dan lebar, membuatku iri saja melihat kebahagiaan yang terpancar darinya.“Teteh lagi halangan, jadi nggak perlu bangun buat solat.”“Oh gitu.”“Kau sendiri gimana?” Aku menyesali pertanyaanku, karena kulihat tetesan air di rambut adikku, Lia. Sepertinya semalam mereka habis bercinta, di malam pernikahanku. Entah mengapa hatiku terpilin melihat wajah sumringah Lia dan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.“Aku lapar,” ujarnya sambil menyantap roti isi coklat favoritnya. “Teteh mau?” Dia menawarkan membuatkanku sarapan.“Nggak usah. Teteh nggak biasa sarapan roti. Biasanya di sini ada yang jual nasi uduk nggak?” Aku adalah orang Indonesia yang tidak akan merasa kenyang sebelum menyantap seporsi nasi.“Ada kok Teh, di warung Mbok Iyem. Teteh lurus aja nanti di ujung jalan ada ya
Kisah tentang istri tak dianggap memang nyata adanya. Dialah diriku. Aku tak pernah menyangka takdir hidupku akan semenyedihkan ini.Menikah di usia yang sudah menginjak kepala tiga, hanya demi memberikan momongan untuk adikku dan suaminya yang menikah selama lima tahun tapi Allah belum memberi mereka keturunan.Ikhtiar mereka mendapatkan momongan harus mengikut sertakan diriku. Bodohnya aku yang menerima permohonan mereka hanya demi emosi sesaat.Dan sekarang aku harus menjalani kehidupan pernikahanku yang jauh dari kata SaMaWa (Sakinah Mawaddah Warahmah).Apa itu sakinah? Hanya mimpi yang takkan mungkin pernah terwujud. Jangan tanya Mawaddah, hanya sebuah angan-angan semu, apalahi warahmah. Bahwa suamiku jijik setiap kali dia berdekatan denganku.Fakta bahwa aku hanyalah istri boneka dari pernikahan siri. Mungkin sah secara agama, tapi tidak di sisi hukum negara.Menyedihkan?Ya sangat, tapi itu sudah jadi jalan hidupku.“Lia? Apa kau lihat kemejaku?” Suara Ferry terdengar dari kej
“Kau sudah makan?” Ferry bertanya pada Lia adikku. Sepulangnya bekerja, hanya istrinya yang dia khawatirkan. Dia bahkan tak peduli denganku, meski kini statusku telah berganti menjadi istri sirinya. Seharusnya dia basa-basi juga menanyaiku.“Sudah,” jawab Lia, asyik mengunyah cemilannya.Ferry lantas berjalan melewati kami menuju dapur. “Apa nggak ada makanan?” tanyanya dari arah dapur.“Nggak ada. Tadi Teteh yang masak.” Adikku menjawab cuek. Dia masih asyik dengan tontonannya. Tak peduli dengan suaminya yang baru pulang kerja. Bahkan adikku sama sekali tidak menyambut kedatangannya.“Terus, nggak ada makanan buat aku?”“Kau goreng telur aja sendiri. Bisa ‘kan?” Aku mendengar nada menggerutu dari arah dapur. Tak berselang lama, Ferry akhirnya keluar. Mungkin untuk membeli makanan dirinya sendiri.“Li, kau nggak bilang kalau Ferry nggak ada makanan,” gumamku merasa iba karena suamiku tidak mendapatkan makanan sepulang kerja.“Biarin aja, Teh. Biasanya juga nyiapin makanan sendiri. Noh
“Lionel, apa yang kau lakukan di sini?” Lia terkejut melihat kemunculannya di depan rumahnya bersamanya. Lelaki penolongku tercekat, melemparkan pandangan secara bergantian kepada kami berdua. “Lia?” Ekspresi Lionel sama kagetnya dengan ekspresi yang diperlihatkan oleh adikku. “Kau mengenal adikku?” Kulontarkan tanya padanya. “Dia adikmu?” Lionel tercekat mengetahui fakta tersebut. Kulihat dia kesulitan menelan salivanya, menghadapi kenyataan yang jelas menampar dirinya. Ferry berdiri di depan pintu, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, ekspresinya menegang. Aku melihat api kecemburuan membakar dari sorot matanya yang membara. “Lia, masuk!” perintahnya. Suaranya terdengar sangat dingin dan tak terbantahkan. “Ta-tapi, Mas ... “ Lia hendak membantah, namun Ferry menarik adikku dengan kasar, masuk ke dalam rumah. Wajah Ferry memerah menahan gejolak amarah tanpa sebab pasti. Entah mengapa dia terlihat membenci situasi yang terjadi diantara aku dan penolongku. “Kau juga, masuklah!
Cerita 8 - Menjaga JarakPagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.“Kenapa?”“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”
Cerita 9 - Kepedulian FerryBiasanya aku menjelma jadi makhluk tak kasat mata yang tinggal di rumah adikku. Sudah hampir seminggu aku tinggal disini, tapi aku berusaha untuk tidak begitu nampak di hadapan mereka. Aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tak merasa terusik oleh kehadiranku.Aku hanya ingin mengganggu keharmonisan rumah tangga adikku sendiri, meski status baruku menimbulkan polemik tak berujung.Mereka beraktivitas seperti biasa, seolah-olah aku tak bersama mereka. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Aku buru-buru mengambil hijabku, membuka pintu perlahan.Kulihat Ferry, adik ipar sekaligus suamiku berdiri dibalik pintu. Tinggi menjulang beberapa senti dari tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh delapan.Dibandingkan Lia adikku yang tinggi semampai, aku termasuk ukuran wanita mungil. Meski begitu beberapa bagian kewanitaanku tumbuh sempurna. Kusembunyika