Kisah tentang istri tak dianggap memang nyata adanya. Dialah diriku. Aku tak pernah menyangka takdir hidupku akan semenyedihkan ini.
Menikah di usia yang sudah menginjak kepala tiga, hanya demi memberikan momongan untuk adikku dan suaminya yang menikah selama lima tahun tapi Allah belum memberi mereka keturunan.
Ikhtiar mereka mendapatkan momongan harus mengikut sertakan diriku. Bodohnya aku yang menerima permohonan mereka hanya demi emosi sesaat.
Dan sekarang aku harus menjalani kehidupan pernikahanku yang jauh dari kata SaMaWa (Sakinah Mawaddah Warahmah).
Apa itu sakinah? Hanya mimpi yang takkan mungkin pernah terwujud. Jangan tanya Mawaddah, hanya sebuah angan-angan semu, apalahi warahmah. Bahwa suamiku jijik setiap kali dia berdekatan denganku.
Fakta bahwa aku hanyalah istri boneka dari pernikahan siri. Mungkin sah secara agama, tapi tidak di sisi hukum negara.
Menyedihkan?
Ya sangat, tapi itu sudah jadi jalan hidupku.
“Lia? Apa kau lihat kemejaku?” Suara Ferry terdengar dari kejauhan sebelum akhirnya kudadari suaranya perlahan mendekat. Aku menoleh saat sedang duduk di ruang tengah, asyik menyantap cemilan favoritku sambil menonton drama percintaan di televisi.
Mulutnya terperangah saat melihat bentuk tubuh Ferry yang sempurna. Otot-ototnya seakan dipahat oleh pemahat terhebat yang pernah ada. Terlihat bisep yang kekar, membuat imajinasiku terhadap tubuh laki-laki semakin liar.
Kupikir Lia dan suaminya sudah pergi sejak pagi. Jadi aku sedikit merdeka karena ketiadaan mereka. Nyatanya aku salah, Ferry tiba-tiba muncul dengan rambut dan tubuh yang masih basah.
Titik-titik air menetes dari rambutnya, menggenangi lantai sedikit demi sedikit.
“Kau?” Dia tertegun melihat penampilanku.
Karena awalnya kupikir keduanya sudah pergi, jadi aku memutuskan melepaskan hijabku. Menggerai mahkota hitamku yang panjang menutupi punggung.
Kuakui kalau diriku memang berbeda jika aku membuka hijabku. Beberapa teman terdekatku bahkan memujiku kalau aku terlihat lebih cantik tanpa hijab.
Mungkin karena hijabku yang besar menutupi seluruh tubuh membuat penampilanku dua kali lipat terlihat lebih tua dibandingkan usiaku yang sebenarnya.
“Ah, ma-af. Kupikir kalian sudah pergi. Jadi aku ... sebentar ... “ aku bergegas pergi meninggalkan suamiku. Berlari ke kamar untuk mengganti pakaianku agar terlihat lebih sopan. Tak lupa kukenakan jilbab panjang yang menjulur menutupi seluruh area tubuhku yang menggoda.
Saat keluar kamar aku tak melihat Ferry di sana. Akhirnya aku bernapas lega. Kemudian aku merasakan perutku mulai lapar. Jadi kuputuskan untuk membuat sarapan untuk diriku.
Aroma telur dadar mentega menggugah selera. Dari arah ruang tengah, aku mendengar suara langkah kaki seseorang. Aku bergeming di depan kompor, tak berani berbalik badan untuk memastikan siapa yang berdiri tak jauh di belakangku.
“Kau sedang masak?”
“Cuma nasi goreng.”
“Apa ada sisa lebih untukku?” Ferry terdengar kelaparan sampai harus memintaku menyiapkan sarapan untuknya.
Apa dia tak keberatan jika aku menyiapkan seporsi nasi untuknya. Kebetulan aku memasak sisa nasi semalam, sehingga aku menggorengnya cukup banyak untuk kami berdua.
“Ada, kok.”
“Boleh kuminta?” Dia merasa canggung meminta makananku.
“Tentu saja,” sahutku sambil mengambil piring lalu menyajikannya ke atas meja makan. “Mau teh?” Ferry mengangguk, “Manis atau tawar?”
“Manis saja,” sahut Ferry mulai menyendokkan nasi ke dalam mulutnya. Aku melihat dia begitu lahap menyantap nasi goreng buatanku.
Sekilas aku hanya berani mengintipnya sedikit, takut pesona dirinya akan kembali mempengaruhiku seperti jaman sekolah dulu.
Hanya sosoknya yang mengisi kekosongan di relung hatiku saat itu dan hingga kini sepertinya aku masih belum bisa mengenyahkan dirinya dari pikiranku.
“Mau kemana?” tanyanya bingung saat aku membawa piring dan gelas di kedua tanganku.
“Ke ruang tengah,” sahutku.
“Kau nggak makan di sini saja?” tanyanya membuatku bingung.
Bagaimana bisa aku makan semeja dengannya. Mana berani aku, mempertaruhkan hidupku. Lagipula status dia adalah suami adikku, meski statusku juga setara dengan adikku kini. Tapi aku tak pernah bermaksud menghancurkan pernikahan mereka, justru apa yang kulakukan saat ini untuk menyelamatkan mereka.
“Eh, aku mau makan di ruang tengah saja,” ujarku sengaja menjaga jarak darinya.
Apakah ada yang salah dengan pandangan mataku. Aku tak sengaja melihat sorot kecewa terpancar dari mata Ferry. Namun aku berusaha tak memedulikannya.
Aku segera menuju ruang tengah, menyetel drama favoritku lagi sambil menikmati sarapanku.
Drama yang kutonton sangatlah menarik dan membuatku terhibur. Aku bahkan sulit menghentikan tawa lepasku. Sejenak aku melupakan kesedihan dan derita yang harus kutanggung.
Aku tidak menyadari kalau sejak tadi Ferry berdiri di pintu, memandangiku. Kilat bayangan dirinya terpantul dari layar televisi yang kutonton, aku menoleh. “Kupikir kau sudah pergi.”
Dia tergeragap, “Eh, kupikir sebaiknya pamit dulu denganmu sebelum pergi.” Meski terasa aneh aku berdiri untuk mengantarnya sampai ke pintu gerbang.
Ferry menyalakan mesin motor, mendorongnya sampai ke gerbang besi. Kubantu dia membukakan gerbang, “Hati-hati di jalan!” kataku seraya melambaikan tangan dan tersenyum tipis.
Lagi-lagi dia mematung sejenak, sebelum akhirnya mengalihkan perhatiannya sedikit padaku. “Aku berangkat ya?”
“Iya,” balasku cepat menunggunya hingga sampai ke ujung jalan lalu berbelok ke kiri. Aku masih berdiri di tempatku, mengantar kepergiannya sambil melambaikan tangan seperti orang bodoh. Seharusnya aku tidak melakukan ini, tapi inilah yang kulakukan terhadap suami adikku.
***
Aku kembali ke dalam rumah dengan perasaan campur aduk. Seharusnya aku tidak terlalu memedulikan Ferry, tapi sikapnya selalu membuatku bingung. Aku tidak tahu apakah dia sadar bahwa interaksi kami membuatku semakin sulit menahan perasaanku yang selama ini terkubur.
Aku duduk di sofa, mencoba kembali fokus pada drama yang kutonton. Namun, pikiran tentang Ferry terus mengganggu. Aku merasa bersalah kepada adikku, Lia. Dia adalah satu-satunya orang yang benar-benar mencintai Ferry, dan aku tidak ingin menghancurkan kebahagiaannya. Namun, kenyataannya tidak bisa dipungkiri—aku masih memiliki perasaan terhadap Ferry, meskipun aku sudah berusaha sekuat tenaga untuk melupakannya.
Hati kecilku berbisik bahwa aku harus menjaga jarak, tetapi setiap kali Ferry ada di dekatku, aku merasa tidak berdaya. Perasaan ini tidak adil untuk Lia, dan aku tahu bahwa jika aku tidak berhati-hati, segalanya bisa menjadi lebih rumit.
Aku akhirnya memutuskan untuk berbicara dengan Lia. Mungkin dia tidak sadar betapa sering Ferry dan aku berinteraksi akhir-akhir ini. Aku harus meyakinkan diriku sendiri bahwa ini bukanlah hal yang besar, hanya sebuah kebetulan. Namun, jauh di dalam hati, aku tahu bahwa aku hanya mencoba menenangkan diriku sendiri.
Keesokan harinya, aku menunggu momen yang tepat untuk berbicara dengan Lia. Saat dia pulang dari kerja, aku mengajak Lia duduk di ruang tamu.
"Lia, aku perlu ngomong sesuatu," kataku pelan.
Dia menatapku dengan penasaran. "Ada apa, Teh?"
Aku mengambil napas dalam-dalam, mencoba menemukan kata-kata yang tepat. "Tentang Ferry... Aku merasa sedikit tidak nyaman dengan seberapa sering dia ada di rumah kita, dan bagaimana kita sering berinteraksi."
Lia mengernyit, tampak bingung. "Kenapa? Bukankah Ferry hanya bersikap biasa saja?"
"Ya, tapi... Aku nggak mau menimbulkan masalah."
Lia tersenyum lembut, tampak memahami. "Aku tahu, Teh. Tapi aku percaya padamu dan Ferry. Aku yakin nggak ada yang perlu dikhawatirkan."
Meskipun kata-katanya menenangkan, aku masih merasa ragu. Namun, untuk saat ini, aku memutuskan untuk mengikuti nasihat Lia. Aku akan berusaha menjaga jarak dan menghindari interaksi yang terlalu dekat dengan Ferry, demi menjaga hubungan baik dengan adikku.
Aku berharap ini adalah keputusan yang benar, dan tidak ada yang berubah antara kami bertiga. Walau perasaanku terhadap suami adikku semakin sulit aku kendalikan.
***
“Kau sudah makan?” Ferry bertanya pada Lia adikku. Sepulangnya bekerja, hanya istrinya yang dia khawatirkan. Dia bahkan tak peduli denganku, meski kini statusku telah berganti menjadi istri sirinya. Seharusnya dia basa-basi juga menanyaiku.“Sudah,” jawab Lia, asyik mengunyah cemilannya.Ferry lantas berjalan melewati kami menuju dapur. “Apa nggak ada makanan?” tanyanya dari arah dapur.“Nggak ada. Tadi Teteh yang masak.” Adikku menjawab cuek. Dia masih asyik dengan tontonannya. Tak peduli dengan suaminya yang baru pulang kerja. Bahkan adikku sama sekali tidak menyambut kedatangannya.“Terus, nggak ada makanan buat aku?”“Kau goreng telur aja sendiri. Bisa ‘kan?” Aku mendengar nada menggerutu dari arah dapur. Tak berselang lama, Ferry akhirnya keluar. Mungkin untuk membeli makanan dirinya sendiri.“Li, kau nggak bilang kalau Ferry nggak ada makanan,” gumamku merasa iba karena suamiku tidak mendapatkan makanan sepulang kerja.“Biarin aja, Teh. Biasanya juga nyiapin makanan sendiri. Noh
“Lionel, apa yang kau lakukan di sini?” Lia terkejut melihat kemunculannya di depan rumahnya bersamanya. Lelaki penolongku tercekat, melemparkan pandangan secara bergantian kepada kami berdua. “Lia?” Ekspresi Lionel sama kagetnya dengan ekspresi yang diperlihatkan oleh adikku. “Kau mengenal adikku?” Kulontarkan tanya padanya. “Dia adikmu?” Lionel tercekat mengetahui fakta tersebut. Kulihat dia kesulitan menelan salivanya, menghadapi kenyataan yang jelas menampar dirinya. Ferry berdiri di depan pintu, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, ekspresinya menegang. Aku melihat api kecemburuan membakar dari sorot matanya yang membara. “Lia, masuk!” perintahnya. Suaranya terdengar sangat dingin dan tak terbantahkan. “Ta-tapi, Mas ... “ Lia hendak membantah, namun Ferry menarik adikku dengan kasar, masuk ke dalam rumah. Wajah Ferry memerah menahan gejolak amarah tanpa sebab pasti. Entah mengapa dia terlihat membenci situasi yang terjadi diantara aku dan penolongku. “Kau juga, masuklah!
Cerita 8 - Menjaga JarakPagi yang cerah, meski suasana hatiku kelabu. Aku jarang sekali keluar kamar, kecuali hanya untuk mengambil makanan, mengisi kekosongan perut.“Teteh?” Lia mengetuk pintu kamar saat seorang tamu datang berkunjung.“Kenapa?”“Ada tamu buat Teteh,” ujar Lia. Aku melirik ke sekeliling, Ferry yang kala itu sedang duduk di meja makan, menatapku tajam dari sudut matanya. Aku mengabaikan dirinya.Toh, sejak saat itu, aku terus menjaga jarak darinya. Tak ingin membuat situasi ini semakin canggung.Apalagi kami sama sekali belum mendapat jadwal bertemu dokter kandungan, setidaknya aku tak perlu berinteraksi langsung dengannya.“Siapa?” tanyaku bingung. Seumur hidupku, aku nyaris tak pernah dikunjungi seorang tamu. Bahkan dari kalangan teman sekolahku dulu.“Nggak tahu. Coba Teteh temui aja dulu!”
Cerita 9 - Kepedulian FerryBiasanya aku menjelma jadi makhluk tak kasat mata yang tinggal di rumah adikku. Sudah hampir seminggu aku tinggal disini, tapi aku berusaha untuk tidak begitu nampak di hadapan mereka. Aku berusaha menyembunyikan diri agar mereka tak merasa terusik oleh kehadiranku.Aku hanya ingin mengganggu keharmonisan rumah tangga adikku sendiri, meski status baruku menimbulkan polemik tak berujung.Mereka beraktivitas seperti biasa, seolah-olah aku tak bersama mereka. Suara ketukan pintu kamar terdengar. Aku buru-buru mengambil hijabku, membuka pintu perlahan.Kulihat Ferry, adik ipar sekaligus suamiku berdiri dibalik pintu. Tinggi menjulang beberapa senti dari tinggi badanku yang hanya seratus lima puluh delapan.Dibandingkan Lia adikku yang tinggi semampai, aku termasuk ukuran wanita mungil. Meski begitu beberapa bagian kewanitaanku tumbuh sempurna. Kusembunyika
Cerita 10 - Lionel “Karena kau menutupi kecantikanmu, Ria.” Ucapan yang kudengar seperti sambaran petir di siang hari saat cuaca terik. Tentu saja sangat mengejutkanku. “Ja-jangan bercanda!” “Ria?” Suara familiar itu mengejutkan kami berdua. Di hadapan kami, Lionel muncul dengan tunggangan matik keren miliknya. “Ah, benar. Kau Ria. Apa yang kau lakukan di sini?” Sepertinya Lionel tidak menyadari kehadiran Ferry yang duduk di sebelahku. “Pergilah!” Ferry mengusirnya. Raut wajahnya terlihat menggambarkan ketidak sukaannya pada lelaki penyelamatku. “Lionel?” Aku berdiri, menyambut kehadirannya dengan wajah sumringah. Jelas, aku begitu semangat menghampirinya. “Kemarin terimakasih ya? Sudah mengirimkan Ibu Sri buat memijat seluruh badanku.” “Oh, iya. Aku lupa bilang padamu. Soalnya aku nggak punya nomor teleponmu.” “Pokoknya terimakasih
Cerita 11 - Ciuman Pertama Setelah peristiwa ke bengkel kemarin, aku terus menutup diri di kamar. Menolak keluar kecuali ada hal darurat. Kubuat kamarku senyaman mungkin untuk kutinggali selama dua puluh empat jam penuh. Kamar berukuran 3x4 meter persegi itu menjelma menjadi rumah bagiku. Di mana aku menyiapkan makanan, mengerjakan pekerjaanku sebagai penulis novel bestseller yang menghasilkan ribuan dollar per bulannya. Tidak ada seorang pun yang mengetahui pekerjaanku, bahkan keluargaku. Mereka hanya menganggapku seorang pengangguran tak berguna. Walau aku tidak pernah merengek meminta bantuan mereka. Di antara kami berdua, aku dan Lia, hanya Lia yang menempuh jenjang perguruan tinggi. Sedangkan aku terpaksa bekerja di minimarket untuk memenuhi kebutuhan hidup yang tak lagi ditanggung orang tuaku.
Cerita 12 - Ancaman[Keluarlah, makan bersama kami]Pesan dari suamiku muncul di notifikasi layar. Tentu saja aku mengabaikannya. Kumatikan layar ponsel, kemudian pesan itu kembali muncul.[Apa aku perlu ke kamar sekarang?]Lelaki itu mulai mengancam. Aku menimbang-nimbang hal yang seharusnya kulakukan. Haruskah aku keluar dan bergabung makan malam bersama mereka? Atau justru tetap di kamarku, makan sendirian seperti biasa.Aku terpaksa berdiri, memaksa kakiku melangkah keluar dari area kamarku. Dengan langkah gontai, aku menuju ruang makan. Lia terkejut melihat kemunculanku. “Teteh? Tumben Teteh keluar?”Sejak dulu dia selalu tahu, aku gemar menyendiri. Meski begitu dia sangat menghargai privasiku.“Boleh aku makan bareng?” Aku melirik ke arah Ferry yang tersenyum kecil penuh arti. Aku seperti boneka yang sedang dimainkan. Terpaksa melakukan sesuatu diluar kehendakku.“Tentu saja boleh, Teh.” Lia men
Cerita 13 - Hanya Kami Berdua “Aku menuntut hakku sebagai suami.” Ferry mengulangi kata-katanya. Kewaspadaanku meningkat. Kututup area bagian dadaku dari pandangannya yang berkabut gairah. “Jangan main-main, Ferry!” seruku memperingatkan dirinya. Ferry terkekeh lebar, jelas menikmati permainan ini. “Tolong lepaskan aku!” pintaku memohon padanya. Aku tak ingin merusak kehidupan serta hubunganku dengan adikku sendiri. Merayu Ferry sama sekali tidak tercatat dalam kamusku. “Mengapa kau menolaknya, Ria?” “Karena kita bukanlah suami istri sebagaimana mestinya. Aku hanya menjalani tugasku, mengandung benih kalian. Setelah itu aku akan pergi.” “Bagaimana dengan perasaanmu?” Ferry mengelus pipiku, lembut. Mengirimkan getar ke seluruh tubuhk