“Kau sudah makan?” Ferry bertanya pada Lia adikku. Sepulangnya bekerja, hanya istrinya yang dia khawatirkan. Dia bahkan tak peduli denganku, meski kini statusku telah berganti menjadi istri sirinya. Seharusnya dia basa-basi juga menanyaiku.
“Sudah,” jawab Lia, asyik mengunyah cemilannya.
Ferry lantas berjalan melewati kami menuju dapur. “Apa nggak ada makanan?” tanyanya dari arah dapur.
“Nggak ada. Tadi Teteh yang masak.” Adikku menjawab cuek. Dia masih asyik dengan tontonannya. Tak peduli dengan suaminya yang baru pulang kerja. Bahkan adikku sama sekali tidak menyambut kedatangannya.
“Terus, nggak ada makanan buat aku?”
“Kau goreng telur aja sendiri. Bisa ‘kan?” Aku mendengar nada menggerutu dari arah dapur. Tak berselang lama, Ferry akhirnya keluar. Mungkin untuk membeli makanan dirinya sendiri.
“Li, kau nggak bilang kalau Ferry nggak ada makanan,” gumamku merasa iba karena suamiku tidak mendapatkan makanan sepulang kerja.
“Biarin aja, Teh. Biasanya juga nyiapin makanan sendiri. Noh, orangnya keluar. Paling juga cari makanan.”
Aku merasa bersalah karena membiarkan Ferry lapar sepulang kerja. Segera aku berdiri dari sofa untuk mengejarnya.
“Mau ke mana Teh?” Lia terlihat heran.
“Mau cari cemilan di minimarket. Kau mau ikut?”
“Ayo!” Lia antusias mengikutiku.
Aku mendorong motor keluar gerbang. Lia adikku yang biasanya bertingkah layaknya putri raja hanya berdiri melihatku. “Kunci gerbangnya, Li.”
“Ah, biarin aja. Nanti Mas Ferry nggak bisa masuk,” ujarnya sambil duduk di jok belakang motor.
“Ya udah.” Aku tidak mau ambil pusing. Kunyalakan mesin, motor mulai berjalan.
Di ujung jalan yang sempit dan gelap, aku kehilangan keseimbangan saat ada motor dari arah berlawanan nyaris menabrakku.
Sekuat tenaga kutahan motorku agar tak terjungkal. Tapi sulit. Aku kehilangan keseimbangan dan kami berdua jatuh ke genangan air di dekat saluran air kotor. Lia hanya terjerembab, sedangkan aku terjungkal jatuh di atas saluran air yang bau juga kotor.
Sungguh sial nasibku. Lia mengeluh, “Duh, Teteh sih nggak pelan-pelan. Jadi jatuh ‘kan? Untungnya aku nggak pa-pa. Coba kalo wajahku ada gores, bisa repot urusannya nanti.”
Bukannya membantu Lia cuma bisa menggerutu sambil mengelap air yang menempel di tubuhnya. Hanya titik air yang menempel, adikku sudah panik setengah mati. Apa kabar denganku yang terjebak di saluran air, sulit melepaskan diri.
“Lia, Ria?” Aku tak mengira motor yang nyaris menabrakku adalah motor suami kami.
“Mas Ferry?”
“Kau nggak pa-pa?” Ferry mematikan motornya, membantu Lia. Tapi sepertinya lelaki yang telah resmi menjadi suamiku sama sekali tak berniat menolongku.
“Aku nggak pa-pa, kok.” Lia berusaha menenangkan diri.
“Teteh nggak pa-pa?” Kali ini tatapan Lia dan Ferry terarah padaku. Keduanya sama sekali tak berniat menarikku keluar dari saluran air yang menjebak tubuhku. Apalagi aku merasa sakit setiap kali aku berusaha mengangkat badanku dari tempat sempit dan kotor itu.
“Eh, aku nggak pa-pa kok,” sahutku menyesal mengatakan kalau aku baik-baik saja. Karena dua orang itu sama sekali tak memiliki empati.
Keduanya malah memilih pergi menaiki motor, meninggalkanku sendiri bersama motor yang terjungkal di tanah. "Ya, udah, Teh. Aku pulang dulu ya? Soalnya motornya nggak muat kalo harus boncengan sama Teteh."
Aku menatap pasrah kepergian mereka. Bingung bagaimana aku harus menolong diriku sendiri. Betapa bodohnya aku harus terlibat oleh pasangan suami istri tanpa perasaan itu. Aku menggerutu sendiri dalam hati. Seharusnya sebelum pergi mereka menarikku keluar dulu dari saluran air ini. Tapi nyatanya, adikku dan suaminya malah kabur begitu saja, tanpa memedulikanku.
Gerutuan yang tidak berguna menurutku karena sama sekali tak membantu malah membuat suasana hatiku semakin buruk.
“Astagfirullah,” di tengah keputus-asaan aku mendengar suara pekikan seorang lelaki dari kejauhan.
Suasana temaram, minim cahaya, membuatku kesulitan melihat sosoknya. Aku mendengar suara langkah kaki, setengah berlari.
“Ya, Allah, apa kau baik-baik saja?” Dari nada suaranya aku tahu dia begitu khawatir melihat kondisiku.
Lelaki itu mengulurkan tangan untuk membantuku. Sejenak aku meragu sebelum akhirnya kuputuskan menerima bantuannya.
Dengan kekuatannya, dia mengangkatku keluar dari saluran air yang menghimpit bagian belakang tubuhku.
Aku merasa bau juga kotor. Semuanya diluar kendali diriku. “Ma-af, aku bau.” Tidak enak hati, aku meminta maaf padanya.
Dia seakan tak peduli dengan kondisiku yang kotor dan berbau. Tulus, dia membantuku. Memeriksa apakah ada luka di tubuhku.
“Kau baik-baik saja? Apa ada yang terasa sakit?” tanyanya mengecek setiap senti tubuhku. Wajahku memerah oleh kepeduliannya, sedikit terharu.
“Aku nggak pa-pa kok,” kataku mengabaikan denyut sakit yang kurasakan di area bokongku, bekas terhimpit dinding saluran.
Sambil menahan sakit, aku berusaha mengangkat motorku. Melihatku kesulitan, sigap membantu. “Biar aku saja,” ujarnya. Mudah sekali baginya mengangkat motor bebek kesayanganku.
Berlutut di tanah, mengecek kondisinya. “Sepertinya motormu baik-baik saja.” Lelaki itu menyalakan mesin, motor pun menyala. Mengeluarkan suara raungan tipis yang berirama lembut, menandakan kalau kondisi tungganganku aman kukendarai.
“Mau kuantar?” Dia menawarkan diri.
Aku sedikit malu meminta bantuannya lagi. Sejujurnya aku masih belum bisa menggerakkan tubuhku dengan normal. Apalagi untuk mendorong motor atau mengendarainya.
“Apa kau nggak keberatan?” Aku menunjukkan kondisiku yang memprihatinkan.
“Tentu saja, nggak! Lagipula kau pasti nggak bisa dorong motor ini sendirian. Iya 'kan?" Aku menganggukkan kepala, setuju dengan ucapannya.
Lantas dia kemudian menunggangi motorku, aku terpaksa duduk di jok belakang. “Hati-hati.” Suaranya begitu lembut dan menenangkan. Sejenak membuatku lupa akan kesialan yang kuhadapi hari ini.
“Ngomong-ngomong di mana rumahmu?” Suaranya terdengar samar, nyaris tak terdengar dari suara angin malam menyamarkannya.
“Eh, apa?” Setengah berteriak aku bertanya.
“Dimana rumahmu?” Dia berkata lagi. Kali ini suaranya terdengar satu oktaf lebih nyaring.
"Oh... nggak jauh kok. Cuma beberapa blok dari sini. Bentar lagi juga sampai." Aku berteriak menjawab pertanyaannya.
Aku memberinya instruksi menuju kediaman adikku yang tidak jauh dari lokasi dimana aku mengalami kecelakaan.
Kubuka gerbang rumah, membiarkannya masuk untuk memarkirkan motorku.
"Oh ya? Jangan lupa bawa motornya ke bengkel. Takut kalau ada beberapa mur yang lepas. Juga dirimu, jangan lupa di urut biar nggak terjadi hal-hal buruk ke depannya.” Dia begitu peduli padaku. Padahal kami baru beberapa saat lalu bertemu.
Mendengar suara motorku, Lia dan Ferry menuju area depan rumah. “Teteh?” Mungkin sekarang dia merasa bersalah karena wajahnya memucat saat melihatku.
“Lionel? Apa yang kau lakukan di sini?” Kali ini aku yang terkejut saat menyadari adikku mengenal lelaki itu.
Wajah pucat Ferry menghiasi ekspresinya malam itu. Tatapannya dingin, rahangnya mengetat. Jelas terlihat dia tidak menyukai kehadiran sang penolongku di kediamannya.
***
“Lionel, apa yang kau lakukan di sini?” Lia terkejut melihat kemunculannya di depan rumahnya bersamanya. Lelaki penolongku tercekat, melemparkan pandangan secara bergantian kepada kami berdua. “Lia?” Ekspresi Lionel sama kagetnya dengan ekspresi yang diperlihatkan oleh adikku. “Kau mengenal adikku?” Kulontarkan tanya padanya. “Dia adikmu?” Lionel tercekat mengetahui fakta tersebut. Kulihat dia kesulitan menelan salivanya, menghadapi kenyataan yang jelas menampar dirinya. Ferry berdiri di depan pintu, tangannya terkepal di sisi tubuhnya, ekspresinya menegang. Aku melihat api kecemburuan membakar dari sorot matanya yang membara. “Lia, masuk!” perintahnya. Suaranya terdengar sangat dingin dan tak terbantahkan. “Ta-tapi, Mas ... “ Lia hendak membantah, namun Ferry menarik adikku dengan kasar, masuk ke dalam rumah. Wajah Ferry memerah menahan gejolak amarah tanpa sebab pasti. Entah mengapa dia terlihat membenci situasi yang terjadi diantara aku dan penolongku. “Kau juga, masuklah!
Suara ketukan pelan terdengar di depan pintu rumahku yang mungil dan sederhana. Ketukan kembali terdengar. Kali ini lebih keras dan semakin tak sabar. Setelah mematikan kompor, aku bergegas menuju pintu dan membukanya. Alangkah terkejutnya aku saat kutemukan sosok Ibu dan adikku berdiri di sana, menungguku datang.“Ibu? Lia?” Antara kaget dan sedikit tidak percaya, aku benar-benar terkejut melihat kemunculan mereka setelah tiga tahun lamanya aku mengasingkan diri, menjauh dari mereka yang kerap meracuni hati dan hidupku yang damai.“Kamu, nggak mau nyuruh Ibu masuk, Ri?” celetuk Ibu, ketus seperti biasa.Sejak dulu aku mengenal Ibu memang selalu ketus denganku. Beda sekali sikapnya dengan adikku Lia. Dia selalu lembut dan penuh kasih, tapi tidak denganku. Terkadang, aku merasa seperti anak kandung yang ditirikan olehnya. Tak heran jika aku selalu berpikir kalau aku ternyata memang anak tiri, tapi fakta bahwa aku adalah anak mereka tak terbantahkan lagi.“Tumben, Ibu datang?”“Emangny
“Apa kalian gila, hah?” Aku menjerit histeris sampai bangkit dari dudukku. Kutatap mereka dengan sangat tajam.Membenci keadaan, mengapa aku harus dilahirkan dari rahim seorang wanita yang tega menjual putri sulungnya demi putri bungsu kesayangannya.Aku mereka tidak dihargai, bahkan oleh ibu kandungku sendiri.“Jangan berani-beraninya membantah, Ibu, ya Ria?” Ibu berdiri. Tatapannya lebih tajam, melotot dan menusuk tepat ke jantungku. Aku seakan kehilangan kekuatanku bahkan untuk berdiri tegap, melawan kehendak Ibu yang selalu penuh kuasa atas hidupku.“Sejak dulu kau memang nggak pernah menjadi anak yang berguna buat Ibu. Kamu selalu memalukan Ibu.”“Maksud Ibu?”“Kau jelek! Lihat wajahmu, nggak secantik adikmu. Otakmu juga nggak secemerlang Lia. Kau bahkan cuma lulusan SMA. Itupun nilaimu pas-pasan.”Aku menarik napas dalam. “Memangnya salahku kalau wajahku nggak secantik Lia, hah? Nilaiku juga pas-pasan karena Ibu memberiku segudanh pekerjaan rumah yang nggak pernah habisnya. Di s
Aku meminta dilangsungkan pernikahan siri antara aku dan adik iparku sebelum aku mengandung anak mereka dalam rahimku. Alasannya amatlah sederhana, “Aku nggak mau anakku nanti lahir di luar pernikahan sah. Dia harus dilahirkan di bawah pernikahan.”Aku bersikeras dengan pemikiranku, sehingga tidak ada satupun dari mereka yang berani menolak permintaanku.Ibu dan Lia terpaksa menyetujuinya. Demi keberlangsungan pernikahan Lia dan Ferry. Lagipula aku juga tak ingin anak mereka lahir di luar pernikahan, jadi aku rela menikahi adik iparku sendiri demi adikku. Meminjamkan rahimku untuk melahirkan anak mereka.Saat mereka hendak mengutarakan niat mereka pada Ferry, lelaki itu menatapku bingung. Aku hanya mengalihkan pandanganku darinya. Berharap dia tak menyadari siapa diriku.“Kalian memaksaku menikahi Ria?” Aku mendengar nada keberatan tersirat dari ucapan Ferry. Dia melirik sinis ke arahku. Terlihat jelas sorot mata kebenciannya padaku. “Ini demi anak kita, Mas. Kau ‘kan tahu kalau aku
“Selamat pagi, Teh.” Sapaan hangat terdengar dari adikku Lia saat aku baru keluar kamar menuju area dapur untuk mengambil segelas air.“Tumben Teteh jam segini baru bangun?” tanyanya lagi. Senyumnya begitu ceria dan lebar, membuatku iri saja melihat kebahagiaan yang terpancar darinya.“Teteh lagi halangan, jadi nggak perlu bangun buat solat.”“Oh gitu.”“Kau sendiri gimana?” Aku menyesali pertanyaanku, karena kulihat tetesan air di rambut adikku, Lia. Sepertinya semalam mereka habis bercinta, di malam pernikahanku. Entah mengapa hatiku terpilin melihat wajah sumringah Lia dan senyum lebar yang menghiasi bibirnya.“Aku lapar,” ujarnya sambil menyantap roti isi coklat favoritnya. “Teteh mau?” Dia menawarkan membuatkanku sarapan.“Nggak usah. Teteh nggak biasa sarapan roti. Biasanya di sini ada yang jual nasi uduk nggak?” Aku adalah orang Indonesia yang tidak akan merasa kenyang sebelum menyantap seporsi nasi.“Ada kok Teh, di warung Mbok Iyem. Teteh lurus aja nanti di ujung jalan ada ya
Kisah tentang istri tak dianggap memang nyata adanya. Dialah diriku. Aku tak pernah menyangka takdir hidupku akan semenyedihkan ini.Menikah di usia yang sudah menginjak kepala tiga, hanya demi memberikan momongan untuk adikku dan suaminya yang menikah selama lima tahun tapi Allah belum memberi mereka keturunan.Ikhtiar mereka mendapatkan momongan harus mengikut sertakan diriku. Bodohnya aku yang menerima permohonan mereka hanya demi emosi sesaat.Dan sekarang aku harus menjalani kehidupan pernikahanku yang jauh dari kata SaMaWa (Sakinah Mawaddah Warahmah).Apa itu sakinah? Hanya mimpi yang takkan mungkin pernah terwujud. Jangan tanya Mawaddah, hanya sebuah angan-angan semu, apalahi warahmah. Bahwa suamiku jijik setiap kali dia berdekatan denganku.Fakta bahwa aku hanyalah istri boneka dari pernikahan siri. Mungkin sah secara agama, tapi tidak di sisi hukum negara.Menyedihkan?Ya sangat, tapi itu sudah jadi jalan hidupku.“Lia? Apa kau lihat kemejaku?” Suara Ferry terdengar dari kej