Di sebuah rumah tua yang usang dimakan usia, seorang wanita paruh baya tengah menatap cemas ke arah suaminya.
"Andreas baru saja mengirim pesan. Katanya, kapal-kapal di Sudan sering sekali dibajak. Kalau terus begini, bagaimana nasib kita?"
Daren yang tengah menganyam bambu hanya diam menanggapi kecemasan istrinya. Uban di rambut Elena semakin kentara, menjadi saksi bisu dari segala kekhawatiran yang ia rasakan.
"Sudah saatnya Andra pulang. Dia sudah dewasa dan harus tahu segalanya. Dia satu-satunya harapan kita untuk meneruskan usaha ini," lanjut Elena, suaranya sedikit bergetar.
Jemari Daren terhenti sejenak. Ia menatap jauh ke depan, seakan sedang menimbang-nimbang sesuatu. "Aku takut Gendon akan mencari masalah kalau tahu Andra, anak kita, yang akan mewarisi bisnis ini. Dia sangat serakah," gumamnya, raut wajahnya penuh kekhawatiran.
"Itulah sebabnya, semakin awal Andra tau, kita akan menyiapkan segala kemungkinan. Kita akan menjadikan Andra kuat mengatasinya."
Jemari Daren terhenti, dahi berkerut. Kata-kata Elena menghantui pikirannya. "Apa jadinya kalau Gendon bertindak seperti dulu?" gumamnya, raut wajahnya muram.
Elena ikut termenung. Nama Gendon, saudara tirinya yang ambisius, selalu menjadi bayang-bayang ketakutan mereka. "Tapi Andra harus tahu kebenarannya, Ren. Dia sudah dewasa dan harus siap memikul tanggung jawab."
Daren menatap istrinya, hatinya bergemuruh. Ia paham betul maksud Elena. Namun, keselamatan Andra tetap menjadi prioritasnya. "Kau tahu sifat Gendon, Elena. Dia akan melakukan apapun untuk mencapai tujuannya."
Selama 25 tahun, mereka hidup sederhana demi melindungi Andra dan bisnis multinasional di balik layar.
Jauh dari pandangan keluarga, terutama Gendon.
Mereka sampai hidup sederhana demi melindungi bisnis ini.
Terlihat miskin di hadapan semuanya, juga Gendon.
Bahkan di mata anaknya, Daren hanyalah tukang anyam bambu sederhana yang berjualan di pasar!
Haruskah ia memikirkan perkataan sang istri?
"Cepatlah! Kenapa kau lambat sekali, Andra?" Suara wanita menggelegar di mansion megah, "Aku tak habis pikir, bagaimana Sofi bisa memilihmu? Apa kau menggunakan sihir?"Andra yang tengah sibuk di dapur memasak keinginan ibu mertuanya, menghela napas.Diabaikannya omelan Rose dan fokus pada masakannya.Sofi, yang biasanya mual dengan aroma udang, pasti akan merasa tidak enak jika tahu harus memasak ini.Itulah sebabnya Andra turun tangan."Kenapa diam saja, menantu tak berguna!" bentak Rose lagi karena Andra tak juga menjawab.Pria tampan itu menahan napas.Saat masakan matang, ia menyajikannya dengan tenang di hadapan ibu mertuanya.Sera, kakak Sofi, tampak masuk dengan hidung berkerut senang. "Wah, harum sekali! Ibu kok bisa marah-marah sih?" tanyanya sambil mengambil nasi lalu duduk di samping Rose."Ibu jangan terlalu memikirkan satu menantu. Biarkan Sofi sadar sendiri," ujar Sera.Andra menatap tajam Sera, "Selama ini, Sofi sadar akan pilihannya. Dia tidak akan pernah menyesal."
"Andra, bisakah kamu pulang ke rumah hari ini?""Tentu, aku akan pulang nanti malam setelah Sofi pulang bekerja."Mendengar itu Elena terdiam, ia tak pernah tau kalau Sofi bekerja sementara putranya menganggur. Akan tetapi iapun menahan diri untuk bertanya."Baiklah, pulanglah nanti malam."Malam itu, Andra sudah menanti Sofi di halaman. Rencananya, ia akan mengajak Sofi bertemu orang tuanya. Sudah lama mereka tak berkunjung ke rumah orang tua.Saat mobil Sera masuk halaman, Andra segera menghampiri. Namun, ia tidak melihat Sofi di dalam mobil.“Mana Sofi? Kenapa dia tidak bersamamu?” tanya Andra heran.Sera turun dari mobil, menatap Andra dengan senyum sinis. “Sofi bukan anak kecil lagi, dia bisa pulang sendiri kalau mau.”“Tapi...” Andra masih bingung.“Kenapa? Apa yang membuatmu khawatir sekali?” tanya Sera dengan nada meremehkan."Tapi ini sudah larut! Aku khawatir padanya," desak Andra."Santai saja. Sofi sedang bersenang-senang dengan Riko. Kamu tahu kan, Riko itu orangnya kaya
Malam itu, Andra masuk dan meletakkan apel kesukaan Sofi di meja sudut kamar mereka. Ia melihat istrinya itu tidak merespon sedikitpun apa yang ia bawakan untuknya. Andra mengerti, Sofi mungkin sudah kenyang dengan buah-buahan mewah itu sehingga ia tak menawarkan bawaannya. Andra duduk di samping Sofi yang berbaring sambil tersenyum-senyum sendiri. "Aku berharap suamiku bisa setara dengan para pria sukses di sana. Memakai jas mahal, arloji mewah... Rasanya menyenangkan sekali saat menjadi pusat perhatian," ujar Sofi, matanya berbinar mengenang pesta itu. "Aku sadar saat berdiri di dekat Riko, aku merasa sangat dihargai oleh tatapan para wanita itu," lanjutnya.Deg! Tangan Andra mengepal kuat, ia tak pernah menyadari sisi lain dari Sofi istrinya. Selama ini Sofi terlihat idak perduli dengan penampilan luar seseorang sehingga ia menyukainya. Dia tak pernah berpikir Sofi sama dengan ibu dan kakak perempuannya. Akan tetapi... apakah dia sungguh telah berubah? "Kau senang memil
Menahan sakit hati, malam harinya, seperti yang dikatakan Isabel, Andra harus menyiapkan sebentuk pidato perilisan bisnis terbaru yang dihadiri pebisnis dari divisi entertainment. Beberapa orang diantaranya adalah pemilik garmen dan fashion berkelas yang terafiliasi dengan Andromeda. Andra berusaha menolak pidato tersebut karena merasa belum sepenuhnya memahami regulasinya. Akan tetapi Isabel sedikit memaksa. Akhirnya disinilah dia saat ini, melihat pemandangan yang sangat dibencinya! Sangat jelas, wanita yang masih istrinya itu terlihat mesra dengan pria lain. Bagaimana rasanya ketika kau menyadari bahwa dirimu hanyalah setitik debu di hadapan wanita yang kau cintai? Kau akan berkata, "Lupakan saja dia, banyak wanita lain di luar sana, bukan? Tapi hati kecilmu pasti berontak. Hanya wanita itu yang mampu mengisi seluruh ruang di hatimu. Begitu pula dengan Andra. Cinta yang mendalam pada Sofi masih bersemayam di hatinya, meski luka mendalam telah terukir akibat perlakuan S
Di sudut ruangan Andra menemukan Sofi. "Kenapa kau masih menemuiku? Tidak ada gunanya lagi kalau pernikahan sudah tidak bahagia." "Lihatlah dirimu, kita seperti berada dalam dunia yang berbeda." Andra menenangkan dirinya, ia sangat berhati-hati sehingga tidak ingin membuat Sofi menyesal mengatakannya. "Sofi, aku sudah berjanji akan menjadi pria sukses dalam waktu dekat, berikan kesempatan padaku setidaknya beberapa hari saja," pinta Andra. "Tidak Andra, aku sudah tak tahan lagi hidup bersamamu. Cerai saja, aku tidak akan menyesal." Andra masih mencari kesungguhan di manik maha Sofi, akan tetapi wanita itu seperti menantangnya. "Apakah dengan begitu kamu akan bahagia?" lirih Andra. "Tentu saja, aku sudah bahagia selama dua tahun dan aku merasa bosan sekarang. Sepertinya tidak ada kecocokan diantara kita." Jantung Andra seperti ditancap sembilu. Racun seakan menyebar ke seluruh tubuhnya. "Kau..." "Aku harus kembali ke dalam sebelum atasanku mencariku, lagipula peri
Andra menyendiri selama dua hari untuk merenung, akan tetapi sia-sia saja mencoba memahami keputusan Sofi karena toh mereka tetap bercerai. Tak ada yang mendukungnya untuk kembali pada wanita itu, bahkan orang tuanya pun tidak. Pada akhirnya kini Andra harus menerima kekalahan sebagai lelaki yang dikhianati istri tercintanya. Merasakan kepahitan itu, ia mulai berfikir untuk pergi menemui sahabatnya yang selama ini tidak pernah lagi bertemu. Tentu saja ia berharap mereka bisa menghibur hatinya saat ini. Selesai mandi Andra berpamitan pada orang tuanya. "Masih pagi begini mau kemana?" tanya Daren yang bersiap pergi ke pasar. Melihat ayahnya dengan motor butut mengangkut keranjang buah, Andra hampir tertawa terbahak-bahak. "Astaga, berapa yang Tuan besar hasilkan dari anyaman keranjang buah ini?" goda Andra merasa konyol. "Jangan meremehkan, ayah sedang melakukan uji coba pasar produk ini yang akan diproduksi secara masal di Vietnam. Kau pikir ayah tidak bekerja keras?"
Malam harinya, Isabel sudah menunggu di pelataran rumah Andra dengan sabar. Di tangannya, tergenggam sebuah tas berisi pakaian. Andra yang sudah bersiap dengan jas mahalnya segera menghampiri Isabel. "Tuan Muda, Anda sudah siap?" sapa Isabel sopan, sambil tersenyum. Andra membalas senyum Isabel, namun pandangannya tertuju pada pakaian yang dibawa Isabel. "Ini apa, Isabel?" tanyanya heran. Isabel tersenyum tipis, "Anda harus memakai pakaian ini, Tuan Muda. Ini penting untuk rencana kita." Alis Andra bertaut bingung. "Baju ini? Aku harus pakai baju supir?" Isabel mengangguk mantap. "Benar. Ini hanya penyamaran sementara. Ingat, kita sedang menjalankan sebuah drama." Andra semakin bingung, "Drama apa lagi ini? Kau ini atasan atau asistenku sih?" Sementara itu Andra melihat penampilan Isabel yang mencolok dan berlagak. "Maafkan aku, Tuan," kata Isabel menunduk hormat. Andra berfikir sebentar, sepertinya ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari Isabel. Wanita ini bisa berbu
"Jangan kuatir, keputusanku masih belum final. Kirimkan semua berkas ini padaku, aku akan mempelajarinya lagi." Wajah Riko terlihat sedikit kecewa. Sebenarnya berharap Isabel akan memutuskan malam ini. Keadaan ini sedikit mendesak, ia butuh Andromeda untuk mengeluarkan dari ancaman pailit pada perusahaannya. "Kenapa? Anda terlihat sedikit buru-buru?" Riko langsung gugup, Isabel seolah tau apa yang sedang ia pikirkan. "Oh tidak, tentu saja saya tau Anda harus mempelajari berkasnya dengan seksama." Mereka mengakhiri rapat dan Riko membawa mereka pada jamuan makan malam di sisi Utara. Situasinya cukup ramai dengan beberapa kelompok kecil tamu. Riko memimpin di depan dan iapun memperkenalkan Isabel pada kenalannya. "Nikmati makan malamnya, dan perkenalkan, dia utusan Andromeda," kata Riko mengenalkan Isabel pada teman wanitanya. "Andromeda? Utusan perusahaan raksasa itu? Waah aku sangat iri, kau tau aku gagal melamar pekerjaan di sana," kata si wanita. "Apakah seleksi di