Di sudut ruangan Andra menemukan Sofi.
"Kenapa kau masih menemuiku? Tidak ada gunanya lagi kalau pernikahan sudah tidak bahagia." "Lihatlah dirimu, kita seperti berada dalam dunia yang berbeda." Andra menenangkan dirinya, ia sangat berhati-hati sehingga tidak ingin membuat Sofi menyesal mengatakannya. "Sofi, aku sudah berjanji akan menjadi pria sukses dalam waktu dekat, berikan kesempatan padaku setidaknya beberapa hari saja," pinta Andra. "Tidak Andra, aku sudah tak tahan lagi hidup bersamamu. Cerai saja, aku tidak akan menyesal." Andra masih mencari kesungguhan di manik maha Sofi, akan tetapi wanita itu seperti menantangnya. "Apakah dengan begitu kamu akan bahagia?" lirih Andra. "Tentu saja, aku sudah bahagia selama dua tahun dan aku merasa bosan sekarang. Sepertinya tidak ada kecocokan diantara kita." Jantung Andra seperti ditancap sembilu. Racun seakan menyebar ke seluruh tubuhnya. "Kau..." "Aku harus kembali ke dalam sebelum atasanku mencariku, lagipula perilisan kerjasama dengan pemilik Andromeda ini sangat penting, kita akan berbicara di lain hari." Andra benar-benar tak bisa berkata-kata saat Sofi pergi dengan langkahnya yang jumawa. Dia memang terlihat sangat percaya diri untuk mencampakkan dirinya. Andra tetap berada di sudut ruangan sat seorang pria paruh baya berdiri menyampaikan pidato menggantikan dirinya. Ia juga melihat Isabel berada di sisi pria tua itu. Tiba-tiba seseorang menyapanya. "Andra, sedang apa kau di sini?" "Paman Gendon?" "Kau terkejut melihatku di sini? Seharusnya akulah yang terkejut melihatmu. Ah, benar juga, Sofi ada di sini, mungkin itulah sebabnya kau juga berada di sini." "Uhmm, benar Paman." "Kau sudah dewasa sekarang, apa pekerjaaanmu?" "Dia kerja bersamaku, Ayah. Dia menangani beberapa pengiriman barang," tiba-tiba Isabel menyela. "Oh, benarkah?" "Ya. Tapi kenapa Ayah berada di sini?" Pria itu terlihat gugup. Sebenarnya ia mendengar rumor bahwa pimpinan utama Andromeda akan tampil malam ini, tapi ternyata rumor itu salah "Ah enggak, Ayah cuma mampir saja. Baiklah, Ayah harus pulang sekarang." "Hmm, baiklah, Ayah harus hati-hati dan selamat sampai rumah,* kata Isabel. Andra yang mendengar ucapan Isabel sedikit aneh sehingga ia tersenyum tipis memikirkannya. Setelah Paman Gendon pergi, Andra menyempatkan untuk bertanya. "Apa kau selalu berlebihan seperti itu?" "Masalah apa?" "Kau bilang... Ayah harus hati-hati dan selamat sampai rumah... bukankah itu sedikit..." "Aku serius. Tidak boleh terjadi apapun sampai waktu yang ditentukan." Mendengar ucapan itu Andra merinding. "Kenapa begitu?" "Sudahlah, masih belum saatnya untuk tau." Mereka sudah berada di mobil dan siap untuk pulang. "Oh ya, kau mau pulang ke mana, Tuan muda?" "Jangan memanggilku Tuan Muda, kau membuatku seperti lelucon tadi. Nyatanya kau adalah sepupuku sendiri," keluh Andra. "Kita tidak benar-benar sepupu karena Paman Gendon hanyalah ayah angkatku," ujarnya. "Oh." "Lalu... kau akan ..." "Aku akan kembali ke rumah orang tuaku." Isabel tidak terkejut. Ia sudah mendapatkan banyak informasi soal Sofi yang menginginkan perceraian dan alasan wanita itu minta cerai. Betapa bodohnya wanita seperti Sofi yang tidak tau bagaimana berlian ada di genggamannya. Wanita itu membuangnya dan memiliki lelaki brengsek. "Baiklah Tuan Muda, katakan padaku apa yang harus kulakukan untukmu esok hari." "Baik. Tapi sepertinya aku akan cuti dalam dua hari ini." Isabel kaget dan melirik ke arah Andra yang bersandar pada sandaran kursi. Pria itu terlihat shock dan frustasi. Pria itu pasti mau menenangkan diri karena perceraiannya dengan Sofi. Ia sungguh merasa kasihan padanya. Sesampainya di rumah, Daren dan juga Elena sedang mengobrol di ruang tengah. Andra sungguh heran dengan kedua orang tuanya yang begitu hebat memainkan lakon ini. Ketegangan terlihat di wajah Andra sehingga ayahnya faham kalau Andra sedang kesal. "Kenapa kau begitu kesal?" tanya sang ayah. "Entahlah, Yah. Aku merasa apa yang ayah dan ibu lakukan sangat berlebihan." "Soal apa?" "Haruskah kita bertingkah seperti ini? Ayah menyembunyikan identitas diri dan berlagak seperti orang miskin? Apa ayah tau inilah akhirnya yang kudapatkan?!" katanya meluapkan emosi. "Andra, tenangkan dirimu, memang apa salahnya jika menyembunyikan identitas?" "Ayah, karena aku dianggap miskin, Sofi meminta bercerai dariku!" pekiknya. Wajah Andra merah padam, menahan rasa sakit yang menghujam jiwanya. Daren dan Elena tertegun. Ia tak pernah tau Daren begitu menderita dengan kondisi itu. Akan tetapi bukankah mereka dulu menikah karena saling jatuh cinta? "Andra, apakah kekesalanmu itu karena kau miskin, atau karena Sofi tidak lagi mencintaimu?" tanya sang ibu kemudian. "Jika karena miskin, kau sungguh tidak miskin sekarang. Tapi jika Sofi berubah, itu pasti karena ada orang ketiga yang membuatnya berubah." Andra terdiam, memang benar ada orang ketiga yang membuat mereka hancur. Ia sungguh kecewa, Sofi berkhianat darinya. "Ayah, haruskah aku membalasnya?" kata Andra dengan tatapan penuh dendam. Tentu saja Daren dan Elena lebih kuatir. "Apa kau menyukai penderitaan atau memilih hidup bahagia?" kata Elena lembut. "Dengar Andra, kalau kau terlihat menderita di hadapan Sofi, mereka akan mentertawakan mu. Kau hanya akan terluka dan semakin menderita. Lupakan untuk membalas dendam, Andra?" Andra sungguh tidak bisa melupakan rasa sakit ini, tapi ibunya sungguh menahan jiwanya. Ia sangat frustasi dan marah, tapi orang tuanya. bersikap seperti benteng yang akan menghalangi jalannya. "Lalu apa yang harus kulakukan?!!" teriaknya sangat keras di hadapan kedua orang tuanya.Andra menyendiri selama dua hari untuk merenung, akan tetapi sia-sia saja mencoba memahami keputusan Sofi karena toh mereka tetap bercerai. Tak ada yang mendukungnya untuk kembali pada wanita itu, bahkan orang tuanya pun tidak. Pada akhirnya kini Andra harus menerima kekalahan sebagai lelaki yang dikhianati istri tercintanya. Merasakan kepahitan itu, ia mulai berfikir untuk pergi menemui sahabatnya yang selama ini tidak pernah lagi bertemu. Tentu saja ia berharap mereka bisa menghibur hatinya saat ini. Selesai mandi Andra berpamitan pada orang tuanya. "Masih pagi begini mau kemana?" tanya Daren yang bersiap pergi ke pasar. Melihat ayahnya dengan motor butut mengangkut keranjang buah, Andra hampir tertawa terbahak-bahak. "Astaga, berapa yang Tuan besar hasilkan dari anyaman keranjang buah ini?" goda Andra merasa konyol. "Jangan meremehkan, ayah sedang melakukan uji coba pasar produk ini yang akan diproduksi secara masal di Vietnam. Kau pikir ayah tidak bekerja keras?"
Malam harinya, Isabel sudah menunggu di pelataran rumah Andra dengan sabar. Di tangannya, tergenggam sebuah tas berisi pakaian. Andra yang sudah bersiap dengan jas mahalnya segera menghampiri Isabel. "Tuan Muda, Anda sudah siap?" sapa Isabel sopan, sambil tersenyum. Andra membalas senyum Isabel, namun pandangannya tertuju pada pakaian yang dibawa Isabel. "Ini apa, Isabel?" tanyanya heran. Isabel tersenyum tipis, "Anda harus memakai pakaian ini, Tuan Muda. Ini penting untuk rencana kita." Alis Andra bertaut bingung. "Baju ini? Aku harus pakai baju supir?" Isabel mengangguk mantap. "Benar. Ini hanya penyamaran sementara. Ingat, kita sedang menjalankan sebuah drama." Andra semakin bingung, "Drama apa lagi ini? Kau ini atasan atau asistenku sih?" Sementara itu Andra melihat penampilan Isabel yang mencolok dan berlagak. "Maafkan aku, Tuan," kata Isabel menunduk hormat. Andra berfikir sebentar, sepertinya ada sesuatu yang tidak ia ketahui dari Isabel. Wanita ini bisa berbu
"Jangan kuatir, keputusanku masih belum final. Kirimkan semua berkas ini padaku, aku akan mempelajarinya lagi." Wajah Riko terlihat sedikit kecewa. Sebenarnya berharap Isabel akan memutuskan malam ini. Keadaan ini sedikit mendesak, ia butuh Andromeda untuk mengeluarkan dari ancaman pailit pada perusahaannya. "Kenapa? Anda terlihat sedikit buru-buru?" Riko langsung gugup, Isabel seolah tau apa yang sedang ia pikirkan. "Oh tidak, tentu saja saya tau Anda harus mempelajari berkasnya dengan seksama." Mereka mengakhiri rapat dan Riko membawa mereka pada jamuan makan malam di sisi Utara. Situasinya cukup ramai dengan beberapa kelompok kecil tamu. Riko memimpin di depan dan iapun memperkenalkan Isabel pada kenalannya. "Nikmati makan malamnya, dan perkenalkan, dia utusan Andromeda," kata Riko mengenalkan Isabel pada teman wanitanya. "Andromeda? Utusan perusahaan raksasa itu? Waah aku sangat iri, kau tau aku gagal melamar pekerjaan di sana," kata si wanita. "Apakah seleksi di
Sesampainya di pagar pembatas kapal, Andra dan Isabel berdiri berdampingan, menatap luasnya lautan yang berkilauan di bawah cahaya rembulan. Udara malam yang sejuk membelai kulit mereka, namun di dalam hati Andra, badai emosi berkecamuk. "Aku sudah menduga kau akan mempermalukanku malam ini," gumam Andra, suaranya terdengar pahit. Isabel menoleh, matanya bertemu dengan tatapan penuh luka Andra. "Maaf," ucapnya lirih. "Kenapa kau melakukan ini?" tanya Andra, suaranya meninggi. Isabel terdiam sejenak, seolah mencari kata-kata yang tepat. "Ada tanggung jawab besar menantimu, Andra. Kau masih terbelenggu oleh masa lalu, hidupmu dihantui kisah cinta murahan. Kau tidak bisa terus bersembunyi, kau harus membuktikan bahwa mereka bukan apa-apa." "Jadi, ini semua hanyalah ujian?" tanya Andra, nada suaranya terdengar penuh kecurigaan. "Bahkan pakaian sopir ini membuktikan bagaimana keluarga itu menghinaku? Apa gunanya melakukannya? Pada akhirnya mereka akan tau." "Ayah Anda sedang me
Setelah presentasi berlangsung di dalam ruangan, Riko benar-benar dibuat takjub oleh ketajaman analisis Andra. Saat presentasi denah real estate berlangsung, Andra seakan-akan telah membaca pikiran Riko. Ia dengan mudah mengidentifikasi setiap kelemahan proyek yang diajukan, seolah-olah telah mempelajari proyek ini jauh sebelum presentasi dimulai. Kemampuan analitis Andra yang luar biasa membuat Riko semakin kagum sekaligus waspada. Setelah tim presentasi Riko menyerah dan tidak mampu membantah argumen Andra, Andra bangkit dari kursinya. Dengan suara yang tenang namun penuh otoritas, ia menyampaikan kesimpulannya. "Tuan Riko, Anda sedang mencoba membangun sesuatu di atas fondasi yang rapuh. Ibarat ingin mengisi gelas yang sudah penuh, Anda hanya akan membuat semuanya tumpah dan berantakan." "Saya khawatir proyek ini justru akan memperburuk cit
Setelah membentak Isabel, penyesalan mulai merayapi hati Andra. Ketegangan di wajahnya perlahan mereda saat melihat Isabel hanya membalas dengan senyuman tipis. "Maafkan aku, Isabel," ujarnya dengan nada lebih lembut, "Aku sedikit emosi tadi." Isabel menggelengkan kepala. "Tidak apa-apa, Tuan. Namun, saya mohon Anda untuk mempertimbangkan kembali keputusan Anda. Ingatlah bahwa perusahaan Ardene pernah membantu kita saat perusahaan kita hampir bangkrut." Kalimat Isabel membuat Andra terdiam sejenak. Ia tidak pernah tahu tentang kebaikan yang pernah dilakukan Ardene kepadanya. "Kenapa kau tidak memberitahuku tentang ini sebelumn
Andra mengritik Isabel keras, bagaimanapun seorang ayah harus dihormati. "Tuan Muda, perusahaan ini punya prosedur yang harus ditaati, tidak semua orang bisa menemui Anda," bantah Isabel pelan. "Tapi dia juga pamanku, kau bisa bertanya dulu padaku. Aku bisa mengijinkan ayahmu untuk menemuiku." Isabel menegang, tatapan matanya terlihat ragu, "Tidak, ayah tidak boleh menemui Anda!" Andra heran, Isabel terlihat sangat tegang saat mengatakannya.
Andra merenung dalam. Ia tahu betul bahwa Lucky Lucky belum sepenuhnya gulung tikar. Pasti ada sisa aset atau saham yang bisa diklaim Isabel, meski jumlahnya mungkin tak seberapa. Sayang sekali kinerja perusahaan itu benar-benar anjlok. "Kenapa tidak kuambil saja saham itu?" gumamnya dalam hati. Namun, pikirannya segera teralihkan. "Ah, untuk apa repot-repot? Masalah orang lain bukan urusanku." Ia memutuskan untuk tidak ikut campur. Fokusnya kini tertuju pada Andromeda. "Ini saatnya membuktikan kemampuan diri," tekadnya. "Ayah sudah memberiku wewenang penuh, aku akan manfaatkan sebaik-baiknya." Ia berjalan menuju ruang perpustakaannya, mengambil sebuah buku cerita anak-anak. Sambil menatap sampul buku yang menggambarkan pul