Share

Kecerdasan Bukan Keberuntungan?

Malam itu, Andra masuk dan meletakkan apel kesukaan Sofi di meja sudut kamar mereka. Ia melihat istrinya itu tidak merespon sedikitpun apa yang ia bawakan untuknya.

Andra mengerti, Sofi mungkin sudah kenyang dengan buah-buahan mewah itu sehingga ia tak menawarkan bawaannya.

Andra duduk di samping Sofi yang berbaring sambil tersenyum-senyum sendiri.

"Aku berharap suamiku bisa setara dengan para pria sukses di sana. Memakai jas mahal, arloji mewah... Rasanya menyenangkan sekali saat menjadi pusat perhatian," ujar Sofi, matanya berbinar mengenang pesta itu. "Aku sadar saat berdiri di dekat Riko, aku merasa sangat dihargai oleh tatapan para wanita itu," lanjutnya.

Deg!

Tangan Andra mengepal kuat, ia tak pernah menyadari sisi lain dari Sofi istrinya. Selama ini Sofi terlihat idak perduli dengan penampilan luar seseorang sehingga ia menyukainya.

Dia tak pernah berpikir Sofi sama dengan ibu dan kakak perempuannya. Akan tetapi... apakah dia sungguh telah berubah?

"Kau senang memiliki kehidupan seperti itu, atau kau justru menyesal menikah denganku?" tanya Andra kemudian.

Sofi tersentak, ia tau Andra mungkin tersinggung. Ia mulai merapatkan bibirnya yang keceplosan.

"Bukan begitu, Andra. Aku akan bekerja dengan baik. Setelah mereka memberiku jabatan tinggi, aku akan membawamu serta dan bekerja di perusahaan besar," bantahnya gugup. "Kak Sera memperkenalkan beberapa orang hebat, aku yakin mereka punya pekerjaan untukmu."

Semburat merah terukir di wajah Andra, dia berusaha keras untuk menahan kemarahannya.

"Tidurlah, aku sudah bekerja sekarang. Kau tidak perlu mencarikan aku pekerjaan."

Sofi menunduk saat melihat sorot mata Andra yang menakutkan sehingga iapun menarik selimutnya dengan cepat untuk menghindari tatapan Andra.

Sementara Andra tidur dengan gelisah. Bayangan wajah Sofi yang penuh kekecewaan terus menghantuinya. Ia ingin sekali menceritakan segalanya soal jati dirinya sekarang, namun kata-kata Sofi tadi membuatnya ragu.

Semburat merah masih terlihat jelas di wajahnya. Ia menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang jauh. Rencana untuk mengungkapkan identitasnya sebagai pewaris Andromeda sirna begitu saja. Kata-kata Sofi tadi seperti pukulan telak baginya, membuat suasana hatinya memburuk.

Pagi harinya, seperti biasa Andra akan memasak sarapan untuk Sofi karena Sofi sangat suka dengan nasi goreng buatannya.

Ia sudah melupakan sikap Sofi yang membuatnya kecewa tadi malam. Ia berharap Sofi akan kembali seperti sebelumnya.

Saat kembali ke kamar dengan sepiring nasi goreng, ia melihat Sofi sudah bangun dan asyik dengan ponselnya.

"Sofi, makanlah dulu nasi goreng buatanku sebelum bekerja. Aku juga menambahkan irisan sosis yang sudah digoreng," katanya dan mengulurkan piring ke hadapan Sofi.

"Iya, tunggu sebentar, aku sedang membalas pesan Riko."

"Riko? Kau terlalu dekat dengan atasanmu?"

"Ayolah, Andra. Aku asisten pribadinya, aku akan sering bertemu dengannya."

Andra meletakkan piring di atas nakas, jakunnya mulai naik turun menahan perih di dadanya, rasa cemburu mulai menyergapnya. "Berhentilah bekerja, aku sudah bekerja sekarang."

Sofi menatap Andra termangu, "Apa kau sadar dengan ucapanmu? Aku baru beberapa hari bekerja dan kau sudah mau mengacaukan hidupku!" katanya sarkastik.

"Sofi... aku...Aku sungguh bisa mencukupi hidupmu. Apa yang kau inginkan? Aku akan membelikan apa saja yang kau inginkan selama kau berada di dekatku. Berhentilah bekerja, aku berjanji padamu untuk menjadi suami yang mewujudkan keinginanmu."

Sofi benar-benar dibuat terperangah dengan ucapan Andra. "Kau baru saja berkhayal? Selama pernikahan ini kau bahkan tidak bisa membelikan aku sepatu yang kuinginkan. Tapi dalam tiga hari, Riko mewujudkan semuanya untukku!"

Andra mencengkram sisi tempat tidur di bawahnya, ia mungkin terlambat, tapi ia sungguh mampu melakukannya sekarang.

"Kau sungguh berpikir bisa membeli apa yang kuinginkan?" ujarnya dengan senyum mengejek dan menepis sentuhan Andra.

"Sofi, aku berjanji akan membeli apa yang kau inginkan, percayalah padaku," kata Andra masih berusaha meyakinkan.

Sofi tak menjawab, ia turun dari tempat tidur dengan wajah cemberutnya. Hal itu membuat Andra kecewa lagi.

"Sofi, kenapa kau dulu menyukaiku?" tanya Andra pelan.

Sofi masih diam lalu melepaskan piyama tidurnya untuk menuju kamar mandi.

"Jawablah, aku ingin mendengar apa pendapatmu sekarang."

Sofi yang sudah melilitkan handuk di tubuhnya segera berbalik menatap Andra yang masih duduk di tempat tidur.

"Aku pikir kau dulu punya keberuntungan karena kecerdasanmu. Akan tetapi aku sadar sekarang, bahwa kecerdasan bukanlah keberuntungan," katanya lalu meninggalkan Andra.

Andra merenungi ucapan Sofi barusan. Memang benar Sofi sangat menyukai bagaimana ia sangat populer karena tampan dan cerdas.

Sofi tak perduli kalau dirinya hanyalah anak seorang pengrajin bambu yang dijual di pasar.

Akan tetapi setelah dua tahun menikah, sepertinya Sofi telah berubah.

Tidak jauh dari pemikiran Sofi, ia dulu juga merasa bersyukur karena memiliki wajah tampan dan cerdas. Karenanya ia bisa meraih hati Sofi yang ia kagumi. Ia berpikir mereka akan bahagia dan saling mencintai selamanya. Akan tetapi, ia telah salah mengira!

Tiba-tiba sebuah panggilan masuk ke ponselnya.

"Tuan Andra, Anda harus menghadiri pertemuan di Convert Hall malam ini, untuk itu Anda harus mempersiapkan diri. Saya akan segera menjemput..."

"Tunggu, aku akan pergi sendiri. Jangan pernah menjemputku!"

Isabel terkejut, ia sampai menjauhkan ponselnya karena Andra berteriak saat mengatakannya.

"Baik tuan, terserah Anda."

Setelah menutup telepon, tak lama dari itu Sofi keluar dari kamar mandi. Ia sempat mendengar Andra berteriak tadi.

"Siapa yang menelponmu?" tanyanya.

"Ah, tak ada, cuma masalah pekerjaan."

"Oh."

Segera Andra masuk kamar mandi dan membalas sikap acuh Sofi. Ia benar-benar merasa hancur.

"Aku tak percaya, bagaimana bisa kau membandingkan aku dengan uang?" lirihnya.

Prakk!!

Pukulan keras menghantam kaca wastafel sehingga tergambar pola retakan.

Setelah puas meluapkan, Andra segera keluar kamar mandi untuk mengganti pakaiannya. Pada saat itu Sofi mendekatinya.

"Andra, sebenarnya aku, Sera dan ibuku sudah bermusyawarah," katanya sedikit canggung. "Aku memutuskan untuk bercerai darimu."

Andra mengangkat pandangannya pada wanita yang menunduk dengan selembar kertas di tangannya.

"Untuk itu, tanda tangani saja surat perceraian ini," katanya dan meninggalkan Andra di kamar itu, begitu saja.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status