PROLOG
Gelegar guntur yang kencang dan bersahut-sahutan membuat Tony Hawthorne terlonjak. Dia sedang tidur di kabin kapal ketika guntur berikutnya meledak seperti tepat di telinganya. Beberapa detik setelah itu, tetesan hujan pertama yang besar jatuh ke atas permukaan laut.
Ombak besar bergulung-gulung, membuat kapal terombang ambing. Menggunakan jas pria keluaran terbaru Dior, Tony bangun dari tempat tidurnya dan naik ke geladak. Namun dia menyadari, dia sendirian di sana. Tidak ada siapa pun selain dirinya, dan dia berada di tengah-tengah lautan.
Badai menerjang dengan kekuatan penuh. Angin bertiup dengan kecepatan 270 km/jam, membuat kapal terbalik dan tubuh Tony jatuh kedalam perairan. Lautan yang bergolak-golak dan angin yang kencang membuat Tony tidak bisa menyelamatkan diri. Walau dia terus memeluk pecahan kayu dari badan kapal, dia terus diseret masuk ke dalam lautan, seolah lautan sedang berusaha menelannya hidup-hidup.
Dia tidak pandai berenang, dan hanya butuh beberapa menit saja, tubuhnya benar-benar menghilang dari permukaan air.
BAB SATU
Isabelle Leah Hawthorne terkenal di kalangan mahasiswa Harvard Business Scholl karena penampilannya yang supel namun menawan. Menjadi salah satu putri miliarder Tony Hawthorne memberinya privilege, dan semua orang mempermudah langkahnya dalam hal apa pun.
Namun bukan itu saja yang menarik. Dengan tingginya yang hanya 165 senti, cukup pendek untuk teman-temannya, dia tetap tampil mencolok. Rambut keemasan yang lebat, kulit seputih susu yang membuat beberapa freckless di wajahnya terlihat lebih cantik, juga bobot tubuhnya yang sempurna, adalah nilai plus bagi seorang Isabelle.
Pembawaan Isabelle yang tenang dan nyaris tak pernah membawa embel-embel nama Hawthorne di belakang namanya menjadikannya disukai banyak orang. Namun dia juga memiliki kekurangan lain, yaitu tidak pernah menerima ajakan pria mana pun. Selain cantik, Isabelle juga dikenal sebagai gadis yang suka mematahkan perasaan pria di kampusnya.
Siang itu cukup cerah, Miss Cory Clayton memanggil Isabelle secara khusus ke kantornya. Isabelle berpikir Miss Cory akan membahas tentang ayahnya lagi –karena wanita paruh baya itu selalu terobsesi menjadi istri ayahnya-. Dengan enggan, Isabelle masuk ke dalam ruangannya.
“Ada yang perlu, Miss Cory?” tanya Isabelle ramah.
Miss Cory biasanya akan berbasa-basi, menyodorkan teh dan menuangnya langsung pada Isabelle, atau memberikannya snack yang dia bawa dari perjalanan bisnisnya ke luar kota. Tapi kali ini, wajah Miss Cory mendadak muram, berbanding terbalik dengan cuaca cerah di luar sana.
“Kamu baik-baik saja, Miss? Perlu ku panggilkan dokter?” tanya Isabelle lagi.
“Tidak.” Miss Cory menggumam. Dia terlihat menghela nafas, menatap Isabelle sungguh-sungguh.
Isabelle mulai merasa sedikit curiga, perasaannya mendadak tidak nyaman. Namun dia sama sekali tidak bisa menebak hal apa yang terjadi. Hingga kemudian Miss Cory membuka mulut dan berkata, “Belle, terpaksa aku menyampaikan kabar buruk ini padamu. Ayahmu, Tony Hawthorne, ditemukan meninggal dunia dini hari tadi. Keluarga memintamu untuk kembali.”
Satu jam kemudian, Isabelle sudah terbang di atas lautan yang luas dengan pesawat pribadi keluarga Hawthorne. Dia pulang untuk melihat tubuh kaku ayahnya di New York.
Dia dijemput oleh kakak pertamanya, Julia Hawthorne Sparks, yang menikah dengan seorang perdana menteri New York, Billy Sparks. Dia memeluk Isabelle erat-erat, lalu tangisan keduanya pecah. Mereka baru berhenti menangis saat puteri kecil Julia berlari pada mereka. Julia menatap Isabelle, mengelus pipinya dan berkata, “Dad sudah menunggumu.”
Rasanya menyakitkan melihat Tony, sang ayah, terbujur kaku dalam peti mati. Dia sudah mengenakan setelan jas yang lengkap dan dia terlihat gagah. Isabelle mendekat, dengan gemetar memeluk pinggiran peti mati untuk bisa melihat wajah Tony untuk terakir kalinya. Dia melepas kain tile putih yang dijadikan sebagai penutup wajah, mengusap pipi Tony yang dingin dan kaku lalu air matanya kembali mengalir.
Pemakaman dilangsungkan dengan lancar serta dihadiri oleh para pengusaha-pengusaha terkenal, para politikus, beberapa dari kalangan selebriti dan juga keluarga besar Hawthorne. Kematian mendadak Tony memberi duka yang sangat dalam bagi mereka, khususnya Isabelle, sang puteri bungsu.
Setelah kembali dari pemakaman, Nicholes Berg, pengacara keluarga Hawthorne duduk diantara Isabelle, kakaknya Julia, suami Julia sang perdana menteri, Billy dan juga kakak iparnya yang kedua, yaitu David Castel. David menikahi kakak kedua Isabelle bernama Stephani Hawthorne, namun sayang di tahun ketiga pernikahan mereka, Stephani meninggal karena kecelakaan.
Nicholas berdiri setelah merasa anggota keluarga sudah lengkap. Dia membuka map bersampul keemasan setelah memakai kaca matanya. Pria berusia lima puluhan itu terlihat tegas, dan menatap satu per satu wajah yang hadir di sana.
“Tuan Tony memberikanku kuasa untuk membuat surat wasiat, jika sewaktu-waktu dia akan meninggalkan kalian semua.”
Nicholas menunjukkan surat yang ditulis tangan oleh Tony pada mereka sebelum dia membacanya.
“...Bahwa aku memberikan semua perusahaan pada puteri bungsuku, Isabelle Hawthorne dan dia memiliki hak penuh untuk menjalankan perusahaan sesuai kemampuannya....”
Raut wajah Billy mulai berubah. Dia terlihat tidak nyaman usai mendengar sebagian surat wasiat mertuanya, yang secara tersirat sudah bisa dia tangkap kemana arahnya. Isabelle adalah pewaris, dan istrinya Julia tidak akan mendapatkan apa pun. Tua bangka sialan, sungut Billy dalam hati.
Berbeda dengan Billy, David yang duduk di samping Isabelle malah tersenyum sambil menggenggam tangan Isabelle. Isabelle memang lebih menyukai David jika dia berbicara tentang para kakak iparnya. David lebih hangat, dekat dengannya, sering meluangkan waktu untuk menengok Tony walau Stephani sudah meninggal.
“Selamat, Belle,” bisik David, menepuk punggung telapak tangan Isabelle dengan lembut. “Dad sudah membuat keputusan yang tepat.”
Isabelle tidak bisa bahagia dengan isi surat wasiat itu. Karena usianya masih 20 tahun, dia masih kuliah dan tidak tahu apa-apa soal menjalankan perusahaan. Ini terlalu mendadak, batin Isabelle, namun dia juga tidak berani untuk menolak perintah terakhir Tony.
“Tapi Isabelle hanya boleh menjalankan semua hal yang ku sebutkan di atas dengan satu syarat, yaitu menikah dengan Tristan Theodore.”
Tristan Theodore lahir dari pasangan suami istri yang kurang mampu. Sejak kecil, dia sudah tinggal di rumah khusus pelayan keluarga Hawthorne yang kaya raya karena ayah dan ibunya adalah pelayan di sana.Secara khusus, Tony menyekolahkan Tristan karena melihat kemampuan pada diri pria itu. Walau begitu, Tristan tidak tertarik berbisnis seperti yang diajarkan oleh Tony. Dengan tubuh tinggi nyaris menyentuh angka 190 senti dan anugerah wajah yang tampan, Tristan memiliki mimpi menjadi seorang model dan berkarir di dunia hiburan.Dia memang cerdas dan menawan. Karir yang dimulainya dengan sesekali ikut catwalk sungguh menjanjikan. Dia menerima beberapa tawaran casting untuk drama yang dibintangi bintang terkenal yang dulu dia idolakan. Sangat menggiurkan dan membuat Tristan bersemangat.Tapi tidak hingga dia mendengar perintah dari ayahnya, George Theodore soal permintaan terakhir Tony.“Tidak, Dad,” tolak Tristan saat George mengajaknya berbicara di rumah yang diberikan oleh Tony secara
Dalam balutan gaun pernikahan salah satu koleksi desainer Sarah Burton, Isabelle terlihat sangat cantik. Gaun putih mewah itu terlihat begitu tepat dan pas di tubuh mungil Isabelle, menonjolkan setiap lekuk tubuhnya dengan begitu indah.Sang Paman menjadi perwaliannya menggantikan mendiang ayahnya saat dia akan berjalan menuju altar untuk bertemu calon suaminya untuk pertama kalinya. Isabelle terlihat gugup, namun dia bersyukur veil yang menutupi wajahnya akan bisa menyembunyikan kegugupannya.Dia melihat Tristan selagi dia melangkah. Pria itu terlihat hebat dan mencolok. Mengenakan setelan jas tuksedo berwarna senada dengan gaunnya, Tristan tampil sangat memukau. Dia tampan, sangat berkharisma dan memiliki aura yang mematikan. Garis tegas membingkai wajahnya dan rambut cokelat itu begitu tepat untuknya.Sungguh, Isabelle merasakan jantungnya berdetak cepat pada pria itu saat pertemuan pertamanya ini. Isabelle tidak pernah merasakan perasaan seperti ini sebelumnya ketika dia bertemu
Tristan menggeleng. Ada banyak wanita, memang begitu adanya. Tapi dia tahu persis wanita yang dimaksud Isabelle, yaitu kekasih yang akan dinikahinya. Isabelle bertanya mungkin karena dia takut kalau pernikahan mereka akan mendatangkan masalah pada hubungan pribadi Tristan.“Kalau begitu, aku rasa pernikahan ini akan baik-baik saja.” Isabelle tersenyum lagi. “Aku hanya membutuhkan status agar bisa menjalankan perusahaan ayahku dan menjaga aset-asetnya. Selagi kamu menjaga nama baik keluarga Hawthorne, maka aku tidak akan menuntut apa pun darimu. Tidak cinta, tidak tanggung jawab. Kita akan menjalankan kehidupan kita secara terpisah walau kita tinggal di bawah atap yang sama. Apa kamu keberatan?”Tristan justru merasa sedikit bersalah. Isabelle mengatakannya tanpa beban apa pun, seolah ini adalah sebuah kepasrahan. Atau, wanita itu memang sudah merencanakannya sejak awal? Jadi dia yang meminta Nicholas untuk menutup semua aksesku di dunia hiburan?“Well, kamu sangat baik.” Tristan menyi
“Bagaimana menurutmu, yang silver atau gold?”Julia mengangkat dua potong gaun pendek yang berbeda. Dia sedang bertanya pada suaminya, Billy Sparks. Tapi sang suami malah sibuk dengan ponselnya, mengabaikan Julia seperti hari-hari sebelumnya. Julia paham. Sebagai perdana menteri, Billy amat sibuk. Tapi setidaknya pria itu bisa menyempatkan diri untuk memberikan perhatian pada Julia dan puterinya layaknya suami dan ayah pada umumnya.“Billy, apa kamu mendengarku?” tanya Julia lagi.Billy mengangkat wajah, melihat sekilas saja gaun yang diangkat Julia. Billy berpikir, kapan terakhir kali dia menganggap Julia menarik secara seksual. Bukan berarti ada yang salah dalam diri Billy. Julia cantik, Billy mengakuinya. Dengan postur tinggi semampai, rambut pirang bergelombang dan tulang pipi yang menonjol, dia adalah dambaan para pria ketika mereka masih lajang, pun sekarang setelah pernikahan mereka memasuki tahun ke tujuh.Tapi setelah menikah, Julia ternyata tidak seperti yang diharapkannya.
“Kenapa kamu mengkhawatirkanku?” Isabelle mengangkat alisnya.“Tristan bukan pria dari kalangan kita. Bukan berarti aku merendahkannya, tapi menikahi seorang putera pelayan tentu akan mendatangkan banyak pemikiran negatif terhadapmu. Aku tidak tahu apakah Tristan pria yang cakap dan bisa diandalkan, tapi ku mohon, kalau kamu tidak bahagia, katakan padaku, Belle. Jangan memendamnya sendirian.”Isabelle tertawa kecil. Dia sedang menipu Julia, berusaha agar sang kakak tidak terlalu khawatir padanya dan juga pada pernikahannya. Ya, Tristan bukan pria dari kalangan atas. Tapi Isabelle sudah jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu.Walau Tristan sudah menyatakan alasan kenapa dia menikah dengan Isabelle, Isabelle berjanji untuk tidak menunjukkan ‘kegagalan’ pernikahan itu pada Julia. Isabelle tahu, Julia tidak bahagia dengan pernikahannya sendiri, jadi dia berusaha untuk tidak memberitahu Julia soal apa pun.“Tenang saja, Jule. Aku dan Tristan akan baik-baik saja.”Semakin malam, tama
“Pengantin baru tapi sudah sendirian.”David menyapa Isabelle yang duduk minum teh sendirian di taman. Isabelle tersenyum, meletakkan gelas keramik putih dengan aksen bunga-bunga mawar dibibir gelasnya. Asap mengepul dari teh chamomile yang disesap Isabelle dan dia terlihat tidak begitu senang.“Mana Tristan?” tanya David lagi.Isabelle tidak tahu. Saat dia bangun tadi pagi, Tristan sudah tidak ada di sofa. Isabelle mengira Tristan turun lebih dulu untuk menyantap sarapan, atau sekedar berjalan-jalan pagi. Tapi salah satu pelayan yang ditanyainya mengatakan kalau Tristan pergi mengendarai SUV-nya.“Dia pergi mengurus beberapa hal,” kata Isabelle pelan.“Oh, kalian akan bulan madu? Kemana?”Tidak ada bulan madu. Isabelle dan Tristan tidak membahas soal bulan madu tadi malam, melainkan penegasan atas hubungan diantara mereka. Isabelle bahkan ditinggal tidur oleh Tristan, padahal otak Isabelle sama sekali tidak bisa berhenti memikirkan soal pernikahan ini.“Bukan bulan madu,” kata Isabel
Billy nyaris mengumpat saat seorang pria mabuk menyenggolnya. Tapi ini adalah bar, semua orang akan berlaku bebas dan Billy tidak berhak marah. Setelah selesai melakukan tugasnya sebagai budak korporat, dia memilih untuk membebaskan diri di sebuah bar privat yang hanya bisa dimasuki dengan kartu keanggotaan resmi saja.Ketika dia duduk dan memesan minuman, dia melihat Tristan juga ada di sana, sedang menenggak alkoholnya. Dia sepertinya sudah mabuk karena wajahnya yang memerah dan juga gerakan tubuh yang melayang-layang.Para wanita rendahan menggerayangi tubuhnya, mencium wajah dan menyentuh dadanya. Billy berdecak. Kasihan sekali Isabelle, ejeknya. Baru saja menikah satu hari, tapi suaminya sudah mabuk-mabukan bersama para wanita di bar.Masih tersisa kemarahan di dada Billy setiap kali dia mengingat Isabelle. Gadis itu bahkan masih berusia awal dua puluh, tapi dia sudah memimpin perusahaan? Apa hebatnya dia? Kenapa bukan Billy saja, atau setidaknya Julia? Kenapa harus memilih gadis
Isabelle hilir mudik di kamarnya. Sejak tadi dia tidak bisa menghubungi Tristan dan khawatir Tristan mungkin mengalami sesuatu yang buruk. Gadis itu memeriksa ponselnya lagi dan berharap ada kabar dari suaminya. Tapi hingga jarum jam menunjukkan tepat tengah malam, Tristan belum muncul juga.Karena semua anggota keluarganya masih berkumpul di kediaman utama, Isabelle berlari kecil dan mengetuk pintu kamar David. David masih menginap di sana, dia bilang baru akan pulang ke rumah pribadinya besok.Dengan wajah terkantuk-kantuk, David menguap membuka pintu kamar. “Belle, ada apa?”“Tristan belum kembali.” Isabelle menggigit bibirnya khawatir.“Lalu apa?”“Aku takut terjadi sesuatu padanya.”“Belle, Tristan itu seorang pria. Bisa saja dia sedang menghabiskan waktu bersama teman-teman dekatnya, karena bagaimana pun kalian menikah mendadak. Mungkin, teman-temannya ingin membuat pesta bersamanya.”“Begitukah?”David menggosok matanya yang memerah, lalu dia menguap untuk ketiga kalinya. “Tapi
Ben menggosok matanya saat melihat nominal biaya pengobatan yang harus dikeluarkannya untuk Sora. Sora membutuhkan setidaknya dua jenis operasi untuk mneyelamatkan nyawanya dan Ben memang berniat untuk bertanggung jawab.Dia hanya tidak menyangka kalau ternyata biayanya akan sebanyak ini.Pria itu menyerahkan kartu kreditnya. Entah bagaimana caranya untuk membayar tagihan kartunya bulan depan, namun dia akan berusaha. Saat ini, menyelamatkan nyawa Sora jauh lebih penting. Dia masih bisa mencari pekerjaan lain di luar sana sementara Sora mungkin hanya memiliki kesempatan hidup kali ini saja.Dia menghela nafasnya dalam-dalam. Kepalanya berdenyut sakit. Dia berkendaraan untuk mencari sedikit celah untuk kasus minyak esensial yang merenggut nyawa istri dan anak dalam rahim istrinya. Dia tidak bisa mengandalkan orang-orang itu lagi walau mereka berjanji akan menegakkan keadilan untuknya.Nyatanya, setelah Revive Orion dinyatakan tidak bersalah, kasus itu langsung tenggelam. Tak ada stasiu
Judy membereskan barang-barang terakhirnya saat dia mendengar sebuah bunyi mencurigakan di luar apartemen. Dia seperti mendengar derap langkah dengan tempo tak biasa, seperti orang-orang yang tengah mengerubuti bangunan itu.Setelah Tristan memberitahunya soal kemungkinan persembunyiannya diketahui, Judy segera meminta orang-orangnya untuk memindahkan sejumlah komputer dan juga beberapa kardus berkas terlebih dahulu. Dan setelah barang-barang utama itu dipastikan selamat oleh Judy, baru dia menyusul.Namun siapa yang menyangka kalau ternyata langkahnya akan terlambat beberapa menit. Orang-orang ini sudah mengepung apartemen tempatnya dan Tristan melakukan pertemuan, Judy bisa melihat bayangan mereka dari celah bagian bawah pintu.Wanita itu mengambil pistolnya, menyematkannya ke belakang tubuh. Judy membuka jendela, menyelempangkan ranselnya dan segera turun melalui tingkap yang sedikit menjorok. Dia menempel tubuhnya ke dinding, menggeser kakinya selangkah demi selangkah hingga dia t
“Gagal!” kata Tristan lewat ponselnya.Dia mengurut keningnya pelan. Dia menghembuskan asap rokok ke udara saat dia berada dalam ruangan khusus untuk perokok. Jepang memang kota yang unik dan tegas. Jika di Amerika dia bisa merokok kapan saja dan dimana saja, di negara ini berbeda.Isabelle menunggu di luar. Gadis itu terlihat sedih karena kematian Tetsuka. Saat mengetahui kalau yang dibawa polisi adalah mayat Tetsuka, Isabelle menangis tak karu-karuan. Apalagi ketika istri Tetsuka meraung sambil meneriakkan nama puteri mereka, tangisan Isabelle makin tak terkendali.Bulan madu ini membawa bencana, pasti begitu pikir Isabelle.Tristan menunggu sampai akhirnya Judy bicara, lebih tepatnya meneriakinya. “Apa yang kamu lakukan selama di sana? Bukankah kamu bilang tujuanmu untuk mencaritahu rahasia Tony? Atau, kamu malah terlalu fokus menghabiskan waktumu dengan Isabelle?”“Judy, apakah kamu tahu bukan itu masalahnya?”“Lalu apa?” teriak Judy lagi.“Seseorang mengikuti kita, mengerti!” Tri
Mereka menghabiskan waktu mengunjungi beberapa tempat di Jepang. Seumur hidup, ini adalah perjalanan yang paling mengesankan bagi Isabelle. Bagaimana tidak, dia hanya membawa pakaian yang melekat dalam badannya, dan ketika mereka tiba, ternyata di dalam kamar hotel sudah tersedia setidaknya empat pasang gaun Yves Saint Laurent di atas tempat tidur.Ternyata, Tristan benar-benar sangat mempersiapkan bulan madu mereka. Hal itu membuat Isabelle merasa sangat dicintai oleh pria itu. Dia tidak akan melupakan hal ini seumur hidupnya.Keduanya berjalan menyusuri Shibuya, berpapasan dengan banyak pengunjung lainnya seperti mereka. Shibuya adalah kota yang hidup selama dua puluh empat jam. Banyak toko-toko branded di sini, salah satunya adalah toko Revive Orion yang dikunjungi oleh keduanya dengan sengaja.“Halo, Tuan Tristan. Senang melihat Anda kembali,” sapa sang manager, Shiba Tetsuka.Pria berusia lima puluhan itu membungkukkan tubuh pada Tristan dan Isabelle, dan keduanya melakukan hal y
“Aku ingin tahu apa yang paling kamu sukai.”Isabelle nyaris tertawa mendengar pertanyaan Tristan. Dia sedang santai di rumah sambil memandang matahari sore yang hendak turun sementara suaminya itu sedang melakukan kunjungan ke salah satu cabang perusahaan bersama David.“Kamu!” sahut Isabelle santai.“Aku tak perlu bertanya soal itu.” Tristan menyahut dengan percaya diri. “Aku tahu kamu sangat menyukaiku.”“Lalu apa?” Isabelle balik bertanya.“Brand fashion kesukaanmu, atau makanan. Apa pun. Pernikahan kita hampir dua bulan tapi aku ingat kalau aku belum pernah bertanya soal ini.”Isabelle menahan diri untuk berteriak karena terlalu senang. Gadis itu berdehem pelan, menyandarkan tubuhnya di sisi balkon rumah sambil tersenyum. Dia sangat mencintai Tristan. Demi apa pun, Isabelle sangat bergantung pada pria itu sekarang.“Well, aku tidak punya brand tertentu dalam hal fashion,” sahutnya. “Aku membeli merk apa pun kalau aku menyukai produknya. Jadi, aku tidak memiliki preferensi tertent
“Kamu ingin aku melakukan apa?” tanya Summer Vinch, gadis berusia 25 tahun, seorang hacker kenamaan yang identitasnya tersembunyi.Namun detektif Don menemukan dia ketika gadis itu membutuhkan bantuan lima tahun yang lalu. Dan sejak itu, keduanya dekat seperti seorang ayah dan puterinya. Summer meludahkan sisa permen karetnya, lalu menatap detektif Don lagi.“Kamu yakin?” Gadis itu mengangkat alis.“Aku tahu ini ilegal. Tapi, aku harus melakukannya.”Summer menimbang-nimbang. Baginya, ini pekerjaan yang mudah. Ketika jemarinya menari diantara huruf dan angka di keyboard komputernya, dia tidak akan kesulitan menemukan dunia lain di dalam layar itu. Semua yang tersembunyi dalam dunia nyata akan tersingkap. Semuanya, bahkan rahasia yang terburuk sekalipun.“Well, baiklah.” Summer memutar kursi menghadap ke layar komputer. “Apa yang ingin kamu ketahui?”“Semuanya. Tentang Billy Spark, Tristan Theodore, David Castel dan juga Julia Hawthorne. Aku ingin kamu menemukan semua sisi kehidupan te
Isabelle menyandarkan tubuhnya di pundak Tristan setelah seharian penuh disibukkan oleh Mellany. Dia menatap Tristan yang sibuk memeriksa sesuatu di laptop lalu dia menegakkan tubuh lagi. “Apa yang kamu lakukan?”“David memintaku untuk memeriksa beberapa cabang yang bermasalah dan aku meminta data dari mereka,” sahut Tristan tanpa menoleh. “Aku sedang melihat masalah apa yang mereka hadapi sebenarnya.”“Kamu sudah bisa menyimpulkannya?”Tristan terlihat menghela nafas, lalu menatap Isabelle. “Ada banyak eselon tinggi yang melakukan perintah tak manusiawi. Mereka banyak memeras Revive Orion dan juga staff yang bekerja di bawah mereka.”“Separah itu?”“Tenang saja.” Tristan menutup laptop dan menepuk pundak telapak tangan Isabelle. “Mereka tidak akan bisa menjatuhkan Revive Orion.”“Aku harap begitu,” gumam Isabelle lagi. “Omong-omong, sepupuku baru kembali dari Prancis. Dia bilang, dia ingin bertemu denganmu.”“Maksudmu Mellany?”Isabelle cukup terkejut karena ternyata Tristan mengenal
Taksi berhenti di wilayah Midtown West dan Ben langsung turun usai membayar ongkos taksi. Mellany menurunkan kopernya dengan susah payah dan menyusul Ben yang sudah berjalan cepat meninggalkannya.“Hei, tunggu aku!” teriak Mellany.Ben menoleh. Dia mengernyit melihat kelakuan Mellany yang membuatnya muak dan tidak tertarik sama sekali. “Apa yang sebenarnya kamu butuhkan?” tanya Ben dingin.“Sudah ku bilang aku tidak punya uang, jadi aku...”Mellany terjekut saat Ben melempar beberapa lembar dollar ke arahnya. Gadis itu membiarkan uang berserakan di jalan dengan wajah yang ditekuk. “Aku hanya ingin berkenalan denganmu. Kenapa tidak boleh?” katanya pelan.“Nona. Aku baru kehilangan anak dan istriku, jadi aku tidak memiliki tenaga untuk meladeni permainanmu. Jika kamu tidak punya uang, aku sudah memberikannya. Silahkan tinggalkan aku.”Mellany mematung. Dia sudah menikah dan ternyata baru saja kehilangan anak dan istrinya? Itu sebabnya dia terlihat sangat menderita? Mellany menatap Ben l
Mellany Blaire berjalan sambil bersungut-sungut. Digeretnya koper besarnya keluar dari restoran cepat saji karena staff di sana memarahinya. Bagaimana tidak, semua kartunya ditolak dan dia sama sekali tidak memiliki uang cash.Gadis itu menggerutu, menaungi wajahnya dari sengatan panas matahari. Sang ayah memintanya kembali pulang ke New York karena ingin menikahkan Mellany dengan salah satu pria, anak sahabatnya. Padahal, Mellany sudah merasa sangat nyaman berada di Prancis selama lima tahun terakhir.Tapi ancaman ayahnya membuat nyalinya ciut. Dan terbukti, begitu dia mendarat, hal pahit ini terjadi. Dia tidak memiliki akses apa pun bahkan hanya untuk sekedar makan burger seharga beberapa puluh dollar saja.“Dad, aku membencimu,” teriak Mellany saat ayahnya, Teddy Blaire menghubunginya.Terdengar tawa renyah ayahnya di seberang sana, lalu pria itu berkata, “Keluarga Blaire hanya memiliki kamu sebagai puteri satu-satunya. Aku sudah tua, Mel. Semua sepupumu sudah menikah dan hanya tin